Ketukan di pintu kamar membuat Ray menghentikan gerakan bola matanya membaca rangkaian kata di buku. Tante Silva tersenyum ramah saat dia membuka pintu. Sejak bertengkar dengan kakaknya, dia menginap di rumah Tante Silva.
“Kakakmu datang, temui dulu,” Ucap Silva lembut. Ray menggeleng kuat. “Jangan kayak gitu sama kakakmu. Dia sayang sama kamu.”“Kalau dia sayang aku, ngapain dia lebih pilih Angela?”“Ray, setiap orang punya pilihan dalam hidupnya. Kakakmu memilih Angela karena dia mencintai wanita itu. Tante juga udah dikenalkan dengan Angela. Dia wanita yang sopan, baik, tutur katanya juga lembut. Dia bisa jadi kakak ipar yang,”“Nggak!” potong Ray cepat. “Sampai kapanpun aku nggak akan pernah merestui Kak Rei dengan wanita itu.”Silva menepuk-nepuk pelan bahu Ray. “Saran tante, kamu dan Reihan bicara empat mata. Sampaikan apa yang kamu nggak suka dari Angela. Siapa tahu itu bisa jadi koreksi Angela untuk memperbaiki diri.”“Percuma, Kak Rei lagi buta cinta, aku kasih alasan masuk akal juga nggak bakal buka mata hati dia.”“Angela salah apa sama kamu?” Reihan muncul di atas anak tangga. Matanya menyorot sebal pada Ray. “Ketemu sama kamu aja jarang.”“Makanya kalau punya mata dipakai. Jangan cuma kepincut sama cantiknya doang.”“Masalahmu apa sih?!”“Dasar buta cinta.”“Stop! Cukup!” seru Silva. “Ray masuk kamar.”Ray memberikan pandangan sebal pada kakaknya sebelum menutup pintu. Silva mengajak Reihan ke ruang tamu untuk bicara.“Rei, adikmu itu sifatnya persis seperti almarhum mamamu. Semakin dikerasi dia akan semakin melawan dan membantah semua omongan, walaupun belum tentu pendapatnya benar. Kamu harus lebih sabar menghadapi dia. Jangan sampai dia kembali pada jalan yang nggak benar.”“Aku harus lebih sabar yang gimana lagi, Tan? Dia nggak pernah mau ngomong alasan yang sebenarnya kenapa benci sama Angela. Aku juga selalu bilang ke Angela kalau ada Ray jangan pernah pakai baju seksi, Angela nurut.”“Apa mungkin Ray nggak suka profesi Angela sebagai model?”“Sejak serius jalin hubungan sama aku, dia udah berhenti jadi model. Aku larang dia bekerja di bidang itu. Aku kursusin dia merangkai bunga. Aku udah niat buka toko bunga untuk dia setelah kami menikah.”“Wah, itu ide yang bagus, Rei.”“Tapi aku tetap nggak ngerti jalan pikiran Ray. Kenapa sulit menerima Angela?”“Pelan-pelan, ya. Ray butuh waktu. Bisa jadi dia akan merasa kehilangan perhatian setelah kamu menikah. Dia mungkin merasa cemburu.”“Aku nggak cemburu,” timpal Ray. Reihan dan Silva terkejut dengan kehadiran Ray yang tiba-tiba. “Nikah aja, nggak usah mikirin aku. Sebentar lagi aku lulus sekolah. Aku nggak akan merepotkan kamu dan calonmu itu.”Ray tidak mengindahkan panggilan kakak maupun tantenya. Dia menjalankan motor dengan kecepatan tinggi. Hatinya penuh gejolak emosi yang tak menentu. Dia tak sanggup mengatakan kebenaran kenapa dia membenci Angela. Dia takut kakaknya terluka. Suatu hari kakaknya akan tahu siapa sebenarnya wanita yang dicintai.***** ***** *****Siang itu kantin sekolah dipadati anak-anak yang berbahagia ditraktir makan olehnya. Bukan hanya dari kelasnya saja, beberapa anak dari kelas lain yang lumayan akrab dengannya juga ikut bergabung. Dia memang memutuskan merayakan ulang tahunnya di kantin sekolah.Senyumnya merekah melihat Maya yang berjalan ke arahnya. Dia mengajak guru favoritnya bergabung di meja yang sudah dia tempati bersama Riyan dan Zahra.“Ulang tahun kita beda seminggu doang, Ray.” Maya menunjukkan KTPnya.“Wah, ibu curang. Harusnya ibu yang traktir saya duluan.”“Nggak bisa lah, yang ulang tahun duluan kamu. Ibu baru minggu depan.”“Berarti minggu depan kita bisa makan enak lagi,” ujar Riyan yang disambut huuu oleh yang lain. “Hemat kantong. Iya, kan, Ra?” Zahra hanya mengangguk-angguk karena mulutnya masih penuh makanan. “Minggu depan ke kostan ibu aja. Ibu masakin makanan yang enak-enak. Kalian, para anak raja suka makanan rakyat jelata, kan?”Kompak mereka tertawa mendengar kalimat Maya.“Bu, yang anak raja pacarnya Zahra,” Riyan menunjuk Zahra yang menyeringai sebal. “Itu harta 100 turunan kagak bakal habis kali. Mana anak semata wayang lagi.”“Martin, kan, namanya?” Riyan dan Ray mengacungkan dua jempol mereka. “Kalau ibu masih seusia kalian, kayaknya nggak bisa nolak juga pesona Martin.”Zahra tertawa senang. “Ambil aja, Bu. Saya ikhlas.”“Ikhlas, ikhlas, nanti ujungnya nangis,” canda Maya.Zahra menggeleng kuat, berusaha menyakinkan mereka bahwa dia tidak akan menangis bila Martin jadian dengan cewek lain. Namun, tidak ada yang percaya.Lambat laun kantin mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Zahra masih asyik berfoto dengan ponselnya. Riyan tengah menyantap es pisang ijo kesukaannya.“Ray, titip buku dan tas ibu, ya. Ibu mau ke toilet dulu.”Ray mengangguk mengerti. Maya keluar dari kantin lalu berbelok ke arah kanan. Ray mengambil buku materi pelajaran bahasa Inggris yang berisi tentang grammar. Dia membuka beberapa lembar halaman. Banyak catatan-catatan kecil di buku itu. Hingga pada halaman 35, ada secarik kertas kuning muda berbentuk perahu. Mata Ray melebar saat membaca isinya.Kamu, ya, kamuPengisi hatikuKamu, ya, kamuPembuat resah pikirankuKamu, ya, kamuPeremuk rasakuKamu, ya, kamuBukan tempatku berlabuhReihan YudhistiraRay segera menutup buku bahasa Inggris itu dan meletakkan ke posisi semula ketika mendengar bunyi sepatu mendekat. Dia langsung menyeruput es tehnya. Maya duduk di hadapannya, mengambil ponsel di tas. Ray tak menyangka wanita ini memiliki rasa pada kakaknya. Sudah sedalam apa perasaan itu? Namun, dia yakin rasa sakit akibat cinta bertepuk sebelah tangan lebih dalam daripada rasa cinta yang dirasakan.Dia menawarkan mengantar pulang, namun Maya menolak karena akan mampir ke toko buku. Sepeninggal Maya, Ray masih memikirkan curahan hati gurunya itu.“Yan, Ra,” panggilnya. “Kalian pernah ngerasain cinta bertepuk sebelah tangan?”“Nggak,” jawab mereka kompak.“Kamu tahu lah kecantikanku membuat hati para cowok klepek-klepek.” Ucapan Zahra seketika mengundang rasa mual Riyan dan Ray.“Kalau aku jujur belum pernah benar-benar ngerasain yang namanya jatuh cinta. Naksir-naksir wajarlah. Masalahnya papaku yang ala sinetron itu pasti punya rencana jodohin aku sama cewek dari anak kolega bisnisnya. Jadi,”Ray segera menutup bibir Riyan dengan tangannya. “Mending kamu pulang terus nulis novel.” Dibukanya bekapan tangan. “Jawab seperlunya bisa, kan?”“Mumpung otakku lagi encer, Ray.”“Kamu jatuh cinta sama siapa?” selidik Zahra. “Ketua cheerleaders, ya? Rania? Gosipnya kamu pernah nganterin dia pulang ke rumah.”“Itu aku ketemu di mall, pas mau balik, searah, ya, udah aku anterin pulang. Lagian daripada milih dia mending aku sama kamu aja, Ra,” Goda Ray.“Mending aku jomblo seumur hidup.”“Awas aja kalau lagi butuh traktiran.” Ray beranjak dari duduknya, berjalan mundur keluar dari kantin.“Yaelah, cuma traktiran doang pakai ngancam.” Zahra melambaikan dompet milik Ray.Ray meraba saku celana bagian belakang. Tak menyangka Zahra melakukan hal mustahil itu lagi. Zahra melempar dompetnya ke Riyan. Ray memburu mereka ke parkiran. Gerakan mereka lebih cepat. Dia duduk pasrah di lantai parkiran saat melihat motor Riyan melaju lebih dulu dengan Zahra membonceng di belakang. Ray memungut kartu pelajarnya yang dibuang oleh Zahra, sebagai bekal siapa tahu ada razia di jalan. Dia tersenyum, bersyukur masih memiliki sahabat-sahabat yang bisa menghibur seperti mereka. Dilajukannya motor menyusul sang dompet agar tidak berakhir tipis isinya.*****Reihan sekali lagi memandang cincin yang bertengger manis di kotak cincin berwarna merah. Senyum sedari tadi tak lepas dari bibirnya membayangkan Angela menerima lamarannya. Dia membatalkan melamar Angela di restoran. Sederhana dan penuh kejutan konsep yang dia pilih.Dia sadar keputusannya akan menyakiti hati adiknya. Namun, dia juga punya keyakinan Ray bisa menerima Angela suatu hari nanti. Reihan turun dari mobil, membawa mawar merah kesukaan kekasihnya. Di depan pintu apartemen, Reihan menekan beberapa kali bel pintu, namun tidak ada jawaban. Dia hendak menghubungi Angela tapi ingat mau memberi kejutan. Dia mencoba memutar gagang pintu yang berbentuk bulat. Terkejut karena ternyata tidak dikunci. Dia membuka pintu lebih lebar.“Angela, Sayang,”Tidak ada jawaban.“Kamu di mana, Sayang?”Samar-samar terdengar suara desahan. Kakinya menuju satu-satunya kamar di ruangan itu. Pintunya terbuka sedikit. Suara desahan semakin terdengar jelas. Pikirannya mulai diselimuti hal buruk. Didorongnya pintu kamar yang sedikit terbuka itu lebih lebar. Angela tengah bercinta dengan seorang pria yang tidak dikenalnya. Bibirnya menyerukan nama kekasihnya. Dua orang yang tengah dimabuk gairah itu terperangah.Reihan tak menghiraukan panggilan Angela. Apa yang dilihatnya sudah memberikan penjelasan lebih dari cukup. Dia tak pernah menyangka Angela mampu berbuat seperti itu padanya. Cintanya yang begitu tulus dibalas dengan pengkhianatan sekeji itu.Di dalam kamar, Reihan merobek semua fotonya bersama Angela yang dia tempel di dinding dalam figura photo, menghapus semua kenangan yang ada di ponselnya, menghapus nomor Angela walaupun dia hafal, mengumpulkan barang-barang yang pernah diberikan Angela kepadanya dan menumpuknya di dalam satu kardus."Sampai kapanpun aku nggak akan pernah memaafkanmu. Nggak akan pernah, Angela.”***** ***** *****Reihan mengupas kulit udang dengan cepat. Dia berusaha konsentrasi pada pekerjaaan. Tidak mau pikirannya terkontaminasi oleh Angela. Beberapa karyawan memperhatikan Reihan dengan tatapan heran. Pasalnya dari awal datang Reihan hampir mengerjakan semua yang seharusnya menjadi tugas karyawan yang lain. Mereka tidak berani berkomentar. Perasaan mereka mengatakan bahwa suasana hati sang bos tidak baik hari ini.“Maaf, Pak Reihan,” suara Tuti memecah suasana di dapur. Semua mata memandang si empunya suara. “Mbak Angela udah dateng.”“Bilang saya nggak masuk hari ini,” Ucapnya datar sembari mencincang bawang bombay.Tuti tidak bergeming dari tempatnya berdiri di ambang pintu dapur. Surdi memberikan tatapan kepada Tuti agar segera melaksanakan perintah Reihan.“Maaf, Pak, tapi tadi Mbak Angela bilang agar saya jangan berbohong.” kata Tuti pelan.Reihan membanting setengah keras pisau di meja dapur, membuat mereka melonjak kaget. Dia melangkah keluar dengan perasaan kesal. Dihampirinya Angela
Maya memperhatikan cekatannya Reihan dalam mengolah makanan. Saat mendengar kabar bahagia dari Ray, rasanya senyum tak bisa berhenti dari bibir. Walau Reihan sudah melarang membawa apapun, tapi dia tetap membeli beberapa bahan makanan tambahan seperti cumi, udang, dan ayam. Berbagai menu makanan yang lezat dan cantik presentasinya, membuat dirinya enggan untuk menyantap.Lagu selamat ulang tahun dinyanyikan dengan penuh kegembiraan. Saat tiup lilin Maya tidak memohon apapun. Dia bersyukur karena diberi kesempatan merayakan ulang tahun bersama dengan pria yang dia sukai walau tak bisa memiliki.“Kak Rei, masakannya enak banget. Aku jadi pengin punya suami kayak Kak Rei. Pasti yang jadi istri Kak Rei beruntung banget,” Puji Zahra.“Nanti aku ajarin Ray masak, deh.”“Apa hubungannya sama Ray?”“Kata Riyan kalian bakal jadi laki bini.”“Maaf, ya, Kak, walaupun Ray pria terakhir yang ada di dunia ini, aku ogah sama dia.”“Bia
Seorang wanita berwajah putih pucat berjalan sedikit tertatih menuju lobby apartemen. Usia kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan, membuatnya harus lebih berhati-hati. Salah satu petugas keamanan mendekat padanya.“Ada yang bisa saya bantu, Bu?”“Iya, Pak,” jawabnya lemah. “Apa bapak kenal dengan Reihan?”“Reihan? Reihan siapa, Bu?”“Dia chef. Dia tinggal di sini.”“Oh, Chef Reihan,” petugas keamanan itu mengangguk mengerti. “Iya, saya tahu. Dia sudah pindah unit di tower sebelah seminggu yang lalu. Saya juga bantu beliau pindahan.”Wanita itu menghela napas lemah. Rasanya tak sanggup bila dia harus berjalan ke tower sebelah. Kakinya sudah lelah.“Pak, bisa saya pinjam telepon lobby untuk menghubungi dia?”“Bisa, Bu. Silakan.”Petugas keamanan itu membantu si wanita menuju meja resepsionis. Wanita itu memberikan nomor ponsel Reihan. Berulang kali dihubungi namun tak ada jawaban dari Reihan. Dengan
Reihan memandang foto-fotonya bersama Intan semasa mereka kecil. Masih teringat ketika Intan menelepon sambil menangis karena melihat orangtuanya bertengkar. Dia berlari bahkan tanpa alas kaki ke rumah Intan yang jaraknya 200 meter dari rumahnya. Intan duduk di sudut ruang tamu dengan wajah penuh ketakutan. Dia gendong dan bawa pulang ke rumah. Bahkan memeluknya hingga tertidur.Setahun yang lalu, dia dan Tante Silva meminta Intan agar tinggal bersama Tante Silva. Namun Intan menolak. Intan lebih memilih mandiri. Setelahnya dia sulit menghubungi Intan. Dia sudah mendatangi kostan Intan namun pemilik kost bilang tidak pernah menerima orang kost atas nama tersebut. Artinya Intan bohong saat memberitahu alamat kost tersebut padanya.Sekarang dia sudah lega Intan bersamanya lagi. Tak akan dia biarkan wanita itu disakiti lagi oleh siapapun. Dia akan melindunginya dengan segenap hati.Reihan keluar dari kamar menuju lantai bawah. Ray tengah menyuapi Intan pecel
Reihan melambaikan tangan saat melihat mereka di lobby mall. Silva dan Helen memeluk sayang Intan. Helen menghapus air mata Intan yang tanpa sadar mengalir.“Kita mau happy-happy, nggak boleh ada air mata.” Silva menggenggam jari-jemari Intan.“Kita bersyukur bisa ketemu sama kamu lagi. Om senang banget.” Fadil membelai lembut kepala Intan.“Makasih banyak Om, Tante. Aku nggak tahu gimana balasnya.”“Nggak boleh ngomong gitu. Nggak ada sutradara casting film.” Ujar Fadil.Intan tersenyum. Dia memeluk Silva sekali lagi. Reihan membuka kursi roda untuk Intan. Mereka lanjut jalan keliling mall berbelanja kebutuhan Intan.“Mbak Silva,” Sapa Diana. “Kalian tumben belanja bareng.” Diana menatap senang keluarga lengkap mereka. “Ini siapa?”Intan mengulurkan tangan yang disambut ramah Diana. Tak lama muncul Erlangga dan Riyan. Intan berkenalan dengan mereka.“Berdua lagi akur, nih,” Diana menunjuk suami dan anaknya, “ma
Maya menatap kagum pada sahabatnya yang sudah memakai lengkap busana pengantin adat Jawa. Nani terlihat seperti puteri keraton.“Aku gugup banget. Semalam juga susah tidur.” Nani menggenggam erat jari jemari sahabatnya.“Wajar, dong, memang itu yang dirasain calon pengantin.” Maya mengelus lembut bahu sahabatnya. “Satu yang pasti, kamu cantik banget hari ini. Mas Gunawan pasti nggak bisa mengalihkan matanya darimu.”Nani tersenyum malu. “Makasih Maya.”Di sisi lain, di sebuah ruangan yang dijadikan dapur, Reihan mengecek sekali lagi makanan untuk pesta pernikahan Nani. Tiba-tiba ponselnya bergetar di saku celana. Reihan melihat nama adiknya. Dia keluar ruangan lalu menekan tombol jawab.“Reihan, gimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Ternyata dia bohong. Pernikahannya hari ini, bukan dua minggu lagi.” Intan mulai menangis.“Intan,”“Aku harus ke sana untuk membatalkan pernikahan dia. Aku nggak mau anakku lahir tanpa aya
Ray terkejut ketika membuka pintu apartemen karena Maya sudah ada di depan pintu. “Bu Maya,” Ray memegangi dadanya. “Bikin kaget, aja. Horor deh.”“Maaf, Ray, ibu baru aja mau pencet bel pintu, malah pintu udah dibuka.”“Masuk saja, Bu. Saya mau beli sirup pesanan Kak Intan.”“Terima kasih Ray.”Maya duduk di sofa ruang tamu, meletakkan tas dan melepas jaket. Diambilnya tabloid yang ada di meja. Dia hanya membaca sekilas beberapa judul artikel halaman demi halaman. Samar-samar didengarnya suara dari arah kamar yang ada di sebelah ruang tamu.“Dia cewek yang baik, lho. Sekarang dapat cewek baik-baik susah, Rei. Yang bisa diajak hidup bersama dan nggak mementingkan diri sendiri.”“Udah berapa kali aku bilang, aku nggak tertarik sama Maya. Aku hanya anggap dia teman saja. Nggak lebih dari itu.”Tubuh Maya seketika kaku. Hatinya perih. Air mata mengalir tanpa sadar.Apa aku nggak memiliki daya tarik apapun di matany
Reihan terpaku di tempat saat bertemu dengan mantannya di tempat senam hamil. Angela nampak terlihat pucat. Matanya melihat ke arah perut wanita itu. Tidak terlihat hamil karena tertutup mantel baju yang besar atau mungkin usia kandungan belum terlalu besar. Angela menyunggingkan senyum namun tak dibalasnya. Dia berlalu meninggalkan mantannya itu, menyambut Intan yang sudah keluar kelas.“Gimana kelasnya?”“Tadi diajarkan cara menguasai diri agar nggak panik saat lahiran.”Reihan menggandeng tangan Intan. Mereka berjalan menuju parkiran. Di luar beberapa petugas medis tengah membawa tandu. Matanya melebar saat tahu siapa yang dibawa dalam tandu oleh petugas medis itu. Angela. Mobil ambulance melaju melewatinya. Dia bertanya pada beberapa orang di sana.“Kurang tahu kenapa, tapi yang saya lihat ibu itu tiba-tiba pingsan. Semoga jabang bayinya nggak apa-apa. Kasihan.”Sepanjang perjalanan pulang, dia memikirkan siapa yang menghamili Angela.
Zahra dan Helen membujuk Shafira untuk makan tapi selalu ditolak. Padahal tubuhnya demam. Ray menarik tubuh Shafira agar bangun. Gadis itu menangis di pelukan Ray.“Dia nggak balas pesan aku. Telepon juga nggak diangkat. Aku nggak mau putus. Aku cinta mati sama dia.”Ray tahu pasti cinta Shafira yang dalam untuk pria itu. Shafira bahkan rela menyamar menjadi pelayan cafe di tempat temannya agar bisa lebih dekat dengan Doni.Ray menghapus sisa-sisa air mata Shafira. “Sekarang makan dulu, minum obat, kalau kamu nurut aku bawa nemuin dia.”“Dia pasti nggak mau ketemu aku lagi. Aku sudah bohongi dia. Dia paling benci pembohong.”“Seenggaknya kamu bisa jelasin ke dia alasan kamu bohong. Kalau dia ngerti syukur, kalaupun dia tetap nggak mau lanjutkan hubungan, relakan.” Shafira menangis lagi. “Sini Aa Ray suapin anak manja.” Ray mengambil piring berisi makanan dari Helen. “Keahlianmu maling kembang pengantin nggak diragukan lagi, Doni nggak mun
Ardi dan Rachel kompak menepukkan spon bedak ke pipi Gunawan karena kalah main ular tangga. Reihan tersenyum melihatnya. Dia bersyukur Ardi sudah bisa dekat dengan ayah kandungnya. Walau masih memanggil dengan sebutan Om. Mereka sepakat akan memberitahu Ardi bila sudah cukup umur.“Aduh, Om payah. Masa main ular tangga kalah terus. Mukanya jadi kayak donat gula.” Ardi geleng-geleng lalu menghela napas. Gunawan tersenyum malu.“Masa sudah gede kalah sama anak kecil.” Rachel menepuk dahinya.“Iya, deh, yang lagi merasa hebat.”Ardi mengajak Rachel bermain bola besar kesukaan mereka. Gunawan mengawasi dari kejauhan. Hatinya bahagia bisa sedekat ini dengan anaknya.“Waktunya minum obat.” Reihan mengingatkan. Dia meletakkan nampan berisi obat dan air putih.Gunawan meminum obatnya tanpa protes. Maya memotret dengan ponselnya dan mengirimkan ke Dokter Hilda.“Kalian sekarang jadi sekutunya Hilda. Nyebelin banget.”“Ki
Ray tersenyum geli melihat Zahra yang mengenakan kemeja birunya. Kemejanya seolah menenggelamkan tubuh langsing gadis itu. Zahra naik ke ranjang dan menyandarkan punggungnya pada dada bidang Ray.“Ray, rasanya nyaman banget seperti ini.” Dikecupnya berulang kali punggung tangan kanan Ray.Ray singkap rambut panjang Zahra dan mengecup mesra lehernya. Didekapnya lembut tubuh itu. Zahra menikmati leher jenjangnya dimesrai.“Mau jalan ke mana?”“Nggak tahu, deh. Bingung.”Zahra berbalik. Dia duduk di pangkuan Ray. Dua tangannya meraba dada bidang Ray yang polos. Dia mengecupinya lalu naik ke leher. Dia tertawa senang ketika tubuhnya ditindih. Bibirnya menyambut penuh gairah bibir Ray.“Rambut kamu sudah panjang, Sayang. Besok aku temani ke salon.”“Boleh. Sekalian kencan pertama kita.”Zahra mengangguk setuju. Dia tertawa geli ketika Ray menggelitik perutnya.“Ray, ah, geli, Ray,”Zahra berhasil me
Maya menyambut senang adik iparnya yang datang bersama Riyan dan Diana. Dia mencubit gemas pipi Ray saking kangennya.“Tolong, ya, tangan dikondisikan.” Ujar Reihan melirik sebal.“Ray gemesin kayak boneka.”Reihan ikut mencubit gemas pipi adiknya. Diana tertawa geli melihat itu. Riyan memberikan parcel buah pir untuk Maya.“Tante makasih banyak. Tahu aja kalau lagi pengin yang seger.”“Ibu hamil pasti penginnya makan yang seger. Malah dulu tante pas hamil Riyan pengin makan bakso yang pedes banget tapi nggak boleh. Kasihan bayinya.”“Iya, Tan. Aku kangen banget makan sambel ikan asin jambal yang super pedes. Tapi nunggu sampai lahiran aja.”Diana dan Riyan hanya sebentar bertamu lalu pamit karena mau jalan-jalan. Ray mengantar mereka hingga keluar gerbang. Setelah mobil Riyan pergi, dia melihat mobil lain berhenti di depan pagar. Dia tak jadi mengunci pintu gerbang. Xavier keluar dari mobil.“Ray,” sapa Pak Xav
Zahra terkesiap ketika bahunya ditepuk oleh Martin. Dia tersenyum.“Pagi-pagi sudah ngelamun.”Zahra tak punya kalimat apapun untuk menjawab Martin. Sudah berhari-hari pikirannya dipenuhi oleh Ray dan ciumannya. Dia akui menyesal tidak membalas ciuman Ray. Saat menjenguk Ardi di rumah sakit tempo lalu, dia sengaja tidak menyapa pria itu. Dia masih bingung bagaimana harus bersikap.“Kamu mau ikut main golf nggak?”“Nggak. Mau di rumah aja.”“Pagi,” sapa Pak Thomas. Dia duduk di seberang mereka. “Zahra, kapan Pak Gunawan operasi transplantasi?”“Lusa, kenapa, Pa?”“Kalau mau jenguk kabari Papa. Sore ini Papa dan Martin harus balik ke Singapura.”“Kalian gitu banget sama aku, ditinggalin terus. Lama-lama aku minggat juga.” Zahra meletakkan garpu dan sendoknya di piring, tak jadi sarapan.Pak Thomas saling pandang dengan Martin. Belum sempat mereka menjelaskan, Zahra sudah beranjak menuju kamarnya di atas.
Reihan dan Maya menyiapkan berbagai hidangan lezat untuk menyambut para tamu. Mereka mengadakan syukuran karena masalah pelik yang ada berakhir dengan damai. Pihak Gunawan mencabut perkara hak asuh Ardi dan mengikhlaskan Ardi dirawat oleh pihak Reihan. Gunawan tidak mau Ardi memiliki moment buruk dalam hidup seperti dirinya. Reihan membebaskan Gunawan untuk menemui Ardi kapanpun dia mau. Kesepakatan tersebut disambut baik oleh kedua belah pihak.Reihan menggandeng Ardi untuk menemui Gunawan. Anak itu masih takut dan bersembunyi di belakang tubuhnya. Reihan membujuk lembut untuk mau berjabat tangan dengan Gunawan.“Jangan dipaksa, Rei.” Suara Gunawan bergetar sedih. Akibat ulahnya anak kandungnya sendiri takut hanya untuk sekedar melihatnya.“Sayang, Om Gunawan orang baik. Beliau ingin jadi teman Ardi dan Rachel.” Maya menyatukan tangan Ardi dan Rachel. “Kalian mau, kan, jadi temannya Om Gunawan?”“Om Gunawan bawa banyak mainan buat kita. Baik bang
Reihan prihatin melihat Gunawan yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Banyak peralatan medis yang terpasang di tubuhnya. Pria yang dia kenal kejam dan mampu melakukan apapun karena kekayaan dan kekuasaan yang dipunya, sekarang hanyalah pria tak berdaya.“Terima kasih sudah mau menjenguk Pak Gunawan.” Xavier berdiri di sebelahnya. “Beliau sudah melewati masa kritis.” Memandang sedih bosnya. “Oiya, bagaimana keadaan Ardi?”“Dia masih belum bisa bicara. Tapi kami sudah konsultasi dengan ahli terapi bicara dan Psikolog anak. Dia sedang menjalani terapi.”“Semoga Ardi lekas bisa berbicara kembali.”“Kalau begitu, saya pamit. Bila Gunawan sudah siuman segera hubungi saya.”Sampai di rumah, Reihan mendapati Ardi sedang menggambar. Dia mengecup pipi anaknya dengan gemas. Ardi menggambar anggota keluarga mereka. Rachel yang jahil memprotes gambar Ardi.“Aku cantik, masa di gambar jelek gini.” Rachel membaca kalimat yang Ardi tulis.
Reihan lumayan terkejut dengan kedatangan Nani dan Adam yang mendadak. Wajah mereka nampak khawatir.“Ada apa? Tumben nggak kasih kabar dulu kalau mau datang.”“Aku mau kalian jujur,” Nani menatap serius mereka. “Apa dia ganggu kalian?”“Dia siapa?” tanya Maya.“Mas Gunawan.”Reihan dan Maya saling pandang khawatir. Mereka mengangguk pelan.“Dari mana kamu tahu dia mulai mengusikku?” Reihan memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi.“Ada yang mau aku sampaikan. Jujur aku nggak enak banget ngomong ini sama kalian.” Adam menghela napas lelah. “Tapi tetap harus aku sampaikan.” Adam membuka map yang sedari tadi dipegangnya. “Dia menunjuk papaku sebagai kuasa hukumnya untuk merebut hak asuh Ardi.”Reihan dan Maya membaca berkas tersebut. Mereka pernah memikirkan hal ini dan siap menghadapi Gunawan untuk memperjuangkan Ardi. Namun mereka tak menyangka bila yang harus mereka hadapi Papa Adam.“Papa sebenarn
Ray memberikan air mineral dingin dalam kemasan botol pada Zahra. Shafira datang dengan semangkuk es krim.“Rasanya pengin berendam di kolam es buah.” Shafira menyuap es krimnya. “Bawel banget emaknya. Pengin aku lakban.”Zahra mengelus punggung Shafira untuk menenangkan. “Sabar, orang sabar disayang Doni.”Shafira tersenyum simpul. “Untung anaknya pengertian. Aku jadi nggak enak sendiri, anaknya minta maaf terus.”“Memang masalahnya apa?” Ray duduk di sebelah Shafira.“Makanannya. Dia bilang nggak enak. Salah sendiri pilih menu nggak jelas. Aku sudah saranin ikut menu favorit, emaknya nggak mau. Makanan setengahnya jeroan semua. Gulai otak sapi, sambal goreng hati sapi, soto babat sapi, sate ampela hati ayam, haduh nggak jelas banget. Nggak semua orang bisa makan menu begitu, apalagi yang sudah tua. Aku sampai lihat bapak-bapak sudah sepuh, cuma makan nasi sama kerupuk udang doang. Aku malu banget sebagai penyelenggara WOnya. Baru kali i