Nayra langsung menutup mulutnya. Air matanya menguar deras begitu saja dari pelupuk. Ia tergugu, tak sanggup melanjutkan percakapannya di telepon. Tangannya yang sedari tadi meletakkan ponsel di telinga terkulai lemas dan perlahan turun menyusuri pipinya yang telah basah.Empati Aldo langsung tersentuh saat menyaksikannya. Ia segera berdiri lalu menangkap ponsel Nayra sebelum wanita itu menjatuhkannya ke lantai.Aldo dengan sigap meneruskan telepon Nayra. "Halo? Maaf, apa yang terjadi?"Mendengar jawaban di seberang telepon, lantas membuatnya menautkan kedua alis tebalnya. "Di rumah sakit mana? Tunggu. Kami akan segera ke sana."Aldo lekas memutus sambungan telepon itu, kemudian memandang Nayra yang bahunya tengah bergetar hebat. Ia lalu meraih lengan Nayra dan menariknya keluar."Ayo, akan kuantar ke rumah sakit," tegasnya. Nayra menurut, tapi enggan menjawab dan menunjukkan wajahnya yang sembap.Sebelum menghilang dari pintu, Aldo menoleh dan mengatakannya dengan cepat. "Vin, aku ti
Di depan perawat itu, tubuh Nayra langsung melemas. Kedua kakinya bahkan tak kuat menahan berat badannya sendiri. Sehingga Nayra pingsan dan tubuhnya ambruk ke belakang.Beruntung Aldo dengan sigap menangkap tubuh Nayra. Dua tangannya mencekal lengan Nayra agar tidak roboh dan jatuh ke lantai.Aldo sedikit menggoyangkan tubuh wanita tersebut, berusaha untuk menyadarkannya."Nay?"Kemudian Aldo menghela napas. Ia melempar tatapan ke arah perawat di depannya. "Sus, untuk urusan administrasi sama saya saja. Tolong bawa perempuan ini di ruang rawat lain dulu."Perawat itu menganggukkan kepala, lantas bergerak lincah demi menyiapkan brankar sementara untuk Nayra. Setelahnya, Aldo berderap menuju meja resepsionis.Di tempat lain, Marsella baru saja turun dari ojek online yang ia pesan. Saat melangkah menuju rumah kontrakan Guna, ia mengerutkan kening sejenak.Ia membuka pintu seperti biasa. Namun, pintu rumah itu sepertinya dikunci oleh sang pemilik. Marsella kemudian mengetuk pintu beberap
Marsella terenyak. Bahkan ia masih bisa merasakan panasnya tamparan keras tangan ibunya yang menjalar ke seluruh saraf. Marsella membuka mulutnya tak percaya, lantas melempar mimik masam di wajah."Mi, kok—""Diam, Sel. Makanya kalau Papi Mami bicara sama kamu, kamu diam saja. Jangan menjawab sepatah kata pun!" Ibunya lalu menarik napas panjang dan memijat pelipisnya. "Ya Tuhan, kenapa anakku jadi begini."Marsella melengkungkan bibirnya. Bukan hanya ibunya saja yang merasakan kekecewaan. Marsella lebih kecewa terhadap kedua orang tuanya.Kalau saja ia bisa memilih siapa orang tuanya. Batinnya.Marsella menelan ludah secara kasar sekaligus kenyataan pahit yang harus ia sadari. Seorang anak tidak bisa memilih siapa orang tuanya. Tetapi para orang tua dapat memilih dengan siapa ia menikah dan bagaimana cara membesarkan anaknya."Pokoknya kamu nurut saja sama keputusan kami. Kamu akan dijodohkan dengan anak teman Papi. Pertemuan kalian akan segera kami jadwalkan," tegas sang ayah tanpa m
Kedua mata Nayra masih memperhatikan dalam keheningan yang mencekamnya sendiri. Separuh dari dirinya sangat takut jika ada yang meleset dari harapannya."Pak Budi akan baik-baik saja. Alhamdulilah, operasinya berhasil. Tapi beliau harus istirahat cukup dulu." Setelah dokter tersebut menangkap rona di wajah Nayra kembali, ia dapat menarik napas lega. "Saya permisi," katanya sambil menuntun langkahnya pergi."Baik, Dok. Terima kasih banyak," lirih Nayra.Setelah dokter tadi menjauh, Nayra mengusap wajahnya dengan sedikit terisak. Ia sangat bersyukur bahwa ada kabar baik mengenai ayahnya. Aldo yang sedari tadi menyaksikan interaksi keduanya turut mendes*ah lega.Kemudian, Nayra menggiring kaki menuju ruang dimana Budi dirawat. Tangannya membuka pintu perlahan. Tampak beberapa alat dan selang bening masih terbenam di tubuh ayahnya. Meski belum siuman, namun air muka Budi menunjukkan ketenangan.Nayra lantas duduk di samping brankar. Menghadap ke arah Budi yang masih terbaring lemah, Nayra
Sebelum Marsella berhasil meneruskan unek-uneknya, bibir tebal Guna justru nekat menyambar bibirnya lebih dahulu. Membungkam keinginan Marsella yang semula ingin curhat menjadi sebuah kekesalan.Marsella mendorong tubuh Guna saat bibir pria itu sedang melumatnya. Buru-buru ia mengusap bekas ciuman Guna dengan kecewa."Kamu apa-apaan sih—""Loh, kenapa, Sayang? Kamu nggak suka aku cium?" Guna menautkan kedua alisnya."Dengerin dulu kalau aku ngomong! Jangan asal cium aja!" cecar Marsella tidak terima.Sejujurnya ciuman tersebut tak menjengkelkan sama sekali. Namun, situasi yang tidak tepat membuat hatinya dongkol. Padahal sekarang ia sedang serius. Tapi suasananya dirusak begitu saja oleh Guna.Guna langsung mengerjapkan kedua mata, kemudian berusaha meraih tangan Marsella karena merasa bersalah. "Maaf ya, Sayang. Tadi kamu mau bicara apa?"Refleks tangan Guna langsung ditepis oleh Marsella. "Nggak jadi. Aku udah nggak mood lagi!" sentak Marsella yang kemudian enyah dari sana.Guna tak
Nayra menatap Ida dengan penuh intimidasi. Sedang mulut Ida terkatup rapat tampak khawatir. Nayra mendengus kemudian segera menyeret kakinya keluar hendak memastikan pendengarannya. Tetapi lengannya mendadak dicekal oleh Ida."Kamu mau kemana, Nay?"Nayra menoleh gemas. "Ibu nggak dengar itu ada motor Guna? Sebentar, Bu, aku pastikan dulu.""E-eh, nggak perlu." Ida langsung menarik lagi tangan Nayra. Kini lebih erat. Nayra menoleh lantas menautkan kedua alisnya."Kita bahas ayahmu dulu yuk," bujuk Ida berusaha mengalihkan perhatian Nayra.Sekilas Nayra terlihat berpikir. Tapi ini satu-satunya kesempatan untuk membicarakannya dengan Ida. Bagaimanapun biasanya Ida selalu egois dan tak mau peduli dengan Budi. Nayra lalu setuju. Ia duduk di sofa mendahului Ida yang mengekor di belakangnya."Ibu kemana saja? Ayah sakit, pingsan sampai operasi. Tadi pagi yang bawa ke rumah sakit Bu Arifin. Ibu malah nggak ada di rumah." jelas Nayra tanpa ditanya."Aku ada arisan sama teman-temanku lah, Nay.
"—itu siapa, Nay?" Kedua mata Ida berbinar. Tapi begitu menyadari jika pria yang mendekati Nayra bukanlah Guna, ia menekuk wajah samar."Bosku, Bu." Nayra lalu menggiring kaki cepat ke dalam ruang rawat inap. Ia menghampiri Aldo dengan raut wajah panik."Pak Aldo kenapa ke sini?" tanyanya heran.Aldo memiringkan muka sekilas. "Kenapa? Tidak boleh?""Tentu boleh dong!" celetuk Ida menyela percakapan keduanya. Mula-mula saja wanita itu berada di antara Nayra dan Aldo.Ida melebarkan senyum semanis mungkin, lalu mengulurkan tangan demi menjabat Aldo. "Selamat siang, Pak. Saya Ida, ibunya Nayra."Aldo menyambut tangan Ida singkat dan menjawabnya sembari berdeham. "Saya Aldo."Tatapan kagum Ida tak bisa lepas dari wajah tampan milik Aldo. Hingga membuat Aldo kikuk sendiri.Ida cepat-cepat menyikut lengan Nayra di sampingnya. Ia mendekati Nayra sambil berbisik, "Ini orang kaya yang memindahkan bapakmu ke ruang VVIP ini kan?"Mendengar pertanyaan Ida, Nayra mengerjap cepat. Setengahnya ia me
Aldo tersedak beberapa kali. Sontak perhatian Arvin dan Nayra langsung tertuju kepadanya. Arvin hendak meraih gelas mineral di dekat tangannya, namun Aldo secepat kilat sudah meminum jus kepunyaannya sendiri. Tampak wajah pria itu jadi bersemu merah.Begitu meneguk jusnya dengan bengis, Aldo lantas mengusap mulutnya secara kasar. Tatapannya masih menerawang tak percaya. Mendadak kepala Aldo pusing.Dunianya hampir terbalik jika ia tidak segera melompat berdiri dari duduknya."Eh?" Suara terkejut Nayra lolos begitu saja. Begitu juga Arvin yang sama bingungnya."Loh, Pak Aldo mau kemana?" Dari balik lensa kacamatanya, ia mengikuti gerakan Aldo yang enyah dari sana."Sebentar, aku mau ke toilet dulu," deham Aldo saat melangkahkan kakinya menjauh, namun masih bisa didengar oleh Nayra dan Arvin.Kemudian baik Nayra maupun Arvin saling melempar pandang heran selama sekian detik. Keduanya lantas menghela napas karena tak menemukan jawaban apapun."Ada yang salah ya, Pak?" tanya Nayra mula-mu
Ida mengusap perlahan perutnya yang mulai membesar sembari menunggu bus yang tengah ia tumpangi menepi. Kedua matanya lebih sayu dari enam bulan yang lalu. Ida memutuskan kembali ke kampung halamannya dan mulai hidup baru di sana sejak peristiwa pengarakan yang membuatnya tak ingin ia ingat.Meski begitu, gosip di tengah masyarakat desa ternyata lebih kejam menggunjingnya. Apalagi berita mengenai perselingkuhannya viral dan menguar ke berbagai media sosial nasional. Ia sangat malu, tapi kehidupan di desa lebih menjamin dibanding di kota jika menyangkut masalah pekerjaan. Di kampungnya sendiri, asal ia gerak, maka ia dapat upah juga dengan membanting tulang di ladang milik tetangga kaya atau tuan tanah.“Pak, turun di sini, Pak!” Dari belakang, Ida mengingatkan sang sopir.Ia mulai melangkahkan kaki perlahan dengan mencangking sebuah kresek lumayan besar, lantas turun dari kendaraan besar beroda empat tersebut selagi orang-orang menatapnya. Tanpa menunggu waktu, Ida lekas melanjutkan p
Banyak orang tengah mengerumuni rumah kontrakan Guna pagi ini. Salah satu dari mereka ketua RT di wilayah tempat tinggal Guna, sementara sebagian besarnya merupakan warga yang kepo dengan penggerebekan kali ini.“Maaf, Bu. Saya selaku ketua RT di sini terpaksa harus mengamankan Ibu dan Mas Guna dulu. Hal ini dikarenakan banyak aduan dari warga bahwa di rumah ini sering disalahgunakan untuk kumpul kebo. Benar begitu, Mas Guna?” papar sopan seorang pria paruh baya secara lugas.Ida menegang. Kedua matanya menyapu orang-orang yang berada di belakang pria tadi sedang antusias memotret maupun merekamnya. Tampaknya mereka sangat penasaran dengan kondisi di rumah ini. Apalagi ternyata tersiar kabar bahwa wanita yang dibawa Guna ke kontrakannya memiliki selisih usia yang tak wajar.Guna mendengus keras. Hasil lab dari penyakitnya masih menghantui dirinya. Bagaimana tidak, di dokumen tersebut tertulis jelas bahwa Guna terjangkit virus HIV. Guna tiba-tiba menggelengkan kepala sambil menatap ke
Nayra terpaksa melakukan hal ini. Memasukkan semua barang Ida ke tas besar, lalu melemparnya ke luar rumah selagi ibunya itu memohon agar tidak diusir.Budi yang menyaksikan adegan ini sesenggukan. Perasaannya campur aduk antara kecewa karena merasa gagal menjadi sosok kepala rumah tangga, sedih, marah, menyesal dan tentu sejujurnya ia tak mau akhirnya jadi begini."Nay, maaf! Jangan usir Ibu!" Berkali-kali Ida memohon kepada Nayra, namun nyatanya Nayra sudah tak sudi mendengar semua penjelasan atau sekadar mengasihani ibunya.Nayra tidak keberatan menjadi anak durhaka sekarang. Ia amat kecewa, dan jijik dengan Ida. "Perceraian kalian biar nanti aku yang urus!" gertak Nayra sembari memasukkan barang Ida dan mendorongnya ke tubuh wanita dewasa tersebut.Ida menekuk wajahnya. Percuma. Sepertinya apa pun penjelasannya, Nayra tetap bersikukuh mengusir dirinya."Oke! Urus aja! Hidupmu bakal lebih buruk setelah ini! Lihat aja!" ancam Ida kemudian. Ia sudah tak sudi memohon.Tapi, setelahnya
Sontak keduanya memalingkan perhatiannya kepada satu titik. Nayra terperangah.“Marsella? Ada apa, Sel?”Aldo yang ada di samping Nayra kini mengacak rambutnya frustasi. Wanita di depannya sekarang datang pada waktu yang tidak tepat.“Mbak, aku mau bicara sebentar. Ini penting.” Raut wajah Marsella tampak terdesak. Tapi, Nayra tak dapat menebaknya sama sekali.Nayra akhirnya menoleh ke arah Aldo dengan segan, kemudian berkata, “Maaf, Ko. Kita bicara lagi nanti, ya.” Ekspresi Nayra sungkan.“Ya, Nay. Aku pulang dulu kalau begitu.” Aldo mau tak mau mengangguk, lalu melangkahkan kaki pergi meski sebenarnya enggan.Kedua netra Nayra mengikuti gerakan Aldo hingga pria itu hilang dari pandangannya. Nayra menghela napas, lantas kembali menaruh perhatian pada Marsella yang sudah tampak tak sabar.“Lanjut, Sel. Kamu mau ngomong apa?”Marsella bergerak meraih ponsel yang ada di dalam tasnya. Dengan gerakan cepat, ia memutarkan video berdurasi tak kurang dari satu menit tersebut. Tangannya terju
Kedua netra Marsella melebar tatkala taksi yang ia tumpangi meluncur perlahan dikarenakan efek macet sore ini. Secara kebetulan ia menangkap sosok menyebalkan Guna justru berjalan beriringan bersama wanita dewasa yang pernah mengolok-ngoloknya usai video perselingkuhannya viral ke mana-mana."Pak, bentar. Kita berhenti dulu, ya," ungkap Marsella cepat sementara dua manik hitamnya terus mengikuti jejak mereka.Marsella mula-mula meraih ponselnya, lalu memberanikan diri untuk menghubungi Guna lagi. Dari balik kaca mobil, ia memperhatikan gerak-gerik Guna yang mengerutkan kening sewaktu ponsel miliknya berdering.Guna terpaku menatap sebuah nama yang terpampang di layar selama sekian detik sebelum memutuskan untuk menjawab."Halo?" Guna akhirnya menempelkan benda persegi panjang tersebut ke telinga."Gun, kamu ada di mana?"Wajah Guna memerah. Selain masih terbawa emosi, ia agaknya kesal karena Marsella tak bisa dihubungi selama ini. Marsella juga tidak ada sewaktu dirinya berada di titi
Rianty menggertakkan gigi sewaktu menyaksikan sosok yang ia benci beberapa tahun lalu malah muncul kembali di hadapannya. Mukanya merah padam. Kini amarah Rianty berkembang menjadi dua kali lipat.Stefanny tersenyum simpul, berdiri, kemudian berderap mendekat demi menyambut kehadiran Rianty yang sengaja ia tunggu-tunggu.“Halo, Tante. Akhirnya kita bertemu, ya.” Sambil mempertahankan senyumnya, tangan Stefanny terulur untuk berjabat tangan dengan Rianty.Rianty mengatupkan rahang, sementara Nugroho yang ada di sisinya kebingungan menyaksikan situasi di depannya. Rianty mendengus, mengabaikan tangan yang terlihat menunggu di hadapannya.“Ternyata kamu anaknya Rachel. Tahu begitu aku tidak akan sudi menghubungi Rachel demi anak sepertimu,” ketus Rianty langsung menghunjam dada Stefanny.Stefanny tergelak. Ia memandang tangannya yang tak dianggap, lantas menariknya kembali. Ia tersenyum miring sembari mengibaskan rambut pendek hitamnya yang cemerlang.“Begini. Tante saya nggak salah sih,
Aldo terkesiap. Bibir lembut itu tiba-tiba menyerobot dan tak memberi napas sedetik pun. Jika saja ciuman tersebut mereka lakukan beberapa tahun silam, mungkin Aldo tak akan sekesal sekarang. Ia segera mendorong tubuh Stefanny menjauh tatkala mendengar suara benda jatuh tak jauh dari posisinya.Sontak kedua netra Aldo melebar usai melihat siapa yang baru saja datang di ruangannya.“Nayra!” Aldo lekas bangkit, ingin mengejar Nayra yang sekarang berlari pergi. Tetapi sebuah tangan terulur untuk mencegahnya.Aldo yang sudah muak menoleh dan langsung mengibaskan lengannya hingga terlepas dari cengkeraman wanita tersebut.“Sial, kamu harus tanggung jawab!” tuding Aldo murka sebelum berlari mengejar kepergian Nayra.Alih-alih merasa bersalah. Stefanny justru menyunggingkan seringaiannya dengan puas.“Pertunjukkan ini semakin seru ternyata,” gumamnya tersenyum miring.Aldo melangkahkan kaki cepat mencari keberadaan Nayra. Sejumlah karyawan menatapnya dengan penuh tanda tanya. Tak seperti bia
Saat itu Nayra baru saja dari divisi marketing, memeriksa dokumen-dokumen yang ia minta sambil berjalan menelusuri koridor.Tiba-tiba telinganya menangkap sepasang suara yang ia kenal baik. Nayra mendongak, menyaksikan Aldo dan Stefanny tengah menggiring kaki dari arah yang berlawanan sembari tertawa.Sepertinya mereka sedang bercanda, atau membicarakan tentang masa lalu indah mereka, atau bahkan mulai merangkai masa depan bersama."Hahaha, begitu, ya! Kamu pintar, Fan!" celetuk Aldo melirik Nayra, lantas menyampirkan tangannya pada pundak Stefanny."Wah, iya dong, Do. Kan kamu suka aku dulu karena kecerdasanku." Stefanny menyombongkan diri.Nayra memilih segera fokus ke dokumen kembali. Ia sengaja bersikap acuh tak acuh demi menyembunyikan perasaan berkecamuk yang sesungguhnya. Toh, ia benar-benar merasa tak layak. Jadi, Nayra tentu saja mengikhlaskan Aldo bersama wanita secantik dan sepintar Stefanny.Aldo dan Nayra saling melewati tubuh masing-masing. Nayra masih tampak berkutat pa
“Kamu tidak perlu tahu,” ucap Aldo ketus. Tak sudi menatap lawan bicaranya.Stefanny menggigit bibirnya emosi. Tangannya terkepal erat mendengar jawaban Aldo. Ia kecewa, padahal selama ini ia rela banting tulang mengurus perusahaan yang bukan milik keluarganya sendiri demi membuktikan diri dan kembali kepada Aldo.“Apa itu Nayra?” tekan Stefanny. Ia buru-buru membuang muka demi menyembunyikan kegeramannya. “Aku tau tatapanmu beda untuk perempuan itu.”Napas Stefanny semakin berat. Tapi, Aldo tak kunjung menjawabnya juga. Justru beruntung bagi Aldo karena lift di hadapannya lekas terbuka.“Dinner kita batal,” sergah Aldo dingin sebelum benar-benar keluar dari lift.Rahang Stefanny mengeras tatkala matanya menyaksikan punggung Aldo menjauh. Saking marahnya, kerongkongannya seperti tertutup oleh sesuatu yang menyakitkan. Mungkin sedikit lagi air matanya tumpah. Tetapi, Stefanny pantang menangis. Ia sudah terbiasa makan asam garam kehidupan.Dan, sejauh ini, pernyataan dari mulut Aldo bar