Tubuhnya lebih kecil dari bandit-bandit itu. Berdiri di tengah-tengah para bandit membuat dirinya menghilang.
"Tidak ada gunanya bertarung dengan pria berbadan kekar tapi otak kosong, lebih baik aku bertarung melawan babi hutan."
Dia berkata dengan begitu santai kepada orang-orang di sekitarnya yang sudah tersulut emosi. Begitu santainya sampai aku dapat melihat sorot mata dari iris birunya begitu sangat indah.
"BERANI SEKALI KAU!?" Namun, seorang pria berbadan kekar membentaknya. Dia telah mengeluarkan kepulan asap dari lubang hidungnya.
Sungguh pria misterius itu memiliki nyali yang luar biasa.
Saat ini, suasana semakin panas ketika para bandit beranjak dari tempat duduknya.
"Bukankah itu benar?" Namun, pria berjubah tersebut tetap berbicara dengan santai. Mengabaikan tatapan penuh perlawanan kepadanya dan parahnya, seakan mengajak mereka semua untuk bertarung melawannya.
Aku menyaksikan semua ini dari kejauhan, juga melihat wajah yang terlihat sangat lelah meskipun hanya netra yang indah itu yang dapat kulihat dari pria tersebut.
Dia menghela napas, sedangkan aku yang bersembunyi spontan menahan napas. "Wanita naif yang mendengar percakapan ini saja pasti setuju dengan apa yang aku katakan."
'Eh?' Bukankah dia seakan sedang menyindirku?
'Dia mengetahui keberadaanku?' pikirku.
Aku terkejut dan kebingungan melanda. Darahku seakan berdesir hebat ketika dia seakan mengetahui bahwa seseorang sedang bersembunyi memerhatikan toko itu. Lalu, berakhir dengan menebak-nebak apa yang maksud dari perkataannya.
"KAU–!" Namun, pria berbadan kekar itu telah duluan mengalami emosi memuncak.
Dia berjalan mendekati pria pengembara tersebut, lalu–untungnya–berdiri di depannya. Napasnya menggebu karena emosi yang membeludak.
"COBA SAJA JIKA KAU MENGATAKANNYA SEKALI LAGI!" bentak pria berbadan kekar tersebut sambil menunjuk-nunjuk pria di hadapannya. "AKAN KU HANCURKAN JANTUNGMU!"
Semua orang bersorak, membenarkan ancaman tersebut bukanlah sekedar ancaman. Aku menahan napasku lagi ketika suasana semakin menegang.
"Coba saja jika kau bisa membunuhku hanya menghancurkan jantungku." Namun, pria berjubah itu sepertinya tidak mau kalah.
"Apa dia perempuan?" Seseorang yang sedang memegang botol alkohol berucap. Sesekali cegukan, ia melanjutkan perkataannya. "Mulutnya seperti perempuan."
Lalu, yang berada di sampingnya tersenyum licik. Membasahkan bibirnya dengan lidahnya. Terlihat seperti pria penuh nafsu.
"Kita harus memeriksanya."
Ia berjalan mendekati pria berjubah itu. Ah, melihat kejadian ini membuat bulu kudukku berdiri. Benar-benar pria yang menjijikkan.
Sang pria berjubah itu menoleh ke seseorang yang sedang berjalan. Tatapannya begitu tajam dan dia berkata, "Jangan coba-coba untuk menyentuhku."
Suaranya begitu dingin sampai-sampai pria penuh nafsu itu tertegun. Semuanya juga ikut tertegun ketika hawa dingin menusuk tulang belulang mereka.
"Wah- wah- wah, apa ini?" Tapi ketakutan itu ditepis oleh kesombongan. Pria bernafsu itu pun tersenyum sinis ke arahnya. "Dia benar-benar perempuan?"
Jelas-jelas pria berjubah itu memiliki suara yang berat, tapi hawa nafsu dan ekspektasinya begitu tinggi sampai tidak mengenali mana kenyataan dan mana ekspektasi.
"Kalau begitu, kesempatan emas bagi kita."
Si bodoh bertambah lagi. Pria lainnya yang sedari tadi sebagai figuran tidak mau kalah dengan para bandit lain.
Pada akhirnya, helaan napas keluar dari mulut pria berjubah. Tampak jelas ketika bahunya yang tegap ia turunkan, kemudian dengusan membawa kesan dingin. Dia berbalik, mengabaikan tatapan penuh pelecehan terhadapnya. Lalu berjalan mendekati kuda sebagai kendaraannya selama mengembara. Namun tak terduga, ia justru memukul kudanya dan membiarkan sang kuda perkasa itu pergi meninggalkan tuannya.
Semuanya terdiam, tapi setidaknya ia masih membawa sekantung koin emas yang bernilai tinggi dari koin perak dan koin perunggu.
"Kau berniat tinggal di tempat ini?"
Salah seorang maju untuk berbicara baik-baik. Dia orang yang merupakan pemilik toko tersebut.
Keheningan menjawab pertanyaan sang pemilik toko. Meninggalkan kesan tidak enak yang ditambah dengan kantung koin emasnya diikat di ikat pinggang.
"Sayangnya aku tidak berniat lama-lama berurusan dengan kalian semua," ucapnya, begitu dingin.
Setelah mengikat kantong tersebut kepada ikat pinggang, tangannya bergerak menuju tudung kepalanya. Ia menarik penutup kepala tersebut hingga menampilkan warna rambutnya yang indah. Berwarna emas yang sangat jarang dimiliki oleh manusia.
'Rambutnya berwarna emas ....' Aku terkesan, bahkan mulutku sampai tercengang melihat rambut yang indah seperti dewa.
Surainya bergerak begitu ditiup angin. Semua orang yang melihat rambutnya juga tercengang akan indah dan–mungkin–terlihat lembut.
"Aku mengurungkan niat untuk memberi kalian seluruh koin dan kudaku," lanjutnya.
Kuda yang ia gunakan sebagai kendaraan, lalu sekantong koin emas yang diikat ke ikat pinggangnya, menandakan dengan jelas bahwa ia memanglah mengurungkan niatnya. Semuanya–para bandit itu terkejut mendengar ucapan yang begitu lantang.
BRAK!!!
Lalu, suara gebrakan meja menambah kesan tegangnya suasana toko tersebut. Pria dengan lukisan di tangannya itulah yang menjadi pelakunya. Setelah menggebrak meja, ia membalikkannya dalam keadaan marah.
"KAU SALAN!" umpatnya. "KAU TAHU TEMPAT MACAM APA YANG SAAT INI KAU PIJAK!?"
"Sudah jelas ini toko, bukan?" jawab pria berjubah itu dengan santai.
Aku terkesan padanya. 'Bagaimana bisa dia tenang dalam keadaan seperti itu?'
Selama aku hidup sebagai Putri Ophelia Aelios de Lotus, tidak pernah kutemui orang yang memiliki kepribadian yang tenang melampaui batas.
"Hei, bung." Kembali lagi kepada pemilik toko, dia menatap pria itu dengan khawatir. "Sebaiknya kita bicarakan ini baik-baik daripada nyawamu sebagai bayarannya."
Namun aku yakin, pria berambut emas dengan iris matanya yang berwarna biru itu tidak akan mengikuti permintaan sang pemilik toko. Terlebih, ia telah melihat secara langsung dihinanya wanita tua dengan membuang sisa roti di hadapan wanita itu.
"Setelah memperlakukan wanita itu dengan tidak pantas?" tanyanya.
Dugaanku benar.
Maka, suasana seperti api akan dimulai dalam toko tersebut.
Semua orang bertepuk tangan sambil bersiul melihat rambutnya yang berwarna emas.
"Bernyali juga, kau," ucap pria yang tadi mendobrak meja.
Kakinya hendak melangkah mendekati pria berjubah itu, tetapi dicegat oleh uluran tangan pemilik toko.
"Kau tahu, tempat ini tidak terisi oleh orang baik-baik. Toko ini merupakan tempat perkumpulan bandit," ucap pemilik toko. Keningnya mengerut seperti sedang menahan emosi, bahkan kedua alisnya juga ikut saling bertaut. "Kau masih bernasib baik dibiarkan hidup sampai sekarang."
"Apa karena ini hari besarnya kota ini?" tanya pria berambut emas.
Mendengar percakapan mereka dari jauh sukses membuatku mengernyit. 'Hari besar?'
Wajar saja, karena aku tidak mengetahui apa pun sejak kebangkitanku yang kedua kalinya.
"Ya, salah satunya seperti itu," jawab pemilik toko.
Suasana sangat mencekam. Para bandit yang berada di dalam toko tampak sedang menahan diri mereka, hingga salah satu orang yang tidak sabaran mengeluarkan ucapannya.
"Hei, pak tua!" panggilnya, kasar. "Untuk apa kau berbicara dengan baik kepada pria yang sok kaya itu!?"
Namun, ucapan kasar dari pemabuk itu diabaikan oleh sang pemilik toko. Dia menganggap sebutan kasar kepadanya sebagai angin lalu, seakan perkataan tersebut telah menjadi makanan sehari-harinya.
"Lebih baik, ikuti saja permintaan mereka," ucap pemilik toko. Dia bersikukuh untuk meminta pria berjubah mengikuti permintaannya–bukan permintaan kelompoknya.
Mataku menyaksikan pria berjubah tersebut tampak sedang menahan emosinya. Tangannya mengepal dengan kuat, alhasil menimbulkan urat-urat tangannya.
"Setelah memperlakukan wanita tua itu dengan tidak layak, lalu kau memintaku untuk memberikan sebagian koin ini kepada kelompokmu?" tanyanya.
Semua orang yang mendengar pertanyaan dari pria berambut emas itu menggeram menahan rasa kesalnya.
"Ya, lebih tepatnya seperti itu." Untungnya, pemilik toko masih memiliki kesabaran yang luar biasa.
"Kau sudah mengetahui bahwa mereka salah, apa kau kapala banditnya?"
Oh, tidak. Kali ini, apa yang sedang dipikirkan oleh pria tersebut. Apa dia cari mati?
"Percuma saja mengancamku begitu, karena kematian tidak akan mendekatiku," sambungnya dengan begitu santai dan percaya diri.
Yang geram akan semakin menggeram, sedangkan yang emosian tidak akan bisa menahan emosinya. Toko tersebut menjadi ricuh dan pria kekar yang membuat ulah tadi mengumpat dengan mengatakan, "Kau bajingan!"
Sedangkan pemabuk yang menghina wanita tua juga semakin memperburuk suasana. "Sombong sekali kau!"
Semua orang mengumpat dengan gaya mereka masing-masing. Netraku menyaksikan kejadian tersebut dari kejauhan, aku menjadi panik. Padahal, bukan aku yang sedang mengalami hal mengerikan itu.
Hingga, suara cukup keras sampai di telingaku berbunyi-
BRAK!
"Oh, tidak!"
Sialnya, aku menjerit ketika suara dobrakan meja cukup mengerikan dari umpatan para bandit itu.
Oh tidak, seseorang akan menemukanku. Semua orang yang berada di dalam toko itu pun menoleh ke sumber suara. Sudah jelas, sumber suara itu ialah aku yang menjerit setelah mendengar suara dobrakan meja yang cukup mengerikan. "Suara apa itu?" Pemabuk itu merupakan orang pertama yang bertanya setelah keheningan mereka. Spontan, tanganku bergerak untuk menutup mulut dengan rapat, sambil berpikir, 'Tidak!' 'Kenapa aku harus berteriak di saat seperti ini!?' Ingin rasanya aku menghilang dari tempat ini, juga ingin rasanya aku menggunakan kekuatan purnama merah untuk berpindah tempat. Namun sayangnya, kekuatanku tak kunjung muncul semenjak kejadian aku melarikan diri bersama pengkhianat itu. "Sedang apa kau di sini?!" Tubuhku membatu begitu mendengar suara seseorang dari belakang. Ia berdiri dan tubuhnya menutupi cahaya matahari yang berada di belakangku. Apa itu artinya aku ketahuan? Perlahan dengan tubuh gemetar dan jantung berdetak
"Untuk apa kau mengintip toko kami?"Pertanyaan tersebut berhasil membekukan tulang belulangku. Sambil menatap pemilik toko yang menunjukkan sorot mata tajam, mulutku mencoba untuk menjawab."Bukankah kau merasa tertarik pada orang baru seperti dia?"Namun, mulut ini tak kunjung bergerak dengan tenang seperti membiarkan omongan keji dari pria tua tak beradab itu. Gemetar karena ketakutan, aku berusaha untuk menggelengkan kepala, tetapi rasa sakit di kepala malah semakin parah. "Aku tidak tahu–bahkan tahun saja–""Tahun 451 kalender Kerajaan Ilios."Aku bungkam setelah mendengar jawaban dari pria berjubah–juga sedang mengalami nasib yang sama denganku. Tetapi, tatapannya terlihat tidak mempercayai apa yang sedang ia dengar.Ah, apa-apaan dengan tatapan yang mengejutkan itu?"Kerajaan Ilios ...." Tanpa sadar mulutku bergerak sebelum kesadaranku kembali begitu mendengar para bandit menepuk tangan mereka. Ya, mereka bert
"Wanita jalang! Tidak berguna! Apa gunanya hidup sebatang kara!? Pembunuh orang tuanya sendiri dengan kekuatannya hanya demi memuaskan diri!" Mulutku melongo setelah mendengar hardikannya yang tidak ada titik-koma. Mendengar sumpah serapahnya yang sudah tentu tertuju padaku. 'Aku ... membunuh orang tuaku?' Tidak habis pikir dengan kejutan akan kenyataan-kenyataan. Dalam sekejap, otakku bekerja memberikan bayangan akan senyum Yang Mulia yang hangat–bukan tertuju padaku, melainkan kepada putra mahkotanya. Masa lalu kelam yang tidak patut untuk terus diingat, aku beralih pada dunia yang saat ini sedang kutempati. Lalu, menundukkan pandangan dengan tangan bergerak untuk menutupi telinga. 'Aku tidak membunuhnya, tapi dia membunuhku!' Ingin rasanya aku melontarkan kalimat pembelaan itu, tapi mulutku tak bisa. Gemetar hebat akan kejadian di masa lalu tidak bisa kuhilangkan dalam sekejap. "Dia yang jahat ...." Pada akhirnya, hanya kata tersebut yang d
"Dia pembunuh!" Bentakan dari suara wanita kekar itu masih saja menggelegar. Mengumpat diriku yang bernasib malang. "Sudah sepantasnya dia mati di atas panggung eksekusi!" Deg. Jantungku seakan berhenti berdetak setiap kali mendengar kata 'eksekusi' yang selalu tertuju padaku. Mataku membulat untuk menatap wanita kekar. Di sekitarku seakan berputar, telunjuk yang hampir sama dengan ibu jarinya menunjuk-nunjuk ke arah wajahku. Dia menatap sinis, sedang aku hendak mengeluarkan suara seperti pada saat eksekusi. 'Apa ini akhirnya?' pikirku. Tapi, rasanya sangat aneh jika aku baru saja hidup di dunia ini, lalu beberapa jam kemudian dieksekusi dan mati. Dalam sekejap, tubuhku gemetar, suaraku tak kunjung keluar untuk memberikan pembelaan. Seperti pada saat ekskusi–kematian pertamaku–yang hanya bisa mempasrahkan diri menerima kematian yang sudah ditentukan oleh Yang Mulia. "Tunggu!" Suara seseorang seakan memberi harapanku untuk tetap
Langkah kakinya kian cepat, cengkraman tangannya semakin menyakitkan."Um ... Tuan."Aku mencoba memanggil namanya, tapi kerikil kecil membuatku tersandung dilangkah yang cepat. Aku tersandung dan cengkramannya semakin erat.Tidak ada jawaban dari pria berjubah itu.Hingga, membuatku meringis kesakitan ketika semua tubuh terasa ingin remuk sambil berkata dengan nada yang sedikit tinggi dari sebelumnya."Tuan, Anda membuat tangan saya sakit," ucapku.Tangan kananku begitu sakit dan pergelangan tanganku sukses memerah. Jika terus-terusan seperti ini, bisa saja tangan ini menjadi lumpuh."Oh, maafkan aku."Kali ini, panggilanku didengar olehnya. Dia menghentikan langkah kakinya, begitu juga denganku–menghentikan langkah kaki tepat di depannya. Aku menatap punggungnya yang lebar, lalu tiba-tiba pria itu membalikkan tubuhnya yang membuatku terperanjat kaget.Tangan yang dicengkramnya kini ia lepas. Tampak terkejut, dia
Aku mengeluarkan kata jujur pada kenyataan pahit, lalu membuat hatiku semakin pedih."Tak ada tempat pulang yang pantas untukku," jawabku, disertai dengan senyum kecut. Semampuku untuk mengernyit dan menahan air mata yang akan keluar dari kelopak mata.Aku tahu siapapun yang mendengar jawaban tersebut akan terdiam, tidak berkutik.Ilkay menunjukkan eskpresi tidak percaya dan berkata, "Lalu ...." Dengan sangat hati-hati dia melanjutkan ucapannya. "Sekarang, kau akan ke mana?"Dia terlihat canggung, tapi mencoba untuk menepis nasib malang yang baru saja aku katakan. Aku menggeleng hebat untuk membalas pertanyaannya."Aku tidak tahu," balasku. "Hanya bertahan hiduplah tujuanku saat ini."Kutatap matanya yang indah, berwarna biru langit dan menenangkan. Seakan-akan warna teduh itu seharusnya berwarna hijau permata.'Aku tidak tahu ke mana aku akan pergi,' pikirku. Semakin merasa sendu dan menyakitkan. 'Untuk membalas dendam kepada Kerajaa
"Kalau begitu, ada syaratnya."Kedua alisnya terangkat menunjukkan bahwa semua yang dikatakan Ilkay telah terencana. Tanpa sadar, aku menggertakkan gigiku dan mengepalkan kedua tangan dengan erat."Akan kuikuti seluruh permintaanmu," ucapku penuh lantang, dengan tatapan penuh keyakinan akan jawabanku.Tempat yang sepi. Tidak ada manusia yang menampakkan batang hidungnya di sini. Tepi desa yang telah ditinggalkan, Ilkay berdiri dengan mata menyipit."Baiklah," ucapnya.Pergerakan tangannya membuatku curiga. Ia merentangan kedua tangannya, seakan memberi isyarat untuk segera mendekatinya."Sekarang, peluk aku," sambungnya dengan santai.Seketika, tubuhku membeku mendengar ucapannya. Tangan yang merentang itu kutatap dengan tidak percaya, lalu beralih pada wajahnya. Tak ingin memeluknya, aku menunjukkan raut wajah penuh jijik kepadanya.Ah, aku menyesal mengatakan tawaranku kepadanya.Namun, kulihat dia menurunkan tangannya
"Karena tidak ada alasan untuk membantu orang-orang dalam kesulitan."Dia mengenakan jubah yang mewah, juga membawa kuda putih pada saat itu. sekantung koin emas selalu ia bawa ke sana kemari. Matanya indah seperti dewa–atau mungkin juga bisa setampan malaikat.Ilkay tersenyum, meskipun aku hanya melihat tudung kepalanya yang menyebalkan.'Dia mengingatkanku pada perlakuan para bandit kepada wanita tua waktu itu,' pikirku. 'Seharusnya, aku membantunya.'Lalu, penyesalan menghantuiku pada saat itu juga.-oOo-Langkah kaki kian menjauh dari kerumunan, kini berganti dengan rumah dan toko yang banyak. Bau amis ada di mana-mana, bunyi ombak terdengar jelas dari sini.Perjalanan semakin jauh dan sekarang aku yang terus-menerus ditarik olehnya akhirnya sampai di pelabuhan.Kepalaku menengadah di saat aku terus dibawa pergi oleh Ilkay. Mataku menatap kapal-kapal yang tinggi yang membuatku merasa ngilu ketika berada di atas sana.
“Siapa gadis itu, Yang Mulia?”Aku menutup mulutku dengan rapat. Kedua alis terangkat dan tubuhku seperti menjadi patung.Bisikan-bisikan semakin terdengar jelas dari belakang. Para pelayan itu semakin menunjukkan rasa penasarannya satu sama lain.Tak bisa berkata-kata, aku pun terus menatap punggung kekar Ilkay yang dibalut jubah kumuh.“Vander,” panggil Ilkay.Pria bernama Vander itu menatap Ilkay penuh penasaran. Tatapan seolah tidak ada tujuan untuk hidup, hanya mengikuti perintah dari seseorang.“Akan kujelaskan nanti setelah kita makan malam. Kau pastinya belum makan malam, bukan?” tanya Ilkay.Terlihat bahwa Vander tertegun. Dia membungkuk, tangan kirinya di letakkan di dada. Tanpa melihat Ilkay, pandangannya tertuju pada tanah.“Ya, Yang Mulia. Akan saya pinta pada kepala koki untuk memasakkannya,” balas Vander.Ilkay mengangguk. Dia berbalik secara tiba-tiba, membuatku terperanjat kaget.Wajah berseri tak pernah pudar di wajahnya setelah memasuki mansion ini. Matanya menatap
“Aku akan jelaskan nanti– jadi, kalian akan membiarkanku berdiri di sini?”Lantas, dua wanita yang tampaknya sangat mengenal Ilkay itu segera berdiri. Mereka beranjak, sambil membungkuk, dan salah satu mereka berjalan mendekati pintu.Pintu tersebut digedor, sampai seorang pria berzirah membuka pintu dengan raut wajah masamnya.Mulutnya hendak terbuka menanyakan apa yang terjadi, tapi kembali tertutup bersamaan dengan mata membelalak kaget.“Oh– Astaga– HORMAT SAYA PADA YANG MULIA.”Aku tercengang. Melihat ksatria tersebut juga menunjukkan sikap yang sama dengan dua pelayan wanita itu.‘Sebenarnya, apa yang terjadi?’Tidak mungkin jika pria di hadapanku saat ini merupakan orang yang disegani atau bisa dibilang dari keluarga kerajaan.Namun, jika dilihat-dilihat, perawakan yang berwibawa dengan senyum profesional, terlihat seperti bangsawan ataupun keluarga kerajaan yang telah diajarkan cara menyimpan masalah melalui senyum manis mereka.Pelajaran etika yang tidak pernah diajarkan pada
Aku hanya mengikutinya dari belakang. Lagi dan lagi, entah mengapa aku terlalu menurut pada pria itu.Langkah demi langkah, kudengar terus suara tebasan semak belukar yang ada di depanku. Hanya menggunakan pedang panjang, dia memotongnya dalam sekali tebasan. Begitu hebat dan kuat.Aku pun menengadah. Secara perlahan, langit mulai menggelap. Kini, langit berwarna jingga telah berubah menjadi biru gelap yang dihiasi oleh bintang-bintang.Suara hewan yang ada di hutan ini cukup mengerikan, sunyi senyap yang ditemani dengan suara lolongan.Ilkay tadi mengatakan akan membawanya ke tempat istirahat, tapi maksud dari istirahat tersebut apa?Tak berani mulutku bergerak untuk menanykanannya. Aku diam membisu seperti anak ayam yang baru saja dikenai berang sama induknya. Lalu, mengekor ke sana kemari dalam diam.“Kita sampai,” ucap Ilkay.Aku mengalihkan pandangan. Menatap kakinya yang tidak lagi melangkah. Aku pun ikut berhenti.Kutatap punggungnya yang lebar, lalu bergerak menyamping untuk m
“Kekuatan?” tanya Ilkay. Aku mengangguk. “Purnama bulan merah.” Dapat kurasakan keheningan yang mencekam. Melihat Ilkay dengan mata yang sedikit melebar, menunjukkan manik mata biru permata yang indah, lalu mulut tertutup rapat seakan dia terkejut mendengar ucapanku tadi. “Kau tahu cara mengendalikannya?” tanya Ilkay. Barusan, kekuatanku muncul bisa kemungkinan karena untuk melindungiku … tapi, dibilang melindungi, kenapa saat itu aku tidak dilindunginya? Tubuh yang mudah hancur ini tidak tahu cara mengeluarkan kekuatan, apalagi mengendalikannya. Aku pun menggeleng hebat. Menatap Ilkay dengan rasa penuh bersalah dengan kening mengernyit dan mulut cemberut. “Tidak. Aku tidak tahu. Kekuatan itu muncul begitu saja,” jawabku. Entah mengapa … aku merasa diriku yang dulu, bahkan yang sekarang sama-sama merepotkan. “Jadi, dia muncul saat-saat yang genting, huh?” Ilkay bergumam, tapi aku dapat mendengar ucapannya dengan jelas. Kepalaku terangkat untuk melihat wajahnya lagi. Sambil b
‘Bajunya–’ Mata Ophelia melebar. Mulutnya sedikit ternganga. ‘Ledakan tadi pasti membuat Ilkay kehilangan fokus.’ Hingga, dia kembali pada keadaan Ilkay yang saat ini bertarung melawan Hydra.[]Ophelia POV‘Bajunya–’ Aku melebarkan mata dan bahkan mulutnya menganga melihat ujung bajunya sedikit robek dan penampilannya yang kusut.Kucoba untuk tenang, sambil menatap Ilkay.‘Ledakan tadi pasti membuat Ilkay kehilangan fokus.’Aku pun mengalihkan pandangan. Menjatuhkan pandanganku pada monster yang ternyata sudah menyadari keberadaan kami. Akan tetapi, Ilkay tampak tidak mengetahui ada monster yang sedang menatap kami dengan intens.Tanganku bergerak mengarah ke monster tersebut dan monster itu pun bergerak bersamaan aku memegang tangan kananku.Kedua bahuku terangkat, spontan mataku memejam melihat monster besar tersebut bergerak cepat.‘Bagaimana cara mengeluarkan kekuatan tadi!?’ pikirku.Pikiranku terus tertuju pada kejadian yang sebelumnya. Dimana secara tiba-tiba ledakan terjadi
“Apa tidak ada yang bisa aku bantu?" tanyaku, meskipun tak ada orang yang mendengar pertanyaanku. Lagi-lagi aku mendengus. Tapi, kali ini perasaanku berbeda dari sebelumnya. Tubuhku secara tiba-tiba menggigil dan sesuatu yang ada di belakangku membuat tubuhku membeku. Bayangan yang besar ada di bawah, dan aku dapat menduga siapa yang ada di belakang hanya dengan hangatnya nafas yang mengepul mengenai puncak kepalaku. Mataku melebar, mulutku terkunci, dan suaraku tercekat hanya untuk berteriak. Aku dapat menduga bahwa sesuatu yang besar mengancam nyawaku dan ketika aku berbalik– Ledakan pun terjadi. [] Ilkay berusaha menghindari serangan semburan api yang keluar dari mulut Hybrid. Dia terperanjat kaget ketika mendapati suara ledakan yang begitu nyaring dan besar berada di dekatnya. “Suara apa itu!?” tanyanya. Sempat untuk membalikkan tubuh, mengalihkan pandangan tepatnya pada tempat Ophelia bersembunyi. Ilkay melebarkan mata. Dia tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, tapi
“Setidaknya, biarkan aku membantumu,” pintaku, seakan memelas kepada Ilkay.Namun, alih-alih mendapat izin, Ilkay justru tertawa sinis. Ya, aku yakin dia sedang merendahkanku.“Apa yang bisa kau lakukan?” tanya Ilkay.Pada saat itu, suara lolongan dari serigala terdengar dari dekat. Itu berasal dari monster yang baru saja datang ke tempat ini. Badannya sangat besar, tapi bisa dikatakan sebagai badak. Pada pundaknya, terdapat duri-duri seperti landak dengan ujungnya yang berwarna merah. Seolah merah merupakan darah para penjelajah atau pemburu yang gagal melawannya. Sedangkan wajahnya … seperti serigala dengan mulut yang panjang dan telinga seperti singa. Semua giginya merupakan gigi taring dan itu pun dipenuhi dengan lendir.‘Mo
Aku pun menggeleng hebat yang membuat Ilkay mengernyit.“Kenapa?” tanya Ilkay meminta penjelasan akan sikapku.“Kau ingin melawannya?” tanyaku.Mendengar pertanyaan yang dilontarkan padanya, Ilkay pun menjawab,“Jika aku tidak melakukan itu, mereka akan tetap berada di sini.”Pandangannya berganti pada Hydra yang tak kunjung beranjak dari tempatnya. Sorot mata Ilkay menajam dan tangan yang disembunyikan dari jubah yang sedang dikenakan itu ia keluarkan. Terlihat jelas pedang yang pernah sekali ia gunakan.“Hydra dapat mencium bau manusia dan selama kita tidak muncul, mereka akan tetap berada di tempat ini.”
"Kau ...."Ilkay mengeluarkan suaranya, tapi suara tersebut terhenti begitu saja, sampai tangannya bergerak menuju tangan dan menutup wajahnya. Ia mendengus sambil mengusap wajah dengan kasar.Sebenarnya, aku tidak peduli dengan reaksinya. Tapi, melihat pria pengembara itu terlihat frustasi, aku pun mengalihkan pandangan.Aku mencoba untuk berdiri dan membersihkan kedua tangan dengan baju, tapi– ah, sayang sekali jika baju ini kotor. Hanya ada satu baju yang tidak dapat diganti sebelum pria pengembara dengan rambut pirang itu mau membelikanku baju lagi; meskipun itu tidak mungkin.Ilkay yang ada di sampingku menjangkau tanganku, memegangnya dan membersihkannya dengan sapu tangan yang tiba-tiba ada dari dalam jubahnya.&