Cinta ibu bagaikan telaga dikala haus melanda. Rasa sedih dan gundah pun seakan semua tertumpahkan disatu sosok, ibu.
Namun, bagaimana mana jika sosok seorang ibu yang seperti itu tidak didapatkan Rangga. Seakan ia hanya robot yang harus menuruti semua yang diinginkan sang bunda.
***
Mentari pagi menyilaukan kedua mata Rangga yang tirai kamarnya disibak oleh Ghania. Adik satu-satunya. Ia duduk di tepi ranjang Rangga lalu menatap abangnya yang justru meringkuk.
"Bang bangun. Kita disuruh siap-siap ke acara lamaran Stefi. Buruaaannn... gue pusing nih denger bunda cerewet banget dari tadi" Ghania mendorong-dorong pinggang Rangga supaya abangnya itu bangun.
"He-em, udah disiapin kan bajunya?" Suara dari balik bantal yang menutupi wajah Rangga terdengar pelan. Ghania menarik bantal itu dan melempar ke tengah ranjang.
"Udah. Cuma bunda minta dandan di salon sama butik nya. Buru si bang, gue udah mandi nih, udah jam sembilan abanggg" Ghania naik keatas ranjang dan menarik tangan Rangga. Mau tak mau ia bangun dan duduk diatas ranjang.
"Yaudah gue mandi dulu. Bikinin gue kopi dong"
"Nggak ah. Kan ada bi Sri. Minta aja sana"
"Ck. Enakan kopi bikinan lo. Buru sana"
"Hih! Yaudah mandi. Malah main hp"
"Bukan main. Mau say hi ke pacar dong" Rangga senyum-senyum dengan muka bantalnya.
"Salam buat kak Aya ya bang, kapan-kapan gue mau jalan ya sama kak Aya, kalem banget orangnya"
"Iya lah. Makanya dia bisa luluhin hati gue, sana keluar, gue mau telfon dia dulu"
"Iyaaaa.." Ghani beranjak.
"Kopi jangan lupa Ghan!!" Teriak Rangga. Ia menempelkan ponsel ke telinganya sambil beranjak dan merapihkan ranjangnya. Ia tak suka acak-acakan. Jadi sebisa ia merapihkan sendiri, ia rapihkan. Walau maid nya dirumah ada tiga. Dan yang khusus membereskan kamar dan seisi rumah baru datang jam sepuluh nanti.
"Pagi sayang" sapa Rangga sambil duduk di tepi ranjang.
"Hai, udah siang ngga, udah jam sembilan, baru bangun kamu?"
"He-em. Semalam aku begadang ngerjain bab lima, besok diminta serahin biar dua minggu lagi bisa sidang"
"Ohh, kamu hari ini jadi ke acara keluarga kamu?"
"Jadi. Ini mau mandi terus berangkat. Kenapa? Mau aku kesana? Kangen ya" Rangga senyum-senyum.
"Enggak, ge-er banget kamu. Aku ngajar les tari anak-anak. Mendadak banget dimintanya. Jadi kalau nanti kamu hubungin aku, aku nya nggak bales, berarti aku masih ngajar ya"
"Tarian apa?"
"Modern dance, distudio temen"
"Oke. Kapan-kapan aku temenin kamu ngajar boleh. Aku mau lihat kalau kamu ngajar tari kaya gimana"
"Boleh dong, kamu siap-siap sana, nanti ditungguin keluarga kamu"
"Aya"
"Hm, apa ngga"
"Banyak cowoknya nggak disana" Rangga itu cukup posesif dan protektif, sifat ini yang Aya belum tau.
"Ada. Guru tari juga sama beberapa murid. Mereka emang dancer profesional, yang biasa diminta untuk bikin video klip artis-artis"
"Oh--"
Kekehan terdengar dari ujung telefon.
"Kamu cemburu?"
"Enggak"
"Jangan mikir yang aneh-aneh Rangga, kan semalam udah di obrolin. Udah tau kan apa yang aku rasa ke kamu"
Senyum Rangga pun merekah. Ia cemburu, benar. Tapi ia juga tak mau membatasi kegemaran Aya. Mereka juga pacaran baru sebentar.
"Kabarin aku ya" Rangga menghela nafas sendu.
"Iya Rangga sayang, salam untuk Ghania ya"
"Oh iya. Kamu juga dapet salam dari Ghania tadi"
"Oke. Terima kasih salamnya, bye sayang"
"Bye- Aya!"
"Apa ngga"
"Kalo aku bilang, i love you. Kecepetan nggak?" Polosnya Rangga. Aya sampai tertawa geli.
"Ya enggak cepet juga. Kalau itu yang kamu rasain ke aku masa aku larang, aku tahan-tahan" suara tawa terdengar. Rangga juga ikut tertawa.
"Love you Aya"
"Terima kasih Rangga, aku sayang kamu"
Mereka menyudahi pembicaraan di telfon. Rangga beranjak ke kamar mandi sambil senyum-senyum.
***
Acara di ballroom hotel itu tampak megah. Hanya lamaran padahal. Ghania dan Rangga berdiri berdampingan. Keduanya tak betah berada disana. Ghania memikirkan pacar nya yang sudah janjian mau main basket bersama, sedangkan Rangga khawatir dan kepikiran dengan Aya yang sibuk mengajar dan sudah empat jam tidak ada kabar.
Ia gelisah. Tubuhnya berkali-kali berpindah posisi berdiri. Hingga tak sadar ia menyenggol tubuh seseorang.
"Eh- maaf, nggak sengaja" ucap Rangga sambil menelisik apa orang tersebut terkena tumpahan minuman yang sedang ia pegang atau tidak.
"Nggak pa-pa mas, saya yang tadi jalan nggak lihat-lihat" ujar wanita itu sambil tersenyum.
Wanita.
Ya, wanita cantik berparas seperti keturunan india, mengenakan gaun panjang berwarna biru elektrik yang kontras dengan kulit putihnya. Tampak tersenyum malu.
"Oh, baguslah kalau nggak kena tumpahan minum saya, permisi" lalu Rangga berjalan meninggalkan sudut itu. Ia memilih berjalan ke luar ballrooom. Namun gerakan tangan bundanya lebih cepat dari langkah kakinya yang santai.
"Mau kemana" tatapan bunda yang seperti itu kembali tampak. Tatapan memaksa untuk dituruti.
"Keluar bun. Ngisep sebatang doang" Rangga menjawab dengan ogah-ogahan.
"Nggak. Sebentar lagi juga selesai acaranya. Bunda mau kenalin kamu ke anaknya temen bunda. Sini dulu Rangga" tarikan tangan bundanya membuat Rangga berjalan disampingnya. Ia melirik ke Ghania yang sudah menatap malas.
Kedua anak itu tau kalau ikut campur bundanya didalam hidup kedua anaknya begitu besar.
"Hai dokter Tania" sapa bunda. Rangga sudah berdiri disamping bunda sambil menatap wanita yang tadi tak sengaja ia tabrak.
"Hai, mana anak mu, ini" tunjuk wanita yang seusia bundanya itu ke arah Rangga.
"Iya. Ini Rangga. Anak sulung ku. Sebentar lagi lulus kuliah, dan kerja nerusin bisnis kami. Generasi kedua setelah ayahnya rintis dari nol"
"Apa kabar nak Rangga" uluran tangan dokter Tania disambut Rangga dengan ekspresi datar.
"Baik tante" jawab nya singkat. Bunda menatap ke Rangga.
"Ini, Sonya?" Tunjuk bunda. Dokter Tania mengangguk.
"Putri sulungku, adiknya satu, perempuan juga, nggak ikut kebetulan"
"Rangga" lirikan dan tekanan nada saat bunda berbicara mau tak mau membuat Rangga mengulurkan tangannya.
"Rangga"
"Sonya"
Sonya tersenyum. Tapi tidak untuk Rangga.
"Bang, temenin gue kesana yok" Ghania, sang penyelamat. Ia menarik Rangga tanpa permisi.
"Bye bunda" hanya itu ucapan Ghania. Ia merangkul lengan abangnya dan berjalan cepat kearah pintu luar.
"Bilang apa bang" ucap Ghania sambil terus berjalan menuruni tangga berjalan hingga mereka keluar dari hotel mewah itu.
"Makasih adek ku sayang" Rangga mencium pelipis Ghania.
Mereka duduk di bawah pohon. Didekat mobil mewah orang tuanya terparkir.
"Mulai berulah kan bunda" celetuk Ghania.
"He-em" asap tebal mengebul di udara dari hembusan bibir Rangga. Ghania asik memakan es krim yang ia beli di minimarket disamping hotel.
"Gue yakin ada niatan lain bang"
"Apa? Jodohin ke gue. Gue tolak"
"Yakin lho. Bisa?"
"Harus lah. Masa dua puluh dua tahun hidup gue full diatur bunda. Ayah aja masih bebasin"
"Ayah kalah sama bunda bang. Macam kerbai di cucuk hidungnya. Nurut aja"
"Ayah terlalu cinta sama bunda, jadi nggak mau bunda sedih"
"Tolol itu bang bukan cinta" celetuk Ghania. Rangga menoleh. Menoyor kepala Ghania.
"Parah lo ngatain ayah sendiri" Rangga menyesap rokoknya lagi.
"Ya terus. Apa. Bener dong gue. Masa seumur hidup kita nurutin dan semua diatur bunda. Bahkan, lo bayangin bang, sampe model bra gue bunda yang atur"
Rangga melirik dan tertawa.
"Bang, jangan kenalin kak Aya dulu ke bunda sama ayah ya. Bad feeling gue kenceng banget"
"Alasannya?" Rangga mematikan puntung rokok dengan ia injak. Lalu merebut es krim Ghania dan memakannya.
"Kak Aya status sosialnya beda kan sama kita. Gue takut bunda murka"
"Nggak lah. Masa bunda nggak bisa hargain keputusan gue, pasti gue kenalin nanti, walau nggak sekarang" Rangga menyerahkan es krim ke tangan Ghania lagi.
"Dibilangin. Nih bang, jangan buru-buru pokoknya. Kita yang tau bunda kan, mending pahamin kak Aya aja dulu dan begitupun kak Aya ke elo. Kalian sama-sama baru pertama pacaran kan"
"Iya"
"Nikmatin aja dulu. Saling mengenal intinya"
"Tapi sebentar lagi abang kan masuk dunia kerja Ghan, pasti sibuk dan abang takut kalau nggak kenalin ke bunda kalau abang udah punya pacar dan pilihan sendiri, bunda bisa jodoh-jodohin abang"
"Makanya gue bilang jangan dulu bang. Kalau bunda udah nyerempet-nyerempet mau jodoh-jodohin. Lo hindar, gue bantu soal hindarin bunda, sepele" Ghania meminum air mineral di botol yang juga ia beli.
Rangga duduk bersebelahan dengan Ghania, menempelkan bahunya. Lalu merangkul.
"Kita kaya boneka bunda nggak si Ghan" Rangga meletakkan dagu diatas kepala Ghania.
"Iya. Makanya gue berontak. Elo yang kelewat nurut"
"Kan dosa kalau ngelawan bunda Ghan, surga gue bunda. Gimana si lo, kalau lo nanti, surga lo di suami lo"
Ghania merangkul pinggang Rangga.
"Masalahnya bang, yang jadi surganya elo, sikap dan niatnya baik apa nggak. Kalau malah bikin lo nggak bahagia. Ya dosa juga lah"
"Iya. Gue juga mikir gitu Ghan, dan lo tau, gue sayang banget sama Aya"
"Tau bang. Kelihatan kok. Lo berdua cocok"
***
"Kenalan doang abanggggg" ucap bunda sambil berjalan mengejar Rangga yang terus menghindar saat mereka sudah pulang ke rumah.
Rangga diam. Lalu berbalik badan menatap bundanya.
"Nggak bunda. Maaf. Rangga, mau fokus buat skripsi dan kerja. Ayah udah minta Rangga cepet masuk ke kantor kan. Ya kan yah" Rangga menatap ayahnya yang sedang duduk di sofa rumah besar mereka itu.
"Iya. Udah bunda, kapan-kapan aja. Bunda mulai kan suka gini" ucapan ayah membuat istrinya itu gregetan.
"Yah, bunda nggak mau jodohin Rangga. Cuma kenalin aja ke Sonya, anaknya dokter Tania temen kuliah bunda dulu, temenan ayah, temenan"
"Halahhhh bunda, temenan, ujung-ujungnya, perjodohan" celetuk Ghania yang sudah berganti dengan baju basket dan menenteng tas berisi bola dan perlengkapannya.
"Ghani sama abang ke lapangan ya bunda, ayah, dadahhhhhhh" teriak Ghania. Ia menarik tangan Rangga yang masih mengenakan pakaian batik lengan panjang itu.
"Bye bunda" tangan Rangga melambaikan ke atas tanpa menoleh ke bundanya.
"Jangan alasan Ranggaaaaaaaaa" teriak bundanya senewen.
Di Mobil milik Ghania.
Mereka tertawa bersama. Ghania benar-benar. Rangga bahkan bingung mau menolaknya bagaimana tadi.
"Turunin gue di tempat latihan aja bang, bawa mobil gue, jemput kak Aya ditempat ngajarnya"
"Gue hubungin dulu Ghan, takutnya udah pulang" Rangga mengeluarkan ponselnya.
Sambungan telfonnya diangkat. Rangga sumringah. Ia memarkirkan mobil di depan tempat latihan Ghania. Kekasih Ghania berlari menghampiri.
"Halo, Aya, masih di studio?"
"Iya. Udah selesai, kenapa ngga?"
"Aku jemput ya. Share lock"
"Oh, iya, aku tunggu"
Ghania selesai memakai sepatunya. Rangga juga ikut turun dan menyapa Reno.
"Bang" sapa Reno.
"Apa kabar Ren"
"Baik, abang gimana"
"Good. Titip Ghania ya, gue bawa dulu mobilnya"
"Siap bang" Reno lalu berjalan sambil merangkul bahu Ghania yang menatap penuh rasa sayang ke Reno. Rangga kembali masuk kedalam mobil berjenis city car milik Ghania. Tak mencolok seperti mobil miliknya.
Tak butuh waktu lama,Rangga sampai di depan studio tempat Aya mengajar. Ia turun dari mobil dan berjalan masuk kedalam ruko tiga lantai itu.
"Siang mbak, mau ketemu Aya" ucap Rangga. Belum sempat petugas resepsionis menjawab, Aya sudah berjalan keluar dari ruangan pengajar dengan wajah sumringah.
Jantung Rangga berdegup kencang. Ia rindu dengan sosok wanita itu.
"Hai" sapa Aya sambil tersenyum.
"Pulang?" Tanya Rangga. Aya mengangguk. Rangga menggenggam jemari Aya. Lalu reflek mengcupnya. Tindakan itu membuat Aya memukul bahu Rangga.
"Maaf.. maaf.. reflek. Kangen" Rangga menyipitkan kedua matanya. Aya lalu terkekeh.
"Miss Aya! Pacarnya yaaaaa!" Teriak salah satu muridnya yang masih anak kecil berusia dua belas tahun. Aya tertawa dan mengangguk.
Rangga merasa senang dan bangga atas pengakuan Aya. Itu satu tanda jika Aya memang ingin ia ada dihidup dan hatinya.
"Mobil siapa ngga? Kirain naik motor" tanya Aya ragu.
"Ghania, tadi minta anter latihan. Terus suruh bawa mobil dia buat jemput kamu"
Rangga masuk kedalam mobil, disusul Aya."Terus, Ghania pulangnya?"
"Sama Reno. Pacarnya"
"Ohhh, Ghania udah punya pacar. Udah lama?"
"Udah. Dari kelas satu SMA" Rangga memasak seatbelt lalu mulai memasukan gigi mundur.
"Kalah abangnya ya. Baru punya pacar sekarang" ledek Aya. Rangga melirik.
"Ngeledekkkkk.." Rangga mengusak rambut Aya.
"Aku kan nunggu kamu" Rangga tersenyum. Aya ikut tersenyum. Lalu mobil mengarah ke rumah Aya. Selama perjalanan mereka isi dengan saling bercerita dan meledek. Tak jarang Rangga memainkan wajah Aya dengan jemarinya dan menggenggam jemari Aya.
Aya balas menggenggam. Rasa sayang itu tumbuh terlampau cepat diantara mereka. Seakan waktu juga tak akan mampu menghentikannya.
Usia hubungan Rangga dan Aya masuk dua bulan lebih. Rangga pun sudah lulus, hanya menunggu jadwal wisuda di dua pekan mendatang. Ia masih tak bercerita kepada bunda dan ayahnya perihal hubungan ia dan Aya. Melihat tingkah laku bunda yang begitu ingin melihat sang putra memiliki tambatan hati, berkali-kali Rangga ingin dikenalkan dengan putri dari rekannya itu namun putranya mampu menghindar dan acuh.Ghania di balik semua tingkah laku Rangga itu. Adiknya jengah melihat sikap bundanya yang begitu pengatur."Woi bang,lo jadi jalan-jalan sama kak Aya?" Rangga tampak bersiap dengan kaos dan celana jeans yang ia kenakan sambil mengangguk."Pake mobil gue aja" Ghania duduk di atas ranjang Rangga."Lo nggak jalan sama Reno?" Wajah Ghania kus
Aya berlari-lari kecil saat melakukan pemanasan di dalam studio tempat ia belajar di kampusnya. Jurusan seni, konsentrasi seni tari, skripsi praktek tari Jawa tengah materi tesis Analisa dampak sebuah tari daerah pada budaya modern.Ia sudah cukup melakukan pemanasan. Lanjut menggunakan selendang panjang berwarna hijau yang ia ikat di pinggang rampingnya. Ia merapihkan kunciran rambutnya. Lalu beberapa teman sekelas lainnya datang. Mereka ber tos ria sambil mempersiapkan diri.Tak lama mereka berbaris sesuai tempatnya. Di depan cermin besar. Wajah mereka berubah serius lalu tersenyum. Perlahan, dengan mengikuti alunan lagu gamelan dan sinden jawa, liukan pelan, teratur, lembut dan anggun dari tubuh mereka pun tampak kompak.Pentas tari akan menjadi penentunya di akhir semester nanti. Walau masih satu tahun lagi, akan menjadi penting karena juri dan dosen yang menilai memang orang yang kompeten dibidang tari tradisional.Enam jam kuliah praktek hari ini menjadi hari terlelah Aya. Ia men
Bunda berjalan masuk ke dalam rumah sambil terus berbicara seperti tak ada ujung. Rangga menaiki tangga dengan tergesa-gesa. Ghania menatapnya malas, ia sudah tau apa yang terjadi dengan kakaknya itu. Sepatu basket ia tenteng di tangan kirinya sambil berjalan santai menaiki tangga ke rumah besar itu. Diliriknya bunda yang masih menggedor-gedor pintu kamar kakaknya."Bun, nggak capek? Mending istirahat dulu." Ghania membuka pintu kamar dan masuk sambil menguncinya."RANGGA! BERANI KAMU MACEM-MACEM DAN NENTANG BUNDA. BUNDA NGGAK SEGAN-SEGAN TARIK SEMUA YANG BUNDA SAMA AYAH KASIH KE KAMU, YA!" teriak bunda. Lalu ia berbalik badan dan pergi menuju kamarnya di lantai bawah.Tak lama ketukan pintu terdengar lagi dikamar Rangga. Ketukan kode yang Rangga hafal betul. Ia membuka pintu. Tampak Ghania menatapnya sambil terus berjalan masuk kedalam kamar Rangga."Siapa? Sonya?" tanya Ghania yang langsung duduk di atas ranjang Rangga."Iya. Bunda main pesen cincin tunangan buat gue sama Sonya. Gue
Aku melepaskanmu hanya untuk sementara. Maafkan ketidak tegasanku. Tunggu aku di ujung dunia sana. -Rangga untuk Aya-***Keributan terjadi. Bunda terus memaksa keinginannya untuk menjodohkan Rangga dengan Sonya. Rangga memberontak. Ia melempar semua yang bundanya berikan untuknya. Ia angkat kaki dari rumah besar itu tanpa membaw apapun. Sifat keras kepalanya sama dengan bunda, tapi penempatannya jelas berbeda.Langkah kaki Rangga lebar, berjalan keluar pagar dengan wajah penuh kemarahan, kecewa, pilu dan hancur. Ghania mengejar kakaknya itu. Ia memeluk tubuh belakang kakaknya begitu erat."Bang, jangan tinggalin gue di rumah sendirian, bang. Ayo dibicarain baik-baik. Abang jangan pergi," lirih Ghania sambil terus memeluk. Rangga diam."Lo tau gimana bunda sakitin hati Aya dan orang tuanya Ghan? lo tau gimana malunya gue lihat mereka disakitin sama bunda. Ibu kandung kita.""Iya, Bang. Tau. Paham, tapi please bang. Jangan pergi. Akan semakin ribet Abang." Ghania terus menahan kepergian
Mereka berdua di dalam mobil Rangga. Tak melalukan apa pun yang berlebihan. Hanya pelukan hangat yang Rangga berikan kepada Aya. Mereka duduk di jok belakang mobil. Aya sesenggukan. Ia telah menangis. Karena rindu dan hancur secara bersamaan. Rangga tak kuat melihat itu. Ia menikmati harum wangi Aya dari kepala hingga terus memeluknya dari belakang. Mengusap bahu Aya yang begitu rapuh."Aya, sayang..." panggil Rangga pelan."Hem." Aya masih sesenggukan. Ia menoleh ke Rangga."Tunggu aku, ya. Aku janji. Semua ini akan berakhir cepat dan aku lepas semuanya. Ayah mau bantu. Apa kamu bisa?" Rangga mendekatkan wajah keduanya. Posisi Rangga masih memeluknya dari belakang."Rangga, pernikahan bukan main-main. Jalanin ya, Rangga. Mungkin emang kita nggak berjodoh." Rangga memejamkan matanya mendnegar ucapan Aya, ia merasa Aya begitu mudah menyerah. Rangga memeluk Aya lebih erat."Nggak. Aku mau kamu. Tetap kamu. Tolong, jangan berpaling Aya. Jangan." Rangga menghirup dalam-dalam wangi tubuh Ay
Sonya mencium tangan ibunda Rangga saat mereka tiba di rumah besar itu untuk berakhir pekan di sana. Bunda sengaja meminta Rangga dan Sonya menghabiskan akhir pekan di rumah itu dengan maksud keingintauan bunda, sudah sejauh mana hubungan anak dan menantunya itu. Sonya menata kue yang sempat mereka beli di toko kue dekat komplek apartemen sebelum ke rumah bunda. Bunda menghanpiri."Sonya, gimana Rangga? Sikapnya ke kamu," Bunda menarik kursi meja makan dan duduk di sana. Menatap menantunya yang tampak tersenyum. Akting yang luar biasanya dari seorang Sonya."Baik, Bunda. Mas Rangga care kok, sama Sonya," ucapnya diakhiri senyuman sambil menatap ibu mertuanya itu. Ghania ikut menghampiri. Ia hendak latihan basket di klub tempatnya bergabung."Ghan, bawa kue ini, ya, aku taruh di kotak bekal kamu." Sonya membuka lemari di sudut, mencari kotak makan untuk Ghania. Gadis itu hanya mengangguk."Tuh, kan ..., Bunda emang nggak salah pilih menantu. Sama adeknya Rangga aja perhatian banget. Gh
Tinggal seorang diri di kosan minimalis yang hanya berukuran 3x4 meter membuat Aya hanya bisa membawa tas pakaian dan beberapa perintilan barang-barang untuk riasan saat ia akan latihan tari. Seperti, selendang, kain jawa, stagen, kipas tangan, dan lain sebagainya.Kamar bernuansa warna putih itu hanya terdapat kamar mandi dan meja belajar, lemari pakaian pun tak ada.Aya duduk di atas tempat tidur tanpa dipan. Ia menyalakan kipas angin juga. Jendela kecil dekat pintu ia buka, supaya hawa dan sirkulasi udaranya masuk dengan baik.Tok ...Tok ...Seorang wanita seusianya berdiri di depan pintu."Baru ya tinggal di sini?" tanyanya, masih berdiri di depan pintu kamar Aya."Iya, Mbak, saya Aya," ujar Aya sambil beranjak dan mengulurkan tangan."Aku Dira. Di sini nggak boleh terima tamu cowok, kamu tau kan? Dan kalau teman atau keluarga, juga di batasi.""Iya, Mbak, tadi udah ketemu sama Ibu kos," jawab Aya ramah."Aku di kamar sebelah, sama kok kita, mahasiswi, tapi aku tinggal wisuda dua
Aya tak mau jika ia harus nikah siri dengan Rangga. Baginya, pernikahan itu hal yang sakral. Rangga terus membujuk tanpa lelah juga menyerah, baginya, seorang Aya adalah segalanya, tapi bagi Aya, kehormatan adalah yang utama. Semenjak hari itu, Rangga kembali intens menemuinya, bahkan saat pulang bekerja, hal pertama yang ia lakukan adalah bertemu Aya, entah di kampus atau tempat mengajar. Rangga begitu terpikat, namun juga tak bisa terlalu dekat. Para mata-mata bundanya sudah mulai muncul. Sonya bahkan meminta Aya dan Rangga berhati-hati."Aku rasa kita salah, Rangga. Aku takut Bunda akan menyalahkan Bapak dan Ibu aku, juga mengancamnya. Aku nggak nyaman kalau kita diam-diam begini. Kamu juga sama aja mempermainkan pernikahan kamu dan Sonya. Jangan begini ...." Aya menangis. Ia tak suka kucing-kucingan, resikonya juga besar.Rangga memeluk Aya, mereka sedang berada di daerah puncak. "Bunda kamu bisa lakuin apa aja, aku nggak mau bahayain banyak orang." Aya semakin terisak."Nggak! Per
Tak terasa, lima bulan sudah kepergian Arinda. Suasana rumah juga mendadak berubah, tepatnya, Adam merasa rumahnya tak lepas dari tawa riang ketiga cucunya. Seperti hari itu, saat di mana Sean minta ditemani Opanya les berenang, sementara Aurora terus menempel minta selalu digendong Adam. Pun, Afika yang selalu melihat iri saat Opanya tak juga menggendongnya. “Sean, ke tempat les sama Mama aja, ya, pulangnya kita ke kantor Papa,” usul Aya saat menyiapkan bekal les berenang putranya di hari jumat itu. “Yaudah, Sean sama Mama. Tapi minggu depan sama Opa, ya,” pintanya. Adam mengangguk, ia menggendong Aurora di tangan kanan, lalu Afika di tangan kiri dengan pengawasan Ghania dan bibi. Bibi sekarang tak boleh memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah, ia fokus mengasuh dan memperhatikan cucu-cucu Adam. “Ayah, Aya pamit, sama Sean.” Aya menyalim tangan Adam, disusul Sean yang memeluk Opanya erat. “Ya, Jani dan Haris jadi pindah ke Jakarta?” tanya Adam. “Jadi. Haris sekarang jadi pe
Semua tak ada yang sadar, jika Arinda memejamkan mata. Senda gurau saat makan siang bersama, membuat semua anggota keluarga larut dalam suka cita. Rangga beranjak, menghampiri Arinda karena merasa curiga dengan wajah bundanya yang mendadak pucat. “Bunda,” sapanya sambil mengusap wajah Arinda. Tak ada respon. Kembali Rangga mencoba membangunkan bundanya, namun nihil. Semua panik, Adam beranjak cepat bahkan membuat gelas air minum jatuh dan pecah. “Arinda, Bunda…” panggil Adam yang mencoba membangunkan istrinya. “Bunda!” teriak Ghania yang sudah merasa jika Arinda tak sadarkan diri atau bahkan tak bernyawa. Sirine ambulance membuat semua mobil di depannya menepi, memberikan jalan untuk mobil emergency itu lewat. Rangga menemani Arinda di dalam Arinda. Tangan bundanya sudah dingin, namun nadi masih ada walaupun detak jantung lemah. Aya, dan semua anggota keluarga lainnya naik mobil lainnya. Anak-anak ditinggal di rumah bersama bibi, bahkan Ghania memaksa ikut. Bagusnya, Ghania sudah
Rangga dan Aya bahu membahu memindahkan tubuh Arinda supaya posisinya menjadi lebih nyaman. Rangga memegang tubuh bagian atas bundanya, sedangkan Dena mengangkat kedua kaki Arinda. “Satu… dua… tiga,” ucap Aya dan Rangga kompak, mereka memindahkan tubuh Arinda ke brankar yang ukurannya lebih kecil. Rangga bau membelinya, ia ingin Bundanya bisa menikmati udara luar, bahkan, ia meminta beberapa pekerja rumah yang sedang merenovasi paviliun belakang untuk tempat tinggal Ghania dan Reno, membuat jalur khusus supaya brankar bisa turun ke lantai bawah. Adam masuk ke dalam kamar, melihat anak juga menantunya sangat kompak. Ia menghampiri, “ini brankarnya bisa dibikin posisi setengah duduk?” tanya Adam. “Bisa, Yah,” jawab Rangga. Aya meregangkan otot-otot kaki Arinda perlahan supaya tak semakin kaku. “Bunda coba posisinya agak sedikit duduk ya, kalau sakit kasih tau Aya dan Rangga. Kedip mata Bunda beberapa kali, ya,” pinta Aya. Lalu Rangga menekan remote yang ada di samping brankar, per
Suara tawa Sean dan Aurora membuat kedua mata Arinda yang tertutup, kembali terbuka, kedua cucunya itu terdengar asik bercanda hingga membuat Arinda penasaran, sayangnya ia tak bisa bergerak di atas brankarnya. Telinganya terus mendengarkan apa yang sedang dibicarakan Sean, sayup-sayup kalimat canda tentang adiknya yang menggemaskan, membuat Arinda tersenyum tipis. Pintu terbuka, terlihat Rangga berjalan mendekat. “Bunda, sudah bangun?” Tangan Rangga mengusap surai ibunya. Arinda yang hanya bisa mengedipkan mata, membuat senyuman Rangga melebar. “Bun, anak-anak main di sini boleh, ya? Bunda belum ketemu Aurora, ‘kan? Dia sudah tiga bulan usianya. Semenjak tinggal di sini, Bunda belum ketemu putri Rangga dan Aya.” Tak menunggu jawaban Arinda, Rangga berjalan keluar kamar lagi, tak lama ia kembali dengan menggendong Aurora. Bayi perempuan berpipi tembem itu tampak diam menatap Arinda, cucu dan nenek saling beradu tatap kemudian, Aurora menunjukkan cengirannya. Kedua bahu Arinda berg
Tak ada yang akan menyangka dengan kondisi Arinda, ia tak bisa bergerak, stroke yang diderita hanya bisa membuatnya tidur di atas ranjang tanpa bisa bergerak. Membuka mulut untuk bicara saja sulit. Bahkan, kini ia harus dipasang selang melalui hidung yang tersambung ke lambung untuk mendapat makanan. Arinda diperbolehkan pulang, kamar kedua orang tua Rangga di ubah penataannya. Kasur ukuran besar, berganti menjadi ranjang rumah sakit, juga sofa bed untuk Adam tidur. Arinda menggerakkan kedua bola matanya saat melihat suasana kamar yang berbeda. Di dalam hati ia menjerit, menangis, namun tak bisa apa-apa. Aya mendekat, ia menyeka air mata Arinda dengan tisu. “Bunda udah di rumah, Aya mau buatkan jus pepaya ya, untuk Bunda makan. Bibir Bunda Aya oles madu supaya nggak kering, ya.” Sambil tersenyum, Aya mengambil madu dari atas nakas, mengoleskan dengan cotton bud ke bibir Arinda. Aya selalu tersenyum, walau Arinda masih menunjukkan kebenciannya. “Mama,” suara Sean terdengar, mereka
Aya terkejut saat mendengar kabar Arinda sudah sadar, tapi ia tak bisa segera ke rumah sakit karena Aurora baru saja tidur. Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Rangga juga tampak lelah tak hanya fisik, tapi hatinya juga. Aurora diletakkan Aya di box bayi dengan perlahan, tak lupa menyelimuti tubuh putrinya yang belum genap satu bulan usianya.“Aya,” panggil lembut Rangga. Tangan suaminya sudah memeluk pinggang Aya dari belakang. Ia meletakkan dagu di bahu istrinya juga.“Tidur, sayang, kamu capek banget,” ujar Aya sembar berbalik badan, tangannya terangkat mengusap wajah juga menyugar rambut Rangga yang baru selesai mandi.“Besok aja kita ke rumah sakitnya, ya. Tadi perawat bilang kalau Bunda juga belum bisa dipindah ke kamar rawat. Jadi mereka minta kita sabar lagi.&rd
Tangan Aya dengan lembut menyeka seluruh badan Arinda yang masih tak sadarkan diri, sudah dua hari Arinda dalam keadaan seperti itu. Aya meminta kepada perawat supaya ia yang membersihkan tubuh Arinda dengan perlahan. Hati Aya miris, saat ia mendapatkan kesempatan berbakti kepada ibu mertuanya, namun kondisi bunda dalam keadaan tak sadarkan diri. “Bunda, Aya di sini. Maafin Aya kalau bikin Bunda nggak nyaman karena Aya lakuin ini. Aya… cuma mau berbakti ke Bunda. Maafin Aya ya, Bunda.” Begitu lembut Aya berbicara, ia dengan telaten mengelap juga memotong kuku jari tangan dan kaki Arinda. Dari luar kaca ruang ICU, Ghania yang melihat itu hanya bisa tersenyum. Setelah selesai, Aya segera berjalan keluar ruang ICU, karena Ghania akan masuk ke dalam, juga Aya harus ke kamar Adam. Di sana ada Rangga dengan Aurora yang terpaksa dibawa karena tak bi
Kedua mata Arinda menatap suaminya nanar saat Adam tengah membersihkan tubuh dirinya dengan handuk hangat, menyekanya perlahan karena tangan Arinda masih diperban. “Kenapa lihatinnya kayak gitu, Bun?” Adam melirik seraya tersenyum menatap istrinya. “HPku mana? Apa nggak ada telepon masuk, dari teman-teman aku, Yah?”Arinda menoleh ke arah Adam yang menggelengkan kepala.“Mereka, pembohong. Bilangnya teman, sahabat, disaat aku sakit, mereka menjauh,” dumal Arinda.“Harusnya kamu sadar, teman-teman kamu kualitasnya seperti apa. Dari dulu sudah aku ingatkan, tapi kamu nggak mau dengar. Rin, apa… kamu nggak mau ketemu cucu kita? Aurora?” Adam mencoba terus membujuk. Ari
Arinda membuka kedua matanya perlahan, cahaya lampu kamar ruang rawat yang ia tempati sedikit membuatnya mengerjap pelan karena silau. Adam beranjak, menyadari istrinya membuka mata setelah tiga hari seperti orang koma. Padahal, itu efek obat tidur yang memang diberikan dokter. “Bun…,” sapanya. Arinda menoleh ke kanan, melihat suaminya yang tersenyum dengan tangan membelai surai gelap istrinya. “Akhirnya kamu bangun, mau minum?” tawar Adam. Arinda mengangguk pelan. Adam bergeser ke arah meja, mengambil air di gelas dengan sedotan. Dengan perlahan, ia membantu Arinda minum dengan sedotan. “Pelan-pelan,” bisik Adam pelan. Arinda tampak kehausan, itu sudah pasti. “Jangan tidur lagi, ya, bangun.” Adam menggenggam jemari