Aku membuka mata begitu mendengar suara kicauan burung yang membawaku keluar dari mimpi buruk. Cahaya matahari benar-benar menyambutku secara langsung. Aku bangkit dari tidur dengan tubuh terasa remuk.
"Apa barusan aku bermimpi?" Kutatap langit biru yang indah tanpa adanya awan. "Jangan-jangan aku berhasil melarikan diri dari "penjara itu"?" Tak kusangka kami berhasil. Pelarian yang sungguh menegangkan.
Aku bangkit dari tidur, membersihkan pakaianku yang kotor karena tanah, lalu menatap tanah becek–membuatku keheranan. Kemudian, aku menyadari bahwa aku telah berada di suatu tempat berupa gang yang terhimpit oleh dua bangunan tinggi.
"Ini ... di mana?" tanyaku pada diri sendiri. "Bukankah ... sebelumnya aku berada di dalam hutan?"
Hutan belukar di mana terdapat pohon-pohon menjulang, kini berubah menjadi gedung tinggi yang hampir berhimpit.
"Mungkinkah aku dibawa oleh pria itu?" gumamku.
Tubuhku hendak beranjak dari duduk, tetapi kepala ini tiba-tiba terasa pusing. Lantas, tanganku bergerak memegang kepala dan mengurungkan niat untuk berdiri.
"Di mana pria pemberontak itu?" gumamku sambil meringis. "Kepalaku terasa sangat sakit."
Mungkin, benturan yang tidak kusadari menyebabkan aku geger otak ringan. Kucoba untuk menenangkan diri, lalu menatap kedua kaki yang bersih dari luka sayatan, tetapi dipenuhi oleh lumpur. Itu membuatku keheranan, terutama pakaian yang saat ini kukenakan sangat berbeda dari pakaian tadi malam.
“Uh ....” Lagi-lagi aku meringis.
'Kenapa kakiku terlihat sangat bersih?' Kini, mulut tak sanggup untuk berbicara. Rasa sakit pada kepala membuatku kehilangan tenaga untuk berbicara. 'Bukankah seharusnya kaki ini penuh dengan luka sayatan dari duri semak-semak?'
Aku merasakan sesuatu yang aneh, bersamaan dengan keberadaanku di tempat yang tidak pernah kulihat. Mimpi tentang hari eksekusi membuatku nyaris mengeluarkan bola mata.
‘Jika betis ini tidak terluka ....’ Ah, aku teringat tentang novel yang pernah kubaca. ‘Tidak mungkin.’
Aku menggeleng dan kembali menjatuhkan pandangan ke betis yang sebenarnya putih, tetapi tertutupi oleh lumpur.
'Apa jangan-jangan kematian itu benar adanya?' pikirku lagi.
Tubuhku gemetar, rasa takut akan kenyataan yang mungkin benar adanya mulai menjalari akal pikiranku.
'Tidak mungkin aku mati karena dieksekusi, bukan?'
Terkesan konyol jika memang seperti itu.
Aku berharap bahwa tebakanku salah. Kucoba untuk bangkit, tapi tetap saja rasa sakit yang luar biasa pada kepala masih menggangguku.
Pada akhirnya, aku hanya bisa menengadah sambil berteriak, "Hei–!" namun, nasib sial menyapaku. Suaraku tercekat, lalu menghilang. Aku terkejut, karena tak pernah kualami suara menghilang walaupun hanya untuk memanggil seseorang.
Karena suara juga bermasalah, aku mengambil langkah terakhir. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. 'Aku harus mencari air!' pikirku kemudian. Aku harus memulihkan suara ini, lalu mencari pria itu, karena ia adalah jawaban bahwa kami berhasil kabur.
Untungnya, nasib baik berniat membantu wanita yang selalu ditimpa kemalangan. Mataku menangkap sebuah guci yang berada di sudut bangunan. Aku pun mendekati guci itu.
'Di dalam guci itu tentunya terdapat air!' pikirku mulai merasa senang.
Aku bangkit dari duduk sambil mengabaikan denyut dan dengung yang cukup mengganggu keseimbangan dalam berjalan. Dengan langkah yang gontai, kudekatkan tubuhku pada dinding agar tidak terjatuh.
Aku berhasil mendekati guci tersebut dan hendak mengambil air dengan kedua telapak tangan. Namun, belum sempat aku mengambil air yang berada di dalamnya, mataku sukses melebar menatap wajah yang berada di pantulan air tersebut.
"A–!" Aku nyaris berteriak, tetapi berakhir dengan tersungkur ke belakang.
Aku terkejut bukan main pada pantulan wajah tersebut, lalu meremas tanah basah yang sedang kududuki sambil berkata, "Wa–wajah siapa yang ada di dalam air itu!?"
Lucu sekali, kali ini suaraku dapat keluar dengan mudahnya.
"I–itu ...." Suaraku menjadi parau, tubuhku gemetar hebat melihat wajah seseorang berada di pantulan. Wajah yang sedikit mirip denganku, tetapi warna mata serta kulitnya berbeda. "Apa ini semua hanya mimpi?!" Dugaan itu terbesit di benakku.
Spontann, kupegang wajah yang terasa dingin, lalu mencubit pipi cukup keras sampai membuatku menjerit kesakitan. "Ternyata ini bukan mimpi." Mataku pun membelalak.
Tak mempan hanya mencubit pipi, kualihkan pandangan pada rok yang sedang tersibak menampakkan betis putih pucat. Setelah itu, tangan ini bergerak meraih rambutku.
"Aku ... aku berada di tubuh orang lain?!" simpulku, masih tidak percaya. "Ti–tidak mungkin ...."
Namun, bayangan tentang eksekusi mati kembali menghantuiku. Sensasi mengerikan ketika kepala dan tubuh terpisah benar-benar membuat trauma baru pada diriku.
"Apa ini artinya aku telah mati dieksekusi?" Aku menduga-duga. "Lalu, apa artinya dengan tubuhku saat ini?"
Tidak ingin banyak bicara, aku bangkit dan kembali membersihkan rok yang semakin kotor, lalu memantapkan hati untuk kembali mendekati guci berisi air tersebut. Aku berpikir bahwa mungkin saja mataku salah melihat.
Aku menatap pantulan air. Namun, kenyataan tidak mengikuti ekspektasi. Mataku membelalak dan mata di pantulan itu pun ikut membelalak.
"Ini ...." Aku sungguh ketakutan setelah melihat kenyataan di depan mataku. "Wajah ini ...."
Kulit putih pucat yang memang sama dengan kulitku, tetapi mata merah delima bertolak belakang dengan iris mata biru permata milikku saat ini. Aku mengalihkan pandangan untuk menatap rambut cokelat mahoni yang indah terurai kaku sampai ke pinggang. "Warna rambutku sebelumnya berwarna emas ...."
Ini bukanlah tubuhku.
Aku mendorong tubuhku ke belakang, lalu menyandar ke dinding yang berada di belakangku. Aku mulai membayangkan seluruh kejadian selama aku hidup, tawa miris pun keluar dari bibir kecil ini. Seakan menolak pada kenyataan yang tidak masuk akal.
"Apa-apaan ini .... Setelah mengalami masa-masa sulit, lalu kini aku berada di dalam tubuh orang yang tidak kukenal ...."
Sungguh! Tidak masuk akal!
"Eksekusi mati yang aku anggap mimpi ternyata bukanlah mimpi?" Tawaku semakin menjadi. "Dan sekarang? Sekarang aku berada di dalam tubuh orang yang tidak kukenali–"
Aku menghentikan ucapanku, lalu menunduk. Rasa frustasi benar-benar menjalari akal sehatku. Jika saja kuteruskan, aku pasti sudah menjadi gila.
Tangan ini–tangan dari sebuah raga yang tidak kuketahui–bergerak untuk menampar kedua pipi. Aku tidak ingin mengatakan bahwa tubuh ini adalah milikku.
"Apa mungkin ini artinya aku diberi kesempatan untuk hidup menjadi lebih baik, atau ini cara Tuhan untuk memberikanku kesempatan …."
"Hei, jalang!"
Aku cegukan mendengar suara wanita yang jaraknya cukup dekat dariku. Spontan menoleh ke sumber suara, mata ini menangkap wanita berusia sekitar 30 tahun dengan badan kekarnya dan wajah penuh emosi.
Pintu yang berada di belakangnya ditutup dengan keras hingga membuatku terlonjak kaget. Ia mendekat dengan menghentakkan kakinya ke atas tanah yang becek.
"Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini!?" bentaknya. Lantas, aku celingak-celinguk jikalau wanita itu ternyata sedang berbicara dengan orang lain. Namun, tak satu pun manusia berada di gang sempit ini, kecuali aku yang bersemayam di tubuh orang lain dan juga wanita berbadan kekar nan sangar.
"Apa yang kau lihat, jalang!" Perkataannya sungguh kasar.
Aku menoleh ke wanita itu, lalu mundur untuk menjauhinya.
"Tidak sopan!" ucapnya kemudian, padahal dia yang tidak sopan. "Rupanya kau sudah berani mempermainkanku! Apa kau bernyali untuk mati!?"
Dia menarik kerah bajuku begitu berhasil mendekat. Aku tercekik karenanya. "S–siapa Anda!?"
"Bahkan kau berpura-pura tidak mengenaliku!?" Wanita itu semakin naik pitam. "Tak ada gunanya kau hidup, akan lebih baik kau mati saat tertabrak kereta kuda waktu itu!"
Napasku terasa sesak, aku meronta untuk dilepas. Namun, wanita itu semakin mencengkram dengan erat kerah bajuku. Sungguh, dunia baru ini membuat otakku tidak dapat bekerja dengan baik!
"Bukannya membantu, malah seenaknya berleha-leha di belakang!"
Setelah mengeluarkan umpatan tidak mengenakkan, ia melepas cengkramannya pada kerah bajuku. Ah, tidak lupa juga ia menghantam tubuhku ke dinding–cukup keras sampai aku meringis kesakitan. Alhasil, membuat napasku tidak beraturan dan terbatuk-batuk.
"Tak usah banyak gaya!" bentaknya. "Setelah ini, kembali bekerja! Sudah berapa lama aku membiarkanmu tidur di belakang?!"
Terbangun setelah mengalami kematian yang tragis, berada di tubuh orang yang tidak dikenal, tetapi memiliki wajah yang hampir mirip denganku, setelah itu disambut dengan kasar oleh wanita yang bahkan aku tidak mengenalinya. Apalagi penderitaan yang akan mendatangiku?
Wanita dengan lengan perkasa itu mendorongku hingga terjatuh. Dia membalikkan tubuh dengan kepulan asap keluar dari hidungnya, lalu memasuki gedung tanpa sepatah kata untuk meninggalkanku. Ah, ia menutup pintu itu dengan kasar untuk kedua kalinya.
Pada akhirnya, aku hanya menatap pintu itu dengan terheran-heran, "Apa-apaan dengan wanita itu?" Aku menepuk-nepuk dada yang berdetak tidak karuan. "Apa kehidupanku akan dimulai dengan penderitaan seperti dulu?"
Helaan napas keluar dari bibirku, aku bangkit dari duduk. Ini sudah ketiga kalinya aku duduk di atas tanah becek dan semakin lusuhlah pakaianku. Setelah itu, aku menatap kedua tangan yang pucat seperti tak ada darah yang mengalir dengan baik.
"Mungkin, sebaiknya aku mencari identitas pemilik tubuh ini." Aku memutuskan sebelum masalah lain ikut berdatangan. "Aku harus mencari tahu bagaimana bisa aku hidup kembali dengan keadaan tubuh seperti ini." Diri ini bertekad.
Niat untuk mengikuti perintah wanita sangar itu sekejap menghilang, kuikuti perasaanku untuk pergi ke luar dari gang yang hanya terkena sedikit cahaya matahari. Tidak lupa untuk menempelkan bahu ke dinding karena aku baru menyadari bahwa rasa sakit di kaki ternyata tidak dapat ku tahan.
Tak lama–berkat kegigihan untuk terus berjalan sampai ke ujung gang, aku menemukan sebuah pemandangan yang mengenaskan.
"Tempat ini ...." Mataku membelalak, kaget.
Terlihat pemandangan berupa rumah-rumah tidak terurus, lalu gedung tua yang terlihat sebentar lagi akan runtuh. Jalanan yang rusak–tak layak untuk dilewati itu–tetap digunakan oleh segelintir orang yang memiliki gerobak, sedangkan beberapa orang lainnya memilih untuk bermenung di depan rumah masing-masing.
Sekarang, mataku lebih tertarik untuk melihat toko kumuh yang dipenuhi oleh orang-orang berwajah kasar sedang duduk sembari menyesapi kopi dan menghirup batang yang mengeluarkan asap.
"Tempat ini tak layak untuk dihuni," gumamku pelan, ketika menyimpulkan keadaan seperti apa yang sedang mereka lalui. "Tempat ini terlihat seperti kota yang tertinggal."
Kini, aku hidup kembali dengan tubuh yang entah siapa pemiliknya dan juga ... ditempatkan di sebuah kota yang mengenaskan. Apa ini pantas kudapatkan setelah menjalankan kehidupan yang menyedihkan?
"Aku diberikan kesempatan, tapi kenapa aku harus hidup di tempat seperti ini?" Aku merasa sedikit kecewa. "Tapi, apa benar ... aku diberi kesempatan untuk hidup lebih baik?"
Pada akhirnya, aku menjatuhkan pandangan ke jalanan sepi. Suara derap langkah kaki kuda menarik perhatian orang-orang sekitar–termasuk aku–itu karena tak ada satu pun orang yang memiliki kuda. Kuda merupakan alat transportasi elit di kehidupanku yang dulu dan mungkin saja di tempat ini juga termasuk elit.
'Siapa itu?' pikirku.
Namun, melihat seseorang itu mendekat ke arahku, tubuh ini spontan bersembunyi ke balik gedung. Tidak tahu mengapa, tetapi naluriku meminta untuk segera bersembunyi dari penunggang kuda itu.
Aku terus menyaksikan kuda yang melaju dengan lambat secara seksama, lalu kembali melihat seseorang yang menungganginya. Rasa penasaranku akan seorang nan misterius dengan jubah dongker yang dikenakan, menutupi kepalanya, dan bahkan mulutnya ditutupi oleh kain. Mungkin saja ia menyembunyikan identitasnya guna menjalankan sebuah misi.
"Jubahnya terlihat sangat elit," gumamku. "Mungkin saja ia seorang bangsawan yang sedang menjalankan misi dari sang raja."
Tebak-tebakan muncul di otakku. Entah apa yang membuat rasa penasaranku ini bergejolak, kakiku pun mencoba melangkah tanpa suara. Kuabaikan teriakan wanita berbadan kekar itu, dan berjalan mendekat ke arah di mana kuda tersebut akan berhenti. Tepat di depan sebuah toko yang tadi kulihat, pria itu memberhentikan kudanya. Orang-orang di dalam sana menatap lelaki itu penuh rasa iri.
"Dia benar-benar memiliki nyali yang besar," pujiku, setelah melihat badan orang-orang yang singgah di toko itu memiliki badan kekar dan wajah sangar. Sedangkan dia ... maaf, badannya tidak sekekar mereka.
Perasaan cemas yang sia-sia menggerogotiku. Aku berharap dirinya tidak mengalami masalah yang cukup sulit. Aku yakin, orang yang berada di dalam toko bukanlah manusia biasa nan ramah-tamah, kemungkinan besar mereka sekelompok bandit yang menguasai tempat ini.
'Apa aku harus ke sana?' pikirku, mulai merasa labil untuk menentukan pilihan. 'Tapi, aku telah terlanjur mengikutinya.'
Katakan saja aku konyol.
Kini aku berhasil berdiri di samping toko, bersembunyi dari balik dinding untuk mendengar percakapan apa yang sedang berlangsung.
"Permisi." Apa yang sedang aku lakukan di tempat ini?
"Apa kau tahu ke arah mana aku bisa ke Kerajaan Lotus?"
Aku tersentak. Dari sekian banyak kejadian dan juga permasalahan-permasalahan yang ada di dunia, mengapa aku harus mendengar nama kerajaan itu di saat hari pertama aku bereinkarnasi?
"Apa kau tahu ke arah mana aku bisa ke Kerajaan Lotus?" tanya pria berjubah kepada–yang sepertinya–pemilik toko. Seperti tersengat listrik, tubuhku merinding. Dari balik dinding toko yang telah tutup, di seberang toko yang dipenuhi orang-orang berbadan kekar–berwajah sangar, aku mendengar suara pria berjubah itu dengan jelas dan suara orang-orang yang berada di dalam toko ini sedang menertawakannya. "Untuk apa kau ke tempat itu?" tanya sang pemilik toko. "Itu–" "Oh." Belum sempat ia menjawab, pemilik toko itu justru menyelanya. "Bukankah Kerajaan Lotus hanya bualan orang kota?" Tak lama setelah ia berbicara dengan nada remehnya, semua orang yang berada di dalam toko itu pun tertawa. Mereka tertawa puas sambil menunjuk wajah pria yang baru saja mendatangi tempat tersebut, sedangkan aku yang mendengar tawa mereka menahan emosi karena ketidaksopanan mereka terhadap pengembara. Ah, mengapa aku tersulut emosi? "Cerita itu berasal da
Tubuhnya lebih kecil dari bandit-bandit itu. Berdiri di tengah-tengah para bandit membuat dirinya menghilang. "Tidak ada gunanya bertarung dengan pria berbadan kekar tapi otak kosong, lebih baik aku bertarung melawan babi hutan." Dia berkata dengan begitu santai kepada orang-orang di sekitarnya yang sudah tersulut emosi. Begitu santainya sampai aku dapat melihat sorot mata dari iris birunya begitu sangat indah. "BERANI SEKALI KAU!?" Namun, seorang pria berbadan kekar membentaknya. Dia telah mengeluarkan kepulan asap dari lubang hidungnya. Sungguh pria misterius itu memiliki nyali yang luar biasa. Saat ini, suasana semakin panas ketika para bandit beranjak dari tempat duduknya. "Bukankah itu benar?" Namun, pria berjubah tersebut tetap berbicara dengan santai. Mengabaikan tatapan penuh perlawanan kepadanya dan parahnya, seakan mengajak mereka semua untuk bertarung melawannya. Aku menyaksikan semua ini dari kejauhan, juga melihat
Oh tidak, seseorang akan menemukanku. Semua orang yang berada di dalam toko itu pun menoleh ke sumber suara. Sudah jelas, sumber suara itu ialah aku yang menjerit setelah mendengar suara dobrakan meja yang cukup mengerikan. "Suara apa itu?" Pemabuk itu merupakan orang pertama yang bertanya setelah keheningan mereka. Spontan, tanganku bergerak untuk menutup mulut dengan rapat, sambil berpikir, 'Tidak!' 'Kenapa aku harus berteriak di saat seperti ini!?' Ingin rasanya aku menghilang dari tempat ini, juga ingin rasanya aku menggunakan kekuatan purnama merah untuk berpindah tempat. Namun sayangnya, kekuatanku tak kunjung muncul semenjak kejadian aku melarikan diri bersama pengkhianat itu. "Sedang apa kau di sini?!" Tubuhku membatu begitu mendengar suara seseorang dari belakang. Ia berdiri dan tubuhnya menutupi cahaya matahari yang berada di belakangku. Apa itu artinya aku ketahuan? Perlahan dengan tubuh gemetar dan jantung berdetak
"Untuk apa kau mengintip toko kami?"Pertanyaan tersebut berhasil membekukan tulang belulangku. Sambil menatap pemilik toko yang menunjukkan sorot mata tajam, mulutku mencoba untuk menjawab."Bukankah kau merasa tertarik pada orang baru seperti dia?"Namun, mulut ini tak kunjung bergerak dengan tenang seperti membiarkan omongan keji dari pria tua tak beradab itu. Gemetar karena ketakutan, aku berusaha untuk menggelengkan kepala, tetapi rasa sakit di kepala malah semakin parah. "Aku tidak tahu–bahkan tahun saja–""Tahun 451 kalender Kerajaan Ilios."Aku bungkam setelah mendengar jawaban dari pria berjubah–juga sedang mengalami nasib yang sama denganku. Tetapi, tatapannya terlihat tidak mempercayai apa yang sedang ia dengar.Ah, apa-apaan dengan tatapan yang mengejutkan itu?"Kerajaan Ilios ...." Tanpa sadar mulutku bergerak sebelum kesadaranku kembali begitu mendengar para bandit menepuk tangan mereka. Ya, mereka bert
"Wanita jalang! Tidak berguna! Apa gunanya hidup sebatang kara!? Pembunuh orang tuanya sendiri dengan kekuatannya hanya demi memuaskan diri!" Mulutku melongo setelah mendengar hardikannya yang tidak ada titik-koma. Mendengar sumpah serapahnya yang sudah tentu tertuju padaku. 'Aku ... membunuh orang tuaku?' Tidak habis pikir dengan kejutan akan kenyataan-kenyataan. Dalam sekejap, otakku bekerja memberikan bayangan akan senyum Yang Mulia yang hangat–bukan tertuju padaku, melainkan kepada putra mahkotanya. Masa lalu kelam yang tidak patut untuk terus diingat, aku beralih pada dunia yang saat ini sedang kutempati. Lalu, menundukkan pandangan dengan tangan bergerak untuk menutupi telinga. 'Aku tidak membunuhnya, tapi dia membunuhku!' Ingin rasanya aku melontarkan kalimat pembelaan itu, tapi mulutku tak bisa. Gemetar hebat akan kejadian di masa lalu tidak bisa kuhilangkan dalam sekejap. "Dia yang jahat ...." Pada akhirnya, hanya kata tersebut yang d
"Dia pembunuh!" Bentakan dari suara wanita kekar itu masih saja menggelegar. Mengumpat diriku yang bernasib malang. "Sudah sepantasnya dia mati di atas panggung eksekusi!" Deg. Jantungku seakan berhenti berdetak setiap kali mendengar kata 'eksekusi' yang selalu tertuju padaku. Mataku membulat untuk menatap wanita kekar. Di sekitarku seakan berputar, telunjuk yang hampir sama dengan ibu jarinya menunjuk-nunjuk ke arah wajahku. Dia menatap sinis, sedang aku hendak mengeluarkan suara seperti pada saat eksekusi. 'Apa ini akhirnya?' pikirku. Tapi, rasanya sangat aneh jika aku baru saja hidup di dunia ini, lalu beberapa jam kemudian dieksekusi dan mati. Dalam sekejap, tubuhku gemetar, suaraku tak kunjung keluar untuk memberikan pembelaan. Seperti pada saat ekskusi–kematian pertamaku–yang hanya bisa mempasrahkan diri menerima kematian yang sudah ditentukan oleh Yang Mulia. "Tunggu!" Suara seseorang seakan memberi harapanku untuk tetap
Langkah kakinya kian cepat, cengkraman tangannya semakin menyakitkan."Um ... Tuan."Aku mencoba memanggil namanya, tapi kerikil kecil membuatku tersandung dilangkah yang cepat. Aku tersandung dan cengkramannya semakin erat.Tidak ada jawaban dari pria berjubah itu.Hingga, membuatku meringis kesakitan ketika semua tubuh terasa ingin remuk sambil berkata dengan nada yang sedikit tinggi dari sebelumnya."Tuan, Anda membuat tangan saya sakit," ucapku.Tangan kananku begitu sakit dan pergelangan tanganku sukses memerah. Jika terus-terusan seperti ini, bisa saja tangan ini menjadi lumpuh."Oh, maafkan aku."Kali ini, panggilanku didengar olehnya. Dia menghentikan langkah kakinya, begitu juga denganku–menghentikan langkah kaki tepat di depannya. Aku menatap punggungnya yang lebar, lalu tiba-tiba pria itu membalikkan tubuhnya yang membuatku terperanjat kaget.Tangan yang dicengkramnya kini ia lepas. Tampak terkejut, dia
Aku mengeluarkan kata jujur pada kenyataan pahit, lalu membuat hatiku semakin pedih."Tak ada tempat pulang yang pantas untukku," jawabku, disertai dengan senyum kecut. Semampuku untuk mengernyit dan menahan air mata yang akan keluar dari kelopak mata.Aku tahu siapapun yang mendengar jawaban tersebut akan terdiam, tidak berkutik.Ilkay menunjukkan eskpresi tidak percaya dan berkata, "Lalu ...." Dengan sangat hati-hati dia melanjutkan ucapannya. "Sekarang, kau akan ke mana?"Dia terlihat canggung, tapi mencoba untuk menepis nasib malang yang baru saja aku katakan. Aku menggeleng hebat untuk membalas pertanyaannya."Aku tidak tahu," balasku. "Hanya bertahan hiduplah tujuanku saat ini."Kutatap matanya yang indah, berwarna biru langit dan menenangkan. Seakan-akan warna teduh itu seharusnya berwarna hijau permata.'Aku tidak tahu ke mana aku akan pergi,' pikirku. Semakin merasa sendu dan menyakitkan. 'Untuk membalas dendam kepada Kerajaa
“Siapa gadis itu, Yang Mulia?”Aku menutup mulutku dengan rapat. Kedua alis terangkat dan tubuhku seperti menjadi patung.Bisikan-bisikan semakin terdengar jelas dari belakang. Para pelayan itu semakin menunjukkan rasa penasarannya satu sama lain.Tak bisa berkata-kata, aku pun terus menatap punggung kekar Ilkay yang dibalut jubah kumuh.“Vander,” panggil Ilkay.Pria bernama Vander itu menatap Ilkay penuh penasaran. Tatapan seolah tidak ada tujuan untuk hidup, hanya mengikuti perintah dari seseorang.“Akan kujelaskan nanti setelah kita makan malam. Kau pastinya belum makan malam, bukan?” tanya Ilkay.Terlihat bahwa Vander tertegun. Dia membungkuk, tangan kirinya di letakkan di dada. Tanpa melihat Ilkay, pandangannya tertuju pada tanah.“Ya, Yang Mulia. Akan saya pinta pada kepala koki untuk memasakkannya,” balas Vander.Ilkay mengangguk. Dia berbalik secara tiba-tiba, membuatku terperanjat kaget.Wajah berseri tak pernah pudar di wajahnya setelah memasuki mansion ini. Matanya menatap
“Aku akan jelaskan nanti– jadi, kalian akan membiarkanku berdiri di sini?”Lantas, dua wanita yang tampaknya sangat mengenal Ilkay itu segera berdiri. Mereka beranjak, sambil membungkuk, dan salah satu mereka berjalan mendekati pintu.Pintu tersebut digedor, sampai seorang pria berzirah membuka pintu dengan raut wajah masamnya.Mulutnya hendak terbuka menanyakan apa yang terjadi, tapi kembali tertutup bersamaan dengan mata membelalak kaget.“Oh– Astaga– HORMAT SAYA PADA YANG MULIA.”Aku tercengang. Melihat ksatria tersebut juga menunjukkan sikap yang sama dengan dua pelayan wanita itu.‘Sebenarnya, apa yang terjadi?’Tidak mungkin jika pria di hadapanku saat ini merupakan orang yang disegani atau bisa dibilang dari keluarga kerajaan.Namun, jika dilihat-dilihat, perawakan yang berwibawa dengan senyum profesional, terlihat seperti bangsawan ataupun keluarga kerajaan yang telah diajarkan cara menyimpan masalah melalui senyum manis mereka.Pelajaran etika yang tidak pernah diajarkan pada
Aku hanya mengikutinya dari belakang. Lagi dan lagi, entah mengapa aku terlalu menurut pada pria itu.Langkah demi langkah, kudengar terus suara tebasan semak belukar yang ada di depanku. Hanya menggunakan pedang panjang, dia memotongnya dalam sekali tebasan. Begitu hebat dan kuat.Aku pun menengadah. Secara perlahan, langit mulai menggelap. Kini, langit berwarna jingga telah berubah menjadi biru gelap yang dihiasi oleh bintang-bintang.Suara hewan yang ada di hutan ini cukup mengerikan, sunyi senyap yang ditemani dengan suara lolongan.Ilkay tadi mengatakan akan membawanya ke tempat istirahat, tapi maksud dari istirahat tersebut apa?Tak berani mulutku bergerak untuk menanykanannya. Aku diam membisu seperti anak ayam yang baru saja dikenai berang sama induknya. Lalu, mengekor ke sana kemari dalam diam.“Kita sampai,” ucap Ilkay.Aku mengalihkan pandangan. Menatap kakinya yang tidak lagi melangkah. Aku pun ikut berhenti.Kutatap punggungnya yang lebar, lalu bergerak menyamping untuk m
“Kekuatan?” tanya Ilkay. Aku mengangguk. “Purnama bulan merah.” Dapat kurasakan keheningan yang mencekam. Melihat Ilkay dengan mata yang sedikit melebar, menunjukkan manik mata biru permata yang indah, lalu mulut tertutup rapat seakan dia terkejut mendengar ucapanku tadi. “Kau tahu cara mengendalikannya?” tanya Ilkay. Barusan, kekuatanku muncul bisa kemungkinan karena untuk melindungiku … tapi, dibilang melindungi, kenapa saat itu aku tidak dilindunginya? Tubuh yang mudah hancur ini tidak tahu cara mengeluarkan kekuatan, apalagi mengendalikannya. Aku pun menggeleng hebat. Menatap Ilkay dengan rasa penuh bersalah dengan kening mengernyit dan mulut cemberut. “Tidak. Aku tidak tahu. Kekuatan itu muncul begitu saja,” jawabku. Entah mengapa … aku merasa diriku yang dulu, bahkan yang sekarang sama-sama merepotkan. “Jadi, dia muncul saat-saat yang genting, huh?” Ilkay bergumam, tapi aku dapat mendengar ucapannya dengan jelas. Kepalaku terangkat untuk melihat wajahnya lagi. Sambil b
‘Bajunya–’ Mata Ophelia melebar. Mulutnya sedikit ternganga. ‘Ledakan tadi pasti membuat Ilkay kehilangan fokus.’ Hingga, dia kembali pada keadaan Ilkay yang saat ini bertarung melawan Hydra.[]Ophelia POV‘Bajunya–’ Aku melebarkan mata dan bahkan mulutnya menganga melihat ujung bajunya sedikit robek dan penampilannya yang kusut.Kucoba untuk tenang, sambil menatap Ilkay.‘Ledakan tadi pasti membuat Ilkay kehilangan fokus.’Aku pun mengalihkan pandangan. Menjatuhkan pandanganku pada monster yang ternyata sudah menyadari keberadaan kami. Akan tetapi, Ilkay tampak tidak mengetahui ada monster yang sedang menatap kami dengan intens.Tanganku bergerak mengarah ke monster tersebut dan monster itu pun bergerak bersamaan aku memegang tangan kananku.Kedua bahuku terangkat, spontan mataku memejam melihat monster besar tersebut bergerak cepat.‘Bagaimana cara mengeluarkan kekuatan tadi!?’ pikirku.Pikiranku terus tertuju pada kejadian yang sebelumnya. Dimana secara tiba-tiba ledakan terjadi
“Apa tidak ada yang bisa aku bantu?" tanyaku, meskipun tak ada orang yang mendengar pertanyaanku. Lagi-lagi aku mendengus. Tapi, kali ini perasaanku berbeda dari sebelumnya. Tubuhku secara tiba-tiba menggigil dan sesuatu yang ada di belakangku membuat tubuhku membeku. Bayangan yang besar ada di bawah, dan aku dapat menduga siapa yang ada di belakang hanya dengan hangatnya nafas yang mengepul mengenai puncak kepalaku. Mataku melebar, mulutku terkunci, dan suaraku tercekat hanya untuk berteriak. Aku dapat menduga bahwa sesuatu yang besar mengancam nyawaku dan ketika aku berbalik– Ledakan pun terjadi. [] Ilkay berusaha menghindari serangan semburan api yang keluar dari mulut Hybrid. Dia terperanjat kaget ketika mendapati suara ledakan yang begitu nyaring dan besar berada di dekatnya. “Suara apa itu!?” tanyanya. Sempat untuk membalikkan tubuh, mengalihkan pandangan tepatnya pada tempat Ophelia bersembunyi. Ilkay melebarkan mata. Dia tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, tapi
“Setidaknya, biarkan aku membantumu,” pintaku, seakan memelas kepada Ilkay.Namun, alih-alih mendapat izin, Ilkay justru tertawa sinis. Ya, aku yakin dia sedang merendahkanku.“Apa yang bisa kau lakukan?” tanya Ilkay.Pada saat itu, suara lolongan dari serigala terdengar dari dekat. Itu berasal dari monster yang baru saja datang ke tempat ini. Badannya sangat besar, tapi bisa dikatakan sebagai badak. Pada pundaknya, terdapat duri-duri seperti landak dengan ujungnya yang berwarna merah. Seolah merah merupakan darah para penjelajah atau pemburu yang gagal melawannya. Sedangkan wajahnya … seperti serigala dengan mulut yang panjang dan telinga seperti singa. Semua giginya merupakan gigi taring dan itu pun dipenuhi dengan lendir.‘Mo
Aku pun menggeleng hebat yang membuat Ilkay mengernyit.“Kenapa?” tanya Ilkay meminta penjelasan akan sikapku.“Kau ingin melawannya?” tanyaku.Mendengar pertanyaan yang dilontarkan padanya, Ilkay pun menjawab,“Jika aku tidak melakukan itu, mereka akan tetap berada di sini.”Pandangannya berganti pada Hydra yang tak kunjung beranjak dari tempatnya. Sorot mata Ilkay menajam dan tangan yang disembunyikan dari jubah yang sedang dikenakan itu ia keluarkan. Terlihat jelas pedang yang pernah sekali ia gunakan.“Hydra dapat mencium bau manusia dan selama kita tidak muncul, mereka akan tetap berada di tempat ini.”
"Kau ...."Ilkay mengeluarkan suaranya, tapi suara tersebut terhenti begitu saja, sampai tangannya bergerak menuju tangan dan menutup wajahnya. Ia mendengus sambil mengusap wajah dengan kasar.Sebenarnya, aku tidak peduli dengan reaksinya. Tapi, melihat pria pengembara itu terlihat frustasi, aku pun mengalihkan pandangan.Aku mencoba untuk berdiri dan membersihkan kedua tangan dengan baju, tapi– ah, sayang sekali jika baju ini kotor. Hanya ada satu baju yang tidak dapat diganti sebelum pria pengembara dengan rambut pirang itu mau membelikanku baju lagi; meskipun itu tidak mungkin.Ilkay yang ada di sampingku menjangkau tanganku, memegangnya dan membersihkannya dengan sapu tangan yang tiba-tiba ada dari dalam jubahnya.&