Lima belas menit setelahnya, Ann keluar dengan satu gaun semi kasual cantik bermotif bunga. Rambutnya tergerai indah, dandanannya meski flawless tapi tetap terlihat anggun dan berkelas. Satu tampilan yang memang tidak pernah Ann perlihatkan selama bekerja di toserba. Selama berpisah dari Ben, Ann lebih sering memakai celana jeans-nya.
"Mas!" mata Ann membulat sempurna saat pintu depan rumah kontrakan terbuka dan ada setidaknya 8 mobil terparkir di sana.Yang lebih mengejutkan lagi, tampak Danisha dan Benji sudah bersiap di samping mobil, seperti tengah mempersiapkan penyambutan. Sementara Bas terlihat baru turun dari mobilnya dan melepas kacamata, membuat merinding."Mereka semua dateng buat menyambut kembalinya lagi Ane-san," ungkap Ben santai, ia kenakan kacamata hitamnya lantas menggenggam jemari sang istri menuruni tangga kecil hingga berhenti di depan mobilnya. "Sha, tempat makan udah siap?" tanyanya menoleh sang adik."Arino yang urus, k"Ini adalah bisnis khusus yang dikelola langsung sama Ben, sumber kekayaan utama suami lo dari sini," ucap Danisha saat mengantar Ann masuk ke dalam sebuah kasino besar di salah satu sudut Makau yang menawan. "Laennya sampingan?" gumam Ann takjub. Ia jelas belum pernah membayangkan betapa ramai dan berkelasnya isi ruangan sebesar lapangan sepak bola itu. "Laennya juga utama, tapi ini udah jadi hak milik Ben, ngikutin statusnya dia yang adalah ketua perkumpulan. Masih ada lagi 3 kasino kecil-kecil yang seluruh penghasilannya masuk ke keuangan Ben. Lo nggak perlu takut miskin selama 4 tempat ini masih beroperasi," jelas Danisha. "Makasih lo nyempetin waktu lo buat jadi tour guide gue," Ann tersenyum. "Ben udah pasti sibuk kerja juga dia," keluhnya. "Ini perintah ketua, Ann. Ben nggak mau lo ngilang lagi dan terjadi apa-apa sama lo karena informasi soal Eriska yang juga di sini. Udah cukup dia menderita karena harus ngelepas lo pergi tiga tahun lalu," ungkap Danisha. "Take your t
Danisha bergerak mendekat, ia membawakan pedang andalan Ben pada pemiliknya. Tanpa pikir panjang, Ben melepas pedang itu dari sarung pengamannya dan menghunusnya ke arah Hansen. Semua orang yang melihat adegan itu saling berbisik kaget, tak menyangka akan melihat kemarahan Ben yang jarang terjadi. Padahal, selama ini, sebagai ketua perkumpulan, Ben dikenal dingin tapi sangat menghindari keributan. "Perlu gue yang potongin, atau lo sukarela?" tawar Ben sangat serius. "Gue nggak suka lo bikin lelucon norak yang merendahkan kehormatan Ane-san. Perlu lo tau, setelah dia jadi istri gue, kedudukannya setara sama kedudukan gue sebagai ketua, lo harus hormat sama dia bahkan kalau dia minta lo jilat alas kakinya!" desisnya marah. "Cuma Ketua yang boleh berhadapan langsung sama Ane-san, selaen Big Ben, lo wajib nundukin kepala lo dan bungkukin badan lo serendah mungkin buat nunjukin rasa hormat," timpal Bastian dingin, sama galaknya dengan Ben. "Mau dia bisa atau nggak ngasih gue keturunan,
"Jadi emang bener lo butuh rahim buat ngelanjutin keturunan? Lo ditinggalin istri lo gitu aja?" ucap Farah sambil sesekali menyesap wine yang disajikan untuknya. Ben tak menanggapi. Sebisa mungkin, ia berusaha untuk menahan dirinya agar tidak menampar mulut sok tahu Farah. Ini adalah misi agar posisi pasti Eriska bersembunyi bisa cepat ditemukan, yakni melalui Farah. Sudah sejak lama Ben tahu bahwa Farah adalah orang kepercayaan Eriska. Memancing Eriska keluar melalui Farah dengan mengumumkan bahwa Ben membutuhkan rahim untuk membesarkan keturunannya berhasil membuat Farah muncul ke permukaan. "Dari mana lo tau kalau gue perlu rahim buat ngelanjutin keturunan?" gumam Ben sengaja tak menatap wajah Farah, sebenarnya ia muak. "Banyak rumor bertebaran, Big Ben. Informasi penting terus mengalir di tempat kayak gini.""Dan lo ngerasa pantes buat ngandung anak gue? Sepercaya diri itu, lo?" Ben tersenyum miring. Farah balas tersenyum, "Lo ng
"Kaget?" tanya Ben tertawa senang. Ben mendekat pada Farah, ia tunjukkan sebuah foto di layar ponselnya. Farah tampak terkejut setelah melihat siapa di dalam foto itu, suaranya tercekat. Sejauh ini ia sudah bergerak sangat hati-hati dan penuh perhitungan, tapi Ben ternyata mendapat celah lemahnya. Benar-benar pergerakan klan Takahashi yang tak bisa ia prediksi. "Kenalin, istri gue, yang punya hak milik atas ranjang gue," bisik Ben tepat di samping telinga Farah. "Oh, hai!!" sapa Ann ceria, ia duduk dengan nyaman di ranjang suaminya, tangan kanannya memeluk pedang milik Ben dengan begitu kerennya. "Gue udah nunggu dari tadi lho," katanya sangat ramah. "Apaan ini?" tanya Farah dengan mata membulat, menahan marah. "Emang apaan? Istri gue, Joanna!" seru Ben penuh kebanggaan. "Apa maksud ini semua, hah?" desis Farah panik. "Lo pikir gue nggak tau siapa lo dan buat siapa lo kerja? Eriska nggak ngasih tau lo buat hati-ha
"Kamu belajar banyak dari Bas, aku kaget," puji Ben seraya menyeka keringat yang mengalir dari pipi ke bawah dagunya. Tangannya masih menghunus pedang ke arah Ann yang waspada. "Cukup banyak kalau diukur dalam rentang waktu 3 tahun ini, Mas," balas Ann. Ia maju taktis, menyerang Ben dengan mengayun pedangnya ke arah ssng suami. "Aku masih belum bisa nandingin permainan pedang kamu Mas tapinya. Susah banget ngalahin Big Ben," tandasnya. "Kamu mau aku pura-pura kalah?" Ben menyeringai, kali ini ia yang melancarkan serangan tapi Ann gesit menghindar. "Nggak bisa, aku punya harga diri ya Mas," sambar Ann. Ben tertawa simpul, ia terus meladeni serangan sang istri, menikmati ritme bermain pedang Ann yang sedikit lebih lebih lambat darinya, tapi juga tak bisa ia remehkan. Istrinya ini sudah mengalami banyak kemajuan. Harus Ben akui, Bastian mencetak pribadi Ann yang baru, perempuan kuat yang sangat cocok menempati posisi sebagai Ane-san. "A-aa, kamu lengah, Big Ben!" seru Ann b
Ann melenguh panjang, ia mendapat puncaknya di mana Ben tak juga berhenti bergerak nyaman di atasnya. Mata Ann terpejam rapat, ia masih dikuasai ledakan rasa nikmat yang membuat tubuhnya bergrtar hebat. Kedua jemarinya mencengkeram sprei kuat, ia gigit bibir bawahnya untuk mencegah lenguhan panjangnya berulang. "Mas," desah Ann lirih, merintih. Ben tak peduli, seberapa keraspun istrinya itu meracau, ia tak berhenti. Ia tengah ada dalam momen yang sangat penting, menentukan dan jika ia berhenti untuk sekadar mengecup kening Ann, ia akan kehilangan momentum itu. Gerakannya semakin cepat, semakin penuh gairah. Peluh sudah membasahi sekujur tubuh Ben, juga Ann. Namun, permainan panas menjelang tengah malam itu justru semakin menggila, Ann tak lagi kuasa menahan suaranya. Desahan dan rintihannya mengisi ruangan apartemen besar Ben, membuat situasi sensual itu benar-benar membara. "I love you, Joanna," erang Ben tepat saat ia tiba di puncak, ia katupkan bibirnya rapat-rapat, menahan gele
"Gimana bisa lo kecolongan?" geram Benji gemas, ia tatap wajah tampan adiknya yang tengah kalut itu. "Mana gue tau dia bakalan jalan sendiri begini, Men!" desis Ben kalut. "Kita udah ngrencanain buat cari tau ke Marine Tower besok pagi," jelasnya. "Gue yakin, meski sembunyi, Eriska dijaga ketat sama orang-orang Adyaksa," tebak Benji. "Dan sendirian nggak akan banyak ngebantu Ann, kita nggak bisa ngukur kekuatan mereka cuma dengan modal ngira-ngira," tukasnya. "Lo udah kumpulin orang?" tanya Ben berusaha tetap tenang. "Mereka langsung ke lokasi. Gue kumpulin sebanyak yang ada di sini. Orang kita di sini nggak sebanyak yang kita punya di Indonesia, Ben," ungkap Benji. "Ann nggak mau Ben terlibat," sela Danisha yang baru datang dengan mobilnya. "Eriska megang lukanya Ben, Ann nggak mau Ben terpengaruh dan lemah. Makanya dia mau selesaiin ini sendiri. Menurut gue, Ann takut lo masih punya perasaan ke Eriska," urainya. "Tiga tahun dia bersiap buat momen ini," tambah Bastian yang d
"Lo nggak akan pernah menang dari gue!" lengking Eriska berhasil menindih tubuh Ann hingga istri Ben ini sulit bergerak. "Gue udah pernah bilang, kalau gue nggak bisa milikin Ben, lo juga nggak akan bisa!" jeritnya."Ada yang lebih nyakitin dari kehilangan seorang Big Ben, Eriska," bisik Ann masih angkuh bertahan meski lehernya dicekik sekuat tenaga. "Kehilangan dia," desisnya melirik buah hati Eriska bersama Patra. "Ben udah bikin dia kehilangan sosok ayahnya, tapi gue nggak mau bikin dia juga kehilangan ibunya. Biar lo yang ngerasain gimana sakitnya kehilangan anak!" Dengan sisa kekuatannya untuk melawan, Ann berontak. Ia berhasil lepas dari cengkeraman Eriska, terbatuk sebentar dan menghindar. Di seberangnya, Eriska meraih lampu tidur, siap menyerang Ann lagi. "Lo harus mati! Seharusnya lo ikut mati di kecelakaan tiga tahun lalu itu!" kutuk Eriska menghambur pada Ann, tanpa ampun. "Berhenti di situ atau gue tembak anak lo!" ancam Ann sudah menodong anak lelaki di sudut ruangan d
"Baru pertama kali ini aku liburan ke Eropa. Mimpi apa aku bisa ke sini sama orang yang paling berarti di hidupku," desis Ann lirih. Matanya mengitar takjub, masih tidak percaya pada apa yang kini tengah dialaminya. London tengah ada di awal musim gugur saat ini. Suhu udara cukup dingin untuk kulit Ann yang terbiasa dengan suhu tropis khatulistiwa. Ia sampai memeluk tubuhnya sendiri dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk menghangatkan tubuhnya. Liburan musim panas di Inggris Raya baru akan selesai dan Westminster cukup sepi dari wisatawan di bulan-bulan ini. "Pilihan yang tepat kita keluar malam hari, untungnya Christ udah akrab sama Lala, jadi kita bisa keluar malem-malem gini, biar Christ istirahat," ujar Ben sengaja merangkul leher istrinya mesra. "Lala udah kenal Danisha lama, jadi kayaknya Christ sering diajak jalan bareng juga sama Lala, makanya mereka cepet akrab," gumam Ann. "Mas, indah banget Inggris Raya," ujarnya tak hentinya berdecak. Meninggalkan
Ann menyesap teh melati buatan Ben sambil memejamkan mata. Sungguh pagi yang begitu damai dan menenangkan baginya, tanpa beban. Christ sedang sarapan pagi bersama Ben di ruang makan, sedangkan Ann sendiri duduk di halaman belakang, sesekali mengusap punggung Chester yang kini memang sengaja diboyong ke rumah baru demi memulihkan kesehatannya. Minggu depan kuliah Ann sebagai Maba akan dimulai, jadi, ia sengaja menikmati momen-momen emas ini tanpa gangguan. "Ane-san, berangkat seolah dulu," kata Christ mendatangi Ann sambil membungkukkan badannya. "Oke, hati-hati ya, semangat sekolahnya!" balas Ann melambaikan tangannya ceria, menatap punggung kecil nan kokoh Christ yang berlalu menjauh. Untuk kegiatan sekolah dan les privat yang harus dijalani Christ, Ann menyiagakan seorang sopir antar-jemput. Ben juga meminta Sony untuk menjadi penjaga Christ selama berkegiatan di luar rumah. "Kamu nggak ada agenda ke mana-mana hari ini, Ann?" tegur Ben yang menyusul duduk di seberang Ann, menent
"Hai, Christoper!" sapa Eriska yang sudah datang lebih dulu di sebuah coutage tempat mereka dijadwalkan bertemu. Seperti rencana, Ann dan Ben mengantar Christ bertemu dengan Eriska. Satu titik balik kehidupan Christ akan ditentukan hari ini. Ann tidak tahu apa yang tengah dirancang oleh Eriska untuk mengusiknya lagi, tapi ia percaya Ben bisa mengatasi gangguan Eriska lebih baik ketimbang sebelumnya."Mami Eris," balas Christ melambaikan tangan sekenanya, juga memberi senyum simpul yang asing. "Kamu tambah tinggi ya," puji Eriska. "Makanmu pasti enak-enak pas ikut Ben," katanya. "Makasih udah menuhin permintaanku," tambahnya ke arah Ben sambil memeluk Christ yang tampak canggung. "Gue pengin urusan kita segera selesai," balas Ben. "Biar Christ mesen makanan dulu ya," tandas Eriska. "Aku udah makan sama Ann dan Ben sebelum ke sini," ucap Christ sangat fasih. "Kata Ann, Mami kangen sama aku," gumamnya. "Iya," jawab Eriska mengangguk. "Mami nggak bawa makanan kesukaanku?" tembak Ch
Setelah sekian lama tidak beraktivitas di ranjang karena kondisi kesehatannya, Ben cukup berhati-hati bergerak. Ann lebih banyak memimpin permainan, sang istri berbalik memegang posisi dominan. "Joanna," Ben mengerang lirih, menikmati pemandangan sang istri yang meliuk-liuk di atasnya. "Berasa liat aku di Queen's Diary lagi ya Mas," goda Ann masih sempat bercanda. "Ini lebih juara sensasinya," balas Ben merem-melek, terbakar gairah. Ann terkikik, ia bergerak makin cepat, tapi tetap berhati-hati. Ben yang tengah berbaring di bawahnya itu masih belum sembuh total, jadi mereka tidak boleh bermain liar. "Ane-san!" Ben mengeja panggilan istrinya, ia tiba di puncak dengan senyuman lepas yang puas. "Wah," deru napas Ann masih terengah, "lega, Big Ben? 250 juta transfer ke rekeningku ya," candanya lucu. Ia bangkit dan duduk di sebelah suaminya, membiarkan Ben meriah selimut untuk menutupi tubuh mereka. "Nggak 300 juta sekalian?" tawar Ben. Ann mengangguk, "Boleh. Dikasih 500 juta lebi
Setitik air mata Ann jatuh, ia berpaling agar tak ketahuan tengah bersedih. Sesak di dadanya berusaha ia sembunyikan sebisa mungkin, hatinya telah jatuh teramat banyak pada Christ. "Kenapa aku harus milih? Aku udah tinggal di sini kan?" gumam Christ lugu. "Kamu bukan anggota keluarga, Eriska minta kamu kembali ke keluarga kamu," ungkap Ben gamblang, terdengar sangat tega. "Ane-san," Christ menoleh Ann, "apa aku harus milih? Aku aku harus ikut Mami Eris?" tanyanya hampir menangis. "Kamu boleh tetep tinggal di sini kalau kamu mau, Christ," jawab Ann. "Asal kamu memilih tinggal bersama kami, kamu boleh tinggal selamanya di sini," sambar Ben. Christ terdiam, ia tampak bingung dan hanya memainkan kancing bajunya sebagai bentuk pelarian. Anak sekecil Christ tentu mempunyai banyak perspektif pada setiap orang yang pernah merawatnya. Ann meski galak dan tegas, tidak pernah memukul atau menggunakan kekerasan. Begitu pula dengan Ben, meski ia keras dan kejam, selalu menekan Christ dengan
"Marah, Ane-san?" tegur Ben yang menyadari perubahan sikap istrinya semenjak pulang dari rumah makan tadi siang. "Hem?" Ann melirik suaminya sekejap, lantas fokus lagi memainkan ponselnya. "Kamu marah sama aku, Ann?" ulang Ben sabar. "Marah? Emangnya kamu kenapa?" tanya Ann balik. Ben mendecak, ia tahu Ann sedang tidak mau diajak mengobrol. Istrinya ini tengah marah, enggan ditanya-tanya tapi jika Ben tak acuh, kemarahan itu akan semakin membesar. "Coba bilang, salahku di mana?" pancing Ben. "Wah," Ann tertawa dalam tatapan piasnya yang tak menyangka. "Nggak sadar salahnya?" "Oke, aku salah ngambil keputusan setuju sama Eriska? Bener?" "Terus?" "Aku mengabaikan kamu," desis Ben meringis, takut salah. "Bukan cuma mengabaikan, Mas. Aku nggak kamu anggep ada di tempat itu. Seharusnya kamu tanya dulu keputusanku, kan?" sergah Ann bagai siap memuntahkan lahar panas dari mulutnya. "Iya, aku minta maaf," ungkap Ben tak mau memperpanjang masalah. Salah atau tidak salah, ia tetap ha
"How's life, Ann? Kamu bahagia?" tanya Eriska yang ditemui oleh Ann di sebuah rumah makan besar. Ann melirik sang suami yang duduk di sebelahnya. Ben tampak tak acuh, ia itarkan pandangan ke sekeliling, enggak bertemu tatap dengan Eriska. Dari sorot matanya, tampak Eriska masih begitu mendamba suami Ann itu. "Gue nggak punya alasan buat nggak bahagia setelah suami masih hidup di sisi gue," jawab Ann jumawa. "Asal nggak ada orang yang mengusik kami lagi, gue yakin bahagia selamanya," gumamnya. "Ben," Eriska tersenyum, mencoba mengambil perhatian mantan pacarnya itu. "Aku nggak akan ngusik kalian lagi. Cuma satu penginku, aku diijinin buat ketemu sama Christ. Sekarang udah nggak ada Papa yang bakalan nyakitin dia, boleh nggak Christ disuruh milih, mau ikut aku atau kalian? Aku janji, setelah Christ milih, aku nggak akan pernah muncul dalam kehidupan kalian lagi," ujarnya. Ben yang semula tak peduli akhirnya memfokuskan pandangannya pada Eriska. Keduanya bertemu tatap, diam dan tak a
Proses recovery Ben memakan banyak waktu dan perjuangan yang cukup panjang. Selama itu, Ann setia mendampingi, membantu sang suami mendapatkan tubuh bugarnya lagi. "Dua tusukan yang nggak akan pernah bisa dilupain," desis Ann sambil menunjuk bekas luka di dada dan perut Ben yang kancing kemejanya sengaja tidak dikancingkan. "Nggak kamu bikin tato, Mas?" tanyanya. Ben menggeleng, "Luka tembak ini sengaja kutato karena pengin kuhilangkan. Kalau luka tusuk beda cerita, ini award perasaanku atas kamu Ann. Aku terluka buat ngelindungin kamu, itu kebanggaan tersendiri," ujarnya. "Tapi aku jadi ngerasa bersalah kalau liat bekas luka ini. Kamu ada di ambang kematian selama 5 bulan, gimana aku nggak sedih.""Apa mau kutato aja biar kamu nggak sedih?" tawar Ben. Gelengan Ann berikan, "Kalau kamu nggak ngeliat aku sebagai bentuk kesalahan, sedihku bisa ganti jadi kebahagiaan kok Mas," ucapnya lembut, plin-plan. Senyuman Ben terkembang, ia kibaskan lagi pedangnya untuk kembali memulai latiha
Dua puluh empat jam pasca hidup kembali, Ben dinyatakan dalam kondisi yang sangat bagus oleh dokter. Tubuhnya sudah melewati pemeriksaan dan pengecekan dan tidak ada organ tubuhnya yang malfungsi. Ben hanya memerlukan banyak latihan bergerak dan berjalan untuk menormalkan kembali sendi-sendi dan tulangnya. "Dia minta pindah sekolah di sini, pengin jagain Ketua tapi dia ngeluh bosan nunggu kamu bangun, tiap hari begitu," ucap Ann tertawa. "Dia jagain kamu dengan baik ya," kekeh Ben sudah mulai lancar berkomunikasi. Ann mengangguk, "Kadang dia ngomel, kenapa Ketua nggak bangun-bangun padahal dia mau cerita gimana dia ngelawan anak-anak lain yang nyoba ngerundung dia," ceritanya. "Udah ya Mas, biar dia stay di Indo aja, Christ pasti nggak mau kalau disuruh balik ke Jepang lagi. Nanti aja kalau dia udah bisa milih mau lanjut studi di Jepang atau di negara mana pun, kita bisa atur lagi," urainya. "Aku ikut kebijakan kamu, Ane-san," kata Ben lembut. "Ah, Adyaksa sekarang dipegang sama