"Kak Ariiiiiii!!"
BRUK.
Ari terjatuh dari kasur. Ia merintih kesakitan.
Sial! Kapan ia bisa tidur dengan tenang? Selalu aja ada para pengganggu.
Ia mengusap kasar wajahnya. Cowok itu menggeram sambil menahan kantuk. Rasa jengkel, kesal, marah berbaur menjadi satu. Ia masih ngantuk dan lelah.
"Kak Ari, buka!"
Ari mengumpat. Ia mendengar Dito menggedor-gedor pintu kamarnya. Awas aja sampai adiknya itu ngomong sesuatu yang nggak penting, ia nggak akan berpikir dua kali untuk membalas tuh bocah.
"Kak Ari, bukain!!"
Ari makin geram. Ia menyeret kakinya dan beranjak menuju pintu. Ia tarik sekuat tenaga gagang pintu dan bermaksud menyembur adiknya saat itu juga. "Ada ap—"
"Ada medusa, Kak."
Tangan Ari yang beberapa detik lalu ingin menempeleng kepala Dito, kini terhenti. Ia berkacak pinggang. "Lo
Taman itu lumayan luas. Begitu banyak bunga cantik yang di tanam di halaman belakang rumah. Disediakan kursi taman, juga ada mainan jungkat-jungkit beserta ayunan.Terlihat Dara dan Ari duduk di kursi taman tersebut. Dalam keadaan sepi begini, sesungguhnya sang cowok tidak nyaman berduaan bersama cewek yang kebetulan adik kelasnya. Selama ini tiap ada cewek yang berusaha cari perhatian, ia biasanya selalu menyeret Alvin untuk berada di tengah-tengah obrolan. Atau jika cewek itu nekat datang ke rumahnya pasti Dito atau sang mama yang menjadi sasaran agar mereka mau menemani sang cewek, sementara dia secara diam-diam langsung ngibrit ke luar rumah untuk kabur sejauh-jauhnya.Ya, selalu seperti itu.Kecuali hari ini.Mana tega Ari ngacir duluan setelah dia tahu adik satu-satunya itu telah berbuat tidak sopan mengatai cewek di depannya. Setega-teganya cowok itu meninggalkan para cewek yang mengejarnya, t
Rian berjalan lunglai ke dalam kantor. Kemejanya kusut, dasinya longgar dan miring, sementara rambut gelapnya udah berantakan meski ketampanannya tidak berkurang sedikit pun."Datang-datang kok penampilannya acak-acakan, Pak. Harusnya bahagia dong abis dapat mobil baru," goda Lena, salah satu karyawan yang masuk dalam timnya."Gue abis dapat servis, pelayanannya sangat memuaskan, Len. Sekali pertemuan, datang empat sekaligus. Makanya gue capek. Lo mau juga? Nanti gue daftarin kalo lo mau," ucap Rian santai. Udah kayak ngomong sama sobat sendiri.Dalam kamus Rian, selama itu bukan di depan papanya atau klien, ia tidak mengharuskan anak buahnya untuk berbicara formal. Ia lebih suka apa adanya untuk memupuk kekompakan tim."Ogah," jawabnya spontan. Lena tahu Rian hanya bercanda, tapi mendengar servis sekaligus dari empat cewek diutarakan di depannya membuatnya merinding juga. "Kalo jadi yang pertama dan terakhir di hati baru gue mau, Pak," lanjutnya, m
Wajah Inez sesaat berubah. Ia terlihat kaget akan pertanyaan Rian, tetapi beberapa detik kemudian pandangannya tertuju pada cowok yang dengan kurang ajar telah menciumnya tanpa seizin darinya.Sakit hati yang ia rasakan tiga tahun lalu kembali menyerangnya. Bagaimana ia harus dipermalukan di depan orangtua cowok itu dan dipaksa pergi dengan hujatan kejam dari seluruh kerabat Hans.Dadanya bergemuruh. Seolah darah yang mengalir di sekujur tubuhnya mendidih dengan sangat hebatnya.Ia menatap tajam Hans. "Dia ... cuma mantan brengsek yang nggak berarti apa-apa buat gue."Seketika Rian menyeringai senang. Seakan sesuatu benda berat yang sempat menyumbat pernapasannya beberapa saat lalu kini telah lenyap.Sedangkan Hans, sekelebat keterkejutan melintas sukses di wajahnya. Cowok itu tertegun. Ia tidak menyangka sebesar itu rasa kebencian yang tertanam di hati Inez untuknya."Gue tau gue salah. Tapi apa hubungan kita nggak bisa diperbaiki lagi, Nez
Pagi-pagi Rian mengadakan rapat dengan para anggota tim proyek."Gue mau tau dari semua proyek yang kita tangani, tim mana yang proses pembangunan udah mencapai 90% selesai?""Tim gue, Yan, udah sampai 95% semua kelar," jawab Jeremy."Tim gue juga udah sampai 93% selesai." Kini Bobby yang menjawab.Rian mengangguk. "Ada lagi?"Yang lainnya menjawab rata-rata di bawah 70% dan 50% proses berjalan."Oke. Khusus jeremy dan Bobby segera buatkan dokumentasi untuk bahan laporan. Gue mau periksa progres dari proyek kalian, jadi bawa ke ruangan gue sebelum kalian serahkan ke klien.""Oke, Yan," jawab Jeremy dan Bobby, kompak."Oh, ya, untuk tender besar bulan lalu bagaimana, Pak? Tenggat waktunya apa udah disepakati?" tanya Lena."Itu alasan gue mengadakan rapat pagi ini. Untuk lima tender yang udah dipercayakan kepada kita, ada tiga proyek yang meminta diselesaikan dalam batas waktu mereka. Untuk sisanya nanti bisa gue bicarakan
Dara cepat-cepat berbalik dan kembali naik ke lantai 3. Dari atas tangga, ia bisa melihat Ari, Kevan dan Alvin mulai memasuki kelas. Buru-buru ia menghubungi nomor telepon yang akan menjadi sang penyelamatnya.Setelah panggilan tersambung, Dara menyapa dengan semangat membara."Halo, Tante Risa!" Belum juga penerima panggilan menjawab, Dara udah berseru layaknya burung gagak yang begitu nyaring dan tajam.Risa menyahut sambil menampilkan raut bingung. "Ya? Ini siapa?""Saya Dara, Tante." Suaranya mulai diperlembut penuh dengan tipu daya."Dara ... siapa, ya?"Gleg.Dara menelan ludah. Apa suaranya nggak seterkenal itu? Padahal kan baru kemarin ia datang ke sana dan bertemu beliau."Eee, saya Dara yang kemarin main ke rumah Tante Risa. Dito juga sempat bilang rambut saya kayak ... Eee, medusa, Tan," tutur Dara dengan suara agak mencicit di akhir kalimat. Ia tersenyum kecut. Nggak bisa dipungkiri, ia sangat membenci sebutan itu.
Selain terkenal dengan tingkahnya yang lebay, jangan lupa Dara juga ratunya drama. Maka untuk mencapai kesuksesannya, tatkala akan berganti mata pelajaran terakhir, ia berpura-pura memperagakan gaya orang yang lagi sakit perut beneran dan meminta izin pulang lebih awal.Dari kesekian banyaknya orang, jelas Frel dan Tomi yang paling tahu gelagat dari akal busuk Dara, walaupun Kenn pun juga tahu, hanya saja mana mau dia ikut campur masalah orang kalau nggak ada sangkut pautnya dengan dirinya."Lo ngerencanain apa lagi, Ra?" tanya Frel berbisik lirih, menatapnya curiga saat Dara udah siap-siap memasukkan semua buku pelajaran ke dalam tas.Belum juga Dara menjawab, gulungan buku paket Tomi udah mendarat di kepala cewek itu."Auw! Tom, sakit," keluh Dara sambil mengusap-usap kepalanya."Lo kalo nggak bilang, gue laporin ke guru sekarang," ancam Tomi dengan suara agak dikecilkan.Dara melirik Kenn yang diam dan cuek di bangkunya. Seolah masa
Saat pintu kamar Dara terbuka, masuklah Mbak Dian dengan membawa dua pengikut di belakangnya. Yang membuat kaget, salah satunya adalah cowok yang sangat ia kenal. Dara melompat ke belakang beberapa langkah. Matanya melebar dan mulutnya ikut menganga. "Doni?" seru Dara sambil mengacungkan jari telunjuk ke arah cowok tersebut. "Lho, kalian udah pada kenal?" tanya Mbak Dian sembari mengeluarkan peralatannya dibantu oleh seorang cewek bernama Tari. "Eee, kami pernah kenal, Mbak," jawab Dara, masih bingung atas kedatangan Doni. "Jadi rambut lo masih mirip singa kayak dulu?" celetuk Doni dengan pandangan mencemooh. Dara tertawa garing. Emang rambutnya akan gampang mengembang jika terkena air, apalagi setelah Dara tadi habis keramas. Rambutnya bakal mencuat ke mana-mana. Ia ingin percaya diri seperti biasa, tetapi tiba-tiba kepercayaan dirinya makin mengempis. Ada rasa malu dan juga sakit hati ketika cowok di depannya mengatakan itu.
Tepat pukul 2.00 siang Dara sampai di rumahnya Ari. Ia menelepon Risa dan memberikan info bahwa ia udah menunggu di luar pintu.Terdengar dari dalam Risa berteriak memanggil Ari untuk membukakan pintu. Ia tahu itu hanya akal-akalan Risa karena emang otak di balik perintahnya adalah ide dari Dara sendiri."Ma, ngapain aku yang diminta buka pintu, kan ada Bibi Pinem sama yang lain?" keluh Ari saat turun dari lantai atas dan mendapati mamanya lagi nonton televisi di ruang keluarga. "Mama juga ada di sini, lebih dekat kan sama pintu.""Anaknya mama, Sayaaang. Tau sendiri kan mama lagi apa? Tontonan seru mama sedang tayang, nggak boleh dong dilewatin. Bibi Pinem sama yang lain lagi kerja di belakang, nggak perlu ganggu mereka.""Biasanya juga manggil-manggil pembantu meski mereka lagi sibuk," gerutu Ari sembari mengacak rambutnya, walaupun ia tetap aja berjalan menuju pintu.Risa terkikik geli mendengar gerutuan putranya. Sementara Dara memencet-mencet