Kedua mata Nayra masih memperhatikan dalam keheningan yang mencekamnya sendiri. Separuh dari dirinya sangat takut jika ada yang meleset dari harapannya."Pak Budi akan baik-baik saja. Alhamdulilah, operasinya berhasil. Tapi beliau harus istirahat cukup dulu." Setelah dokter tersebut menangkap rona di wajah Nayra kembali, ia dapat menarik napas lega. "Saya permisi," katanya sambil menuntun langkahnya pergi."Baik, Dok. Terima kasih banyak," lirih Nayra.Setelah dokter tadi menjauh, Nayra mengusap wajahnya dengan sedikit terisak. Ia sangat bersyukur bahwa ada kabar baik mengenai ayahnya. Aldo yang sedari tadi menyaksikan interaksi keduanya turut mendes*ah lega.Kemudian, Nayra menggiring kaki menuju ruang dimana Budi dirawat. Tangannya membuka pintu perlahan. Tampak beberapa alat dan selang bening masih terbenam di tubuh ayahnya. Meski belum siuman, namun air muka Budi menunjukkan ketenangan.Nayra lantas duduk di samping brankar. Menghadap ke arah Budi yang masih terbaring lemah, Nayra
Sebelum Marsella berhasil meneruskan unek-uneknya, bibir tebal Guna justru nekat menyambar bibirnya lebih dahulu. Membungkam keinginan Marsella yang semula ingin curhat menjadi sebuah kekesalan.Marsella mendorong tubuh Guna saat bibir pria itu sedang melumatnya. Buru-buru ia mengusap bekas ciuman Guna dengan kecewa."Kamu apa-apaan sih—""Loh, kenapa, Sayang? Kamu nggak suka aku cium?" Guna menautkan kedua alisnya."Dengerin dulu kalau aku ngomong! Jangan asal cium aja!" cecar Marsella tidak terima.Sejujurnya ciuman tersebut tak menjengkelkan sama sekali. Namun, situasi yang tidak tepat membuat hatinya dongkol. Padahal sekarang ia sedang serius. Tapi suasananya dirusak begitu saja oleh Guna.Guna langsung mengerjapkan kedua mata, kemudian berusaha meraih tangan Marsella karena merasa bersalah. "Maaf ya, Sayang. Tadi kamu mau bicara apa?"Refleks tangan Guna langsung ditepis oleh Marsella. "Nggak jadi. Aku udah nggak mood lagi!" sentak Marsella yang kemudian enyah dari sana.Guna tak
Nayra menatap Ida dengan penuh intimidasi. Sedang mulut Ida terkatup rapat tampak khawatir. Nayra mendengus kemudian segera menyeret kakinya keluar hendak memastikan pendengarannya. Tetapi lengannya mendadak dicekal oleh Ida."Kamu mau kemana, Nay?"Nayra menoleh gemas. "Ibu nggak dengar itu ada motor Guna? Sebentar, Bu, aku pastikan dulu.""E-eh, nggak perlu." Ida langsung menarik lagi tangan Nayra. Kini lebih erat. Nayra menoleh lantas menautkan kedua alisnya."Kita bahas ayahmu dulu yuk," bujuk Ida berusaha mengalihkan perhatian Nayra.Sekilas Nayra terlihat berpikir. Tapi ini satu-satunya kesempatan untuk membicarakannya dengan Ida. Bagaimanapun biasanya Ida selalu egois dan tak mau peduli dengan Budi. Nayra lalu setuju. Ia duduk di sofa mendahului Ida yang mengekor di belakangnya."Ibu kemana saja? Ayah sakit, pingsan sampai operasi. Tadi pagi yang bawa ke rumah sakit Bu Arifin. Ibu malah nggak ada di rumah." jelas Nayra tanpa ditanya."Aku ada arisan sama teman-temanku lah, Nay.
"—itu siapa, Nay?" Kedua mata Ida berbinar. Tapi begitu menyadari jika pria yang mendekati Nayra bukanlah Guna, ia menekuk wajah samar."Bosku, Bu." Nayra lalu menggiring kaki cepat ke dalam ruang rawat inap. Ia menghampiri Aldo dengan raut wajah panik."Pak Aldo kenapa ke sini?" tanyanya heran.Aldo memiringkan muka sekilas. "Kenapa? Tidak boleh?""Tentu boleh dong!" celetuk Ida menyela percakapan keduanya. Mula-mula saja wanita itu berada di antara Nayra dan Aldo.Ida melebarkan senyum semanis mungkin, lalu mengulurkan tangan demi menjabat Aldo. "Selamat siang, Pak. Saya Ida, ibunya Nayra."Aldo menyambut tangan Ida singkat dan menjawabnya sembari berdeham. "Saya Aldo."Tatapan kagum Ida tak bisa lepas dari wajah tampan milik Aldo. Hingga membuat Aldo kikuk sendiri.Ida cepat-cepat menyikut lengan Nayra di sampingnya. Ia mendekati Nayra sambil berbisik, "Ini orang kaya yang memindahkan bapakmu ke ruang VVIP ini kan?"Mendengar pertanyaan Ida, Nayra mengerjap cepat. Setengahnya ia me
Aldo tersedak beberapa kali. Sontak perhatian Arvin dan Nayra langsung tertuju kepadanya. Arvin hendak meraih gelas mineral di dekat tangannya, namun Aldo secepat kilat sudah meminum jus kepunyaannya sendiri. Tampak wajah pria itu jadi bersemu merah.Begitu meneguk jusnya dengan bengis, Aldo lantas mengusap mulutnya secara kasar. Tatapannya masih menerawang tak percaya. Mendadak kepala Aldo pusing.Dunianya hampir terbalik jika ia tidak segera melompat berdiri dari duduknya."Eh?" Suara terkejut Nayra lolos begitu saja. Begitu juga Arvin yang sama bingungnya."Loh, Pak Aldo mau kemana?" Dari balik lensa kacamatanya, ia mengikuti gerakan Aldo yang enyah dari sana."Sebentar, aku mau ke toilet dulu," deham Aldo saat melangkahkan kakinya menjauh, namun masih bisa didengar oleh Nayra dan Arvin.Kemudian baik Nayra maupun Arvin saling melempar pandang heran selama sekian detik. Keduanya lantas menghela napas karena tak menemukan jawaban apapun."Ada yang salah ya, Pak?" tanya Nayra mula-mu
Hari itu langit biru cerah lambat laun terselubung oleh cakrawala pekat yang berhias beribu bintang. Hari yang cukup melelahkan untuk seorang Aldo yang seakan menopang seluruh perusahaan beserta tanggung jawabnya.Namun sewaktu ia sedang memutar setir mobilnya di pertengahan jalan, senyumnya terkembang mengingat dirinya telah berhasil mengemban permintaan Budi yang ditujukan padanya. Entah kenapa, ia bahagia bisa mewujudkannya. Menurutnya Budi adalah sosok yang rendah hati dan menyayangi anaknya. Orang seperti itu pantas bahagia. Dan Aldo senang bisa menjadi salah satu dari kebahagiaan orang tua tersebut Tak terasa mobilnya telah memasuki pekarangan rumah. Dengan pola yang sama, ia langsung memasuki garasi lalu menggiring kaki menuju kamar lewat perbatasan pintu garasi-ruang tamu. Ia juga sempat melirik Rianty yang diam membeku berada di depan televisi dengan wajah yang datar."Aduh…" pekik halus Rianty setelah Aldo berderap beberapa langkah mendekati anak tangga.Hal tersebut langsu
Arvin segera mengerem laju mobil, lantas membanting setir ke kanan. Nayra yang berada di jok belakang sampai nyaris terlempar.Mobil itu melesat cepat menyalip beberapa antrean kendaraan di depannya. Bahkan sejumlah klakson harus mereka abaikan. Nayra menggigit bibir bawahnya. Apa yang terjadi dengan ibu Aldo? Batinnya mencoba menerka.Setiba di salah satu mall yang dimaksudkan, Aldo dan Nayra lekas berlari cepat ke dalam. Sementara Arvin harus memarkirkan mobil dahulu di basemen mall.Ketika netra Aldo tak sengaja menangkap sosok pembantunya di sana, ia langsung bergerak menghampiri dengan raut wajah amat khawatir."Mbak, dimana Mama? Gimana kondisinya?" kejar Aldo selagi ia mencoba mengatur napas.Asisten rumah tangga tersebut tampak cemas. Dengan sesekali melirik ke arah Nayra. "Anu, Ko. Ibu ada di dalam. Koko langsung ke dalam saja," tuding wanita berusia sekitar 35-an itu ke arah restoran chinese food.Aldo sempat mengernyit samar. Namun segera masuk karena ia sangat mengkhawatir
"Sel, jangan marah lagi…" racau Guna kembali. Sekarang tangan pria itu berusaha meraih bahu Marsella dan mengusapnya pelan. "Kau mau kubelikan apa? Ha?"Marsella menekuk wajah. Tapi di sisi lain ia merasa kasihan. Sekali lagi ia menoleh ke sekitarnya dengan air muka cemas. Tak ada yang bisa ia lakukan selagi berada di rumah besar ini."Mending kamu cepetan pulang, deh. Aku nggak mau kalau kamu sampai berurusan dengan papiku!" desak Marsella ketakutan. Ia tahu bahwa ayahnya bisa melakukan apapun."Ng.. nggak. Nggak mau sebelum kamu memaafkan aku, membalas pesanku, mengangkat teleponku…" Guna mengangkat tangannya tanpa tenaga dan mulai menghitung jarinya dalam posisi masih melantur.Marsella menggigit bibir bawahnya gemas. Ia berusaha meraih tubuh Guna dan menegakkannya. Setelah itu, ia mengguncang badan Guna sekilas."Ayo, kamu harus cepet sadar!" Marsella cemas. Ia segera mengambil ponsel dan mengotak-atik benda persegi panjang tersebut. "Aku pesankan ojek mobil, kamu harus cepet perg