Reihan mengupas kulit udang dengan cepat. Dia berusaha konsentrasi pada pekerjaaan. Tidak mau pikirannya terkontaminasi oleh Angela. Beberapa karyawan memperhatikan Reihan dengan tatapan heran. Pasalnya dari awal datang Reihan hampir mengerjakan semua yang seharusnya menjadi tugas karyawan yang lain. Mereka tidak berani berkomentar. Perasaan mereka mengatakan bahwa suasana hati sang bos tidak baik hari ini.
“Maaf, Pak Reihan,” suara Tuti memecah suasana di dapur. Semua mata memandang si empunya suara. “Mbak Angela udah dateng.”“Bilang saya nggak masuk hari ini,” Ucapnya datar sembari mencincang bawang bombay.Tuti tidak bergeming dari tempatnya berdiri di ambang pintu dapur. Surdi memberikan tatapan kepada Tuti agar segera melaksanakan perintah Reihan.“Maaf, Pak, tapi tadi Mbak Angela bilang agar saya jangan berbohong.” kata Tuti pelan.Reihan membanting setengah keras pisau di meja dapur, membuat mereka melonjak kaget. Dia melangkah keluar dengan perasaan kesal. Dihampirinya Angela yang tengah duduk santai di salah satu kursi tamu.“Sayang, maafkan aku, aku bisa jelaskan,”“Cukup! Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Aku sudah bukan apa-apamu lagi. It's over.”“Tapi Rei, aku sungguh,”“Sudah waktunya makan siang. Restoran sebentar lagi ramai. Aku sibuk. Tentunya kamu juga memiliki kesibukan lain,” matanya memandang sinis, “Aku nggak nyangka ternyata kamu serendah itu. Ucapanmu semua omong kosong.”“Rei, aku,”“Jadi benar Mora itu nama selingkuhanmu?” berdecak menghina. “Aku terlalu bodoh percaya semua ucapanmu.”“Bukan begitu,”“Demi membelamu, perjuangkan kamu, aku sampai harus bertengkar dengan adikku. Aku tulus cinta kamu. Tapi balasan yang aku dapat sungguh jahat. Aku muak sama kamu. Aku jijik.”“Kamu boleh memakiku, menghinaku, tapi dengarkan aku,”“CUKUP!”Angela langsung terdiam. Bahkan Tuti yang mengintip dari balik etalase kue merinding takut mendengar teriakan Reihan. Belum pernah sekalipun, selama dia bekerja di restoran bosnya berteriak keras seperti itu.“Pergi sebelum aku menyuruh satpam menyeretmu keluar dari restoran.”Reihan meninggalkan Angela yang wajahnya memerah menahan malu. Tuti menundukkan kepala saat Reihan melewatinya. Air mata Angela mengalir begitu saja. Tuti menghampiri wanita itu sembari membawakan tisu.“Mbak Angela nggak apa-apa?”Angela tidak menjawab namun langsung meninggalkan restoran. Tuti hanya mampu memandang sedih kepergian wanita itu. Entah apa yang terjadi antara bosnya dengan sang kekasih tapi pasti itu sesuatu yang menyakitkan.***** ***** *****Ray tidak jadi menyuap bakso ketika ponselnya berdering nyaring. Tertera nomor restoran. Agak ragu untuk mengangkatnya karena yakin pasti itu kakaknya. Tapi kakaknya jarang menghubungi dengan nomor restoran.“Halo?”“Mas Ray, ini Mbak Tuti.”“Oh, Mbak Tuti, kenapa Mbak?”“Pak Reihan, kok, belum datang, ya? Ini sudah lewat jam makan siang lho.”Ray melihat jam dinding di kantin sekolah sudah menunjukkan pukul dua siang. Tumben jam segini kakaknya belum ke restoran.“Sudah telepon ke nomor HPnya?”“Sudah ditelepon tapi nggak aktif. Mbak telepon ke rumah juga nggak diangkat. Mbak jadi khawatir. Soalnya lusa ada pesenan dari tamu penting. Hari ini harusnya bahas untuk persiapan.”“Nanti aku cek, aku masih di sekolah.”Setelah menutup sambungan telepon, Ray segera menghubungi kakaknya. Benar tidak aktif. Telepon rumah juga tidak diangkat. Dia segera menghabiskan baksonya lalu melajukan motor menuju apartemen.Sedikit tergesa dia menaiki anak tangga menuju kamar kakaknya di atas. Dia mengetuk beberapa kali tapi tidak ada jawaban. Saat pintu dibuka dia melihat pemandangan yang tidak biasa. Kamar kakaknya sangat berantakan. Banyak barang berserakan di lantai. Kakaknya tidur dengan posisi tengkurap. Ray mengguncang beberapa kali tubuh kakaknya, tapi tidak ada balasan. Dia memegang dahi kakaknya, lumayan hangat.“Kak Rei, kamu sakit?”“Kamu udah pulang? Udah makan belum? Mau makan apa? Aku masakin.”“Kamu kenapa? Mbak Tuti nanyain kamu. Tumben kamu nggak ke restoran. Katanya besok ada pesanan dari tamu penting.”Reihan perlahan bangun. Wajahnya terlihat sangat lesu. Ray merasa ada yang tidak beres dengan kakaknya.“Kamu mandi aja dulu.”Reihan mengangguk pelan. Dia beranjak dari kasur, menuju kamar mandi. Ray memungut sobekan foto di lantai. Diambilnya potongan yang lain. Dia mengenali wajah itu. Angela. Ray mencoba menebak apa yang terjadi dengan kakaknya. Mungkinkah mereka putus?Jujur, dia tidak sabar mendengar cerita putusnya sang kakak dengan wanita yang dicintai. Dia jahat? Benar. Tapi memang itu yang dia harapkan. Setidaknya kakaknya lepas dari jerat wanita yang tidak pantas untuk dijadikan istri.***** ***** *****Reihan memperhatikan ekspresi wajah adiknya sepanjang dia bercerita penyebab putusnya dengan Angela. Senyum penuh kemenangan ditunjukkan jelas oleh adiknya tanpa rasa sungkan.“Kenapa kamu nggak bilang ke aku kalau dia tukang selingkuh? Padahal kamu udah tahu lama hal ini. Tega kamu.”“Kamu lagi buta cinta. Lagipula aku juga nggak punya bukti perselingkuhan dia. Pertama aku nggak bawa HP, yang ke dua bawa HP tapi mati. Mana mungkin aku suruh kamu lihat di mata.” Ray menunjuk matanya. “Lagian lihat cewek cuma cantiknya doang. Ingat dong bibit bebet bobot. Kalau sampai Tante Silva tahu, dijambak jamaah dirimu.”“Namanya juga cowok yang dilihat pertama pasti cantiknya. Nggak usah munafik, deh.”“Iya aku tahu. Kita kaum cowok adalah makhluk paling konsisten di dunia. Dari kecil sampai aki-aki sukanya sama cewek cantik. Tapi kalau itu cewek nggak bisa diajak sebagai partner hidup buat apa? Apalagi tukang selingkuh kayak gitu. Bisa jadi anakmu bukanlah anakmu.”Dalam hati Reihan membenarkan apa kata adiknya.“Masih banyak cewek di dunia ini yang pantas kamu jadikan istri. Nggak usah merasa dunia runtuh hanya karena diselingkuhi. Cowok, kok, rapuh.”Reihan menyeringai sebal. “Sok bijak.”“Kak, Bu Maya ulang tahun.” Ray mengalihkan ke topik lain. “Beliau ngundang aku, Riyan dan Zahra ke kostannya. Bilangnya mau masakin buat kita. Tapi aku pikir lebih baik Bu Maya masak di sini aja. Kostan dia sempit. Boleh nggak?”“Datang aja ke sini. Aku buatin kue ulang tahun sekalian.”“Beneran?”Reihan mengangguk yakin. “Datang aja, aku masakin yang enak-enak.”“Makasih kakakku sayang.” Ray memeluk erat kakaknya. “Bu Maya pasti senang.”Reihan menepuk-nepuk punggung adiknya. “Lepasin, aku nggak bisa napas.”Ray melepas begitu saja pelukannya hingga Reihan terbaring di sofa lalu berlari ke kamarnya di atas. Dia yakin gurunya itu pasti bahagia ulang tahunnya bisa dirayakan bersama dengan pria yang disukai. Kakaknya sudah putus dengan Angela, tidak ada salahnya bila dia mendekatkan mereka. Baginya Bu Maya wanita yang lebih pantas bersanding dengan kakaknya.***** ***** *****Maya memperhatikan cekatannya Reihan dalam mengolah makanan. Saat mendengar kabar bahagia dari Ray, rasanya senyum tak bisa berhenti dari bibir. Walau Reihan sudah melarang membawa apapun, tapi dia tetap membeli beberapa bahan makanan tambahan seperti cumi, udang, dan ayam. Berbagai menu makanan yang lezat dan cantik presentasinya, membuat dirinya enggan untuk menyantap.Lagu selamat ulang tahun dinyanyikan dengan penuh kegembiraan. Saat tiup lilin Maya tidak memohon apapun. Dia bersyukur karena diberi kesempatan merayakan ulang tahun bersama dengan pria yang dia sukai walau tak bisa memiliki.“Kak Rei, masakannya enak banget. Aku jadi pengin punya suami kayak Kak Rei. Pasti yang jadi istri Kak Rei beruntung banget,” Puji Zahra.“Nanti aku ajarin Ray masak, deh.”“Apa hubungannya sama Ray?”“Kata Riyan kalian bakal jadi laki bini.”“Maaf, ya, Kak, walaupun Ray pria terakhir yang ada di dunia ini, aku ogah sama dia.”“Bia
Seorang wanita berwajah putih pucat berjalan sedikit tertatih menuju lobby apartemen. Usia kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan, membuatnya harus lebih berhati-hati. Salah satu petugas keamanan mendekat padanya.“Ada yang bisa saya bantu, Bu?”“Iya, Pak,” jawabnya lemah. “Apa bapak kenal dengan Reihan?”“Reihan? Reihan siapa, Bu?”“Dia chef. Dia tinggal di sini.”“Oh, Chef Reihan,” petugas keamanan itu mengangguk mengerti. “Iya, saya tahu. Dia sudah pindah unit di tower sebelah seminggu yang lalu. Saya juga bantu beliau pindahan.”Wanita itu menghela napas lemah. Rasanya tak sanggup bila dia harus berjalan ke tower sebelah. Kakinya sudah lelah.“Pak, bisa saya pinjam telepon lobby untuk menghubungi dia?”“Bisa, Bu. Silakan.”Petugas keamanan itu membantu si wanita menuju meja resepsionis. Wanita itu memberikan nomor ponsel Reihan. Berulang kali dihubungi namun tak ada jawaban dari Reihan. Dengan
Reihan memandang foto-fotonya bersama Intan semasa mereka kecil. Masih teringat ketika Intan menelepon sambil menangis karena melihat orangtuanya bertengkar. Dia berlari bahkan tanpa alas kaki ke rumah Intan yang jaraknya 200 meter dari rumahnya. Intan duduk di sudut ruang tamu dengan wajah penuh ketakutan. Dia gendong dan bawa pulang ke rumah. Bahkan memeluknya hingga tertidur.Setahun yang lalu, dia dan Tante Silva meminta Intan agar tinggal bersama Tante Silva. Namun Intan menolak. Intan lebih memilih mandiri. Setelahnya dia sulit menghubungi Intan. Dia sudah mendatangi kostan Intan namun pemilik kost bilang tidak pernah menerima orang kost atas nama tersebut. Artinya Intan bohong saat memberitahu alamat kost tersebut padanya.Sekarang dia sudah lega Intan bersamanya lagi. Tak akan dia biarkan wanita itu disakiti lagi oleh siapapun. Dia akan melindunginya dengan segenap hati.Reihan keluar dari kamar menuju lantai bawah. Ray tengah menyuapi Intan pecel
Reihan melambaikan tangan saat melihat mereka di lobby mall. Silva dan Helen memeluk sayang Intan. Helen menghapus air mata Intan yang tanpa sadar mengalir.“Kita mau happy-happy, nggak boleh ada air mata.” Silva menggenggam jari-jemari Intan.“Kita bersyukur bisa ketemu sama kamu lagi. Om senang banget.” Fadil membelai lembut kepala Intan.“Makasih banyak Om, Tante. Aku nggak tahu gimana balasnya.”“Nggak boleh ngomong gitu. Nggak ada sutradara casting film.” Ujar Fadil.Intan tersenyum. Dia memeluk Silva sekali lagi. Reihan membuka kursi roda untuk Intan. Mereka lanjut jalan keliling mall berbelanja kebutuhan Intan.“Mbak Silva,” Sapa Diana. “Kalian tumben belanja bareng.” Diana menatap senang keluarga lengkap mereka. “Ini siapa?”Intan mengulurkan tangan yang disambut ramah Diana. Tak lama muncul Erlangga dan Riyan. Intan berkenalan dengan mereka.“Berdua lagi akur, nih,” Diana menunjuk suami dan anaknya, “ma
Maya menatap kagum pada sahabatnya yang sudah memakai lengkap busana pengantin adat Jawa. Nani terlihat seperti puteri keraton.“Aku gugup banget. Semalam juga susah tidur.” Nani menggenggam erat jari jemari sahabatnya.“Wajar, dong, memang itu yang dirasain calon pengantin.” Maya mengelus lembut bahu sahabatnya. “Satu yang pasti, kamu cantik banget hari ini. Mas Gunawan pasti nggak bisa mengalihkan matanya darimu.”Nani tersenyum malu. “Makasih Maya.”Di sisi lain, di sebuah ruangan yang dijadikan dapur, Reihan mengecek sekali lagi makanan untuk pesta pernikahan Nani. Tiba-tiba ponselnya bergetar di saku celana. Reihan melihat nama adiknya. Dia keluar ruangan lalu menekan tombol jawab.“Reihan, gimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Ternyata dia bohong. Pernikahannya hari ini, bukan dua minggu lagi.” Intan mulai menangis.“Intan,”“Aku harus ke sana untuk membatalkan pernikahan dia. Aku nggak mau anakku lahir tanpa aya
Ray terkejut ketika membuka pintu apartemen karena Maya sudah ada di depan pintu. “Bu Maya,” Ray memegangi dadanya. “Bikin kaget, aja. Horor deh.”“Maaf, Ray, ibu baru aja mau pencet bel pintu, malah pintu udah dibuka.”“Masuk saja, Bu. Saya mau beli sirup pesanan Kak Intan.”“Terima kasih Ray.”Maya duduk di sofa ruang tamu, meletakkan tas dan melepas jaket. Diambilnya tabloid yang ada di meja. Dia hanya membaca sekilas beberapa judul artikel halaman demi halaman. Samar-samar didengarnya suara dari arah kamar yang ada di sebelah ruang tamu.“Dia cewek yang baik, lho. Sekarang dapat cewek baik-baik susah, Rei. Yang bisa diajak hidup bersama dan nggak mementingkan diri sendiri.”“Udah berapa kali aku bilang, aku nggak tertarik sama Maya. Aku hanya anggap dia teman saja. Nggak lebih dari itu.”Tubuh Maya seketika kaku. Hatinya perih. Air mata mengalir tanpa sadar.Apa aku nggak memiliki daya tarik apapun di matany
Reihan terpaku di tempat saat bertemu dengan mantannya di tempat senam hamil. Angela nampak terlihat pucat. Matanya melihat ke arah perut wanita itu. Tidak terlihat hamil karena tertutup mantel baju yang besar atau mungkin usia kandungan belum terlalu besar. Angela menyunggingkan senyum namun tak dibalasnya. Dia berlalu meninggalkan mantannya itu, menyambut Intan yang sudah keluar kelas.“Gimana kelasnya?”“Tadi diajarkan cara menguasai diri agar nggak panik saat lahiran.”Reihan menggandeng tangan Intan. Mereka berjalan menuju parkiran. Di luar beberapa petugas medis tengah membawa tandu. Matanya melebar saat tahu siapa yang dibawa dalam tandu oleh petugas medis itu. Angela. Mobil ambulance melaju melewatinya. Dia bertanya pada beberapa orang di sana.“Kurang tahu kenapa, tapi yang saya lihat ibu itu tiba-tiba pingsan. Semoga jabang bayinya nggak apa-apa. Kasihan.”Sepanjang perjalanan pulang, dia memikirkan siapa yang menghamili Angela.
Air dari langit turun deras ke bumi. Seolah ikut berduka atas berpulangnya satu makhluk ciptaan Tuhan. Reihan menatap nanar makam Intan di hadapannya. Hatinya sakit ditinggalkan seperti ini.Reihan menyentuh papan nisan bertuliskan nama Intan. “Aku akan menjaga amanatmu. Aku akan merawat Ardi dengan penuh kasih sayang dan cinta. Selamat jalan, Sayang. Semoga kamu tenang di sana dan diterima di sisiNYA.”Di samping Reihan, Ray masih terisak. Dia peluk adiknya untuk menenangkan.“Kamu harus kuat, Ray. Intan akan sedih jika melihatmu seperti ini.”Ray tidak membalas apapun ucapan kakaknya. Air matanya tak berhenti mengalir. Dia kembali teringat kematian kedua orangtuanya. Rasanya sama, sakit. Tubuhnya terkulai lemah di pelukan kakaknya.*****Maya datang ke apartemen menjenguk Ray yang sedang sakit. Badan Ray masih demam dan suka menggumam yang tidak jelas.Dia paham bagaimana perasaan mereka. Rasa kehilangan yang besar ten
Zahra dan Helen membujuk Shafira untuk makan tapi selalu ditolak. Padahal tubuhnya demam. Ray menarik tubuh Shafira agar bangun. Gadis itu menangis di pelukan Ray.“Dia nggak balas pesan aku. Telepon juga nggak diangkat. Aku nggak mau putus. Aku cinta mati sama dia.”Ray tahu pasti cinta Shafira yang dalam untuk pria itu. Shafira bahkan rela menyamar menjadi pelayan cafe di tempat temannya agar bisa lebih dekat dengan Doni.Ray menghapus sisa-sisa air mata Shafira. “Sekarang makan dulu, minum obat, kalau kamu nurut aku bawa nemuin dia.”“Dia pasti nggak mau ketemu aku lagi. Aku sudah bohongi dia. Dia paling benci pembohong.”“Seenggaknya kamu bisa jelasin ke dia alasan kamu bohong. Kalau dia ngerti syukur, kalaupun dia tetap nggak mau lanjutkan hubungan, relakan.” Shafira menangis lagi. “Sini Aa Ray suapin anak manja.” Ray mengambil piring berisi makanan dari Helen. “Keahlianmu maling kembang pengantin nggak diragukan lagi, Doni nggak mun
Ardi dan Rachel kompak menepukkan spon bedak ke pipi Gunawan karena kalah main ular tangga. Reihan tersenyum melihatnya. Dia bersyukur Ardi sudah bisa dekat dengan ayah kandungnya. Walau masih memanggil dengan sebutan Om. Mereka sepakat akan memberitahu Ardi bila sudah cukup umur.“Aduh, Om payah. Masa main ular tangga kalah terus. Mukanya jadi kayak donat gula.” Ardi geleng-geleng lalu menghela napas. Gunawan tersenyum malu.“Masa sudah gede kalah sama anak kecil.” Rachel menepuk dahinya.“Iya, deh, yang lagi merasa hebat.”Ardi mengajak Rachel bermain bola besar kesukaan mereka. Gunawan mengawasi dari kejauhan. Hatinya bahagia bisa sedekat ini dengan anaknya.“Waktunya minum obat.” Reihan mengingatkan. Dia meletakkan nampan berisi obat dan air putih.Gunawan meminum obatnya tanpa protes. Maya memotret dengan ponselnya dan mengirimkan ke Dokter Hilda.“Kalian sekarang jadi sekutunya Hilda. Nyebelin banget.”“Ki
Ray tersenyum geli melihat Zahra yang mengenakan kemeja birunya. Kemejanya seolah menenggelamkan tubuh langsing gadis itu. Zahra naik ke ranjang dan menyandarkan punggungnya pada dada bidang Ray.“Ray, rasanya nyaman banget seperti ini.” Dikecupnya berulang kali punggung tangan kanan Ray.Ray singkap rambut panjang Zahra dan mengecup mesra lehernya. Didekapnya lembut tubuh itu. Zahra menikmati leher jenjangnya dimesrai.“Mau jalan ke mana?”“Nggak tahu, deh. Bingung.”Zahra berbalik. Dia duduk di pangkuan Ray. Dua tangannya meraba dada bidang Ray yang polos. Dia mengecupinya lalu naik ke leher. Dia tertawa senang ketika tubuhnya ditindih. Bibirnya menyambut penuh gairah bibir Ray.“Rambut kamu sudah panjang, Sayang. Besok aku temani ke salon.”“Boleh. Sekalian kencan pertama kita.”Zahra mengangguk setuju. Dia tertawa geli ketika Ray menggelitik perutnya.“Ray, ah, geli, Ray,”Zahra berhasil me
Maya menyambut senang adik iparnya yang datang bersama Riyan dan Diana. Dia mencubit gemas pipi Ray saking kangennya.“Tolong, ya, tangan dikondisikan.” Ujar Reihan melirik sebal.“Ray gemesin kayak boneka.”Reihan ikut mencubit gemas pipi adiknya. Diana tertawa geli melihat itu. Riyan memberikan parcel buah pir untuk Maya.“Tante makasih banyak. Tahu aja kalau lagi pengin yang seger.”“Ibu hamil pasti penginnya makan yang seger. Malah dulu tante pas hamil Riyan pengin makan bakso yang pedes banget tapi nggak boleh. Kasihan bayinya.”“Iya, Tan. Aku kangen banget makan sambel ikan asin jambal yang super pedes. Tapi nunggu sampai lahiran aja.”Diana dan Riyan hanya sebentar bertamu lalu pamit karena mau jalan-jalan. Ray mengantar mereka hingga keluar gerbang. Setelah mobil Riyan pergi, dia melihat mobil lain berhenti di depan pagar. Dia tak jadi mengunci pintu gerbang. Xavier keluar dari mobil.“Ray,” sapa Pak Xav
Zahra terkesiap ketika bahunya ditepuk oleh Martin. Dia tersenyum.“Pagi-pagi sudah ngelamun.”Zahra tak punya kalimat apapun untuk menjawab Martin. Sudah berhari-hari pikirannya dipenuhi oleh Ray dan ciumannya. Dia akui menyesal tidak membalas ciuman Ray. Saat menjenguk Ardi di rumah sakit tempo lalu, dia sengaja tidak menyapa pria itu. Dia masih bingung bagaimana harus bersikap.“Kamu mau ikut main golf nggak?”“Nggak. Mau di rumah aja.”“Pagi,” sapa Pak Thomas. Dia duduk di seberang mereka. “Zahra, kapan Pak Gunawan operasi transplantasi?”“Lusa, kenapa, Pa?”“Kalau mau jenguk kabari Papa. Sore ini Papa dan Martin harus balik ke Singapura.”“Kalian gitu banget sama aku, ditinggalin terus. Lama-lama aku minggat juga.” Zahra meletakkan garpu dan sendoknya di piring, tak jadi sarapan.Pak Thomas saling pandang dengan Martin. Belum sempat mereka menjelaskan, Zahra sudah beranjak menuju kamarnya di atas.
Reihan dan Maya menyiapkan berbagai hidangan lezat untuk menyambut para tamu. Mereka mengadakan syukuran karena masalah pelik yang ada berakhir dengan damai. Pihak Gunawan mencabut perkara hak asuh Ardi dan mengikhlaskan Ardi dirawat oleh pihak Reihan. Gunawan tidak mau Ardi memiliki moment buruk dalam hidup seperti dirinya. Reihan membebaskan Gunawan untuk menemui Ardi kapanpun dia mau. Kesepakatan tersebut disambut baik oleh kedua belah pihak.Reihan menggandeng Ardi untuk menemui Gunawan. Anak itu masih takut dan bersembunyi di belakang tubuhnya. Reihan membujuk lembut untuk mau berjabat tangan dengan Gunawan.“Jangan dipaksa, Rei.” Suara Gunawan bergetar sedih. Akibat ulahnya anak kandungnya sendiri takut hanya untuk sekedar melihatnya.“Sayang, Om Gunawan orang baik. Beliau ingin jadi teman Ardi dan Rachel.” Maya menyatukan tangan Ardi dan Rachel. “Kalian mau, kan, jadi temannya Om Gunawan?”“Om Gunawan bawa banyak mainan buat kita. Baik bang
Reihan prihatin melihat Gunawan yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Banyak peralatan medis yang terpasang di tubuhnya. Pria yang dia kenal kejam dan mampu melakukan apapun karena kekayaan dan kekuasaan yang dipunya, sekarang hanyalah pria tak berdaya.“Terima kasih sudah mau menjenguk Pak Gunawan.” Xavier berdiri di sebelahnya. “Beliau sudah melewati masa kritis.” Memandang sedih bosnya. “Oiya, bagaimana keadaan Ardi?”“Dia masih belum bisa bicara. Tapi kami sudah konsultasi dengan ahli terapi bicara dan Psikolog anak. Dia sedang menjalani terapi.”“Semoga Ardi lekas bisa berbicara kembali.”“Kalau begitu, saya pamit. Bila Gunawan sudah siuman segera hubungi saya.”Sampai di rumah, Reihan mendapati Ardi sedang menggambar. Dia mengecup pipi anaknya dengan gemas. Ardi menggambar anggota keluarga mereka. Rachel yang jahil memprotes gambar Ardi.“Aku cantik, masa di gambar jelek gini.” Rachel membaca kalimat yang Ardi tulis.
Reihan lumayan terkejut dengan kedatangan Nani dan Adam yang mendadak. Wajah mereka nampak khawatir.“Ada apa? Tumben nggak kasih kabar dulu kalau mau datang.”“Aku mau kalian jujur,” Nani menatap serius mereka. “Apa dia ganggu kalian?”“Dia siapa?” tanya Maya.“Mas Gunawan.”Reihan dan Maya saling pandang khawatir. Mereka mengangguk pelan.“Dari mana kamu tahu dia mulai mengusikku?” Reihan memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi.“Ada yang mau aku sampaikan. Jujur aku nggak enak banget ngomong ini sama kalian.” Adam menghela napas lelah. “Tapi tetap harus aku sampaikan.” Adam membuka map yang sedari tadi dipegangnya. “Dia menunjuk papaku sebagai kuasa hukumnya untuk merebut hak asuh Ardi.”Reihan dan Maya membaca berkas tersebut. Mereka pernah memikirkan hal ini dan siap menghadapi Gunawan untuk memperjuangkan Ardi. Namun mereka tak menyangka bila yang harus mereka hadapi Papa Adam.“Papa sebenarn
Ray memberikan air mineral dingin dalam kemasan botol pada Zahra. Shafira datang dengan semangkuk es krim.“Rasanya pengin berendam di kolam es buah.” Shafira menyuap es krimnya. “Bawel banget emaknya. Pengin aku lakban.”Zahra mengelus punggung Shafira untuk menenangkan. “Sabar, orang sabar disayang Doni.”Shafira tersenyum simpul. “Untung anaknya pengertian. Aku jadi nggak enak sendiri, anaknya minta maaf terus.”“Memang masalahnya apa?” Ray duduk di sebelah Shafira.“Makanannya. Dia bilang nggak enak. Salah sendiri pilih menu nggak jelas. Aku sudah saranin ikut menu favorit, emaknya nggak mau. Makanan setengahnya jeroan semua. Gulai otak sapi, sambal goreng hati sapi, soto babat sapi, sate ampela hati ayam, haduh nggak jelas banget. Nggak semua orang bisa makan menu begitu, apalagi yang sudah tua. Aku sampai lihat bapak-bapak sudah sepuh, cuma makan nasi sama kerupuk udang doang. Aku malu banget sebagai penyelenggara WOnya. Baru kali i