"Apa kau tahu ke arah mana aku bisa ke Kerajaan Lotus?" tanya pria berjubah kepada–yang sepertinya–pemilik toko.
Seperti tersengat listrik, tubuhku merinding. Dari balik dinding toko yang telah tutup, di seberang toko yang dipenuhi orang-orang berbadan kekar–berwajah sangar, aku mendengar suara pria berjubah itu dengan jelas dan suara orang-orang yang berada di dalam toko ini sedang menertawakannya.
"Untuk apa kau ke tempat itu?" tanya sang pemilik toko.
"Itu–"
"Oh." Belum sempat ia menjawab, pemilik toko itu justru menyelanya. "Bukankah Kerajaan Lotus hanya bualan orang kota?"
Tak lama setelah ia berbicara dengan nada remehnya, semua orang yang berada di dalam toko itu pun tertawa. Mereka tertawa puas sambil menunjuk wajah pria yang baru saja mendatangi tempat tersebut, sedangkan aku yang mendengar tawa mereka menahan emosi karena ketidaksopanan mereka terhadap pengembara.
Ah, mengapa aku tersulut emosi?
"Cerita itu berasal dari kota, tapi kau tahu, bung ...."
Aku melihat pria tua itu bangkit dari duduknya, meninggalkan benda yang menghasilkan asap ke atas asbak kaca. Kakinya berjalan mendekati pria berjubah yang masih memegang tali kudanya.
Ia sampai di depan pria berjubah, lalu berkata dengan senyum meremehkan, serta mata membelalak. "Cerita itu hanya bualan orang kota agar anak-anaknya tidak berbuat jahat."
"Tidak ada yang namanya kutukan semacam itu." Lalu orang di sampingnya menambahkan perkataannya. "Kita hidup saja sudah merupakan kutukan."
Dia benar.
Menjadi manusia saja sudah merupakan penyakit. Dipenuhi rasa ego yang tinggi, gila akan tujuan, sosiopat, bahkan sakit hati yang berubah menjadi dendam.
Aku setuju dengan ucapannya.
Lalu, pria yang tubuhnya dipenuhi oleh daging itu memanggil pria berjubah dengan sebutan 'bung'.
"Hei, Bung!" Sambil melambaikan tangannya yang sedang memegang tulang–aku tidak tahu itu tulang apa–ke arah pria berjubah. Telunjuknya bergerak menuju kantung yang sedang bertengger di atas punggung kudanya.
"Lebih baik kau berikan sebagian keping koin yang kau bawa itu kepada kami," ucapnya.
"Ya. Kehidupan ini jauh lebih penting daripada mencari yang tiada." Sedangkan pria yang duduk di samping pemilik toko membenarkan ucapannya.
Dari kejauhan ini, aku dapat melihat pergerakan sang pria berjubah tersebut. Tubuhnya bergerak bersamaan dengan tangan yang sigap mengambil kantung yang baru saja ditunjuk oleh pria gendut tadi. Ia menyembunyikan kantung yang sepertinya dipenuhi oleh koin ke dalam jubahnya.
"Aku hanya menanyakan keberadaan tempat itu, tapi apa-apaan dengan jawaban kalian."
Sepertinya emosi pria itu memuncak. Nada suaranya saja sudah berubah menjadi dingin.
"Hei ...." Namun, pria yang seluruh tubuhnya diselimuti bongkahan daging itu tidak peduli dengan perasaannya. "Kami mengatakan ini demi kebaikanmu."
"Daripada kau menjadi gila seperti wanita tua itu."
Tiba-tiba pria cegukan mengikuti percakapan yang sudah tidak mengenakkan. Sembari cegukan, ia menunjuk wanita tua renta yang sedang berjalan tidak tahu arah di tengah jalan.
Karena terkejut melihat telunjuknya yang hampir mengarah ke tempat aku berdiri, spontan aku memundurkan langkahku seakan juga ikut melebur dengan bayangan.
Namun, aku mendengar suara orang-orang yang berada di dalam toko itu tertawa terbahak-bahak. Sampai-sampai, aku mendengar botol kaca saling beradu cukup keras.
Aku kembali memajukan langkahku. Mengingat pemabuk itu mengatakan seorang wanita tua renta sambil menunjuk ke arah jalanan.
Hal yang tidak terduga sukses membulatkan mataku. Pria mabuk itu membuang sisa roti di depan seorang wanita yang jalannya saja sudah terseok-seok.
"Hei, tua!" serunya. "Makan sampah itu!"
"Padahal itu masih layak dimakan." Sedang yang gendut itu cemberut melihat setengah roti dibuang ke tengah jalan.
"Kau ingin memakannya?" tanya pemabuk itu dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat.
Dalam sekejap, toko tersebut kembali riuh. Tawa mereka yang tidak terkendali benar-benar memekakkan telinga, bahkan sebagian ada juga yang menghina wanita tua tersebut.
Aku menggeram, tetapi tidak ada yang dapat kulakukan hingga wanita tua renta yang seharusnya sudah menjadi nenek-nenek itu pergi dalam perasaan yang hancur.
'Malang sekali nasib nenek itu.' Ingin rasanya aku membantu, tetapi kaki ini melarang untuk bergerak.
"Memperlakukan orang tua dengan cara yang tidak layak." Pada akhirnya, aku hanya bisa bergumam. "Sikap mereka jauh lebih busuk dari setan."
Di atas setan.
Bahkan, untuk wanita yang semasa hidupnya dikurung masih memiliki simpati.
"Berani sekali memperlakukan wanita dengan rendah seperti itu."
Suara itu berasal dari pria yang mengenakan jubah. Terkesan dingin bersamaan dengan ancaman. Aku mengangkat wajahku untuk melihat pria tersebut yang tertutup oleh kudanya. Sedangkan wanita tua yang dihina tadi berlalu dengan menundukkan kepalanya.
Semua orang terdiam, mengabaikan bahan hinaan mereka.
'Apa aku harus membantu wanita itu?' pikirku, mulai dilema.
Namun, ku urungkan niat untuk kesekian kalinya untuk membantu wanita tersebut. Aku memilih bersembunyi dari balik dinding toko yang telah tutup secara permanen dengan perasaan campur aduk. Ya, rasa sesal.
"Apa-apaan yang kau katakan tadi?" Aku melanjutkan kegiatanku, mendengar pembicaraan dua orang yang satunya memiliki harga diri dan yang satunya lagi suka menghina.
"Setan saja masih memiliki perasaan untuk berbuat jahat ...." Dan ternyata pria berjubah itu memilih untuk mengungkapkan perasaannya. "Tapi kalian semua melebihi setan. Kalian pantas dikatakan sebagai setan dari setan."
Ah, benar. Setan dari setan adalah julukan yang cocok untuk orang-orang yang berada di toko tersebut.
"Apa maksudmu mengatakan itu?" Tentunya, ada yang menolak julukan yang diberikannya. Salah satunya ialah pemabuk tadi yang telah melakukan aksi jahatnya kepada manusia yang tidak bersalah.
Mendengar nada emosi dari pemabuk itu, suasana menjadi mencekam. Tak ada yang berbicara, bahkan berbisik saja tak ada yang berminat. Tatapan mereka tertuju pada pendatang itu, lalu–
BRAK!
Aku terkejut mendengar suara gebrakan meja yangcukup keras.
"APA MAKSUD KAU MENGATAKAN KAMI SETAN MELEBIHI SETAN?!"
Meskipun tercengang dengan julukan yang diberikan oleh pria itu, pria kekar tersebut memilih untuk menggebrak meja di depannya. Aku terperanjat kaget, meskipun dari kejauhan melihat api membara di setiap orang-orang yang dihina pria berjubah.
"Bukankah itu benar?" tanya pria berjubah. Dia benar-benar memiliki jiwa yang tenang meskipun suasana sudah seperti kobaran api.
"Seseorang yang memperlakukan manusia lain dengan kasar lebih pantas disebut setan yang selalu menggoda manusia."
'Dia sungguh mengatakan itu!?' pikirku.
Berkali-kali aku tercengang mendengar perkataan yang sesuai dengan isi hati, berkali-kali pula orang yang berada di dalam toko itu merasa geram. Aku hanya bisa mengharapkan keselamatan pria penuh nyali tersebut.
"Wow," ucap pemabuk, sambil menatap sinis padanya. "Mulutmu sama saja seperti wanita. Bicara omong kosong, tapi fisik tidak berguna."
Sang pria berjubah itu menghela napasnya. Meskipun wajahnya ditutupi oleh kain, tetapi mata dan pergerakan tubuhnya dapat dibaca.
"Tidak ada gunanya bertarung dengan pria berbadan kekar tapi otak kosong," ucapnya. "Lebih baik aku bertarung melawan babi hutan."
"BERANI SEKALI KAU!?" Alhasil, mengundang amarah pria berbadan kekar tersebut. Kali ini, semua orang pastinya kehilangan kesabarannya.
Dia sungguh memiliki nyali yang luar biasa.
Tubuhnya lebih kecil dari bandit-bandit itu. Berdiri di tengah-tengah para bandit membuat dirinya menghilang. "Tidak ada gunanya bertarung dengan pria berbadan kekar tapi otak kosong, lebih baik aku bertarung melawan babi hutan." Dia berkata dengan begitu santai kepada orang-orang di sekitarnya yang sudah tersulut emosi. Begitu santainya sampai aku dapat melihat sorot mata dari iris birunya begitu sangat indah. "BERANI SEKALI KAU!?" Namun, seorang pria berbadan kekar membentaknya. Dia telah mengeluarkan kepulan asap dari lubang hidungnya. Sungguh pria misterius itu memiliki nyali yang luar biasa. Saat ini, suasana semakin panas ketika para bandit beranjak dari tempat duduknya. "Bukankah itu benar?" Namun, pria berjubah tersebut tetap berbicara dengan santai. Mengabaikan tatapan penuh perlawanan kepadanya dan parahnya, seakan mengajak mereka semua untuk bertarung melawannya. Aku menyaksikan semua ini dari kejauhan, juga melihat
Oh tidak, seseorang akan menemukanku. Semua orang yang berada di dalam toko itu pun menoleh ke sumber suara. Sudah jelas, sumber suara itu ialah aku yang menjerit setelah mendengar suara dobrakan meja yang cukup mengerikan. "Suara apa itu?" Pemabuk itu merupakan orang pertama yang bertanya setelah keheningan mereka. Spontan, tanganku bergerak untuk menutup mulut dengan rapat, sambil berpikir, 'Tidak!' 'Kenapa aku harus berteriak di saat seperti ini!?' Ingin rasanya aku menghilang dari tempat ini, juga ingin rasanya aku menggunakan kekuatan purnama merah untuk berpindah tempat. Namun sayangnya, kekuatanku tak kunjung muncul semenjak kejadian aku melarikan diri bersama pengkhianat itu. "Sedang apa kau di sini?!" Tubuhku membatu begitu mendengar suara seseorang dari belakang. Ia berdiri dan tubuhnya menutupi cahaya matahari yang berada di belakangku. Apa itu artinya aku ketahuan? Perlahan dengan tubuh gemetar dan jantung berdetak
"Untuk apa kau mengintip toko kami?"Pertanyaan tersebut berhasil membekukan tulang belulangku. Sambil menatap pemilik toko yang menunjukkan sorot mata tajam, mulutku mencoba untuk menjawab."Bukankah kau merasa tertarik pada orang baru seperti dia?"Namun, mulut ini tak kunjung bergerak dengan tenang seperti membiarkan omongan keji dari pria tua tak beradab itu. Gemetar karena ketakutan, aku berusaha untuk menggelengkan kepala, tetapi rasa sakit di kepala malah semakin parah. "Aku tidak tahu–bahkan tahun saja–""Tahun 451 kalender Kerajaan Ilios."Aku bungkam setelah mendengar jawaban dari pria berjubah–juga sedang mengalami nasib yang sama denganku. Tetapi, tatapannya terlihat tidak mempercayai apa yang sedang ia dengar.Ah, apa-apaan dengan tatapan yang mengejutkan itu?"Kerajaan Ilios ...." Tanpa sadar mulutku bergerak sebelum kesadaranku kembali begitu mendengar para bandit menepuk tangan mereka. Ya, mereka bert
"Wanita jalang! Tidak berguna! Apa gunanya hidup sebatang kara!? Pembunuh orang tuanya sendiri dengan kekuatannya hanya demi memuaskan diri!" Mulutku melongo setelah mendengar hardikannya yang tidak ada titik-koma. Mendengar sumpah serapahnya yang sudah tentu tertuju padaku. 'Aku ... membunuh orang tuaku?' Tidak habis pikir dengan kejutan akan kenyataan-kenyataan. Dalam sekejap, otakku bekerja memberikan bayangan akan senyum Yang Mulia yang hangat–bukan tertuju padaku, melainkan kepada putra mahkotanya. Masa lalu kelam yang tidak patut untuk terus diingat, aku beralih pada dunia yang saat ini sedang kutempati. Lalu, menundukkan pandangan dengan tangan bergerak untuk menutupi telinga. 'Aku tidak membunuhnya, tapi dia membunuhku!' Ingin rasanya aku melontarkan kalimat pembelaan itu, tapi mulutku tak bisa. Gemetar hebat akan kejadian di masa lalu tidak bisa kuhilangkan dalam sekejap. "Dia yang jahat ...." Pada akhirnya, hanya kata tersebut yang d
"Dia pembunuh!" Bentakan dari suara wanita kekar itu masih saja menggelegar. Mengumpat diriku yang bernasib malang. "Sudah sepantasnya dia mati di atas panggung eksekusi!" Deg. Jantungku seakan berhenti berdetak setiap kali mendengar kata 'eksekusi' yang selalu tertuju padaku. Mataku membulat untuk menatap wanita kekar. Di sekitarku seakan berputar, telunjuk yang hampir sama dengan ibu jarinya menunjuk-nunjuk ke arah wajahku. Dia menatap sinis, sedang aku hendak mengeluarkan suara seperti pada saat eksekusi. 'Apa ini akhirnya?' pikirku. Tapi, rasanya sangat aneh jika aku baru saja hidup di dunia ini, lalu beberapa jam kemudian dieksekusi dan mati. Dalam sekejap, tubuhku gemetar, suaraku tak kunjung keluar untuk memberikan pembelaan. Seperti pada saat ekskusi–kematian pertamaku–yang hanya bisa mempasrahkan diri menerima kematian yang sudah ditentukan oleh Yang Mulia. "Tunggu!" Suara seseorang seakan memberi harapanku untuk tetap
Langkah kakinya kian cepat, cengkraman tangannya semakin menyakitkan."Um ... Tuan."Aku mencoba memanggil namanya, tapi kerikil kecil membuatku tersandung dilangkah yang cepat. Aku tersandung dan cengkramannya semakin erat.Tidak ada jawaban dari pria berjubah itu.Hingga, membuatku meringis kesakitan ketika semua tubuh terasa ingin remuk sambil berkata dengan nada yang sedikit tinggi dari sebelumnya."Tuan, Anda membuat tangan saya sakit," ucapku.Tangan kananku begitu sakit dan pergelangan tanganku sukses memerah. Jika terus-terusan seperti ini, bisa saja tangan ini menjadi lumpuh."Oh, maafkan aku."Kali ini, panggilanku didengar olehnya. Dia menghentikan langkah kakinya, begitu juga denganku–menghentikan langkah kaki tepat di depannya. Aku menatap punggungnya yang lebar, lalu tiba-tiba pria itu membalikkan tubuhnya yang membuatku terperanjat kaget.Tangan yang dicengkramnya kini ia lepas. Tampak terkejut, dia
Aku mengeluarkan kata jujur pada kenyataan pahit, lalu membuat hatiku semakin pedih."Tak ada tempat pulang yang pantas untukku," jawabku, disertai dengan senyum kecut. Semampuku untuk mengernyit dan menahan air mata yang akan keluar dari kelopak mata.Aku tahu siapapun yang mendengar jawaban tersebut akan terdiam, tidak berkutik.Ilkay menunjukkan eskpresi tidak percaya dan berkata, "Lalu ...." Dengan sangat hati-hati dia melanjutkan ucapannya. "Sekarang, kau akan ke mana?"Dia terlihat canggung, tapi mencoba untuk menepis nasib malang yang baru saja aku katakan. Aku menggeleng hebat untuk membalas pertanyaannya."Aku tidak tahu," balasku. "Hanya bertahan hiduplah tujuanku saat ini."Kutatap matanya yang indah, berwarna biru langit dan menenangkan. Seakan-akan warna teduh itu seharusnya berwarna hijau permata.'Aku tidak tahu ke mana aku akan pergi,' pikirku. Semakin merasa sendu dan menyakitkan. 'Untuk membalas dendam kepada Kerajaa
"Kalau begitu, ada syaratnya."Kedua alisnya terangkat menunjukkan bahwa semua yang dikatakan Ilkay telah terencana. Tanpa sadar, aku menggertakkan gigiku dan mengepalkan kedua tangan dengan erat."Akan kuikuti seluruh permintaanmu," ucapku penuh lantang, dengan tatapan penuh keyakinan akan jawabanku.Tempat yang sepi. Tidak ada manusia yang menampakkan batang hidungnya di sini. Tepi desa yang telah ditinggalkan, Ilkay berdiri dengan mata menyipit."Baiklah," ucapnya.Pergerakan tangannya membuatku curiga. Ia merentangan kedua tangannya, seakan memberi isyarat untuk segera mendekatinya."Sekarang, peluk aku," sambungnya dengan santai.Seketika, tubuhku membeku mendengar ucapannya. Tangan yang merentang itu kutatap dengan tidak percaya, lalu beralih pada wajahnya. Tak ingin memeluknya, aku menunjukkan raut wajah penuh jijik kepadanya.Ah, aku menyesal mengatakan tawaranku kepadanya.Namun, kulihat dia menurunkan tangannya
“Siapa gadis itu, Yang Mulia?”Aku menutup mulutku dengan rapat. Kedua alis terangkat dan tubuhku seperti menjadi patung.Bisikan-bisikan semakin terdengar jelas dari belakang. Para pelayan itu semakin menunjukkan rasa penasarannya satu sama lain.Tak bisa berkata-kata, aku pun terus menatap punggung kekar Ilkay yang dibalut jubah kumuh.“Vander,” panggil Ilkay.Pria bernama Vander itu menatap Ilkay penuh penasaran. Tatapan seolah tidak ada tujuan untuk hidup, hanya mengikuti perintah dari seseorang.“Akan kujelaskan nanti setelah kita makan malam. Kau pastinya belum makan malam, bukan?” tanya Ilkay.Terlihat bahwa Vander tertegun. Dia membungkuk, tangan kirinya di letakkan di dada. Tanpa melihat Ilkay, pandangannya tertuju pada tanah.“Ya, Yang Mulia. Akan saya pinta pada kepala koki untuk memasakkannya,” balas Vander.Ilkay mengangguk. Dia berbalik secara tiba-tiba, membuatku terperanjat kaget.Wajah berseri tak pernah pudar di wajahnya setelah memasuki mansion ini. Matanya menatap
“Aku akan jelaskan nanti– jadi, kalian akan membiarkanku berdiri di sini?”Lantas, dua wanita yang tampaknya sangat mengenal Ilkay itu segera berdiri. Mereka beranjak, sambil membungkuk, dan salah satu mereka berjalan mendekati pintu.Pintu tersebut digedor, sampai seorang pria berzirah membuka pintu dengan raut wajah masamnya.Mulutnya hendak terbuka menanyakan apa yang terjadi, tapi kembali tertutup bersamaan dengan mata membelalak kaget.“Oh– Astaga– HORMAT SAYA PADA YANG MULIA.”Aku tercengang. Melihat ksatria tersebut juga menunjukkan sikap yang sama dengan dua pelayan wanita itu.‘Sebenarnya, apa yang terjadi?’Tidak mungkin jika pria di hadapanku saat ini merupakan orang yang disegani atau bisa dibilang dari keluarga kerajaan.Namun, jika dilihat-dilihat, perawakan yang berwibawa dengan senyum profesional, terlihat seperti bangsawan ataupun keluarga kerajaan yang telah diajarkan cara menyimpan masalah melalui senyum manis mereka.Pelajaran etika yang tidak pernah diajarkan pada
Aku hanya mengikutinya dari belakang. Lagi dan lagi, entah mengapa aku terlalu menurut pada pria itu.Langkah demi langkah, kudengar terus suara tebasan semak belukar yang ada di depanku. Hanya menggunakan pedang panjang, dia memotongnya dalam sekali tebasan. Begitu hebat dan kuat.Aku pun menengadah. Secara perlahan, langit mulai menggelap. Kini, langit berwarna jingga telah berubah menjadi biru gelap yang dihiasi oleh bintang-bintang.Suara hewan yang ada di hutan ini cukup mengerikan, sunyi senyap yang ditemani dengan suara lolongan.Ilkay tadi mengatakan akan membawanya ke tempat istirahat, tapi maksud dari istirahat tersebut apa?Tak berani mulutku bergerak untuk menanykanannya. Aku diam membisu seperti anak ayam yang baru saja dikenai berang sama induknya. Lalu, mengekor ke sana kemari dalam diam.“Kita sampai,” ucap Ilkay.Aku mengalihkan pandangan. Menatap kakinya yang tidak lagi melangkah. Aku pun ikut berhenti.Kutatap punggungnya yang lebar, lalu bergerak menyamping untuk m
“Kekuatan?” tanya Ilkay. Aku mengangguk. “Purnama bulan merah.” Dapat kurasakan keheningan yang mencekam. Melihat Ilkay dengan mata yang sedikit melebar, menunjukkan manik mata biru permata yang indah, lalu mulut tertutup rapat seakan dia terkejut mendengar ucapanku tadi. “Kau tahu cara mengendalikannya?” tanya Ilkay. Barusan, kekuatanku muncul bisa kemungkinan karena untuk melindungiku … tapi, dibilang melindungi, kenapa saat itu aku tidak dilindunginya? Tubuh yang mudah hancur ini tidak tahu cara mengeluarkan kekuatan, apalagi mengendalikannya. Aku pun menggeleng hebat. Menatap Ilkay dengan rasa penuh bersalah dengan kening mengernyit dan mulut cemberut. “Tidak. Aku tidak tahu. Kekuatan itu muncul begitu saja,” jawabku. Entah mengapa … aku merasa diriku yang dulu, bahkan yang sekarang sama-sama merepotkan. “Jadi, dia muncul saat-saat yang genting, huh?” Ilkay bergumam, tapi aku dapat mendengar ucapannya dengan jelas. Kepalaku terangkat untuk melihat wajahnya lagi. Sambil b
‘Bajunya–’ Mata Ophelia melebar. Mulutnya sedikit ternganga. ‘Ledakan tadi pasti membuat Ilkay kehilangan fokus.’ Hingga, dia kembali pada keadaan Ilkay yang saat ini bertarung melawan Hydra.[]Ophelia POV‘Bajunya–’ Aku melebarkan mata dan bahkan mulutnya menganga melihat ujung bajunya sedikit robek dan penampilannya yang kusut.Kucoba untuk tenang, sambil menatap Ilkay.‘Ledakan tadi pasti membuat Ilkay kehilangan fokus.’Aku pun mengalihkan pandangan. Menjatuhkan pandanganku pada monster yang ternyata sudah menyadari keberadaan kami. Akan tetapi, Ilkay tampak tidak mengetahui ada monster yang sedang menatap kami dengan intens.Tanganku bergerak mengarah ke monster tersebut dan monster itu pun bergerak bersamaan aku memegang tangan kananku.Kedua bahuku terangkat, spontan mataku memejam melihat monster besar tersebut bergerak cepat.‘Bagaimana cara mengeluarkan kekuatan tadi!?’ pikirku.Pikiranku terus tertuju pada kejadian yang sebelumnya. Dimana secara tiba-tiba ledakan terjadi
“Apa tidak ada yang bisa aku bantu?" tanyaku, meskipun tak ada orang yang mendengar pertanyaanku. Lagi-lagi aku mendengus. Tapi, kali ini perasaanku berbeda dari sebelumnya. Tubuhku secara tiba-tiba menggigil dan sesuatu yang ada di belakangku membuat tubuhku membeku. Bayangan yang besar ada di bawah, dan aku dapat menduga siapa yang ada di belakang hanya dengan hangatnya nafas yang mengepul mengenai puncak kepalaku. Mataku melebar, mulutku terkunci, dan suaraku tercekat hanya untuk berteriak. Aku dapat menduga bahwa sesuatu yang besar mengancam nyawaku dan ketika aku berbalik– Ledakan pun terjadi. [] Ilkay berusaha menghindari serangan semburan api yang keluar dari mulut Hybrid. Dia terperanjat kaget ketika mendapati suara ledakan yang begitu nyaring dan besar berada di dekatnya. “Suara apa itu!?” tanyanya. Sempat untuk membalikkan tubuh, mengalihkan pandangan tepatnya pada tempat Ophelia bersembunyi. Ilkay melebarkan mata. Dia tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, tapi
“Setidaknya, biarkan aku membantumu,” pintaku, seakan memelas kepada Ilkay.Namun, alih-alih mendapat izin, Ilkay justru tertawa sinis. Ya, aku yakin dia sedang merendahkanku.“Apa yang bisa kau lakukan?” tanya Ilkay.Pada saat itu, suara lolongan dari serigala terdengar dari dekat. Itu berasal dari monster yang baru saja datang ke tempat ini. Badannya sangat besar, tapi bisa dikatakan sebagai badak. Pada pundaknya, terdapat duri-duri seperti landak dengan ujungnya yang berwarna merah. Seolah merah merupakan darah para penjelajah atau pemburu yang gagal melawannya. Sedangkan wajahnya … seperti serigala dengan mulut yang panjang dan telinga seperti singa. Semua giginya merupakan gigi taring dan itu pun dipenuhi dengan lendir.‘Mo
Aku pun menggeleng hebat yang membuat Ilkay mengernyit.“Kenapa?” tanya Ilkay meminta penjelasan akan sikapku.“Kau ingin melawannya?” tanyaku.Mendengar pertanyaan yang dilontarkan padanya, Ilkay pun menjawab,“Jika aku tidak melakukan itu, mereka akan tetap berada di sini.”Pandangannya berganti pada Hydra yang tak kunjung beranjak dari tempatnya. Sorot mata Ilkay menajam dan tangan yang disembunyikan dari jubah yang sedang dikenakan itu ia keluarkan. Terlihat jelas pedang yang pernah sekali ia gunakan.“Hydra dapat mencium bau manusia dan selama kita tidak muncul, mereka akan tetap berada di tempat ini.”
"Kau ...."Ilkay mengeluarkan suaranya, tapi suara tersebut terhenti begitu saja, sampai tangannya bergerak menuju tangan dan menutup wajahnya. Ia mendengus sambil mengusap wajah dengan kasar.Sebenarnya, aku tidak peduli dengan reaksinya. Tapi, melihat pria pengembara itu terlihat frustasi, aku pun mengalihkan pandangan.Aku mencoba untuk berdiri dan membersihkan kedua tangan dengan baju, tapi– ah, sayang sekali jika baju ini kotor. Hanya ada satu baju yang tidak dapat diganti sebelum pria pengembara dengan rambut pirang itu mau membelikanku baju lagi; meskipun itu tidak mungkin.Ilkay yang ada di sampingku menjangkau tanganku, memegangnya dan membersihkannya dengan sapu tangan yang tiba-tiba ada dari dalam jubahnya.&