Maya menggeram kesal saat menceritakan kejadian tempo lalu di sekolah pada sahabatnya, Nani. Sahabatnya itu hanya bisa geleng-geleng sambil terkikik geli.
“Aku puas banget mereka dihukum bersihin halaman sekolah selama seminggu.”“Namanya juga anak ABG, kelakuannya pasti aneh-aneh. Harus ekstra sabar.”“Anak itu nakal banget. Apa orangtuanya nggak didik dia sopan santun? Nggak ngajarin dia hal-hal yang baik? Heran, deh.”“Mungkin orangtuanya terlalu sibuk dengan pekerjaan jadi dia terbengkalai gitu.”Maya memikirkan kemungkinan hal itu. “Bisa jadi.”“By the way kita udah sampai di restorannya.” Nani menunjuk plang Restoran Nusantara. Dilepaskannya sabuk pengaman.Sampai di depan restoran mereka menemui salah satu pramuria wanita untuk bertemu dengan pemiliknya. Tak lama si pramuria muncul dengan seseorang berpakaian chef. Mereka duduk dekat dengan etalase berisi berbagai macam roti dan kue.“Saya mau konfirmasi pesanan catering untuk acara keluarga saya. Ada beberapa menu yang mau saya ubah.”Mereka melanjutkan diskusi perubahan menu. Maya yang tidak ikut dalam diskusi tersebut mulai curi-curi pandang pada pemilik restoran. Kata manis lebih tepat disematkan untuk pria ini. Kulit sawo matang. Perawakan yang tegap dan tinggi sebenarnya lebih cocok sebagai perwira TNI. Hidung lumayan bangir. Tatapan mata pria ini yang paling dia suka. Teduh.Untuk sejenak, mata mereka beradu pandang. Maya mengerjapkan mata. Dia mengambil ponsel di tas untuk mengalihkan perhatiannya.“Semoga hidangan kami nantinya berkenan di hati Anda, keluarga dan para tamu.”“Kalau begitu saya pamit. Ayo, Maya.”Maya beranjak pelan dari duduknya. Matanya melirik ke deretan roti dan kue di etalase yang langsung memberikannya ide untuk sedikit lebih lama berada di restoran itu. Dia menanyakan jenis roti dan kue yang ada di etalase walau sebenarnya dia sudah tahu. Dia bahkan memancing dengan pertanyaan seputar resep kue bika ambon kesukaan mamanya. Nani melihat jam tangannya. Disadari atau tidak Maya sudah menahan pemilik restoran agak lama.“Terima kasih banyak sudah berbagi ilmunya.” Maya tersenyum senang memandang kartu nama pemilik restoran. “Pak Reihan.”“Sama-sama. Jangan panggil Pak, panggil nama aja.” Maya mengangguk.“Kalau begitu, kami pamit.” Nani mengapit lengan Maya. “Selamat siang.”Di mobil Maya masih tertawa senang mengingat kejadian tadi. Dia memasukkan hati-hati kartu nama Reihan ke dompetnya.“Maya, Maya, kerasukan apa, sih, kamu?”“Croissant.” Maya menggigit ujung croissant keju yang dia beli di restoran Reihan. “Nan, itu restoran sudah ada lama? Bangunannya kayak sudah tua.”“Baru, kok. Memang desainnya sengaja dibikin begitu. Info dari temenku kalau nggak salah baru dua tahun buka.”“Termasuk ramai nggak restorannya?”“Ramai, apalagi masuk jam makan siang, sulit dapat tempat. Makanya harus reservasi dulu. Aku cocok banget sama rasa makanannya. Kapan-kapan kita makan siang di situ.”“Semua makanannya Indonesia?”“Nggak. Beragam, ada Western, Chinese, Timur Tengah, Jepang, dan uniknya menu mereka berubah setiap harinya. Jadi misal hari ini menu Indonesia, besok Chinese, lusa Western. Pokoknya nggak nyesel makan di situ.”“Kamu sudah kayak marketingnya aja. Jelas banget promosinya.”Nani tertawa geli. “Rencananya untuk acara pernikahan juga aku bakal pesan ke dia. Worth it untuk harga dan rasa.”Bunyi ponsel terdengar nyaring. Nani meminggirkan mobilnya ke tepi jalan. Tertera nama mamanya di layar.“Kalau gitu aku ke rumah sakit sekarang. Nanti kalau udah sampai aku kabari lagi. Ok, Ma, thanks.”“Kenapa, Nan?”“Calon ibu mertua masuk rumah sakit. Darah tingginya kumat. Sempat pingsan.”“Semoga lekas sembuh, ya.”Nani mengangguk kecil lalu melajukan kembali mobilnya.*****Maya berjalan mantap menuju kelas XII IPS 3. Dia buang jauh rasa takut. Dia tidak mungkin kalah dengan mereka yang umurnya lima atau enam tahun di bawahnya. Matanya mengarah ke atas pintu, tidak ada apapun. Kursi yang akan dia duduki, bersih, tidak ada lem atau kotoran apapun. Meja juga bersih. Diletakkannya buku-buku yang dia bawa di meja. Semua murid sudah duduk manis di kursinya masing-masing.“Selamat siang anak-anak.”“Selamat siang, Bu.”“Perkenalkan nama saya Maya. Saya,”“Tapi kamu nyata bagiku.”Matanya mengarah pada sumber suara. Rasanya ingin sekali melempar anak itu dengan kamus bahasa inggris yang tebal. Dia mengatur napas agar emosinya terkontrol. Berusaha tidak menanggapi ocehan tak bermanfaat.“Saya guru bahasa inggris kalian yang baru. Saya menggantikan Ibu Rika,”“Kita semua sudah tahu, Bu,” Sela suara itu lagi.Kali ini Maya tidak bisa mengabaikan gangguan dari anak menyebalkan itu.“Siapa namamu?” suaranya agak meninggi.“Ibu lupa? Kita pernah ketemu di depan kelas. Pak Kepala Sekolah juga sebut nama saya.”“Saya hanya ingat kamu itu anak nakal, biang onar, suka bolos, dan segala hal jelek lainnya.” Maya mengulang kata-kata kepala sekolah.“Ibu nggak asyik, masa yang diingat dari saya cuma yang jelek-jelek aja.” Beberapa murid cekikikan dengan celotehan anak itu.Maya kembali ke meja guru dan mengambil daftar absen. Dipanggilnya satu persatu murid-muridnya. Ketika sampai pada satu nama, perlu beberapa detik untuk tahu siapa pemilik nama itu. Rayendra Krisna. Perlahan tangan anak menyebalkan itu terangkat ke atas. Maya melanjutkan memanggil yang lainnya. “Ibu rasa cukup perkenalannya. Kita mulai pelajaran bahasa inggris hari ini dengan tema conjunction. Siapa yang bisa sebutkan jenis-jenis conjunction, ibu kasih poin 5.”Beberapa murid mengangkat tangannya ke atas. Maya menunjuk murid perempuan berambut keriting.“Good, five point for you. Ok, guys, we,”“Aksen ibu nggak banget, deh,” Celetuk Ray. “Kuping saya berasa gatel. British nggak, American juga nggak. Logat Indonesianya masih kental. Saya merasa nggak belajar bahasa inggris. Kok, bisa sekolah bergengsi seperti ini nerima ibu ngajar? Ibu punya koneksi kuat, ya, di sekolah ini?”Wajah Maya memerah. Dia merasa terhina. Semua anak memandang bergantian ke arahnya dan Ray.“Maaf, tapi saya nggak tertarik dengan kelas ibu. Membosankan.”Ray keluar dari kelas. Maya menyabarkan hati agar tidak menuruti emosinya. Sekaya apa keluarga anak itu hingga berani merendahkan orang lain?“Kita lanjutkan materinya.” Maya membuka halaman bukunya.*****Ray membentangkan tikar di bawah pohon mangga. Dia merebahkan tubuhnya, bersantai menikmati semilir angin. Jari jempol, telunjuk kanan dan kiri bergabung membentuk bingkai untuk langit dan dedaunan pohon mangga. Dia tersenyum tahu apa hadiah yang dia mau saat ulang tahunnya nanti. Kamera.“Ray, diusir lagi dari kelas?” sahabatnya ikut merebahkan diri di samping kanannya.“Aku yang keluar sendiri dari kelas. Kamu sendiri ngapain di sini?”“Aku ujian ekonomi tapi lisan. Dapat giliran pertama. Selesai langsung boleh pulang.”“Kenapa nggak pulang?”“Aku nungguin Zahra. Minta temenin pilih kado buat ulang tahun cucu teman mama.”“Ikut dong. Kalian kencan diam-diam.”“Mulut jangan bikin gosip, ya. Kalau ada yang dengar dan sampai kupingnya Martin, jadi bubur eike.”“Hai teman-temanku tersayang,” sapa Zahra riang. Dia menghampiri mereka dengan kertas ujian melambai di tangan. Ray dan Riyan bangkit dari rebahan.“Sombong amat, mentang-mentang dapat nilai bagus.” Ray mengambil kertas ujian Akuntansi Zahra yang bernilai seratus.“Harus dong sombong.” Zahra duduk di samping kiri Ray. Diambilnya kembali kertas ujian dari tangan Ray dan melipatnya lalu memasukkan ke dalam tas. “Yan, berangkat sekarang?”“Pas pulang sekolah aja. Ray PA mau ikut.”“Kamu bolos kelas lagi?” Zahra menepuk bahu Ray sedikit keras. Ray mengangguk kecil. “Ray, jangan gitu, deh. Walau nggak suka sama gurunya jangan sampai bolos kelas. Kalau kamu sampai nggak lulus gimana?”“Tinggal pindah sekolah aja, kok, repot,” Jawab Ray enteng.“Jangan gitu, Bro. Kita udah janji lulus bareng.”“Habisnya aku udah nggak ada feel buat sekolah. Kalian nggak capai apa tiap hari belajar mulu? Memang dipakai yang kita pelajari di sekolah? Belum tentu.”“Mau dipakai atau nggak, sekolah itu sebagai dasar kita belajar,” Ucap Zahra. “Di luar sana banyak anak-anak yang kurang beruntung nggak bisa sekolah.”“Jangan pakai drama kemiskinan, aku nangis, nih.”“Habisnya susah bikin kamu sadar.”“Seenggaknya kamu lulus, udah bikin kita seneng.” Tambah Riyan.“Setelahnya kamu mau jadi apa, itu terserah kamu. Kasihan Kak Reihan dapat surat panggilan dari sekolah terus.”“Iya, iya, aku nggak bakal bolos kelas lagi.”Zahra mencubit gemas kedua pipi Ray. “Gitu dong anak ganteng.”“Sekali-kali disun sayang, bukan dicubit.” Goda Ray.“Ray, sun-nya Zahra cuma buat Martin.”Zahra tersenyum malu. “Martin nggak pernah minta sun kayak Ray PA.” Dia beranjak dari duduknya. “Ke kantin aja, yuk.” Dilemparnya dompet Ray ke Riyan yang langsung ditangkap sigap.“Ra, belajar nyopet di mana?”Zahra hanya menjulurkan lidahnya lalu lari bersama Riyan menuju kantin. Ray menggulung tikar dan menyandarkan di dekat pohon mangga. Dia tak habis pikir dengan kecepatan tangan Zahra mengambil dompetnya dari saku celana sekolah. Sambil menuju kantin, dia mencoba berbagai gerakan mengambil dompet di saku celana tanpa terasa tapi tak bisa.*****Perasaan kesal itu masih memenuhi hati. Tak pernah dia dihina seperti ini oleh anak yang lebih muda darinya. Kalau memang mau memberi kritik terhadap aksennya dalam bahasa Inggris, seharusnya disampaikan dengan baik. Tidak menyakitkan seperti ini.“Bu Maya kenapa mukanya cemberut gitu?” tanya Bu Diyah.“Biasa Bu, kesel sama si biang onar.”“Oalah Ray.” Bu Diyah tertawa. “Nggak usah diambil hati omongan dia. Sakit hati sendiri.”“Memangnya nggak ada satupun guru di sekolah ini yang bisa bilangin dia?”“Bukan nggak bisa bilangin, tapi udah pasrah alias nyerah. Kepala sekolah aja dibantah sama dia. Malah pernah ban mobilnya kepala sekolah dikempesin.”“Keluarganya sekaya apa sampai dia belagu banget di sekolah ini?”“Gaji kita aja kalah sama uang saku dia sebulan. Kalau yang saya dengar,” Bu Diyah lebih mendekatkan diri ke Maya. “keluarganya tuan tanah. Mereka juga salah satu penyandang tetap donatur di sekolah ini. Kakaknya selalu kirim makanan atau parcel setiap bulan ke sekolah untuk guru-guru. Bisa dibilang sebagai bentuk permintaan maaf kalau Ray bikin onar di sekolah.”Maya teringat bingkisan kain batik yang masih dia simpan di loker. Pemberian keluarga Ray sebagai permintaan maaf atas kejadian air comberan. Dia tak berani membawa pulang, khawatir dicap sebagai penerima suap. Terlebih lagi dia guru baru di sekolah ini.“Saya tetap mau lapor ke Pak Kepala. Biar dia tahu kalau kelakuannya salah. Anak itu harus disadarkan.”“Semoga berhasil, Bu. Tapi saran saya jangan berharap banyak.” Bu Diyah menyampirkan tas ke bahunya. “Saya duluan.”Maya mengangguk kecil. Dia membereskan buku-buku di mejanya. Sekali lagi memikirkan perkataan Bu Diyah. Dia tidak peduli Ray anak siapa dan sekaya apa keluarganya. Dia hanya mau membuat anak itu sadar akan kesalahan yang sudah diperbuat. Tidak semua hal di dunia ini bisa dibeli dengan uang.*****Reihan menunggu di ruang kepala sekolah dengan perasaan kesal menggunung. Kemarin dia mendapat telepon langsung dari kepala sekolah tentang kelakuan adiknya yang sudah keterlaluan, menghina guru bahasa Inggris yang baru. Reihan tidak meminta penjelasan apapun pada Ray karena sudah tahu watak adiknya seperti apa. Sekarang yang ada di benaknya hanya merangkai kata agar guru bahasa Inggris itu mau memaafkan kesalahan adiknya.“Reihan?” dahi Maya mengernyit. Matanya mengarah bergantian dari Reihan ke Ray.“Wah, Ibu kenal kakak saya?” Ray nampak antusias. “Di mana, Bu?” matanya berubah arah pandang ke kakaknya. “Kak Rei kenal di mana sama Bu Maya?”“Diam kamu!” seru Maya dan Reihan kompak. Ray merengut sebal.Maya shock mendapati fakta mereka kakak beradik. Reihan yang penuh sopan santun dan Ray yang ceplas-ceplos. Sepertinya mereka saudara yang tertukar.Reihan minta maaf atas kelakuan adiknya dan berusaha menyakinkan Maya bahwa itu hanyalah keisengan remaja semata. Maya yang masih terpeng
Kehadiran Maya membawa perubahan besar dalam hidup Ray. Dia semakin semangat belajar. Para guru yang selama ini meremehkan terpukau dengan kemampuannya meningkatkan semua nilai mata pelajaran. Dia juga mampu menyelesaikan soal-soal matematika kelas IPA. Mata pelajaran bahasa Inggris menjadi favoritnya. Dia bisa menggoda gurunya itu dengan membenarkan pengucapan bahasa Inggris beraksen British. Di dalam kelas gurunya itu akan tersenyum dan berterima kasih atas koreksi yang diberikan. Namun, setelah jam pelajaran selesai, dia akan dihukum mengerjakan soal-soal ujian nasional beberapa tahun lalu. Tentu saja sambil menyantap bekalnya dan memuji masakan kakaknya.Reihan melihat dari balik pintu menuju ruang makan, keakraban Ray dan Maya. Tidak seperti guru dan murid, tapi kakak dan adik. Saat Ray meminta ijin agar Maya menemaninya belajar di akhir pekan, dia langsung setuju. Nilai-nilai adiknya naik ke level sempurna. Ray bahkan sudah tidak pernah pulang larut malam. Surat panggilan dari se
Ray mencolek dari belakang bahunya. Reihan menghentikan gerakan penanya di buku agenda. Matanya beralih fokus pada Ray yang sudah duduk di samping kanannya.“Sebentar lagi aku ulang tahun,” senyum senang tersungging. “Rencananya aku mau rayain di restoran, undang teman-teman sekelasku, Bu Maya, Riyan dan Zahra. Boleh, ya, aku pinjam restorannya Sabtu depan?”“Sabtu?” suara Reihan terdengar keberatan.“Kenapa? Nggak bisa?” raut wajah Ray seketika berubah masam.“Maaf, Ray, nggak bisa. Restoran mau aku pake untuk melamar Angela.”Ray langsung beranjak dari duduknya. Matanya melotot marah.“Kapan aku memberi restu kakak bisa menikah dengan Angela?!“Apa yang salah dengan Angela?” Reihan berusaha untuk tetap bersikap tenang.“Fine, kakak tetap pilih dia. Aku yang keluar dari apartemen ini!”Reihan hanya mampu menatap hampa punggung adiknya yang menjauh. Tak lama terdengar bantingan pintu yang keras dari lantai atas. Reihan hembuskan napas perlahan untuk menenangkan hati agar emosi tidak te
Ketukan di pintu kamar membuat Ray menghentikan gerakan bola matanya membaca rangkaian kata di buku. Tante Silva tersenyum ramah saat dia membuka pintu. Sejak bertengkar dengan kakaknya, dia menginap di rumah Tante Silva.“Kakakmu datang, temui dulu,” Ucap Silva lembut. Ray menggeleng kuat. “Jangan kayak gitu sama kakakmu. Dia sayang sama kamu.”“Kalau dia sayang aku, ngapain dia lebih pilih Angela?”“Ray, setiap orang punya pilihan dalam hidupnya. Kakakmu memilih Angela karena dia mencintai wanita itu. Tante juga udah dikenalkan dengan Angela. Dia wanita yang sopan, baik, tutur katanya juga lembut. Dia bisa jadi kakak ipar yang,”“Nggak!” potong Ray cepat. “Sampai kapanpun aku nggak akan pernah merestui Kak Rei dengan wanita itu.”Silva menepuk-nepuk pelan bahu Ray. “Saran tante, kamu dan Reihan bicara empat mata. Sampaikan apa yang kamu nggak suka dari Angela. Siapa tahu itu bisa jadi koreksi Angela untuk memperbaiki diri.”“Percuma, Kak Rei lagi buta cinta, aku kasih alasan masuk ak
Reihan mengupas kulit udang dengan cepat. Dia berusaha konsentrasi pada pekerjaaan. Tidak mau pikirannya terkontaminasi oleh Angela. Beberapa karyawan memperhatikan Reihan dengan tatapan heran. Pasalnya dari awal datang Reihan hampir mengerjakan semua yang seharusnya menjadi tugas karyawan yang lain. Mereka tidak berani berkomentar. Perasaan mereka mengatakan bahwa suasana hati sang bos tidak baik hari ini.“Maaf, Pak Reihan,” suara Tuti memecah suasana di dapur. Semua mata memandang si empunya suara. “Mbak Angela udah dateng.”“Bilang saya nggak masuk hari ini,” Ucapnya datar sembari mencincang bawang bombay.Tuti tidak bergeming dari tempatnya berdiri di ambang pintu dapur. Surdi memberikan tatapan kepada Tuti agar segera melaksanakan perintah Reihan.“Maaf, Pak, tapi tadi Mbak Angela bilang agar saya jangan berbohong.” kata Tuti pelan.Reihan membanting setengah keras pisau di meja dapur, membuat mereka melonjak kaget. Dia melangkah keluar dengan perasaan kesal. Dihampirinya Angela
Maya memperhatikan cekatannya Reihan dalam mengolah makanan. Saat mendengar kabar bahagia dari Ray, rasanya senyum tak bisa berhenti dari bibir. Walau Reihan sudah melarang membawa apapun, tapi dia tetap membeli beberapa bahan makanan tambahan seperti cumi, udang, dan ayam. Berbagai menu makanan yang lezat dan cantik presentasinya, membuat dirinya enggan untuk menyantap.Lagu selamat ulang tahun dinyanyikan dengan penuh kegembiraan. Saat tiup lilin Maya tidak memohon apapun. Dia bersyukur karena diberi kesempatan merayakan ulang tahun bersama dengan pria yang dia sukai walau tak bisa memiliki.“Kak Rei, masakannya enak banget. Aku jadi pengin punya suami kayak Kak Rei. Pasti yang jadi istri Kak Rei beruntung banget,” Puji Zahra.“Nanti aku ajarin Ray masak, deh.”“Apa hubungannya sama Ray?”“Kata Riyan kalian bakal jadi laki bini.”“Maaf, ya, Kak, walaupun Ray pria terakhir yang ada di dunia ini, aku ogah sama dia.”“Bia
Seorang wanita berwajah putih pucat berjalan sedikit tertatih menuju lobby apartemen. Usia kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan, membuatnya harus lebih berhati-hati. Salah satu petugas keamanan mendekat padanya.“Ada yang bisa saya bantu, Bu?”“Iya, Pak,” jawabnya lemah. “Apa bapak kenal dengan Reihan?”“Reihan? Reihan siapa, Bu?”“Dia chef. Dia tinggal di sini.”“Oh, Chef Reihan,” petugas keamanan itu mengangguk mengerti. “Iya, saya tahu. Dia sudah pindah unit di tower sebelah seminggu yang lalu. Saya juga bantu beliau pindahan.”Wanita itu menghela napas lemah. Rasanya tak sanggup bila dia harus berjalan ke tower sebelah. Kakinya sudah lelah.“Pak, bisa saya pinjam telepon lobby untuk menghubungi dia?”“Bisa, Bu. Silakan.”Petugas keamanan itu membantu si wanita menuju meja resepsionis. Wanita itu memberikan nomor ponsel Reihan. Berulang kali dihubungi namun tak ada jawaban dari Reihan. Dengan
Reihan memandang foto-fotonya bersama Intan semasa mereka kecil. Masih teringat ketika Intan menelepon sambil menangis karena melihat orangtuanya bertengkar. Dia berlari bahkan tanpa alas kaki ke rumah Intan yang jaraknya 200 meter dari rumahnya. Intan duduk di sudut ruang tamu dengan wajah penuh ketakutan. Dia gendong dan bawa pulang ke rumah. Bahkan memeluknya hingga tertidur.Setahun yang lalu, dia dan Tante Silva meminta Intan agar tinggal bersama Tante Silva. Namun Intan menolak. Intan lebih memilih mandiri. Setelahnya dia sulit menghubungi Intan. Dia sudah mendatangi kostan Intan namun pemilik kost bilang tidak pernah menerima orang kost atas nama tersebut. Artinya Intan bohong saat memberitahu alamat kost tersebut padanya.Sekarang dia sudah lega Intan bersamanya lagi. Tak akan dia biarkan wanita itu disakiti lagi oleh siapapun. Dia akan melindunginya dengan segenap hati.Reihan keluar dari kamar menuju lantai bawah. Ray tengah menyuapi Intan pecel
Zahra dan Helen membujuk Shafira untuk makan tapi selalu ditolak. Padahal tubuhnya demam. Ray menarik tubuh Shafira agar bangun. Gadis itu menangis di pelukan Ray.“Dia nggak balas pesan aku. Telepon juga nggak diangkat. Aku nggak mau putus. Aku cinta mati sama dia.”Ray tahu pasti cinta Shafira yang dalam untuk pria itu. Shafira bahkan rela menyamar menjadi pelayan cafe di tempat temannya agar bisa lebih dekat dengan Doni.Ray menghapus sisa-sisa air mata Shafira. “Sekarang makan dulu, minum obat, kalau kamu nurut aku bawa nemuin dia.”“Dia pasti nggak mau ketemu aku lagi. Aku sudah bohongi dia. Dia paling benci pembohong.”“Seenggaknya kamu bisa jelasin ke dia alasan kamu bohong. Kalau dia ngerti syukur, kalaupun dia tetap nggak mau lanjutkan hubungan, relakan.” Shafira menangis lagi. “Sini Aa Ray suapin anak manja.” Ray mengambil piring berisi makanan dari Helen. “Keahlianmu maling kembang pengantin nggak diragukan lagi, Doni nggak mun
Ardi dan Rachel kompak menepukkan spon bedak ke pipi Gunawan karena kalah main ular tangga. Reihan tersenyum melihatnya. Dia bersyukur Ardi sudah bisa dekat dengan ayah kandungnya. Walau masih memanggil dengan sebutan Om. Mereka sepakat akan memberitahu Ardi bila sudah cukup umur.“Aduh, Om payah. Masa main ular tangga kalah terus. Mukanya jadi kayak donat gula.” Ardi geleng-geleng lalu menghela napas. Gunawan tersenyum malu.“Masa sudah gede kalah sama anak kecil.” Rachel menepuk dahinya.“Iya, deh, yang lagi merasa hebat.”Ardi mengajak Rachel bermain bola besar kesukaan mereka. Gunawan mengawasi dari kejauhan. Hatinya bahagia bisa sedekat ini dengan anaknya.“Waktunya minum obat.” Reihan mengingatkan. Dia meletakkan nampan berisi obat dan air putih.Gunawan meminum obatnya tanpa protes. Maya memotret dengan ponselnya dan mengirimkan ke Dokter Hilda.“Kalian sekarang jadi sekutunya Hilda. Nyebelin banget.”“Ki
Ray tersenyum geli melihat Zahra yang mengenakan kemeja birunya. Kemejanya seolah menenggelamkan tubuh langsing gadis itu. Zahra naik ke ranjang dan menyandarkan punggungnya pada dada bidang Ray.“Ray, rasanya nyaman banget seperti ini.” Dikecupnya berulang kali punggung tangan kanan Ray.Ray singkap rambut panjang Zahra dan mengecup mesra lehernya. Didekapnya lembut tubuh itu. Zahra menikmati leher jenjangnya dimesrai.“Mau jalan ke mana?”“Nggak tahu, deh. Bingung.”Zahra berbalik. Dia duduk di pangkuan Ray. Dua tangannya meraba dada bidang Ray yang polos. Dia mengecupinya lalu naik ke leher. Dia tertawa senang ketika tubuhnya ditindih. Bibirnya menyambut penuh gairah bibir Ray.“Rambut kamu sudah panjang, Sayang. Besok aku temani ke salon.”“Boleh. Sekalian kencan pertama kita.”Zahra mengangguk setuju. Dia tertawa geli ketika Ray menggelitik perutnya.“Ray, ah, geli, Ray,”Zahra berhasil me
Maya menyambut senang adik iparnya yang datang bersama Riyan dan Diana. Dia mencubit gemas pipi Ray saking kangennya.“Tolong, ya, tangan dikondisikan.” Ujar Reihan melirik sebal.“Ray gemesin kayak boneka.”Reihan ikut mencubit gemas pipi adiknya. Diana tertawa geli melihat itu. Riyan memberikan parcel buah pir untuk Maya.“Tante makasih banyak. Tahu aja kalau lagi pengin yang seger.”“Ibu hamil pasti penginnya makan yang seger. Malah dulu tante pas hamil Riyan pengin makan bakso yang pedes banget tapi nggak boleh. Kasihan bayinya.”“Iya, Tan. Aku kangen banget makan sambel ikan asin jambal yang super pedes. Tapi nunggu sampai lahiran aja.”Diana dan Riyan hanya sebentar bertamu lalu pamit karena mau jalan-jalan. Ray mengantar mereka hingga keluar gerbang. Setelah mobil Riyan pergi, dia melihat mobil lain berhenti di depan pagar. Dia tak jadi mengunci pintu gerbang. Xavier keluar dari mobil.“Ray,” sapa Pak Xav
Zahra terkesiap ketika bahunya ditepuk oleh Martin. Dia tersenyum.“Pagi-pagi sudah ngelamun.”Zahra tak punya kalimat apapun untuk menjawab Martin. Sudah berhari-hari pikirannya dipenuhi oleh Ray dan ciumannya. Dia akui menyesal tidak membalas ciuman Ray. Saat menjenguk Ardi di rumah sakit tempo lalu, dia sengaja tidak menyapa pria itu. Dia masih bingung bagaimana harus bersikap.“Kamu mau ikut main golf nggak?”“Nggak. Mau di rumah aja.”“Pagi,” sapa Pak Thomas. Dia duduk di seberang mereka. “Zahra, kapan Pak Gunawan operasi transplantasi?”“Lusa, kenapa, Pa?”“Kalau mau jenguk kabari Papa. Sore ini Papa dan Martin harus balik ke Singapura.”“Kalian gitu banget sama aku, ditinggalin terus. Lama-lama aku minggat juga.” Zahra meletakkan garpu dan sendoknya di piring, tak jadi sarapan.Pak Thomas saling pandang dengan Martin. Belum sempat mereka menjelaskan, Zahra sudah beranjak menuju kamarnya di atas.
Reihan dan Maya menyiapkan berbagai hidangan lezat untuk menyambut para tamu. Mereka mengadakan syukuran karena masalah pelik yang ada berakhir dengan damai. Pihak Gunawan mencabut perkara hak asuh Ardi dan mengikhlaskan Ardi dirawat oleh pihak Reihan. Gunawan tidak mau Ardi memiliki moment buruk dalam hidup seperti dirinya. Reihan membebaskan Gunawan untuk menemui Ardi kapanpun dia mau. Kesepakatan tersebut disambut baik oleh kedua belah pihak.Reihan menggandeng Ardi untuk menemui Gunawan. Anak itu masih takut dan bersembunyi di belakang tubuhnya. Reihan membujuk lembut untuk mau berjabat tangan dengan Gunawan.“Jangan dipaksa, Rei.” Suara Gunawan bergetar sedih. Akibat ulahnya anak kandungnya sendiri takut hanya untuk sekedar melihatnya.“Sayang, Om Gunawan orang baik. Beliau ingin jadi teman Ardi dan Rachel.” Maya menyatukan tangan Ardi dan Rachel. “Kalian mau, kan, jadi temannya Om Gunawan?”“Om Gunawan bawa banyak mainan buat kita. Baik bang
Reihan prihatin melihat Gunawan yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Banyak peralatan medis yang terpasang di tubuhnya. Pria yang dia kenal kejam dan mampu melakukan apapun karena kekayaan dan kekuasaan yang dipunya, sekarang hanyalah pria tak berdaya.“Terima kasih sudah mau menjenguk Pak Gunawan.” Xavier berdiri di sebelahnya. “Beliau sudah melewati masa kritis.” Memandang sedih bosnya. “Oiya, bagaimana keadaan Ardi?”“Dia masih belum bisa bicara. Tapi kami sudah konsultasi dengan ahli terapi bicara dan Psikolog anak. Dia sedang menjalani terapi.”“Semoga Ardi lekas bisa berbicara kembali.”“Kalau begitu, saya pamit. Bila Gunawan sudah siuman segera hubungi saya.”Sampai di rumah, Reihan mendapati Ardi sedang menggambar. Dia mengecup pipi anaknya dengan gemas. Ardi menggambar anggota keluarga mereka. Rachel yang jahil memprotes gambar Ardi.“Aku cantik, masa di gambar jelek gini.” Rachel membaca kalimat yang Ardi tulis.
Reihan lumayan terkejut dengan kedatangan Nani dan Adam yang mendadak. Wajah mereka nampak khawatir.“Ada apa? Tumben nggak kasih kabar dulu kalau mau datang.”“Aku mau kalian jujur,” Nani menatap serius mereka. “Apa dia ganggu kalian?”“Dia siapa?” tanya Maya.“Mas Gunawan.”Reihan dan Maya saling pandang khawatir. Mereka mengangguk pelan.“Dari mana kamu tahu dia mulai mengusikku?” Reihan memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi.“Ada yang mau aku sampaikan. Jujur aku nggak enak banget ngomong ini sama kalian.” Adam menghela napas lelah. “Tapi tetap harus aku sampaikan.” Adam membuka map yang sedari tadi dipegangnya. “Dia menunjuk papaku sebagai kuasa hukumnya untuk merebut hak asuh Ardi.”Reihan dan Maya membaca berkas tersebut. Mereka pernah memikirkan hal ini dan siap menghadapi Gunawan untuk memperjuangkan Ardi. Namun mereka tak menyangka bila yang harus mereka hadapi Papa Adam.“Papa sebenarn
Ray memberikan air mineral dingin dalam kemasan botol pada Zahra. Shafira datang dengan semangkuk es krim.“Rasanya pengin berendam di kolam es buah.” Shafira menyuap es krimnya. “Bawel banget emaknya. Pengin aku lakban.”Zahra mengelus punggung Shafira untuk menenangkan. “Sabar, orang sabar disayang Doni.”Shafira tersenyum simpul. “Untung anaknya pengertian. Aku jadi nggak enak sendiri, anaknya minta maaf terus.”“Memang masalahnya apa?” Ray duduk di sebelah Shafira.“Makanannya. Dia bilang nggak enak. Salah sendiri pilih menu nggak jelas. Aku sudah saranin ikut menu favorit, emaknya nggak mau. Makanan setengahnya jeroan semua. Gulai otak sapi, sambal goreng hati sapi, soto babat sapi, sate ampela hati ayam, haduh nggak jelas banget. Nggak semua orang bisa makan menu begitu, apalagi yang sudah tua. Aku sampai lihat bapak-bapak sudah sepuh, cuma makan nasi sama kerupuk udang doang. Aku malu banget sebagai penyelenggara WOnya. Baru kali i