Hari itu langit biru cerah lambat laun terselubung oleh cakrawala pekat yang berhias beribu bintang. Hari yang cukup melelahkan untuk seorang Aldo yang seakan menopang seluruh perusahaan beserta tanggung jawabnya.Namun sewaktu ia sedang memutar setir mobilnya di pertengahan jalan, senyumnya terkembang mengingat dirinya telah berhasil mengemban permintaan Budi yang ditujukan padanya. Entah kenapa, ia bahagia bisa mewujudkannya. Menurutnya Budi adalah sosok yang rendah hati dan menyayangi anaknya. Orang seperti itu pantas bahagia. Dan Aldo senang bisa menjadi salah satu dari kebahagiaan orang tua tersebut Tak terasa mobilnya telah memasuki pekarangan rumah. Dengan pola yang sama, ia langsung memasuki garasi lalu menggiring kaki menuju kamar lewat perbatasan pintu garasi-ruang tamu. Ia juga sempat melirik Rianty yang diam membeku berada di depan televisi dengan wajah yang datar."Aduh…" pekik halus Rianty setelah Aldo berderap beberapa langkah mendekati anak tangga.Hal tersebut langsu
Arvin segera mengerem laju mobil, lantas membanting setir ke kanan. Nayra yang berada di jok belakang sampai nyaris terlempar.Mobil itu melesat cepat menyalip beberapa antrean kendaraan di depannya. Bahkan sejumlah klakson harus mereka abaikan. Nayra menggigit bibir bawahnya. Apa yang terjadi dengan ibu Aldo? Batinnya mencoba menerka.Setiba di salah satu mall yang dimaksudkan, Aldo dan Nayra lekas berlari cepat ke dalam. Sementara Arvin harus memarkirkan mobil dahulu di basemen mall.Ketika netra Aldo tak sengaja menangkap sosok pembantunya di sana, ia langsung bergerak menghampiri dengan raut wajah amat khawatir."Mbak, dimana Mama? Gimana kondisinya?" kejar Aldo selagi ia mencoba mengatur napas.Asisten rumah tangga tersebut tampak cemas. Dengan sesekali melirik ke arah Nayra. "Anu, Ko. Ibu ada di dalam. Koko langsung ke dalam saja," tuding wanita berusia sekitar 35-an itu ke arah restoran chinese food.Aldo sempat mengernyit samar. Namun segera masuk karena ia sangat mengkhawatir
"Sel, jangan marah lagi…" racau Guna kembali. Sekarang tangan pria itu berusaha meraih bahu Marsella dan mengusapnya pelan. "Kau mau kubelikan apa? Ha?"Marsella menekuk wajah. Tapi di sisi lain ia merasa kasihan. Sekali lagi ia menoleh ke sekitarnya dengan air muka cemas. Tak ada yang bisa ia lakukan selagi berada di rumah besar ini."Mending kamu cepetan pulang, deh. Aku nggak mau kalau kamu sampai berurusan dengan papiku!" desak Marsella ketakutan. Ia tahu bahwa ayahnya bisa melakukan apapun."Ng.. nggak. Nggak mau sebelum kamu memaafkan aku, membalas pesanku, mengangkat teleponku…" Guna mengangkat tangannya tanpa tenaga dan mulai menghitung jarinya dalam posisi masih melantur.Marsella menggigit bibir bawahnya gemas. Ia berusaha meraih tubuh Guna dan menegakkannya. Setelah itu, ia mengguncang badan Guna sekilas."Ayo, kamu harus cepet sadar!" Marsella cemas. Ia segera mengambil ponsel dan mengotak-atik benda persegi panjang tersebut. "Aku pesankan ojek mobil, kamu harus cepet perg
Dengan terhuyung, Guna melangkahkan kaki menuju rumah kontrakannya setelah turun dari mobil polisi. Tadi ia harus diwawancarai di sana, sedang polisi berusaha mencari tahu tentang dua preman tadi dengan melacak nomor plat mobil.Karena bertanya kepada Guna tidak terlalu berguna, maka polisi membiarkan pria itu pergi. Bahkan diantarkan oleh salah satu polisi yang kebetulan tengah berangkat dinas.Kini kondisi wajah Guna lebih lebam dari sebelumnya. Jika sebelumnya ia merutuki Aldo yang menyebabkan sakit luar biasa di sekitar mulutnya, maka kali ini pun sama. Ia tetap menyebut Aldo sebagai "om brengsek" dan mengumpati semua orang yang menyebalkan termasuk Nayra.Sore ini Guna sudah malas mengurus wajahnya. Jadi, ia lebih memilih langsung melempar tubuhnya sendiri di atas kasur. Tidur lelap hingga sejumlah pesan dan telepon tak ia hiraukan.Di tempat lain, mobil Aldo berderum memasuki area rumahnya. Seperti biasa, ia akan turun dari mobil dan melewati pintu ambang batas garasi-ruang teng
Aldo menatap Nayra lekat-lekat. Menjadikan sosok Nayra di depannya bergerak canggung. Nayra mengerjapkan kedua matanya. Menunggu suara yang keluar dari mulut Aldo dengan kalut.Sementara itu, Aldo sedang menimbang-nimbang suatu hal. Di satu sisi, ia sangat penasaran dengan sosok Nayra yang selalu mengingatkannya pada Nia kecil yang telah berbaik hati padanya dulu. Lalu, satu ide tebersit dari benaknya."Nayra, apakah kamu ingin gaji tambahan dariku?"Seketika Nayra tercenung. Salah satu alisnya terangkat keheranan."Maaf, apa maksud, Pak Aldo?" sahut Nayra akhirnya. Ia memiringkan sedikit kepala demi memperhatikan air muka Aldo."Begini. Aku butuh kamu untuk jadi pacar sewaku."Sekaligus ingin tahu kenapa kamu mirip dengan Nia, batinnya.Mendengar jawaban dari Aldo, sontak membuat Nayra terperangah. Ia bahkan dengan tak sadar membuka mulutnya, lantas meraup oksigen di sekitarnya secara serakah."Jangan salah paham. Aku hanya akan melakukan kontrak denganmu, lalu akan kubayar sesuai ke
Di hadapan Guna yang tengah tak sabar, perlahan Marsella meluruhkan satu per satu pakaian. Guna menyaksikan sambil menelan keras salivanya. Begitu terpesona dengan tubuh polos di hadapannya sekarang.Marsella melangkah menuju Guna, duduk di pangkuan dan membantu mengurai busana pria itu juga. Setelahnya, kedua netra mereka terpaut kembali.Guna mendorong Marsella ke atas kasur. Dengan liar, langsung menindih wanita tersebut dan melakukan serangkaian gerakan yang membuat keduanya dialiri sensasi candu dan mata berkunang-kunang.♡♡♡Hari semakin sore ketika Nayra memandang ke arah jendela sekilas sedangkan tangannya tengah sibuk merapikan sejumlah dokumen secara cepat. Aldo sempat menatap ke arahnya juga. Alasannya karena pria itu merasa ditatap oleh Nayra, sedikit merasa percaya diri.Namun, berbeda dengan anggapan Nayra yang merasa bahwa Aldo mencuri pandang ke arahnya karena memastikan dirinya harus cepat membawa dokumen-dokumen tersebut. Dengan kata lain, Aldo tidak sabar menungguny
"Buat apa?" bisik Nayra lagi. Matanya tetap terpaut pada lembar kertas tersebut. Ternyata itu adalah salah satu alasan uang bulanannya raib dan entah kemana.Nayra kemudian teringat oleh sikap Ida yang aneh akhir-akhir ini. Tiap malam jarang berada di rumah dan ia sering mendengar wanita tersebut bertelepon entah dengan siapa. Dugaan Nayra semakin mengarah kepada perselingkuhan yang dilakukan oleh orang itu.Nayra meremas kertas kecil yang ada di dalam tangannya. Pandangannya menerawang lurus. Bagaimanapun ia bertekad untuk menemukan siapa pria yang berada di belakang ini untuk menjadikan alasan perceraian Budi dan Ida. Dengan begitu, Ida tidak akan membebani dirinya lagi.Setelah cukup memikirkan hal itu, Nayra segera memasukkan nota tersebut ke dalam saku celana dan menyambar dua tempat sampah yang sempat ia turunkan tadi.Dengan gontai, Nayra melangkahkan kaki kembali menuju rumah. Sementara kekesalan tengah menghinggapinya. Pertama-tama ia menuju kamar Ida dan meletakkan tempat sa
Marsella melirik ibunya dengan tatapan kesal. Bahkan kedua matanya sudah tampak merah karena air mata Marsella meluap begitu saja dari pelupuknya.Ia tidak percaya jika ibunya berkata demikian. Ibunya tak pernah sekali pun membela dirinya. Apalagi mengerti perasaan Marsella. Wanita itu seakan mempunyai hati yang telah membeku keras."Mi, kenapa Mami nggak pernah ngerasain kalau Mami jadi Marsella? Apa itu karena Mami dulu juga dijodohkan sama Papi dan pengen aku senasib seperti Mami juga, hah?!" Marsella tak dapat menahan rasa marah muncul melalui mulutnya.Seketika ia tahu, pupil mata ibunya melebar dan menunjukkan sebuah keterkejutan. Ibunya menggertakkan gigi sambil menatap tajam Marsella di depannya."Tutup mulutmu, Sel! Tidak seharusnya kamu mengatakan itu di depan Mami sama Papi!" Ibunya memperingatkan dengan kedua mata melotot. Merasa bahwa anaknya tak sopan berbicara soal masa lalu dirinya dan sang suami.Marsella tertawa getir. Bahunya naik turun secara cepat karena akhirnya
Ida mengusap perlahan perutnya yang mulai membesar sembari menunggu bus yang tengah ia tumpangi menepi. Kedua matanya lebih sayu dari enam bulan yang lalu. Ida memutuskan kembali ke kampung halamannya dan mulai hidup baru di sana sejak peristiwa pengarakan yang membuatnya tak ingin ia ingat.Meski begitu, gosip di tengah masyarakat desa ternyata lebih kejam menggunjingnya. Apalagi berita mengenai perselingkuhannya viral dan menguar ke berbagai media sosial nasional. Ia sangat malu, tapi kehidupan di desa lebih menjamin dibanding di kota jika menyangkut masalah pekerjaan. Di kampungnya sendiri, asal ia gerak, maka ia dapat upah juga dengan membanting tulang di ladang milik tetangga kaya atau tuan tanah.“Pak, turun di sini, Pak!” Dari belakang, Ida mengingatkan sang sopir.Ia mulai melangkahkan kaki perlahan dengan mencangking sebuah kresek lumayan besar, lantas turun dari kendaraan besar beroda empat tersebut selagi orang-orang menatapnya. Tanpa menunggu waktu, Ida lekas melanjutkan p
Banyak orang tengah mengerumuni rumah kontrakan Guna pagi ini. Salah satu dari mereka ketua RT di wilayah tempat tinggal Guna, sementara sebagian besarnya merupakan warga yang kepo dengan penggerebekan kali ini.“Maaf, Bu. Saya selaku ketua RT di sini terpaksa harus mengamankan Ibu dan Mas Guna dulu. Hal ini dikarenakan banyak aduan dari warga bahwa di rumah ini sering disalahgunakan untuk kumpul kebo. Benar begitu, Mas Guna?” papar sopan seorang pria paruh baya secara lugas.Ida menegang. Kedua matanya menyapu orang-orang yang berada di belakang pria tadi sedang antusias memotret maupun merekamnya. Tampaknya mereka sangat penasaran dengan kondisi di rumah ini. Apalagi ternyata tersiar kabar bahwa wanita yang dibawa Guna ke kontrakannya memiliki selisih usia yang tak wajar.Guna mendengus keras. Hasil lab dari penyakitnya masih menghantui dirinya. Bagaimana tidak, di dokumen tersebut tertulis jelas bahwa Guna terjangkit virus HIV. Guna tiba-tiba menggelengkan kepala sambil menatap ke
Nayra terpaksa melakukan hal ini. Memasukkan semua barang Ida ke tas besar, lalu melemparnya ke luar rumah selagi ibunya itu memohon agar tidak diusir.Budi yang menyaksikan adegan ini sesenggukan. Perasaannya campur aduk antara kecewa karena merasa gagal menjadi sosok kepala rumah tangga, sedih, marah, menyesal dan tentu sejujurnya ia tak mau akhirnya jadi begini."Nay, maaf! Jangan usir Ibu!" Berkali-kali Ida memohon kepada Nayra, namun nyatanya Nayra sudah tak sudi mendengar semua penjelasan atau sekadar mengasihani ibunya.Nayra tidak keberatan menjadi anak durhaka sekarang. Ia amat kecewa, dan jijik dengan Ida. "Perceraian kalian biar nanti aku yang urus!" gertak Nayra sembari memasukkan barang Ida dan mendorongnya ke tubuh wanita dewasa tersebut.Ida menekuk wajahnya. Percuma. Sepertinya apa pun penjelasannya, Nayra tetap bersikukuh mengusir dirinya."Oke! Urus aja! Hidupmu bakal lebih buruk setelah ini! Lihat aja!" ancam Ida kemudian. Ia sudah tak sudi memohon.Tapi, setelahnya
Sontak keduanya memalingkan perhatiannya kepada satu titik. Nayra terperangah.“Marsella? Ada apa, Sel?”Aldo yang ada di samping Nayra kini mengacak rambutnya frustasi. Wanita di depannya sekarang datang pada waktu yang tidak tepat.“Mbak, aku mau bicara sebentar. Ini penting.” Raut wajah Marsella tampak terdesak. Tapi, Nayra tak dapat menebaknya sama sekali.Nayra akhirnya menoleh ke arah Aldo dengan segan, kemudian berkata, “Maaf, Ko. Kita bicara lagi nanti, ya.” Ekspresi Nayra sungkan.“Ya, Nay. Aku pulang dulu kalau begitu.” Aldo mau tak mau mengangguk, lalu melangkahkan kaki pergi meski sebenarnya enggan.Kedua netra Nayra mengikuti gerakan Aldo hingga pria itu hilang dari pandangannya. Nayra menghela napas, lantas kembali menaruh perhatian pada Marsella yang sudah tampak tak sabar.“Lanjut, Sel. Kamu mau ngomong apa?”Marsella bergerak meraih ponsel yang ada di dalam tasnya. Dengan gerakan cepat, ia memutarkan video berdurasi tak kurang dari satu menit tersebut. Tangannya terju
Kedua netra Marsella melebar tatkala taksi yang ia tumpangi meluncur perlahan dikarenakan efek macet sore ini. Secara kebetulan ia menangkap sosok menyebalkan Guna justru berjalan beriringan bersama wanita dewasa yang pernah mengolok-ngoloknya usai video perselingkuhannya viral ke mana-mana."Pak, bentar. Kita berhenti dulu, ya," ungkap Marsella cepat sementara dua manik hitamnya terus mengikuti jejak mereka.Marsella mula-mula meraih ponselnya, lalu memberanikan diri untuk menghubungi Guna lagi. Dari balik kaca mobil, ia memperhatikan gerak-gerik Guna yang mengerutkan kening sewaktu ponsel miliknya berdering.Guna terpaku menatap sebuah nama yang terpampang di layar selama sekian detik sebelum memutuskan untuk menjawab."Halo?" Guna akhirnya menempelkan benda persegi panjang tersebut ke telinga."Gun, kamu ada di mana?"Wajah Guna memerah. Selain masih terbawa emosi, ia agaknya kesal karena Marsella tak bisa dihubungi selama ini. Marsella juga tidak ada sewaktu dirinya berada di titi
Rianty menggertakkan gigi sewaktu menyaksikan sosok yang ia benci beberapa tahun lalu malah muncul kembali di hadapannya. Mukanya merah padam. Kini amarah Rianty berkembang menjadi dua kali lipat.Stefanny tersenyum simpul, berdiri, kemudian berderap mendekat demi menyambut kehadiran Rianty yang sengaja ia tunggu-tunggu.“Halo, Tante. Akhirnya kita bertemu, ya.” Sambil mempertahankan senyumnya, tangan Stefanny terulur untuk berjabat tangan dengan Rianty.Rianty mengatupkan rahang, sementara Nugroho yang ada di sisinya kebingungan menyaksikan situasi di depannya. Rianty mendengus, mengabaikan tangan yang terlihat menunggu di hadapannya.“Ternyata kamu anaknya Rachel. Tahu begitu aku tidak akan sudi menghubungi Rachel demi anak sepertimu,” ketus Rianty langsung menghunjam dada Stefanny.Stefanny tergelak. Ia memandang tangannya yang tak dianggap, lantas menariknya kembali. Ia tersenyum miring sembari mengibaskan rambut pendek hitamnya yang cemerlang.“Begini. Tante saya nggak salah sih,
Aldo terkesiap. Bibir lembut itu tiba-tiba menyerobot dan tak memberi napas sedetik pun. Jika saja ciuman tersebut mereka lakukan beberapa tahun silam, mungkin Aldo tak akan sekesal sekarang. Ia segera mendorong tubuh Stefanny menjauh tatkala mendengar suara benda jatuh tak jauh dari posisinya.Sontak kedua netra Aldo melebar usai melihat siapa yang baru saja datang di ruangannya.“Nayra!” Aldo lekas bangkit, ingin mengejar Nayra yang sekarang berlari pergi. Tetapi sebuah tangan terulur untuk mencegahnya.Aldo yang sudah muak menoleh dan langsung mengibaskan lengannya hingga terlepas dari cengkeraman wanita tersebut.“Sial, kamu harus tanggung jawab!” tuding Aldo murka sebelum berlari mengejar kepergian Nayra.Alih-alih merasa bersalah. Stefanny justru menyunggingkan seringaiannya dengan puas.“Pertunjukkan ini semakin seru ternyata,” gumamnya tersenyum miring.Aldo melangkahkan kaki cepat mencari keberadaan Nayra. Sejumlah karyawan menatapnya dengan penuh tanda tanya. Tak seperti bia
Saat itu Nayra baru saja dari divisi marketing, memeriksa dokumen-dokumen yang ia minta sambil berjalan menelusuri koridor.Tiba-tiba telinganya menangkap sepasang suara yang ia kenal baik. Nayra mendongak, menyaksikan Aldo dan Stefanny tengah menggiring kaki dari arah yang berlawanan sembari tertawa.Sepertinya mereka sedang bercanda, atau membicarakan tentang masa lalu indah mereka, atau bahkan mulai merangkai masa depan bersama."Hahaha, begitu, ya! Kamu pintar, Fan!" celetuk Aldo melirik Nayra, lantas menyampirkan tangannya pada pundak Stefanny."Wah, iya dong, Do. Kan kamu suka aku dulu karena kecerdasanku." Stefanny menyombongkan diri.Nayra memilih segera fokus ke dokumen kembali. Ia sengaja bersikap acuh tak acuh demi menyembunyikan perasaan berkecamuk yang sesungguhnya. Toh, ia benar-benar merasa tak layak. Jadi, Nayra tentu saja mengikhlaskan Aldo bersama wanita secantik dan sepintar Stefanny.Aldo dan Nayra saling melewati tubuh masing-masing. Nayra masih tampak berkutat pa
“Kamu tidak perlu tahu,” ucap Aldo ketus. Tak sudi menatap lawan bicaranya.Stefanny menggigit bibirnya emosi. Tangannya terkepal erat mendengar jawaban Aldo. Ia kecewa, padahal selama ini ia rela banting tulang mengurus perusahaan yang bukan milik keluarganya sendiri demi membuktikan diri dan kembali kepada Aldo.“Apa itu Nayra?” tekan Stefanny. Ia buru-buru membuang muka demi menyembunyikan kegeramannya. “Aku tau tatapanmu beda untuk perempuan itu.”Napas Stefanny semakin berat. Tapi, Aldo tak kunjung menjawabnya juga. Justru beruntung bagi Aldo karena lift di hadapannya lekas terbuka.“Dinner kita batal,” sergah Aldo dingin sebelum benar-benar keluar dari lift.Rahang Stefanny mengeras tatkala matanya menyaksikan punggung Aldo menjauh. Saking marahnya, kerongkongannya seperti tertutup oleh sesuatu yang menyakitkan. Mungkin sedikit lagi air matanya tumpah. Tetapi, Stefanny pantang menangis. Ia sudah terbiasa makan asam garam kehidupan.Dan, sejauh ini, pernyataan dari mulut Aldo bar