Aya merasa kikuk saat Rangga mengantar hingga ke rumahnya. Bukan rumah besar, jangan bayangkan. Tapi rumah kecil merangkap tempat usaha orang tuanya di daerah kawasan padat penduduk.
Kontras sekali daerah itu dengan apartemen-apartemen tinggi menjulang yang mengelilingi daerah tersebut. Aya memainkan jemarinya. Iya begitu gugup. Ia melirik ke Rangga yang tampak santai.
"Besok ke kampus jam berapa?" Rangga menoleh. Membuat Aya terkejut.
"Jam, jam tujuh udah di kampus." Aya semakin gugup. Ditambah jalanan ramai dengan motor berlalu lalang dan anak-anak kecil yang bermain di pinggir jalan. Mobil sport milik Rangga pasti sangat mewah masuk ke lingkungan itu.
"Gue turun di sini, Ngga, lo balik aja. Nggak akan bisa parkir."
"Lho, emang rumah lo mana?" Rangga celingukan.
"Pagar hitam." Aya melepaskan seatbelt nya.
Rangga terkekeh."Hampir semuanya pagar hitam Aya, yang mana rumah lo?" Rangga menatap Aya yang tampak tak nyaman.
"Itu. Pokok nya di depan situ." Aya begitu gugup dan mencoba tahu diri ia siapa.
Aya turun dari mobil itu. Melambaikan tangan saat Rangga semakin menjauh.
"Huffhhhh. Lega .... " Aya mengusap dadanya lalu menyebrang jalan.
Dilihatnya kedua orang tuanya sedang bersiap membuka warung nasi gorengnya. Aya menghampiri. Menyapa kedua orang tuanya dan berjalan ke lantai dua rumah itu melalui tangga kayu.
Ia menyapa adiknya yang masih SMP kelas tiga. Adik perempuan satu-satunya.
"Lagi ngapain? Ada tugas nggak?" Tas kuliah ia taruh di meja kecil yang ada di pojok kamar. Mereka tidur satu kamar dirumah yang disewa keluarganya itu.
"Ada. Udah tadi ngerjainnya. Kakak besok jadi berangkat pagi banget?"
"Jadi. Kenapa?"
"Itu, aku mau pinjem sepatu Kakak. Besok aku olahraga. Sepatu yang ini, nggak enak di pakainya."
"Pakai aja. Aku nanti pake sepatu kamu. Kakak mandi ya, kamu kalo udah selesai gambar, ke bawah. Bantuin Ibu sama Bapak,"
"Iya Kak," jawab Jani. Ia lalu merapihkan buku gambar dan pinsil warnanya. Setelah rapih langsung ke lantai bawah untuk membantu kedua orang tuanya bersiap jualan.
***
"Bapak pesan apa aja?" tanya Aya saat pelanggan sudah mulai datang. Seperti biasa, ia mencatat pesanan dan pembayaran, bapak dan ibu memasak dan menyiapkan, Jani membuat minuman jika ada yang makan di tempat.
Karena sudah biasa. Dengan cekatan keluarga itu melayani pesanan pelangkan.
Dari kejauhan. Rangga berdiri menatap Aya yang hanya mengenakan celana jeans pendek selutut dan kaos besar berwarna hitam sibuk mencatat pesanan, juga memberikan nomor antrian. Ramai sekali warung nasi goreng itu.
Senyum selalu tersungging dari wajah cantik natural Aya. Rangga juga ikut tersenyum. Ia kembali ke rumah Aya. Kali ini dengan motor matic biasa hasil meminjam ke supir bundanya.
Satu jam sudah Rangga berdiri di sana. Menatap kagum kepada gadis itu. Ia lalu berjalan menghampiri sambil menuntun motor tanpa menyalakan mesinnya. Setelah standar motor terpasang. Ia masuk kedalam warung.
"Permisi. Nasi goreng ayam satu, pedes ya," ucapnya.
"Oh iya seben- tar," kedua mata Aya membulat. Rangga tersenyum menatapnya.
"Ngga," hanya itu yang bisa diucapkan Aya.
"Aya. Temen kamu?" tanya bapak. Aya mengangguk. Rangga dengan sopan meraih tangan lelaki tua itu dan mencium punggung tangannya. Berganti ke ibunya. Keduanya tampak heran.
"Makan di sini apa di bungkus?" tanya Aya.
"Di sini aja," jawab Rangga.
"Duduk, Ngga," Aya menarik kursi plastik. Rangga lalu duduk. Jani menghampiri. Menanyakan Rangga mau minum apa.
"Es jeruk ada," Rangga tersenyum.
"Ada Kak. Sebentar dibuatin," jawab Jani.
Harum bau masakan nasi goreng tersebar kemana-mana. Rangga memperhatikan cekatannya kedua orang tua Aya dalam memasak dan menyiapkan. Sedangkan Aya mendadak menjadi diam dan salah tingkah.
"Aya,"
"Ya Bu,"
"Temenin aja temen kamu. Udah tinggal sedikit kan pelanggannya. Sana," ibu menunjuk dengan dagunya. Aya mengangguk pelan. Ia duduk di dekat Rangga. Walau jaraknya cukup berjauhan.
"Kenapa tadi turunnya di ujung sana, bukan minta di depan sini?" Rangga menatap Aya yang menunduk sambil memainkan jari tangannya.
Aya tersenyum lalu menggeleng. Ia menatap Rangga ragu. Kedua tatapan mata saling bertemu. Mereka sama-sama diam. Terikat diantara dua netra mereka. Aya memutuskan tatapan itu lebih dulu karena Jani memanggilnya. Lalu tak lama ia kembali dengan membawa satu gelas es jeruk.
"Makasih Aya," suara Rangga yang lembut menyebut namanya membuat ia hanya bisa mengangguk.
Aya menuju ke ibunya. Lalu kembali ke Rangga dengan satu piring nasi goreng.
"Selamat makan," Aya lalu berjalan ke sudut meja. Melakukan tugasnya. Menghitung pemasukan malam itu. Sudah jam setengah sepuluh malam. Pelanggan juga sudah berkurang.
Bapak dan ibu sudah tampak santai. Sedang duduk berdua dan saling tertawa entah apa yang mereka bicarakan. Pemandangan itu tak luput dari Rangga. Ia kagum dengan keluarga Aya.
Rangga beranjak ketika selesai makan. Berjalan ke Aya dan memberikan yang lima puluh ribu. Aya mengembalikan uang dua puluh lima ribu kepada Rangga.
"Makasih ya, Ngga," Aya tersenyum manis. Rangga mengangguk.
Aya beranjak dari duduknya dan mengantar Rangga yang berjalan keluar warung. Sebelumnya ia pamit ke kedua orang tua Aya.
"Ngobrol sebentar bisa, Aya, duduk di sana," pinta Rangga sambil menunjuk ke bangku kayu panjang dibawah lampu yang menempel di tiang listrik.
"Mmm.." Aya ragu. Ia menoleh ke kedua orang tuanya yang asik ngobrol karena pelanggan sudah tak ada.
"Sebentar kan?" Aya menatap Rangga.
"Iya, pingin ngobrol aja kok," Rangga juga tampak malu.
Mereka akhirnya duduk di bangku panjang itu. Cahaya lampu berwarna kuning itu membuat suasana malam cukup hangat. Aya menoleh ke Rangga yang tak berbicara sejak beberapa menit lalu.
"Mau ngobrol apa?" Aya mencoba memecahkan keheningan mereka berdua. Rangga terkekeh dan mengusap tengkuknya pelan.
"Kok aku grogi gini," kekehan Rangga membuat Aya terkikik geli.
Rangga gemas saat lirikan matanya menatap raut wajah Aya.
"Aku- aku mau deket sama kamu nggak pa-pa kan? Maksudnya, nggak ada yang marah atau tiba-tiba ngajak ribut aku karena deket sama kamu Aya?"
Aya tersenyum lalu menggelengkan kepala.
"Tapi, harus banget ngomongnya aku kamu gini?" Aya tampak tak nyaman ditatapan Rangga.
"Aku- gu-"
"Yaudah kalo maunya aku kamu, aku cuma mastiin aja. Takutnya seorang Rangga yang dingin dan angkuh tiba-tiba jadi kalem dan lembut banget, kan aneh,"
"Kan sama kamu aja kaya gini. Nggak pernah aku kaya gini sama cewek mana pun,"
"Masa si? Bohongnya pinter banget,"
"Serius Aya. Tanya anak-anak yang kenal aku di kampus. Mana pernah aku deket sama cewek. Apalagi punya pacar. Nggak ada," Rangga menunduk lalu melirik Aya lagi. Ia sedikit ngegas.
"Percaya kok," mereka kembali saling menatap.
"Jadi, nggak pa-pa nih, aku deket sama kamu?"
"Iya Rangga. Nggak ada yang marah,"
Rangga menepuk-nepuk dadanya pelan.
"Kenapa?" Aya menoleh lagi.
"Degdegan," cengir Rangga. Aya kembali tertawa.
Mereka lalu beranjak. Aya mengantar Rangga sampai ke motornya.
"Besok aku jemput ya. Jam enam pagi aku udah di sini,"
"Iya. Hati-hati kamu," Rangga mengangguk. Ia menepuk-nepuk kepala Aya. Ia mengenakan helm dan menyalakan mesin motornya.
"Sampe lupa. Simpen nomor HP kamu di sini ya," Rangga memberikan ponselnya ke tangan Aya. Gadis itu mengangguk lalu mengetik nomor nya.
"Kamu aja yang tulis nama aku," Aya memberikan ponsel Rangga ke pemiliknya. Rangga mengangguk lalu mengetik sesuatu, setelahnya ia menunjukan layar ponselnya ke arah Aya.
'Calon pacar'
Nama itu yang ditulis Rangga. Aya merona seketika jika Rangga melihatnya. Ia mengulum senyum.
Rangga pergi dari rumah Aya dengan senyum terus mengembang di bibirnya. Begitupun Aya yang tak henti diledek kedua orang tuanya dan Jani yang melihat Aya senyum-senyum terus.
Bahkan ia sampai harus menepuk-nepuk pipinya untuk menyadarkan dirinya.
Motor matic hitam itu sudah sampai di depan rumah Aya. Gadis itu terkejut karena ia tak menganggap pernyataan Rangga malam sebelumnya tentang ia yang akan menjemput Aya itu serius. Lelaki itu tersenyum sambil duduk diatas motornya. Aya menutup pintu dan berjalan menghampiri."Kamu, beneran jemput?" Aya masih mencoba yakin."Iya lah. Helm kamu, nih, Ay...." Rangga memberikan helm warna putih ke Aya. Dengan ragu Aya menerima. Namun ia segera menepis pikiran aneh nya dengan memakai helm tersebut dan naik membonceng Rangga."Kamu bawa jas alamater nggak?" Aya sedikit mendekat ke telinga Rangga saat berbicara."Nggak. Kalo aku nggak boleh kedalam, aku tunggu kamu di parkiran" Rangga menyalakan mesin motornya.
Layaknya pasangan muda yang baru jadian. Mereka berdua menghabiskan waktu bersama secara intens. Rangga bahkan dengan rela menghabiskan sore hingga malam di waruny nasi goreng milik keluarga Aya. Kedua orang tua Aya begitu baik. Ia terbuka menerima kehadiran Rangga dihidup putrinya. Bukannya apa-apa, karena sejak dekat dan menjalin kasih dengan Rangga, Aya menjadi semakin ceria dan bersemangat menjalani hari-harinya.Rangga tak pernah menggunakan mobil mewahnya lagi. Ia sadar kalau Aya tak akan suka dan tak mungkin dibawa ke lingkungan itu.Jaket yang dikenakan Rangga ia lepas di digantung di dinding warung sambil kalender. Ia bergegas membantu bapak kekasihnya mengangkat keranjang bulat tempat nasi putih. Lalu merapihkan kursi-kursi dan terakhir, memasang spanduk."Makasih ya Rangga,b
Cinta ibu bagaikan telaga dikala haus melanda. Rasa sedih dan gundah pun seakan semua tertumpahkan disatu sosok, ibu.Namun, bagaimana mana jika sosok seorang ibu yang seperti itu tidak didapatkan Rangga. Seakan ia hanya robot yang harus menuruti semua yang diinginkan sang bunda.***Mentari pagi menyilaukan kedua mata Rangga yang tirai kamarnya disibak oleh Ghania. Adik satu-satunya. Ia duduk di tepi ranjang Rangga lalu menatap abangnya yang justru meringkuk."Bang bangun. Kita disuruh siap-siap ke acara lamaran Stefi. Buruaaannn... gue pusing nih denger bunda cerewet banget dari tadi" Ghania mendorong-dorong pinggang Rangga supaya abangnya itu bangun."He-em, udah disia
Usia hubungan Rangga dan Aya masuk dua bulan lebih. Rangga pun sudah lulus, hanya menunggu jadwal wisuda di dua pekan mendatang. Ia masih tak bercerita kepada bunda dan ayahnya perihal hubungan ia dan Aya. Melihat tingkah laku bunda yang begitu ingin melihat sang putra memiliki tambatan hati, berkali-kali Rangga ingin dikenalkan dengan putri dari rekannya itu namun putranya mampu menghindar dan acuh.Ghania di balik semua tingkah laku Rangga itu. Adiknya jengah melihat sikap bundanya yang begitu pengatur."Woi bang,lo jadi jalan-jalan sama kak Aya?" Rangga tampak bersiap dengan kaos dan celana jeans yang ia kenakan sambil mengangguk."Pake mobil gue aja" Ghania duduk di atas ranjang Rangga."Lo nggak jalan sama Reno?" Wajah Ghania kus
Aya berlari-lari kecil saat melakukan pemanasan di dalam studio tempat ia belajar di kampusnya. Jurusan seni, konsentrasi seni tari, skripsi praktek tari Jawa tengah materi tesis Analisa dampak sebuah tari daerah pada budaya modern.Ia sudah cukup melakukan pemanasan. Lanjut menggunakan selendang panjang berwarna hijau yang ia ikat di pinggang rampingnya. Ia merapihkan kunciran rambutnya. Lalu beberapa teman sekelas lainnya datang. Mereka ber tos ria sambil mempersiapkan diri.Tak lama mereka berbaris sesuai tempatnya. Di depan cermin besar. Wajah mereka berubah serius lalu tersenyum. Perlahan, dengan mengikuti alunan lagu gamelan dan sinden jawa, liukan pelan, teratur, lembut dan anggun dari tubuh mereka pun tampak kompak.Pentas tari akan menjadi penentunya di akhir semester nanti. Walau masih satu tahun lagi, akan menjadi penting karena juri dan dosen yang menilai memang orang yang kompeten dibidang tari tradisional.Enam jam kuliah praktek hari ini menjadi hari terlelah Aya. Ia men
Bunda berjalan masuk ke dalam rumah sambil terus berbicara seperti tak ada ujung. Rangga menaiki tangga dengan tergesa-gesa. Ghania menatapnya malas, ia sudah tau apa yang terjadi dengan kakaknya itu. Sepatu basket ia tenteng di tangan kirinya sambil berjalan santai menaiki tangga ke rumah besar itu. Diliriknya bunda yang masih menggedor-gedor pintu kamar kakaknya."Bun, nggak capek? Mending istirahat dulu." Ghania membuka pintu kamar dan masuk sambil menguncinya."RANGGA! BERANI KAMU MACEM-MACEM DAN NENTANG BUNDA. BUNDA NGGAK SEGAN-SEGAN TARIK SEMUA YANG BUNDA SAMA AYAH KASIH KE KAMU, YA!" teriak bunda. Lalu ia berbalik badan dan pergi menuju kamarnya di lantai bawah.Tak lama ketukan pintu terdengar lagi dikamar Rangga. Ketukan kode yang Rangga hafal betul. Ia membuka pintu. Tampak Ghania menatapnya sambil terus berjalan masuk kedalam kamar Rangga."Siapa? Sonya?" tanya Ghania yang langsung duduk di atas ranjang Rangga."Iya. Bunda main pesen cincin tunangan buat gue sama Sonya. Gue
Aku melepaskanmu hanya untuk sementara. Maafkan ketidak tegasanku. Tunggu aku di ujung dunia sana. -Rangga untuk Aya-***Keributan terjadi. Bunda terus memaksa keinginannya untuk menjodohkan Rangga dengan Sonya. Rangga memberontak. Ia melempar semua yang bundanya berikan untuknya. Ia angkat kaki dari rumah besar itu tanpa membaw apapun. Sifat keras kepalanya sama dengan bunda, tapi penempatannya jelas berbeda.Langkah kaki Rangga lebar, berjalan keluar pagar dengan wajah penuh kemarahan, kecewa, pilu dan hancur. Ghania mengejar kakaknya itu. Ia memeluk tubuh belakang kakaknya begitu erat."Bang, jangan tinggalin gue di rumah sendirian, bang. Ayo dibicarain baik-baik. Abang jangan pergi," lirih Ghania sambil terus memeluk. Rangga diam."Lo tau gimana bunda sakitin hati Aya dan orang tuanya Ghan? lo tau gimana malunya gue lihat mereka disakitin sama bunda. Ibu kandung kita.""Iya, Bang. Tau. Paham, tapi please bang. Jangan pergi. Akan semakin ribet Abang." Ghania terus menahan kepergian
Mereka berdua di dalam mobil Rangga. Tak melalukan apa pun yang berlebihan. Hanya pelukan hangat yang Rangga berikan kepada Aya. Mereka duduk di jok belakang mobil. Aya sesenggukan. Ia telah menangis. Karena rindu dan hancur secara bersamaan. Rangga tak kuat melihat itu. Ia menikmati harum wangi Aya dari kepala hingga terus memeluknya dari belakang. Mengusap bahu Aya yang begitu rapuh."Aya, sayang..." panggil Rangga pelan."Hem." Aya masih sesenggukan. Ia menoleh ke Rangga."Tunggu aku, ya. Aku janji. Semua ini akan berakhir cepat dan aku lepas semuanya. Ayah mau bantu. Apa kamu bisa?" Rangga mendekatkan wajah keduanya. Posisi Rangga masih memeluknya dari belakang."Rangga, pernikahan bukan main-main. Jalanin ya, Rangga. Mungkin emang kita nggak berjodoh." Rangga memejamkan matanya mendnegar ucapan Aya, ia merasa Aya begitu mudah menyerah. Rangga memeluk Aya lebih erat."Nggak. Aku mau kamu. Tetap kamu. Tolong, jangan berpaling Aya. Jangan." Rangga menghirup dalam-dalam wangi tubuh Ay
Tak terasa, lima bulan sudah kepergian Arinda. Suasana rumah juga mendadak berubah, tepatnya, Adam merasa rumahnya tak lepas dari tawa riang ketiga cucunya. Seperti hari itu, saat di mana Sean minta ditemani Opanya les berenang, sementara Aurora terus menempel minta selalu digendong Adam. Pun, Afika yang selalu melihat iri saat Opanya tak juga menggendongnya. “Sean, ke tempat les sama Mama aja, ya, pulangnya kita ke kantor Papa,” usul Aya saat menyiapkan bekal les berenang putranya di hari jumat itu. “Yaudah, Sean sama Mama. Tapi minggu depan sama Opa, ya,” pintanya. Adam mengangguk, ia menggendong Aurora di tangan kanan, lalu Afika di tangan kiri dengan pengawasan Ghania dan bibi. Bibi sekarang tak boleh memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah, ia fokus mengasuh dan memperhatikan cucu-cucu Adam. “Ayah, Aya pamit, sama Sean.” Aya menyalim tangan Adam, disusul Sean yang memeluk Opanya erat. “Ya, Jani dan Haris jadi pindah ke Jakarta?” tanya Adam. “Jadi. Haris sekarang jadi pe
Semua tak ada yang sadar, jika Arinda memejamkan mata. Senda gurau saat makan siang bersama, membuat semua anggota keluarga larut dalam suka cita. Rangga beranjak, menghampiri Arinda karena merasa curiga dengan wajah bundanya yang mendadak pucat. “Bunda,” sapanya sambil mengusap wajah Arinda. Tak ada respon. Kembali Rangga mencoba membangunkan bundanya, namun nihil. Semua panik, Adam beranjak cepat bahkan membuat gelas air minum jatuh dan pecah. “Arinda, Bunda…” panggil Adam yang mencoba membangunkan istrinya. “Bunda!” teriak Ghania yang sudah merasa jika Arinda tak sadarkan diri atau bahkan tak bernyawa. Sirine ambulance membuat semua mobil di depannya menepi, memberikan jalan untuk mobil emergency itu lewat. Rangga menemani Arinda di dalam Arinda. Tangan bundanya sudah dingin, namun nadi masih ada walaupun detak jantung lemah. Aya, dan semua anggota keluarga lainnya naik mobil lainnya. Anak-anak ditinggal di rumah bersama bibi, bahkan Ghania memaksa ikut. Bagusnya, Ghania sudah
Rangga dan Aya bahu membahu memindahkan tubuh Arinda supaya posisinya menjadi lebih nyaman. Rangga memegang tubuh bagian atas bundanya, sedangkan Dena mengangkat kedua kaki Arinda. “Satu… dua… tiga,” ucap Aya dan Rangga kompak, mereka memindahkan tubuh Arinda ke brankar yang ukurannya lebih kecil. Rangga bau membelinya, ia ingin Bundanya bisa menikmati udara luar, bahkan, ia meminta beberapa pekerja rumah yang sedang merenovasi paviliun belakang untuk tempat tinggal Ghania dan Reno, membuat jalur khusus supaya brankar bisa turun ke lantai bawah. Adam masuk ke dalam kamar, melihat anak juga menantunya sangat kompak. Ia menghampiri, “ini brankarnya bisa dibikin posisi setengah duduk?” tanya Adam. “Bisa, Yah,” jawab Rangga. Aya meregangkan otot-otot kaki Arinda perlahan supaya tak semakin kaku. “Bunda coba posisinya agak sedikit duduk ya, kalau sakit kasih tau Aya dan Rangga. Kedip mata Bunda beberapa kali, ya,” pinta Aya. Lalu Rangga menekan remote yang ada di samping brankar, per
Suara tawa Sean dan Aurora membuat kedua mata Arinda yang tertutup, kembali terbuka, kedua cucunya itu terdengar asik bercanda hingga membuat Arinda penasaran, sayangnya ia tak bisa bergerak di atas brankarnya. Telinganya terus mendengarkan apa yang sedang dibicarakan Sean, sayup-sayup kalimat canda tentang adiknya yang menggemaskan, membuat Arinda tersenyum tipis. Pintu terbuka, terlihat Rangga berjalan mendekat. “Bunda, sudah bangun?” Tangan Rangga mengusap surai ibunya. Arinda yang hanya bisa mengedipkan mata, membuat senyuman Rangga melebar. “Bun, anak-anak main di sini boleh, ya? Bunda belum ketemu Aurora, ‘kan? Dia sudah tiga bulan usianya. Semenjak tinggal di sini, Bunda belum ketemu putri Rangga dan Aya.” Tak menunggu jawaban Arinda, Rangga berjalan keluar kamar lagi, tak lama ia kembali dengan menggendong Aurora. Bayi perempuan berpipi tembem itu tampak diam menatap Arinda, cucu dan nenek saling beradu tatap kemudian, Aurora menunjukkan cengirannya. Kedua bahu Arinda berg
Tak ada yang akan menyangka dengan kondisi Arinda, ia tak bisa bergerak, stroke yang diderita hanya bisa membuatnya tidur di atas ranjang tanpa bisa bergerak. Membuka mulut untuk bicara saja sulit. Bahkan, kini ia harus dipasang selang melalui hidung yang tersambung ke lambung untuk mendapat makanan. Arinda diperbolehkan pulang, kamar kedua orang tua Rangga di ubah penataannya. Kasur ukuran besar, berganti menjadi ranjang rumah sakit, juga sofa bed untuk Adam tidur. Arinda menggerakkan kedua bola matanya saat melihat suasana kamar yang berbeda. Di dalam hati ia menjerit, menangis, namun tak bisa apa-apa. Aya mendekat, ia menyeka air mata Arinda dengan tisu. “Bunda udah di rumah, Aya mau buatkan jus pepaya ya, untuk Bunda makan. Bibir Bunda Aya oles madu supaya nggak kering, ya.” Sambil tersenyum, Aya mengambil madu dari atas nakas, mengoleskan dengan cotton bud ke bibir Arinda. Aya selalu tersenyum, walau Arinda masih menunjukkan kebenciannya. “Mama,” suara Sean terdengar, mereka
Aya terkejut saat mendengar kabar Arinda sudah sadar, tapi ia tak bisa segera ke rumah sakit karena Aurora baru saja tidur. Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Rangga juga tampak lelah tak hanya fisik, tapi hatinya juga. Aurora diletakkan Aya di box bayi dengan perlahan, tak lupa menyelimuti tubuh putrinya yang belum genap satu bulan usianya.“Aya,” panggil lembut Rangga. Tangan suaminya sudah memeluk pinggang Aya dari belakang. Ia meletakkan dagu di bahu istrinya juga.“Tidur, sayang, kamu capek banget,” ujar Aya sembar berbalik badan, tangannya terangkat mengusap wajah juga menyugar rambut Rangga yang baru selesai mandi.“Besok aja kita ke rumah sakitnya, ya. Tadi perawat bilang kalau Bunda juga belum bisa dipindah ke kamar rawat. Jadi mereka minta kita sabar lagi.&rd
Tangan Aya dengan lembut menyeka seluruh badan Arinda yang masih tak sadarkan diri, sudah dua hari Arinda dalam keadaan seperti itu. Aya meminta kepada perawat supaya ia yang membersihkan tubuh Arinda dengan perlahan. Hati Aya miris, saat ia mendapatkan kesempatan berbakti kepada ibu mertuanya, namun kondisi bunda dalam keadaan tak sadarkan diri. “Bunda, Aya di sini. Maafin Aya kalau bikin Bunda nggak nyaman karena Aya lakuin ini. Aya… cuma mau berbakti ke Bunda. Maafin Aya ya, Bunda.” Begitu lembut Aya berbicara, ia dengan telaten mengelap juga memotong kuku jari tangan dan kaki Arinda. Dari luar kaca ruang ICU, Ghania yang melihat itu hanya bisa tersenyum. Setelah selesai, Aya segera berjalan keluar ruang ICU, karena Ghania akan masuk ke dalam, juga Aya harus ke kamar Adam. Di sana ada Rangga dengan Aurora yang terpaksa dibawa karena tak bi
Kedua mata Arinda menatap suaminya nanar saat Adam tengah membersihkan tubuh dirinya dengan handuk hangat, menyekanya perlahan karena tangan Arinda masih diperban. “Kenapa lihatinnya kayak gitu, Bun?” Adam melirik seraya tersenyum menatap istrinya. “HPku mana? Apa nggak ada telepon masuk, dari teman-teman aku, Yah?”Arinda menoleh ke arah Adam yang menggelengkan kepala.“Mereka, pembohong. Bilangnya teman, sahabat, disaat aku sakit, mereka menjauh,” dumal Arinda.“Harusnya kamu sadar, teman-teman kamu kualitasnya seperti apa. Dari dulu sudah aku ingatkan, tapi kamu nggak mau dengar. Rin, apa… kamu nggak mau ketemu cucu kita? Aurora?” Adam mencoba terus membujuk. Ari
Arinda membuka kedua matanya perlahan, cahaya lampu kamar ruang rawat yang ia tempati sedikit membuatnya mengerjap pelan karena silau. Adam beranjak, menyadari istrinya membuka mata setelah tiga hari seperti orang koma. Padahal, itu efek obat tidur yang memang diberikan dokter. “Bun…,” sapanya. Arinda menoleh ke kanan, melihat suaminya yang tersenyum dengan tangan membelai surai gelap istrinya. “Akhirnya kamu bangun, mau minum?” tawar Adam. Arinda mengangguk pelan. Adam bergeser ke arah meja, mengambil air di gelas dengan sedotan. Dengan perlahan, ia membantu Arinda minum dengan sedotan. “Pelan-pelan,” bisik Adam pelan. Arinda tampak kehausan, itu sudah pasti. “Jangan tidur lagi, ya, bangun.” Adam menggenggam jemari