Beranda / Romansa / Choice / Chapter 1

Share

Choice
Choice
Penulis: Varava

Chapter 1

Penulis: Varava
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-16 11:00:00

Alarm ponsel berbunyi bersamaan dengan teriakan dari lantai bawah. Telinga mendengar namun mata tetap terpejam. Tubuhnya mengulet sedikit ke kiri lalu dengan cepat ditariknya selimut putih tebal menutupi seluruh tubuh. Persetan dengan hari ini. Dia sudah punya rencana untuk bolos sekolah.

Satu tepukan di pantat, walaupun tidak sakit karena terhalang selimut tebal, cukup membuat matanya terbuka penuh. Tepukan ke dua terpaksa membuatnya menurunkan selimut yang menutupi tubuh. Kakaknya sudah berdiri di samping tempat tidur dengan spatula ala Spongebob.

“Aku tunggu jam enam di meja makan.”

“Iya,” ucapnya pelan.

Dia mengawasi kakaknya keluar dari kamar. Setelah yakin pintu tertutup, dia tarik kembali selimut tebal menutupi seluruh tubuh. Belum sempat dia memejamkan mata kembali, tepukan di pantat kembali datang beruntun. Setengah kesal dia berlari menuju kamar mandi.

Di dapur, sang kakak kembali berkutat dengan bahan makanan untuk dibuat sarapan pagi dan bekal makan siang adiknya. Kecintaannya pada dunia memasak menurun dari almarhum mamanya yang dulu seorang Chef. Resep-resep masakan mamanya merupakan peninggalan berharga yang terus dipelajarinya hingga sekarang.

Tepat jam enam pagi adiknya menyapa dengan keriangan yang penuh kepura-puraan. Diletakkannya piring berisi sandwich dan segelas susu putih di hadapan adiknya.

“Ray, semalam pulang jam berapa?”

Mata Ray melirik jahil. “Tenang aja, aku nggak hamilin anak orang, Chef Reihan.”

Reihan menghela napas pelan. Percuma mendesak adiknya, mau ditanya berulangkali tidak akan ada jawaban benar yang keluar dari mulutnya.

“Ini bekal makan siangmu.” Reihan meletakkan rantang makan dengan motif polkadot hijau putih berukuran sedang di meja makan. Ray memandang tak percaya rantang makan di hadapannya.

“Aku mau sekolah bukan mau piknik.”

“Aku pulang malam dan kamu sekolah sampai sore, jadi itu cukup sampai sore.”

“Tapi aku bisa makan di luar. Aku,”

“Satu bulan yang lalu kamu hampir mati karena keracunan makanan di pinggir jalan!”

Ray tidak membantah karena itu fakta. “Ok,” Ucapnya pelan. Sejak kejadian itu kakaknya semakin ketat mengawasi apapun makanan yang masuk ke mulutnya.

Kakaknya meletakkan surat panggilan dari sekolah di sebelah gelas berisi susu. Dia menyiapkan diri mendengar ceramah pagi hari.

“Dengar, sebentar lagi kamu ujian, aku mohon belajar. Nilai-nilaimu memprihatinkan,” Ucap Reihan lembut. “Sebulan ini udah tiga kali aku dipanggil oleh wali kelasmu. Tolonglah untuk kali ini aja, belajar, ya. Aku nggak menuntutmu untuk menjadi juara kelas atau nilaimu harus sempurna, kamu bisa lulus aja itu udah cukup untukku. Mengerti?”

Ray mengangguk sekali. Reihan pasrah melihat reaksi adiknya. Dia sangat tahu watak anak ini. Kalau sudah tidak mood, mau disuruh seperti apa juga tidak akan ada reaksi balik sesuai harapan.

“Habiskan sarapannya. Aku siap-siap dulu.” Reihan beranjak dari duduknya menuju kamarnya di lantai atas.

Mata Ray menyipit sebal pada surat panggilan sekolah. Sepertinya dia harus memperingatkan mereka yang berani menentangnya. Arah pandangnya beralih ke laci bufet dekat meja TV. Berjalan mengendap, dia buka pelan laci bufet. Senyum senang tersungging saat melihat beberapa buah paku besar.

“Cukup buat kempesin ban mobil Kepala Sekolah.” Berusaha menahan tawa.

Ray segera kembali ke meja ketika mendengar suara pintu ditutup. Yakin sekali kakaknya sudah selesai merapikan diri. Dia menyuap potongan terakhir sandwichnya.

“Kak, aku pulang sekolah ke rumah Tante Silva. Mau ngemall sama Helen.” Kakaknya menatap ragu. “Yaelah beneran. Nggak percaya tanya kucingnya Tante Diana.”

“Pulangnya aku jemput.”

“Nanti dianterin langsung sama supirnya Tante Silva. Ih, bawelnya lebihin emak-emak.”

“Ok, jam sembilan aku udah balik.”

Reihan mengambil piring dan gelas kotor di meja, meletakkan di wastafel cuci piring. Terdengar salam dari pembantu yang biasa datang untuk membersihkan ruangan apartemen.

“Bi Tum, kalau mau sarapan udah ada di lemari makan ya. Nanti nggak usah cuci baju, masih sedikit. Setrika aja.”

“Iya Pak.”

Reihan dan Ray pamit berangkat. Reihan melihat ekspresi wajah adiknya yang nampak senang. Dia yakin ada rencana terselubung. Apapun itu dia harus siap untuk panggilan sekolah yang baru.

*****

Bel tanda selesai istirahat berbunyi. Semua murid mulai masuk ke ruang kelas. Ray berlari menuju kelasnya. Berharap guru yang mengajar belum masuk. Namun, langkahnya berhenti mendadak di depan pintu kelas. Kepala Sekolah menjewer telinganya.

“Dari mana anak nakal?”

“Dari toilet.”

“Toilet di sebelah sana.” Kepala Sekolah berkepala setengah botak menunjuk ke arah ujung lorong sebelah kanan, yang berlawanan dengan arah datang Ray. “Pasti kamu dari kantin sekolah, kan?”

“Nggak, Pak. Nggak salah maksudnya,” Cengir Ray.

“Maaf, ya, Bu Maya, terpaksa ibu harus melihat pemandangan tidak mengenakan seperti ini, tapi anak satu ini memang tergolong luar binasa, eh maksud saya luar biasa nakalnya. Suka bolos, bikin onar, dan segala hal jelek lainnya.”

“Bapak suka buka kartu orang. Kalau mau bersaing merebutkan hati cewek yang gentle dong.”

“Ray, jaga sikapmu. Ini guru baru.” Kepala Sekolah menghela napas panjang lalu melepaskan jewerannya. “Buka pintu,” Perintahnya.

Tangan Ray meraih gagang pintu kelas tanpa ragu. Sedetik kemudian ingat akan sesuatu hal. Terlambat. Air comberan yang sangat bau menyiram tubuhnya. Cipratannya juga mengenai Kepala Sekolah. Untunglah Maya sempat menutupi wajahnya dengan buku absen kelas sehingga tidak terkena cipratan. Namun sepatu dan seragam barunya ikut jadi korban.

“Kalian semua dihukum!!” seru Kepala Sekolah berang.

*****

Ray berlindung di belakang tubuh Tante Silva saat kakaknya hendak menjewer telinganya. Dia bersyukur Tante Silva selalu melindunginya. Walau dia tahu itu kurang benar. Bahkan demi menutup mulut Kepala Sekolah, Wali Kelas dan Guru Bahasa Inggris yang baru, Tante Silva sampai memesan kain batik mahal untuk diberikan sebagai bingkisan.

“Mau aku gampar pakai apa biar kamu sadar?!” seru Reihan kesal. “Mereka itu lebih tua dari kamu. Kita selalu ngajarin kamu untuk hormat sama yang lebih tua!”

“Kalau udah nggak mau ngurusin aku, taruh aja aku di panti asuhan. Beres!” balas Ray tak mau kalah. Tante Silva menepuk bibirnya yang manyun dengan jari telunjuk. “Salah dia sendiri yang ikut ke kelas. Sok nganterin guru baru. Giliran gurunya cantik, dipepet terus. Lagian itu air comberan buat kejutan guru baru. Bukan buat Kepala Sekolah.”

Reihan menghela napas lelah. Kasus ban kempes Kepala Sekolah baru selesai Selasa lalu, sekarang kasus air comberan. “Mending aku mati aja kalau kamu gini terus.” Ditepuknya dada berulangkali.

Ray segera menghambur, memeluk kakaknya. “Ya udah ayo mati bareng.”

Reihan menjambak gemas rambut adiknya. Ray merengek manja minta dilepaskan. Semarah apapun, dia tidak mungkin meninggalkan adik satu-satunya.

“Ayo pulang.”

“Nggak mau. Nanti aku disiksa di apartemen.”

“Paling aku gantung di balkon.”

“Kalian nginep aja di sini. Malam minggu juga.” Saran Silva. “Tante mau masak tongseng sapi. Kita lama nggak makan malam bareng.”

Reihan mengangguk setuju. “Om Fadil kapan balik dari Manado?”

“Kayaknya lusa. Masih nego harga sama yang beli tanah.”

“Kenapa dilepas tanah di sana? Tante bilang mau dibikin kebonan.” Reihan duduk di sofa satuan.

“Tante mau alihkan buat ternak ikan Lele dan Nila aja di Subang.” Silva ikut duduk di sofa panjang. “Oiya Rei, kemarin Pak Diro telepon, mau dikirimin singkong nggak?”

“Aku nggak, Tan. Tapi kalau Tante mau, buat tante aja.”

“Tante juga nggak mau. Lagian siapa yang mau makan di sini? Pak Diro juga kalau ngirim banyak banget.”

“Nah itu, tahun lalu kita jualan ubi jalar sama cabai rawit dadakan di depan restoran. Kirim satu truk. Terus ditinggal. Kan, namanya sengaja ngajak perang.”

Silva terkekeh. “Tante ada feeling Pak Diro bakal maksa kirim hasil panen lagi, deh. Dia belum nawarin jagung sama kentang.”

Reihan hanya menghela napas sambil geleng-geleng. Almarhum orangtuanya memang mewariskan banyak properti. Bahkan sampai banyaknya dia kadang lupa di mana saja properti yang mereka punya. Dia bersyukur ada keluarga Tante Silva yang membantu mengurus tanah dan kontrakan peninggalan orangtuanya. Tanah di Bogor yang dikerjakan oleh Pak Diro untuk berkebun, memang sengaja tidak dia ambil sedikitpun hasilnya. Dia hanya ingin membantu warga sekitar agar tetap bisa memiliki penghasilan.

“Mama, aku main, ya, ke rumah Dinda.” Ijin Helen dengan gaya manjanya.

“Nggak, enak aja main. Nilai matematikamu aja turun. Dapat nilai enam, kok, belagu mau main.”

“Yaelah, itu karena aku ngantuk waktu ngerjain ujiannya. Daripada Ray dapat telor ceplok.”

Ray memandang sebal sepupunya. “Itu, kan, sengaja aku nggak kerjain.”

“Belagu. Sok pinter.”

“Memang aku aslinya pinter. Cuma lagi males.”

Reihan dan Silva memilih ke dapur, malas mendengar cekcok mereka yang tak penting. Reihan membantu menyiapkan bahan-bahan untuk membuat tongseng.

“Tan, jangan manjain Ray. Ngelunjak dia.”

“Mau gimana lagi Rei, tante juga bingung harus bersikap. Kalau keras sedikit, dia bisa down terus minggat. Ingat, kan, waktu kelas 1 SMA, kamu marahi sampai dia nangis terus hampir minggat pakai kereta. Untung Riyan bisa nemuin dia di stasiun.”

“Aku nggak mau Ray jadi anak manja. Jujur aku khawatir dengan kelakuan Ray ke depannya.”

“Kamu yang sabar, ya. Tante yakin dia bakal berubah.”

“Nggak ada yang bisa kendalikan dia kecuali almarhum Mama.”

“Mungkin dia butuh sosok wanita seperti Mama kalian.”

“Maksudnya?”

“Wanita yang lembut tapi tegas, yang berani bilang salah untuk perilaku yang memang salah. Tapi nggak menghakimi. Justru mengarahkan pada hal benar yang seharusnya dilakukan.”

Reihan terdiam. Teringat kenangan dengan almarhum mamanya. Seketika rasa rindu merebak di dada.

“Coba cari guru les cewek buat Ray. Selama ini, kan, guru les dia cowok dan selalu dijahili. Siapa tahu kalau cewek, dia lebih patuh.”

“Nggak, deh, Tan. Aku nggak mau malu untuk yang kesekian kalinya.” Teringat guru les terakhir yang dijahili Ray dengan mainan ular-ularan sampai pingsan. “Nanti aku coba minta saran dari temanku yang psikolog.”

“Yang penting kamu harus selalu sabar, ya. Ingat, Ray sebenarnya anak yang baik. Dia hanya butuh kita selalu bersamanya.”

Reihan mengangguk mengerti. Dia juga sangat sayang pada adiknya. Ray bukan beban tapi anugerah untuknya. Bagaimanapun anak itu nantinya, mereka akan selalu bersama.

*****

Bab terkait

  • Choice   Chapter 2

    Maya menggeram kesal saat menceritakan kejadian tempo lalu di sekolah pada sahabatnya, Nani. Sahabatnya itu hanya bisa geleng-geleng sambil terkikik geli.“Aku puas banget mereka dihukum bersihin halaman sekolah selama seminggu.”“Namanya juga anak ABG, kelakuannya pasti aneh-aneh. Harus ekstra sabar.”“Anak itu nakal banget. Apa orangtuanya nggak didik dia sopan santun? Nggak ngajarin dia hal-hal yang baik? Heran, deh.”“Mungkin orangtuanya terlalu sibuk dengan pekerjaan jadi dia terbengkalai gitu.”Maya memikirkan kemungkinan hal itu. “Bisa jadi.”“By the way kita udah sampai di restorannya.” Nani menunjuk plang Restoran Nusantara. Dilepaskannya sabuk pengaman.Sampai di depan restoran mereka menemui salah satu pramuria wanita untuk bertemu dengan pemiliknya. Tak lama si pramuria muncul dengan seseorang berpakaian chef. Mereka duduk dekat dengan etalase berisi berbagai macam roti dan kue.“Saya mau konfirmasi pesanan catering untuk acara keluarga saya. Ada beberapa menu yang mau saya

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-17
  • Choice   Chapter 3

    Reihan menunggu di ruang kepala sekolah dengan perasaan kesal menggunung. Kemarin dia mendapat telepon langsung dari kepala sekolah tentang kelakuan adiknya yang sudah keterlaluan, menghina guru bahasa Inggris yang baru. Reihan tidak meminta penjelasan apapun pada Ray karena sudah tahu watak adiknya seperti apa. Sekarang yang ada di benaknya hanya merangkai kata agar guru bahasa Inggris itu mau memaafkan kesalahan adiknya.“Reihan?” dahi Maya mengernyit. Matanya mengarah bergantian dari Reihan ke Ray.“Wah, Ibu kenal kakak saya?” Ray nampak antusias. “Di mana, Bu?” matanya berubah arah pandang ke kakaknya. “Kak Rei kenal di mana sama Bu Maya?”“Diam kamu!” seru Maya dan Reihan kompak. Ray merengut sebal.Maya shock mendapati fakta mereka kakak beradik. Reihan yang penuh sopan santun dan Ray yang ceplas-ceplos. Sepertinya mereka saudara yang tertukar.Reihan minta maaf atas kelakuan adiknya dan berusaha menyakinkan Maya bahwa itu hanyalah keisengan remaja semata. Maya yang masih terpeng

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-18
  • Choice   Chapter 4

    Kehadiran Maya membawa perubahan besar dalam hidup Ray. Dia semakin semangat belajar. Para guru yang selama ini meremehkan terpukau dengan kemampuannya meningkatkan semua nilai mata pelajaran. Dia juga mampu menyelesaikan soal-soal matematika kelas IPA. Mata pelajaran bahasa Inggris menjadi favoritnya. Dia bisa menggoda gurunya itu dengan membenarkan pengucapan bahasa Inggris beraksen British. Di dalam kelas gurunya itu akan tersenyum dan berterima kasih atas koreksi yang diberikan. Namun, setelah jam pelajaran selesai, dia akan dihukum mengerjakan soal-soal ujian nasional beberapa tahun lalu. Tentu saja sambil menyantap bekalnya dan memuji masakan kakaknya.Reihan melihat dari balik pintu menuju ruang makan, keakraban Ray dan Maya. Tidak seperti guru dan murid, tapi kakak dan adik. Saat Ray meminta ijin agar Maya menemaninya belajar di akhir pekan, dia langsung setuju. Nilai-nilai adiknya naik ke level sempurna. Ray bahkan sudah tidak pernah pulang larut malam. Surat panggilan dari se

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-19
  • Choice   Chapter 5

    Ray mencolek dari belakang bahunya. Reihan menghentikan gerakan penanya di buku agenda. Matanya beralih fokus pada Ray yang sudah duduk di samping kanannya.“Sebentar lagi aku ulang tahun,” senyum senang tersungging. “Rencananya aku mau rayain di restoran, undang teman-teman sekelasku, Bu Maya, Riyan dan Zahra. Boleh, ya, aku pinjam restorannya Sabtu depan?”“Sabtu?” suara Reihan terdengar keberatan.“Kenapa? Nggak bisa?” raut wajah Ray seketika berubah masam.“Maaf, Ray, nggak bisa. Restoran mau aku pake untuk melamar Angela.”Ray langsung beranjak dari duduknya. Matanya melotot marah.“Kapan aku memberi restu kakak bisa menikah dengan Angela?!“Apa yang salah dengan Angela?” Reihan berusaha untuk tetap bersikap tenang.“Fine, kakak tetap pilih dia. Aku yang keluar dari apartemen ini!”Reihan hanya mampu menatap hampa punggung adiknya yang menjauh. Tak lama terdengar bantingan pintu yang keras dari lantai atas. Reihan hembuskan napas perlahan untuk menenangkan hati agar emosi tidak te

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-30
  • Choice   Chapter 6

    Ketukan di pintu kamar membuat Ray menghentikan gerakan bola matanya membaca rangkaian kata di buku. Tante Silva tersenyum ramah saat dia membuka pintu. Sejak bertengkar dengan kakaknya, dia menginap di rumah Tante Silva.“Kakakmu datang, temui dulu,” Ucap Silva lembut. Ray menggeleng kuat. “Jangan kayak gitu sama kakakmu. Dia sayang sama kamu.”“Kalau dia sayang aku, ngapain dia lebih pilih Angela?”“Ray, setiap orang punya pilihan dalam hidupnya. Kakakmu memilih Angela karena dia mencintai wanita itu. Tante juga udah dikenalkan dengan Angela. Dia wanita yang sopan, baik, tutur katanya juga lembut. Dia bisa jadi kakak ipar yang,”“Nggak!” potong Ray cepat. “Sampai kapanpun aku nggak akan pernah merestui Kak Rei dengan wanita itu.”Silva menepuk-nepuk pelan bahu Ray. “Saran tante, kamu dan Reihan bicara empat mata. Sampaikan apa yang kamu nggak suka dari Angela. Siapa tahu itu bisa jadi koreksi Angela untuk memperbaiki diri.”“Percuma, Kak Rei lagi buta cinta, aku kasih alasan masuk ak

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-30
  • Choice   Chapter 7

    Reihan mengupas kulit udang dengan cepat. Dia berusaha konsentrasi pada pekerjaaan. Tidak mau pikirannya terkontaminasi oleh Angela. Beberapa karyawan memperhatikan Reihan dengan tatapan heran. Pasalnya dari awal datang Reihan hampir mengerjakan semua yang seharusnya menjadi tugas karyawan yang lain. Mereka tidak berani berkomentar. Perasaan mereka mengatakan bahwa suasana hati sang bos tidak baik hari ini.“Maaf, Pak Reihan,” suara Tuti memecah suasana di dapur. Semua mata memandang si empunya suara. “Mbak Angela udah dateng.”“Bilang saya nggak masuk hari ini,” Ucapnya datar sembari mencincang bawang bombay.Tuti tidak bergeming dari tempatnya berdiri di ambang pintu dapur. Surdi memberikan tatapan kepada Tuti agar segera melaksanakan perintah Reihan.“Maaf, Pak, tapi tadi Mbak Angela bilang agar saya jangan berbohong.” kata Tuti pelan.Reihan membanting setengah keras pisau di meja dapur, membuat mereka melonjak kaget. Dia melangkah keluar dengan perasaan kesal. Dihampirinya Angela

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-11
  • Choice   Chapter 8

    Maya memperhatikan cekatannya Reihan dalam mengolah makanan. Saat mendengar kabar bahagia dari Ray, rasanya senyum tak bisa berhenti dari bibir. Walau Reihan sudah melarang membawa apapun, tapi dia tetap membeli beberapa bahan makanan tambahan seperti cumi, udang, dan ayam. Berbagai menu makanan yang lezat dan cantik presentasinya, membuat dirinya enggan untuk menyantap.Lagu selamat ulang tahun dinyanyikan dengan penuh kegembiraan. Saat tiup lilin Maya tidak memohon apapun. Dia bersyukur karena diberi kesempatan merayakan ulang tahun bersama dengan pria yang dia sukai walau tak bisa memiliki.“Kak Rei, masakannya enak banget. Aku jadi pengin punya suami kayak Kak Rei. Pasti yang jadi istri Kak Rei beruntung banget,” Puji Zahra.“Nanti aku ajarin Ray masak, deh.”“Apa hubungannya sama Ray?”“Kata Riyan kalian bakal jadi laki bini.”“Maaf, ya, Kak, walaupun Ray pria terakhir yang ada di dunia ini, aku ogah sama dia.”“Bia

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-12
  • Choice   Chapter 9

    Seorang wanita berwajah putih pucat berjalan sedikit tertatih menuju lobby apartemen. Usia kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan, membuatnya harus lebih berhati-hati. Salah satu petugas keamanan mendekat padanya.“Ada yang bisa saya bantu, Bu?”“Iya, Pak,” jawabnya lemah. “Apa bapak kenal dengan Reihan?”“Reihan? Reihan siapa, Bu?”“Dia chef. Dia tinggal di sini.”“Oh, Chef Reihan,” petugas keamanan itu mengangguk mengerti. “Iya, saya tahu. Dia sudah pindah unit di tower sebelah seminggu yang lalu. Saya juga bantu beliau pindahan.”Wanita itu menghela napas lemah. Rasanya tak sanggup bila dia harus berjalan ke tower sebelah. Kakinya sudah lelah.“Pak, bisa saya pinjam telepon lobby untuk menghubungi dia?”“Bisa, Bu. Silakan.”Petugas keamanan itu membantu si wanita menuju meja resepsionis. Wanita itu memberikan nomor ponsel Reihan. Berulang kali dihubungi namun tak ada jawaban dari Reihan. Dengan

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-13

Bab terbaru

  • Choice   Chapter 53

    Zahra dan Helen membujuk Shafira untuk makan tapi selalu ditolak. Padahal tubuhnya demam. Ray menarik tubuh Shafira agar bangun. Gadis itu menangis di pelukan Ray.“Dia nggak balas pesan aku. Telepon juga nggak diangkat. Aku nggak mau putus. Aku cinta mati sama dia.”Ray tahu pasti cinta Shafira yang dalam untuk pria itu. Shafira bahkan rela menyamar menjadi pelayan cafe di tempat temannya agar bisa lebih dekat dengan Doni.Ray menghapus sisa-sisa air mata Shafira. “Sekarang makan dulu, minum obat, kalau kamu nurut aku bawa nemuin dia.”“Dia pasti nggak mau ketemu aku lagi. Aku sudah bohongi dia. Dia paling benci pembohong.”“Seenggaknya kamu bisa jelasin ke dia alasan kamu bohong. Kalau dia ngerti syukur, kalaupun dia tetap nggak mau lanjutkan hubungan, relakan.” Shafira menangis lagi. “Sini Aa Ray suapin anak manja.” Ray mengambil piring berisi makanan dari Helen. “Keahlianmu maling kembang pengantin nggak diragukan lagi, Doni nggak mun

  • Choice   Chapter 52

    Ardi dan Rachel kompak menepukkan spon bedak ke pipi Gunawan karena kalah main ular tangga. Reihan tersenyum melihatnya. Dia bersyukur Ardi sudah bisa dekat dengan ayah kandungnya. Walau masih memanggil dengan sebutan Om. Mereka sepakat akan memberitahu Ardi bila sudah cukup umur.“Aduh, Om payah. Masa main ular tangga kalah terus. Mukanya jadi kayak donat gula.” Ardi geleng-geleng lalu menghela napas. Gunawan tersenyum malu.“Masa sudah gede kalah sama anak kecil.” Rachel menepuk dahinya.“Iya, deh, yang lagi merasa hebat.”Ardi mengajak Rachel bermain bola besar kesukaan mereka. Gunawan mengawasi dari kejauhan. Hatinya bahagia bisa sedekat ini dengan anaknya.“Waktunya minum obat.” Reihan mengingatkan. Dia meletakkan nampan berisi obat dan air putih.Gunawan meminum obatnya tanpa protes. Maya memotret dengan ponselnya dan mengirimkan ke Dokter Hilda.“Kalian sekarang jadi sekutunya Hilda. Nyebelin banget.”“Ki

  • Choice   Chapter 51

    Ray tersenyum geli melihat Zahra yang mengenakan kemeja birunya. Kemejanya seolah menenggelamkan tubuh langsing gadis itu. Zahra naik ke ranjang dan menyandarkan punggungnya pada dada bidang Ray.“Ray, rasanya nyaman banget seperti ini.” Dikecupnya berulang kali punggung tangan kanan Ray.Ray singkap rambut panjang Zahra dan mengecup mesra lehernya. Didekapnya lembut tubuh itu. Zahra menikmati leher jenjangnya dimesrai.“Mau jalan ke mana?”“Nggak tahu, deh. Bingung.”Zahra berbalik. Dia duduk di pangkuan Ray. Dua tangannya meraba dada bidang Ray yang polos. Dia mengecupinya lalu naik ke leher. Dia tertawa senang ketika tubuhnya ditindih. Bibirnya menyambut penuh gairah bibir Ray.“Rambut kamu sudah panjang, Sayang. Besok aku temani ke salon.”“Boleh. Sekalian kencan pertama kita.”Zahra mengangguk setuju. Dia tertawa geli ketika Ray menggelitik perutnya.“Ray, ah, geli, Ray,”Zahra berhasil me

  • Choice   Chapter 50

    Maya menyambut senang adik iparnya yang datang bersama Riyan dan Diana. Dia mencubit gemas pipi Ray saking kangennya.“Tolong, ya, tangan dikondisikan.” Ujar Reihan melirik sebal.“Ray gemesin kayak boneka.”Reihan ikut mencubit gemas pipi adiknya. Diana tertawa geli melihat itu. Riyan memberikan parcel buah pir untuk Maya.“Tante makasih banyak. Tahu aja kalau lagi pengin yang seger.”“Ibu hamil pasti penginnya makan yang seger. Malah dulu tante pas hamil Riyan pengin makan bakso yang pedes banget tapi nggak boleh. Kasihan bayinya.”“Iya, Tan. Aku kangen banget makan sambel ikan asin jambal yang super pedes. Tapi nunggu sampai lahiran aja.”Diana dan Riyan hanya sebentar bertamu lalu pamit karena mau jalan-jalan. Ray mengantar mereka hingga keluar gerbang. Setelah mobil Riyan pergi, dia melihat mobil lain berhenti di depan pagar. Dia tak jadi mengunci pintu gerbang. Xavier keluar dari mobil.“Ray,” sapa Pak Xav

  • Choice   Chapter 49

    Zahra terkesiap ketika bahunya ditepuk oleh Martin. Dia tersenyum.“Pagi-pagi sudah ngelamun.”Zahra tak punya kalimat apapun untuk menjawab Martin. Sudah berhari-hari pikirannya dipenuhi oleh Ray dan ciumannya. Dia akui menyesal tidak membalas ciuman Ray. Saat menjenguk Ardi di rumah sakit tempo lalu, dia sengaja tidak menyapa pria itu. Dia masih bingung bagaimana harus bersikap.“Kamu mau ikut main golf nggak?”“Nggak. Mau di rumah aja.”“Pagi,” sapa Pak Thomas. Dia duduk di seberang mereka. “Zahra, kapan Pak Gunawan operasi transplantasi?”“Lusa, kenapa, Pa?”“Kalau mau jenguk kabari Papa. Sore ini Papa dan Martin harus balik ke Singapura.”“Kalian gitu banget sama aku, ditinggalin terus. Lama-lama aku minggat juga.” Zahra meletakkan garpu dan sendoknya di piring, tak jadi sarapan.Pak Thomas saling pandang dengan Martin. Belum sempat mereka menjelaskan, Zahra sudah beranjak menuju kamarnya di atas.

  • Choice   Chapter 48

    Reihan dan Maya menyiapkan berbagai hidangan lezat untuk menyambut para tamu. Mereka mengadakan syukuran karena masalah pelik yang ada berakhir dengan damai. Pihak Gunawan mencabut perkara hak asuh Ardi dan mengikhlaskan Ardi dirawat oleh pihak Reihan. Gunawan tidak mau Ardi memiliki moment buruk dalam hidup seperti dirinya. Reihan membebaskan Gunawan untuk menemui Ardi kapanpun dia mau. Kesepakatan tersebut disambut baik oleh kedua belah pihak.Reihan menggandeng Ardi untuk menemui Gunawan. Anak itu masih takut dan bersembunyi di belakang tubuhnya. Reihan membujuk lembut untuk mau berjabat tangan dengan Gunawan.“Jangan dipaksa, Rei.” Suara Gunawan bergetar sedih. Akibat ulahnya anak kandungnya sendiri takut hanya untuk sekedar melihatnya.“Sayang, Om Gunawan orang baik. Beliau ingin jadi teman Ardi dan Rachel.” Maya menyatukan tangan Ardi dan Rachel. “Kalian mau, kan, jadi temannya Om Gunawan?”“Om Gunawan bawa banyak mainan buat kita. Baik bang

  • Choice   Chapter 47

    Reihan prihatin melihat Gunawan yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Banyak peralatan medis yang terpasang di tubuhnya. Pria yang dia kenal kejam dan mampu melakukan apapun karena kekayaan dan kekuasaan yang dipunya, sekarang hanyalah pria tak berdaya.“Terima kasih sudah mau menjenguk Pak Gunawan.” Xavier berdiri di sebelahnya. “Beliau sudah melewati masa kritis.” Memandang sedih bosnya. “Oiya, bagaimana keadaan Ardi?”“Dia masih belum bisa bicara. Tapi kami sudah konsultasi dengan ahli terapi bicara dan Psikolog anak. Dia sedang menjalani terapi.”“Semoga Ardi lekas bisa berbicara kembali.”“Kalau begitu, saya pamit. Bila Gunawan sudah siuman segera hubungi saya.”Sampai di rumah, Reihan mendapati Ardi sedang menggambar. Dia mengecup pipi anaknya dengan gemas. Ardi menggambar anggota keluarga mereka. Rachel yang jahil memprotes gambar Ardi.“Aku cantik, masa di gambar jelek gini.” Rachel membaca kalimat yang Ardi tulis.

  • Choice   Chapter 46

    Reihan lumayan terkejut dengan kedatangan Nani dan Adam yang mendadak. Wajah mereka nampak khawatir.“Ada apa? Tumben nggak kasih kabar dulu kalau mau datang.”“Aku mau kalian jujur,” Nani menatap serius mereka. “Apa dia ganggu kalian?”“Dia siapa?” tanya Maya.“Mas Gunawan.”Reihan dan Maya saling pandang khawatir. Mereka mengangguk pelan.“Dari mana kamu tahu dia mulai mengusikku?” Reihan memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi.“Ada yang mau aku sampaikan. Jujur aku nggak enak banget ngomong ini sama kalian.” Adam menghela napas lelah. “Tapi tetap harus aku sampaikan.” Adam membuka map yang sedari tadi dipegangnya. “Dia menunjuk papaku sebagai kuasa hukumnya untuk merebut hak asuh Ardi.”Reihan dan Maya membaca berkas tersebut. Mereka pernah memikirkan hal ini dan siap menghadapi Gunawan untuk memperjuangkan Ardi. Namun mereka tak menyangka bila yang harus mereka hadapi Papa Adam.“Papa sebenarn

  • Choice   Chapter 45

    Ray memberikan air mineral dingin dalam kemasan botol pada Zahra. Shafira datang dengan semangkuk es krim.“Rasanya pengin berendam di kolam es buah.” Shafira menyuap es krimnya. “Bawel banget emaknya. Pengin aku lakban.”Zahra mengelus punggung Shafira untuk menenangkan. “Sabar, orang sabar disayang Doni.”Shafira tersenyum simpul. “Untung anaknya pengertian. Aku jadi nggak enak sendiri, anaknya minta maaf terus.”“Memang masalahnya apa?” Ray duduk di sebelah Shafira.“Makanannya. Dia bilang nggak enak. Salah sendiri pilih menu nggak jelas. Aku sudah saranin ikut menu favorit, emaknya nggak mau. Makanan setengahnya jeroan semua. Gulai otak sapi, sambal goreng hati sapi, soto babat sapi, sate ampela hati ayam, haduh nggak jelas banget. Nggak semua orang bisa makan menu begitu, apalagi yang sudah tua. Aku sampai lihat bapak-bapak sudah sepuh, cuma makan nasi sama kerupuk udang doang. Aku malu banget sebagai penyelenggara WOnya. Baru kali i

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status