Mexico City, Mexico.
“Nona lari!” Suara seruan seorang pengawal, bersamaan dengan suara ledakan bom keras. Umpatan kasar lolos di bibir ranum gadis cantik—yang bersembunyi di balik dinding yang sudah hancur setengah.
Dia—Merlinda Alejandro terpaksa melarikan diri meninggalkan anak buahnya, di kala mendapatkan serangan. Sayangnya, di tengah-tengah pelariannya tiga orang musuh mengejarnya tak membiarkan pergi.
Langkah kaki Merlinda terpaksa terhenti di kala dihadang oleh tiga musuh yang menyerangnya. Tampak sepasang iris mata abu-abu gadis berambut merah kecokelatan itu berkilat tajam menunjukkan emosi mendalam.
“Pengecut! Kalian semua menyerangku saat ayahku tidak ada!” bentak Merlinda penuh dendam. Akibat serangan ini, banyak anak buahnya yang mati karena ledakan bom yang diletakan di samping rumahnya.
Salah satu pria di depan Merlinda menyeringai kejam. “Nyawa harus dibayar oleh nyawa. Ayahmu membunuh Nyonya kami, dan kami pun membalas dengan membunuhmu, Nona Alejandro.”
“Fuck! Kalian lebih dulu membunuh ibuku! Ayahku hanya balas dendam pada kalian!” Tanpa rasa takut, Merlinda membentak dengan penuh emosi.
Pria itu tersenyum sinis. “Kau terlalu banyak melakukan pembelaan. Kau harus mendapatkan balasan atas perbuatan ayahmu!”
Tiga pria berbadan besar itu menyerang Merlinda secara bersamaan. Refleks, Merlinda melawan tiga pria berbadan besar itu. Napasnya sedikit terengah-engah. Tenaganya sudah terkuras, karena tadi dia berlari menghindari bom.
BUGH
Satu pukulan keras Merlinda layangkan, hingga membuat salah sau pria di antara tiga pria itu tumbang. Dua di antaranya tak terima teman mereka ditumbangkan Merlinda. Mereka mengeluarkan pisau dari balik jaket, dan menyerang Merlinda menggunakan pisau tajam.
“Ahg, shit!” Merlinda mengumpat di kala lengannya tergores oleh pisau.
Merlinda mundur tiga langkah. Dia tersudut. Lawannya tidak bisa dianggap remeh. Dalam kondisi energy terkuras habis, pasti akan membuatnya kalah. Gadis cantik itu mencari akal untuk melarikan diri.
‘Got it!’ batin Merlinda berseru, di kala dia mengingat di kantong jaketnya ada granat kecil berbentuk korek api. Detik itu juga dia mengambil korek api dari balik jaketnya, dan melempar granat ke arah tiga musuhnya.
Suara ledakan terdengar. Merlinda berguling ke tanah, lalu dengan susah payah—dia berlari meninggalkan tempat itu. Tiga musuhnya berhasil tumbang, akibat granat yang dia bawa.
“Aku harus bersembunyi.” Merlinda berlari ke arah kanan, dan mencoba mencari tempat persembunyian. Dia sudah tidak sanggup lagi berlari. Pun darah tak henti mengalir dari lengannya. Satu-satunya jalan sekarang adalah bersembunyi di tempat yang aman.
Merlinda kesulitan mencari tempat persembunyian. Dia sudah berlari cukup jauh, tapi tak kunjung menemukan tempat persembunyian yang tepat untuknya. Rasa lelah telah menerkam Merlinda. Gadis cantik itu terus memegangi tangannya yang terluka.
Saat kelelahan menghantam Merlinda, tatapan gadis cantik itu teralih pada sebuah rumah yang megah. Rumah yang tak terlalu banyak penjaga. Dia memutuskan melewati pintu belakang—yang kebetulan sedang tidak dijaga.
Merlinda masuk ke rumah itu, dan duduk di lantai seraya membuka jaketnya yang robek di bagian lengan. “Shit! Lukanya dalam sekali,” serunya kesal sambil menahan sakit di kala melihat luka di bagian lengannya cukup besar.
Merlinda memejamkan mata seraya menyandarkan punggungnya di dinding yang dingin. Dia menekan lukanya menggunakan jaketnya. Dalam kondisi seperti ini, dia tidak mungkin ke rumah sakit ataupun memanggil dokter pribadinya.
“Kau siapa?!” Suara berat seorang pria tampan, mendekat ke arah Merlinda yang sedang beristirahat.
Merlinda terkejut melihat ada yang datang. Namun, keterkejutannya sirna melihat wajah pria yang sangat tampan yang ada di hadapannya. Pria bermata cokelat gelap dan memiliki jambang itu tampak sempurna. Rahang tegas. Hidung mancung menjulang melebihi bibir. Alis tebal. Wajah tampan. Pria tampan itu membuatnya berdesir—hingga tak bisa berkutik.
“Kau ingin mencuri di sini?!” Pria itu kembali berseru, dengan tatapan tajam menatap Merlinda.
Merlinda menggeleng cepat. “A-aku bukan pencuri.”
“Lalu kenapa kau berani masuk ke rumah orang lain, tanpa permisi?!” seru pria itu dengan rasa kesal, karena ada orang yang berani masuk ke dalam rumahnya, di kala penjagaan rumahnya tak terlalu ketat.
“A-aku—” Lidah Merlinda terasa kelu, tak bisa menjawab. Tatapannya hanyut akan ketampanan wajah sosok pria yang ada di depannya ini. Dia terlena sampai tak bisa berkata-kata. Akan tetapi, sayangnya luka di lengan Merlinda, membuat kepalanya memberat. Bahkan matanya sudah nyaris tak bisa terbuka lagi.
Tanpa diduga, secara tiba-tiba Merlinda jatuh pingsan tak sadarkan diri. Pria sang pemilik rumah terkejut. Dia mendekat ke arah Merlinda, dan menepuk-nepuk pipi gadis itu seraya berseru, “Hey, Pencuri! Bangunlah! Ck! Kau menyusahkanku saja!”
Tidak ada respon. Merlinda tetap tidak sadarkan diri. Pria tampan itu mengerutkan keningnya, ketika melihat darah menetes dari lengan Merlinda ke lantai rumahnya. Raut wajah pria itu terkejut melihat ternyata gadis yang dia panggil pencuri ini, ternyata memiliki luka di lengan. Luka goresan seperti terkena pisau.
Pria itu tak memiliki pilihan lain. Dia menggendong perempuan asing yang tak dia kenali—membawa masuk ke dalam kamar. Namun, sebelum membawa masuk, dia memanggil pelayan meminta untuk menghubungi dokter.
***
Moses De Luca datang ke salah satu rumahnya yang ada di Mexico bermaksud untuk istirahat. Akan tetapi, sialnya ada gadis gila yang masuk ke dalam rumahnya tanpa permisi. Rumah megah ini memang bisa dikatakan jarang ditempati. Dia datang berkunjung ke rumahnya ini, jika dia tengah berada di Mexico.
Moses melipat tangan di depan dada, menatap dingin dokter yang baru saja menjahit lengan gadis asing yang kini berada di kamarnya. Luka di lengan gadis itu cukup dalam, membuatnya harus mendapatkan beberapa jahitan.
“Bagaimana keadaan perempuan itu?” tanya Moses di kala sang dokter baru saja selesai, memeriksa.
Sang dokter menatap sopan Moses. “Luka di lengan Nona ini cukup dalam. Setelah dia siuman, dia pasti akan merasakan nyeri di lengannya. Saya sudah meresepkan obat. Mohon obat yang saya berikan dihabiskan.”
Moses mengangguk singkat. “Aku mengerti. Thanks.”
“Dengan senang hati, Tuan. Saya permisi.” Dokter itu melangkah pergi meninggalkan Moses.
Moses masih bergeming di tempatnya, memberikan tatapan dingin pada gadis asing yang belum sadarkan diri itu. “Segeralah pulih! Aku tidak mau disusahkan!”
Moses memutuskan untuk meninggalkan gadis itu, tetapi tiba-tiba dia mendengar suara gadis itu mengigau …
“Mom, aku merindukanmu,” ucap gadis itu mengigau—dan sejenak membuat langkah kaki Moses terhenti.
Moses kembali menatap gadis itu sebentar, tatapannya tersirat penuh arti dalam serta memabcarkan aura ketegasan bercampur rasa kesal. Tak mau berlama-lama, dia berbalik melangkah pergi meninggalkan Merlinda yang masih belum sadarkan diri.
Merlinda membuka matanya di kala sinar matahari menembus jendela, menyentuh wajahnya. Mata gadis cantik itu mengerjap beberapa kali—dan mengendarkan pandangannya—melihat dirinya berada di sebuah kamar megah asing. Kamar yang tidak pernah dia datangi sebelumnya.‘Di mana aku?’ batin Merlinda bersuara. Rasa sakit di lengannya menyerang di kala kesadarannya sudah pulih. Dia merintih, menyentuh lengannya yang kesakitan. Raut wajah Merlinda berubah melihat lengannya diperban. Kepingan memori Merlinda mulai mengingat kejadian di mana dirinya diserang.“Shit!” Merlinda mengumpat di kala mengingat kejadian penyerangan tadi malam.Merlinda mengembuskan napas kasar, berusaha untuk tenang. Lalu … di tengah-tengah perasaan kesal, dia mengingat kejadian di mana dia bersembunyi di sebuah rumah milik pria tampan. Merlinda tidak lupa! Wajah pria tampan itu bahkan sekarang terus berada di dalam benaknya.“Selamat pagi, Nona.” Seorang pelayan melangkah menghampiri Merlinda.Merlinda tersentak dan mem
Flash Back On#Berlin, Germany. Bibir saling menaut. Lidahnya membelit. Ciuman penuh nafsu itu sangat menggelora. Tangan Moses meremas keras bokong wanita cantik yang tengah berciuman dengannya. Dia bagaikan singa jantan yang tengah kelaparan akan sentuhan. Tidak ada ciuman cinta perasaan. Hanya nafsu yang melebur menjadi satu.Ciuman panas itu terlepas. Moses membelai lembut pipi wanita yang ada di hadapannya. “Sorry, malam ini mood-ku sedang kurang bagus. Jangan ganggu aku.”“Moses, tapi—” Baru saja wanita itu menjawab ucapan Moses, pria itu sudah pergi meninggalkannya sendiri. Tampak wanita itu sangat kesal.Moses hendak meninggalkan klub malam, tetapi langkahnya terhenti di kala melihat seorang perempuan berpakaian seksi masuk ke dalam klub malam. Perempuan itu memakai dress nyaris telanjang—dan sukses menyita perhatian banyak orang di sana.Moses mengurungkan dirinya untuk pergi dari klub malam itu. Dia memilih duduk di depan kursi bartender sambil menyesap vodka. Dia melihat pe
“Oh, Tuhan. Dia tampan sekali.”Merlinda masuk ke kamar Moses, di kala pria itu tidak ada di rumah. Dia mengelilingi kamar Moses—menatap foto pria tampan itu. Entah kenapa hatinya terdorong untuk mendatangi kamar pribadi Moses. Well, Merlinda memang sudah gila, di kala mengagumi seorang pria tampan.“Moses sudah punya kekasih belum, ya?” Gadis itu bergumam pelan pada dirinya sendiri. “Ah, punya atau tidak, aku tidak peduli. Paling penting aku bisa di dekatnya.” Lanjutnya sambil memeluk erat foto Moses.“Nona Merlinda?” Pelayan masuk ke dalam kamar Moses, mendapati Merlinda tengah berada di kamar Tuannya.Merlinda tersentak di kala sang pelayan muncul. “Eh, i-iya?”“Maaf, Nona. Apa Anda membutuhkan sesuatu?” tanya pelayan itu seraya melangkah mendekat ke arah Merlinda.Merlinda menggelengkan kepalanya. “Tidak. A-aku tadi hanya jalan-jalan saja, dan tidak sengaja masuk ke kamar Moses. Sekarang aku ingin kembali ke kamarku.”“Silakan, Nona.” Pelayan itu mempersilakan Merlinda yang ingin
Satu minggu sudah Merlinda tinggal dengan Moses. Gadis cantik itu selalu bersemangat menyambut Moses setiap kali pria itu pergi. Luka di lengan Merlinda sudah berangsur-angsur membaik. Namun, demi tetap bisa bersama Moses—dia berbohong mengatakan lengannya masih sakit. Untungnya Moses percaya, dan pria itu membiarkan Merlinda untuk tetap tinggal dengannya.Pagi itu, Merlinda duduk berjemur di halaman belakang. Dia memakai celana sangat pendek dan bra model tali leher. Gadis cantik itu sengaja memakai pakaian seksi, demi kulitnya mendapatkan sinar matahari pagi.“Ah, enak sekali berjemur di sini,” gumam Merlinda seraya memejamkan mata sebentar. Angin berembus menyentuh kulitnya, begitu menyejukkan.“Kau sengaja ingin membuat seluruh penjagaku terpesona padamu?” Teguran keras dari Moses yang muncul di halaman belakang, membuat Merlinda sedikit terkejut.Merlinda mengalihkan pandangannya, menatap Moses yang kini ada di hadapannya. “Apa maksudmu, Moses?” tanyanya sambil bangkit berdiri. W
Satu minggu sudah Merlinda tinggal dengan Moses. Gadis cantik itu selalu bersemangat menyambut Moses setiap kali pria itu pergi. Luka di lengan Merlinda sudah berangsur-angsur membaik. Namun, demi tetap bisa bersama Moses—dia berbohong mengatakan lengannya masih sakit. Untungnya Moses percaya, dan pria itu membiarkan Merlinda untuk tetap tinggal dengannya.Pagi itu, Merlinda duduk berjemur di halaman belakang. Dia memakai celana sangat pendek dan bra model tali leher. Gadis cantik itu sengaja memakai pakaian seksi, demi kulitnya mendapatkan sinar matahari pagi.“Ah, enak sekali berjemur di sini,” gumam Merlinda seraya memejamkan mata sebentar. Angin berembus menyentuh kulitnya, begitu menyejukkan.“Kau sengaja ingin membuat seluruh penjagaku terpesona padamu?” Teguran keras dari Moses yang muncul di halaman belakang, membuat Merlinda sedikit terkejut.Merlinda mengalihkan pandangannya, menatap Moses yang kini ada di hadapannya. “Apa maksudmu, Moses?” tanyanya sambil bangkit berdiri. W
“Oh, Tuhan. Dia tampan sekali.”Merlinda masuk ke kamar Moses, di kala pria itu tidak ada di rumah. Dia mengelilingi kamar Moses—menatap foto pria tampan itu. Entah kenapa hatinya terdorong untuk mendatangi kamar pribadi Moses. Well, Merlinda memang sudah gila, di kala mengagumi seorang pria tampan.“Moses sudah punya kekasih belum, ya?” Gadis itu bergumam pelan pada dirinya sendiri. “Ah, punya atau tidak, aku tidak peduli. Paling penting aku bisa di dekatnya.” Lanjutnya sambil memeluk erat foto Moses.“Nona Merlinda?” Pelayan masuk ke dalam kamar Moses, mendapati Merlinda tengah berada di kamar Tuannya.Merlinda tersentak di kala sang pelayan muncul. “Eh, i-iya?”“Maaf, Nona. Apa Anda membutuhkan sesuatu?” tanya pelayan itu seraya melangkah mendekat ke arah Merlinda.Merlinda menggelengkan kepalanya. “Tidak. A-aku tadi hanya jalan-jalan saja, dan tidak sengaja masuk ke kamar Moses. Sekarang aku ingin kembali ke kamarku.”“Silakan, Nona.” Pelayan itu mempersilakan Merlinda yang ingin
Flash Back On#Berlin, Germany. Bibir saling menaut. Lidahnya membelit. Ciuman penuh nafsu itu sangat menggelora. Tangan Moses meremas keras bokong wanita cantik yang tengah berciuman dengannya. Dia bagaikan singa jantan yang tengah kelaparan akan sentuhan. Tidak ada ciuman cinta perasaan. Hanya nafsu yang melebur menjadi satu.Ciuman panas itu terlepas. Moses membelai lembut pipi wanita yang ada di hadapannya. “Sorry, malam ini mood-ku sedang kurang bagus. Jangan ganggu aku.”“Moses, tapi—” Baru saja wanita itu menjawab ucapan Moses, pria itu sudah pergi meninggalkannya sendiri. Tampak wanita itu sangat kesal.Moses hendak meninggalkan klub malam, tetapi langkahnya terhenti di kala melihat seorang perempuan berpakaian seksi masuk ke dalam klub malam. Perempuan itu memakai dress nyaris telanjang—dan sukses menyita perhatian banyak orang di sana.Moses mengurungkan dirinya untuk pergi dari klub malam itu. Dia memilih duduk di depan kursi bartender sambil menyesap vodka. Dia melihat pe
Merlinda membuka matanya di kala sinar matahari menembus jendela, menyentuh wajahnya. Mata gadis cantik itu mengerjap beberapa kali—dan mengendarkan pandangannya—melihat dirinya berada di sebuah kamar megah asing. Kamar yang tidak pernah dia datangi sebelumnya.‘Di mana aku?’ batin Merlinda bersuara. Rasa sakit di lengannya menyerang di kala kesadarannya sudah pulih. Dia merintih, menyentuh lengannya yang kesakitan. Raut wajah Merlinda berubah melihat lengannya diperban. Kepingan memori Merlinda mulai mengingat kejadian di mana dirinya diserang.“Shit!” Merlinda mengumpat di kala mengingat kejadian penyerangan tadi malam.Merlinda mengembuskan napas kasar, berusaha untuk tenang. Lalu … di tengah-tengah perasaan kesal, dia mengingat kejadian di mana dia bersembunyi di sebuah rumah milik pria tampan. Merlinda tidak lupa! Wajah pria tampan itu bahkan sekarang terus berada di dalam benaknya.“Selamat pagi, Nona.” Seorang pelayan melangkah menghampiri Merlinda.Merlinda tersentak dan mem
Mexico City, Mexico. “Nona lari!” Suara seruan seorang pengawal, bersamaan dengan suara ledakan bom keras. Umpatan kasar lolos di bibir ranum gadis cantik—yang bersembunyi di balik dinding yang sudah hancur setengah.Dia—Merlinda Alejandro terpaksa melarikan diri meninggalkan anak buahnya, di kala mendapatkan serangan. Sayangnya, di tengah-tengah pelariannya tiga orang musuh mengejarnya tak membiarkan pergi.Langkah kaki Merlinda terpaksa terhenti di kala dihadang oleh tiga musuh yang menyerangnya. Tampak sepasang iris mata abu-abu gadis berambut merah kecokelatan itu berkilat tajam menunjukkan emosi mendalam.“Pengecut! Kalian semua menyerangku saat ayahku tidak ada!” bentak Merlinda penuh dendam. Akibat serangan ini, banyak anak buahnya yang mati karena ledakan bom yang diletakan di samping rumahnya.Salah satu pria di depan Merlinda menyeringai kejam. “Nyawa harus dibayar oleh nyawa. Ayahmu membunuh Nyonya kami, dan kami pun membalas dengan membunuhmu, Nona Alejandro.”“Fuck! Kali