Setelah pertemuan dengan Naga Niskala, suasana hutan mistis kembali tenang. Raka, Dyah Sulastri, Arya Kertajaya, dan Ksatria Wibawa duduk di tepi sungai suci, mencoba mencerna pesan penting yang baru saja mereka terima. Api unggun kecil telah dinyalakan untuk menghangatkan tubuh mereka dari udara dingin malam itu.Cahaya bulan yang lembut memantul di permukaan sungai, menciptakan kilauan biru keperakan yang menenangkan. Namun, ketenangan ini hanya ilusi. Udara dingin berhembus kencang, membawa aroma segar dari sungai suci yang berada tidak jauh dari sana. Kabut tipis mulai merayap di antara pepohonan, seolah menyelimuti mereka dalam misteri.Dyah tampak termenung, matanya memandangi permukaan air sungai yang berkilauan lembut di bawah cahaya bulan. Ia menyadari bahwa nasib Kerajaan Gilingwesi, bahkan mungkin nasib dua dunia, bergantung pada keputusannya. Namun, beban ini terasa semakin berat saat ia merasakan tatapan Arya yang penuh rasa ingin tahu dan juga keraguan.Raka duduk agak ja
Pagi mulai menyingsing, namun hutan mistis masih diselimuti kabut tebal yang membuat pandangan menjadi terbatas. Raka, Dyah Sulastri, Arya Kertajaya, dan Ksatria Wibawa (mantan Buto Ijo) sedang beristirahat setelah malam yang penuh ketegangan. Api unggun kecil telah padam, meninggalkan jejak-jejak abu di tanah.Tiba-tiba, suara gemerisik dedaunan terdengar dari kejauhan. Udara dingin yang tadinya tenang kini dipenuhi dengan aroma logam dan kegelapan—pertanda bahwa sesuatu yang tidak wajar sedang mendekat. Genderuwo muncul di pinggir hutan, wajahnya muram seperti biasa. "Mereka datang," katanya dengan suara rendah. "Pasukan asing... dan penyihir gelap."Raka segera bangkit, tangannya erat memegang cermin perunggu. "Siapa mereka? Apa tujuan mereka?"Genderuwo menunjuk ke arah sungai suci. "Penyihir gelap itu ingin menangkap Dyah Sulastri. Ia tahu bahwa dia adalah kunci untuk membuka portal waktu permanen. Jika mereka berhasil merebutnya, Kerajaan Gilingwesi akan lenyap, dan seluruh tatan
Pertempuran besar pecah di hutan mistis. Udara dipenuhi dengan aroma tanah basah, asap, dan energi gaib yang menyengat. Kabut tebal yang sebelumnya menyelimuti hutan kini mulai menipis, memperlihatkan pemandangan mengerikan: prajurit-prajurit asing bersenjata lengkap bergerak cepat, sementara penyihir gelap mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, menciptakan badai energi hitam yang merusak segala sesuatu di sekitarnya.Raka, Dyah Sulastri, Arya Kertajaya, dan Ksatria Wibawa (mantan Buto Ijo) berdiri di garis depan, siap untuk melawan pasukan musuh. Di belakang mereka, makhluk-makhluk gaib seperti Banaspati, Genderuwo, dan Naga Niskala mulai muncul, bergabung dalam pertempuran ini.Naga Niskala melingkarkan tubuhnya di sungai suci, matanya bersinar tajam. "Lindungi sungai ini!" teriaknya. "Jika mereka berhasil mencemari air suci, seluruh tatanan waktu akan hancur!"Dyah Sulastri segera memimpin ritual singkat, menggunakan kekuatan spiritualnya untuk menciptakan penghalang energi biru keper
Pertempuran di hutan mistis mencapai puncaknya. Kabut tebal yang sebelumnya menyelimuti hutan mulai menipis, memperlihatkan kehancuran besar di sekitar mereka. Pohon-pohon raksasa terbakar oleh api Banaspati, sementara Genderuwo terus bergerak cepat di antara bayang-bayang, membantai prajurit asing yang tersisa. Naga Niskala melingkarkan tubuhnya di sungai suci, matanya bersinar tajam saat ia menjaga agar air tetap murni dari cemaran energi hitam.Raka, Dyah Sulastri, Arya Kertajaya, dan Ksatria Wibawa (mantan Buto Ijo) berdiri di garis depan, menghadapi penyihir gelap yang kini tampak semakin marah. Penyihir itu mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, menciptakan badai energi hitam yang menghantam penghalang spiritual Dyah. Penghalang itu mulai retak, membuat Dyah terlihat semakin lelah."Kita tidak bisa bertahan lebih lama!" teriak Dyah, wajahnya dipenuhi keringat dingin akibat upaya keras untuk mempertahankan penghalang.Namun, Raka tidak berniat menyerah. Ia merasakan energi baru meng
Setelah pertempuran besar di hutan mistis, suasana menjadi sunyi. Kabut hitam yang diciptakan penyihir gelap mulai menipis, memperlihatkan kehancuran yang ditinggalkan. Pohon-pohon raksasa hangus oleh api Banaspati, tanah retak akibat energi hitam, dan sungai suci mulai keruh. Naga Niskala masih melingkarkan tubuhnya di sekitar sungai, matanya bersinar dengan kekhawatiran mendalam.Raka, Dyah Sulastri, Arya Kertajaya, dan Ksatria Wibawa (mantan Buto Ijo) berkumpul di tepi sungai, mencoba memulihkan tenaga mereka. Luka-luka fisik dan mental dari pertempuran masih terasa, tetapi ketegangan belum sepenuhnya hilang. Penyihir gelap mungkin sudah melarikan diri, tetapi ancamannya masih menggantung di udara seperti awan kelabu."Kita tidak bisa tinggal di sini lebih lama," kata Raka, suaranya tegas meskipun tubuhnya lelah. "Ki Jagabaya adalah dalang di balik semua ini. Jika kita ingin menyelamatkan kerajaan, kita harus kembali ke istana."Dyah menatapnya dengan ekspresi penuh harap, tetapi ju
Setelah perjalanan panjang dan melelahkan dari hutan mistis, Raka, Dyah Sulastri, Arya Kertajaya, dan Ksatria Wibawa akhirnya tiba di istana. Namun, suasana yang menyambut mereka sangat berbeda dari apa yang mereka tinggalkan sebelumnya. Istana yang dulunya penuh kehangatan dan harmoni kini terasa dingin dan tegang. Para prajurit yang berjaga di pintu gerbang tampak lebih waspada, dengan mata yang terus mengamati setiap gerakan. Bendera kerajaan berkibar lemah di angin, seolah-olah kehilangan semangatnya.Udara di halaman istana terasa lebih berat, seolah-olah energi gelap telah meresap ke dalam setiap sudut bangunan. Pepohonan di taman istana yang biasanya hijau subur kini tampak layu, daun-daunnya berguguran meskipun musim belum berganti. Suara angin yang berdesir di antara pepohonan membawa aroma logam dan kegelapan, menciptakan atmosfer misterius yang membuat bulu kuduk merinding.Raka merasakan sesuatu yang tidak beres begitu mereka memasuki halaman istana. "Ada yang aneh," gumamn
Setelah ketegangan di ruang utama istana, Arya Kertajaya memutuskan untuk bertindak cepat. Ia mengetahui bahwa waktu mereka semakin sempit jika ingin menghentikan Ki Jagabaya. Dengan hati-hati, ia meminta audiensi pribadi dengan Rakai Wisesa di ruang perpustakaan kerajaan, sebuah tempat yang biasanya digunakan untuk diskusi strategis dan penyimpanan naskah-naskah kuno.Ruang perpustakaan itu besar dan sunyi, hanya diterangi oleh cahaya lilin yang berkedip-kedip lemah. Rakai Wisesa duduk di kursi kayu berukir, wajahnya tampak lebih tua dari biasanya. Matanya yang redup mencerminkan kebingungan dan kelelahan akibat pengaruh Ki Jagabaya. Arya berlutut di hadapan raja, menunjukkan rasa hormat meskipun situasi saat ini sangat mendesak."Yang Mulia," kata Arya dengan suara tegas namun sopan, "aku datang membawa bukti bahwa Ki Jagabaya telah mengkhianati kerajaan."Rakai Wisesa menatap Arya dengan tatapan kosong, seolah-olah pikirannya sedang terjebak dalam kabut tebal. "Apa maksudmu, Panglim
Setelah pengungkapan bukti pengkhianatan Ki Jagabaya oleh Arya Kertajaya, suasana di ruang singgasana semakin memanas. Rakai Wisesa duduk di atas singgasananya, wajahnya penuh keraguan dan kemarahan yang bercampur aduk. Di sisi kanan singgasana, Ki Jagabaya berdiri dengan sikap angkuh, senyum tipis masih menghiasi wajahnya meskipun tuduhan telah dilontarkan terhadapnya.Ruang singgasana itu luas dan megah, tetapi kini terasa dingin dan suram. Cahaya lilin yang lemah berkedip-kedip, menciptakan bayangan panjang di dinding-dinding batu. Udara di ruangan itu terasa berat, seolah-olah energi hitam mulai meresap ke dalam setiap sudut bangunan. Suara langkah-langkah pelan pasukan bayangan terdengar dari balik pintu besar, menambah ketegangan yang sudah tak tertahankan.Raka melangkah maju ke tengah ruangan, matanya menatap tajam Ki Jagabaya. "Yang Mulia," katanya dengan suara tegas, "Ki Jagabaya adalah ancaman nyata bagi kerajaan ini. Ia tidak hanya ingin mengambil alih kekuasaan, tetapi jug
Langit di atas Gilingwesi mulai terang, namun bukan cahaya matahari yang menyelimuti bumi. Cahaya itu kelabu, seperti embun yang membeku di udara, memancarkan aura muram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di medan perang yang dulunya adalah padang rumput subur, kini hanya tersisa puing-puing istana yang hancur, reruntuhan altar suci, dan tanah yang hangus oleh sisa-sisa api biru Banaspati. Udara dipenuhi aroma besi berkarat, seolah darah bumi itu sendiri telah tumpah ke permukaan.Raka berdiri di garis depan, artefak perunggu di tangannya berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Matanya tajam, namun sorotnya dipenuhi konflik—sebuah perpaduan antara ketakutan, kemarahan, dan tekad yang mendalam. Ia tidak pernah meminta ini—untuk menjadi penjaga takdir, untuk bertarung melawan kekuatan gaib yang bahkan ia sendiri sulit memahaminya. Namun, ketika pasukan gaib jahat muncul dari bayangan, membawa pedang hitam yang berkilauan seperti matahari mati, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan
Angin berhembus kencang di tepi sungai suci, membawa aroma mistis yang menguar dari air yang berkilauan seperti cahaya bintang. Di hadapan Raka dan Dyah Sulastri, portal waktu terbentang lebar, memancarkan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut seperti jantung raksasa. Portal itu bukan sekadar pintu antara dua zaman; ia adalah cermin yang memantulkan takdir mereka—sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.Raka menatap portal itu dengan mata berkaca-kaca. Ia masih menggenggam artefak perunggu yang menjadi kunci pembuka portal, logam tua itu dingin di tangannya meski tubuhnya dipenuhi panas emosi. Setiap denyut cahaya dari portal seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Apakah ini akhir? Apakah ini harga untuk menyelamatkan Gilingwesi?Dyah berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya penuh tekad. "Kita sudah sampai di sini, Raka," katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh
Angin malam berhembus pelan di tepi sungai suci, membawa aroma bunga kenanga yang kini mulai layu. Daun-daun pohon beringin raksasa bergoyang lemah, seakan enggan melepaskan bayangannya dari tanah yang telah lama menjadi saksi bisu perjalanan Arya Kertajaya. Ia berdiri di sana, mengenakan jubah perangnya yang kini ternoda oleh debu dan darah, namun tetap gagah seperti hari pertama ia memegang pedang untuk Gilingwesi. Di tangannya tergenggam keris pusaka keluarga, yang kini penuh karat—simbol dari beban yang selama ini ia pikul tanpa bisa dilepaskan.Raka dan Dyah Sulastri mendekat perlahan, langkah mereka serempak tapi penuh keberatan. Mata Raka tertuju pada keris itu, yang dulu bersinar dengan kekuatan besar, kini tampak rapuh seperti pemiliknya. Sedangkan Dyah menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, seolah tahu bahwa ini adalah kali terakhir mereka bertemu."Kalian tidak perlu mengantarku," ujar Arya, suaranya rendah dan parau, namun tetap berwibawa. Ia tersenyum tipis, senyum yang l
Senja di Istana Gilingwesi bagai napas terakhir dunia. Langit yang biasanya membara kemerahan kini terpulas ungu kelam, seolah langit menahan ratapan yang enggan tumpah. Di halaman utama, altar batu kuno berdiri megah namun muram, dikelilingi bunga kenanga layu yang menguarkan aroma anyir seperti besi berkarat. Patung naga bermata tiga di belakang altar menganga lebar, seakan siap menelan siapa pun yang mendekat. Kabut tipis menggantung di udara, menyatu dengan rambut putih Dyah Sulastri yang terurai liar seperti salju musim dingin. Kain jarik putihnya menyapu lantai, bordir naga emas di kain itu berkilauan samar seolah makhluk mitos itu hidup dan meronta dalam diam. Matanya yang biasanya tajam bagai mata elang kini redup seperti api lilin yang hampir padam, namun langkahnya tetap mantap—seolah takdir telah mengikat kakinya dengan rantai tak terlihat.Raka mengikutinya dari belakang, jantungnya berdebar tak karuan. Artefak perunggu di tang
Di dalam gua yang sunyi, udara terasa dingin seperti napas makhluk gaib. Dinding-dindingnya basah oleh embun abadi, memantulkan cahaya kuning temaram dari obor-obor kecil yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Di tengah gua, Raka berdiri tegak, dikelilingi oleh lingkaran batu besar yang penuh ukiran sulur naga bermata tiga. Mata naga itu seolah mengamati setiap gerakan Raka, menyimpan rahasia zaman purba yang tak pernah tersentuh oleh waktu.Artefak perunggu di tangannya bergetar pelan, seperti detak jantung yang tidak teratur. Cahaya keemasan mulai muncul dari artefak itu, melelehkan bayangan-bayangan di sekitarnya dan menyoroti lukisan-lukisan kuno di dinding gua. Lukisan itu awalnya tampak diam, lalu secara perlahan mulai bergerak, seperti dipengaruhi oleh denyut energi artefak. Sosok-sosok leluhur Gilingwesi terlihat bertarung melawan makhluk-makhluk gaib dengan mata merah menyala, tetapi warnanya kini semakin gelap, hingga wajah-wajah mereka
Sungai Gilingwesi mengalir tenang di bawah cahaya bulan purnama, airnya berkilau seperti cairan perak yang dituangkan dari langit. Di tepian, pohon kelapa menjulang setinggi langit, daunnya yang panjang berdesir seperti jemari leluhur yang ingin menyentuh bumi. Raka dan Dyah Sulastri berjalan menyusuri tepi sungai, bayangan mereka terpantul di air yang jernih, seolah-olah dua jiwa yang terbelah dari dunia berbeda. Udara dipenuhi aroma bunga kenanga yang semerbak, bercampur dengan tanah basah yang menguapkan aroma mistis. Suara jangkrik bersahut-sahutan dengan burung hantu, menciptakan melodi malam yang menggigilkan tulang."Kau yakin ingin ke sini?" tanya Raka, suaranya parau, nyaris tenggelam oleh desir angin yang membawa bisikan tak terdengar.Dyah mengangguk, kain jarik biru tua yang ia kenakan menyapu permukaan air, meninggalkan riak seperti jejak takdir. "Naga Niskala memanggilmu. Aku bisa merasakannya... sejak kau menemukan cermin itu
Ruang tahta Kerajaan Gilingwesi adalah ruang yang hidup. Dindingnya yang terbuat dari batu andesit tua diukir dengan relief naga berkepala tujuh, setiap sisiknya dilapisi emas yang redup oleh waktu. Di langit-langit, lukisan langit berbintang ditempati oleh dewa-dewi dengan mata terbuat dari batu obsidian yang seolah mengikuti gerakan setiap orang di bawahnya. Bau kemenyan menyengat, bercampur dengan aroma kayu cendana dari lampu minyak yang berkedip-kedip seperti kunang-kunang yang gelisah.Rakai Wisesa duduk di singgasana kayu jati yang diukir dengan motif bunga teratai, simbol kesucian dan kekuasaan. Jubahnya yang keemasan terurai seperti air sungai yang tenang, tetapi tangannya yang gemetar menggenggam tongkat kerajaan dengan erat. Di depannya, Dyah Sulastri berdiri dengan kain jarik biru tua yang menjuntai seperti air laut dalam, matanya yang berkaca-kaca menatap ayahnya dengan campuran kepasrahan dan pembe
Malam yang pekat menyelimuti istana Gilingwesi. Di bawah tanah, di mana udara lembap dan bau lumut menyengat, Ki Jagabaya duduk dalam selnya yang sempit. Dinding batu yang berlumut dan jeruji besi berkarat menjadi saksi bisu penderitaannya. Ia menatap tajam pada bayangan yang bergerak-gerak di sudut sel, seolah mencari celah untuk melarikan diri. Tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang penuh bekas luka menunjukkan bahwa ia bukan tahanan biasa. Matanya yang tajam seperti elang meneliti setiap inci lorong penjara, mencari kelemahan penjagaan. Sejak ditangkap karena pengkhianatannya, Ki Jagabaya tak pernah berhenti merencanakan pelarian. Ia tahu, keberadaannya di penjara hanyalah kesalahan fatal yang harus diperbaiki. "Mereka mengira rantai ini bisa menahanku?" gumamnya pelan, suaranya parau namun penuh keyakinan. Tangan kasarnya menggenggam erat jeruji besi, menguji kek
Langit kelabu menggantung seperti kain berkabung yang basah oleh embun pagi, menyelimuti lapangan latihan kerajaan dengan kesan murung. Angin dingin berhembus pelan, menggoyang rumput liar yang tumbuh di antara bekas jejak kaki prajurit. Arya Kertajaya berdiri di sana, tubuhnya tegak seperti patung perunggu, namun jemarinya gemetar menggenggam Keris Pusaka Kyai Slamet . Pedang warisan itu terasa semakin berat, seolah menyerap seluruh beban penyesalan yang menggerogoti hatinya. Bayangan di tanah tiba-tiba bergerak sendiri, membentuk siluet Buto Ijo yang mengangkat kapak perunggu. Ini pertanda , pikirnya. Alam gaib tidak merestui keputusanku . Kilas balik menghantuinya: bocah delapan tahun yang berlari di halaman istana, tertawa riang bersama Dyah Sulastri kecil. "Arya, kau lambat!" serunya dulu. "Jika kau tertangkap Buto Ijo, aku ti