Share

Bab. 2

Author: Sellova96
last update Last Updated: 2021-08-23 10:19:30

Kata-kata legend ketika didalam kelas diantaranya; bosen nih, jam berapa?, gue ngantuk, gue laper, mudah-mudahan guru gak masuk, emang ada ulangan sekarang?, mampus gue belum ngerjain PR, nyontek dong, punya pulpen dua gak?, lo ngerti gak?, gak paham gue, ke toilet yuk. Poin keenam yang saat ini ditanyakan oleh Nadiv ketika lelaki itu baru saja masuk ke kelas. Matanya menatap heran kepada teman-temannya yang sibuk membolak-balik buku. Mereka tampak seperti sedang belajar.

Kemudian ia melihat Rangga dan Didan sedang duduk di bangkunya. Bangku yang sangat strategis. Letaknya di pojok belakang barisan kursi guru. Sangat menguntungkan bagi siswa-siswa yang suka mencontek. Itulah mengapa Nadiv, Didan, dan Rangga memilih bangku itu. Mereka duduk dikursi tiga baris berturut dari belakang.

Nadiv menghampiri Didan dan Rangga. Kemudian ia duduk di bangkunya yang paling belakang.

"Emang ada ulangan sekarang?" tanya Nadiv.

"Makanya jangan kebanyakan ngebucin. Ada ulangan aja lo gak tau. Padahal bu Meta udah ngasih tau kemarin," ucap Didan sedikit sinis.

"Gue cuma butuh jawaban 'iya' atau 'ngga' bukannya ceramah elah," dengus Nadiv.

Didan dan Rangga hanya diam tak menanggapi. Mereka sibuk membaca buku yang ada ditangannya. Bukan membaca, hanya sekedar melihat sekilas. Karena kecil kemungkinan kalau mereka benar-benar belajar.

Tak lama berselang, bel sekolah pun berbunyi. Hal itu membuat seluruh penghuni XI IPS 1 kelabakan. Tidak sampai lima menit, bu Meta sudah masuk ke kelas itu. Tampak ia membawa tumpukan kertas HVS yang di yakini kalau itu kertas ulangan.

"Kumpulkan buku catatan kalian. Ibu mau periksa," pinta bu Meta.

Sontak Nadiv membuka matanya lebar. Ia kaget dengan ucapan bu Meta. Pasalnya baru kali ini guru itu meminta muridnya mengumpulkan buku catatan. Biasanya ketika ulangan, bu Meta akan langsung membagikan kertas. Tidak ada acara mengumpulkan catatan. Tapi kali ini? Nadiv tidak masalah jika ia memiliki catatan. Paling tidaknya dibuku sejarah itu ada tulisan sedikit.

Tapi buku sejarah Nadiv dari pertama masuk kelas sebelas sampai sekarang itu masih bersih. Masih putih tidak ada tulisan apapun selayaknya buku baru. Apalagi lelaki itu tidak pernah membawa pulang bukunya. Iya, Nadiv selalu menyimpan bukunya itu di laci mejanya. Dengan alasan lebih mudah mencarinya ketimbang dirumah.

"Mati gue. Gue gak ada catatan anjing," ucapnya pada Didan, lelaki itu duduk tepat didepan bangku Nadiv.

Didan menoleh, tampak raut wajah Nadiv yang kusut. Tidak masalah jika guru yang ia hadapi ini bu Tini atau pak Bowo. Dua guru itu selalu kalah dengan Nadiv. Tapi ini bu Meta, seluruh Grand Nusa pun tahu reputasi galak yang disandang guru itu.

"Ya mana gue tau lah. Lagian lo kalo disuruh nyatet malah molor," ucap Didan.

Memang benar, Nadiv selalu tidur atau keluar kelas ketika diberi catatan oleh guru. Katanya, ia malas mencatat karena membuat tangan pegal. Kalau tidak mau mencatat kenapa sekolah? Aneh Nadiv.

"Terus gue gimana? Mati gue kalo ketauan gak punya catatan, eh tapi lo berdua juga belum kan? Aman lah, gue ada temen," ucap Nadiv lagi sedikit tenang. Ia yakin kedua temannya juga belum mencatat. Ia ingat kalau kemarin mereka bertiga membolos pelajaran disaat bu Meta tidak masuk.

"Kalo lo nyatet sekarang, gak bakal keburu. Ini banyak soalnya. Sorry, Gue sama Rangga aja sampe jam 2 pagi nyatet ini, karena feeling gue, bu Meta bakal minta catatan. Ternyata bener kan?" ucap Didan lagi.

Ia ingat betul kemarin malam ia dan Rangga sibuk mencatat pelajaran sejarah. Mereka meminjam buku Sindi, siswi unggulan dikelas ini.

"Lo kenapa gak ajak gue bangsat!" desis Nadiv kesal karena dua sahabatnya ini tidak mengajaknya.

"Ya lo sibuk ngebucin, njing!" balas Didan tak kalah kesal.

"Tunggu apalagi? Ayo kumpulkan catatan kalian. Awas aja ya kalau kalian tidak mencatat pelajaran saya," ucap bu Meta menyipitkan matanya.

Semua siswa bergegas ke depan untuk mengumpulkan catatan. Termasuk Rangga dan Didan. Sedangkan Nadiv, lelaki itu masih diam di bangkunya. Bingung harus melakukan apa.

Bu Meta menghitung jumlah buku yang ada di mejanya. Matanya menyipit.

"Ada yang gak masuk?" tanya bu Meta.

"Masuk semua bu," jawab Ina, sekretaris IPS 1.

"Kenapa kurang satu bukunya? Siapa yang belum mengumpulkan?" tanya bu Meta lengkap dengan tatapan tajamnya.

"Saya bu!" ucap Nadiv lalu mengambil bukunya di laci.

Ia sudah pasrah kalau memang harus dihukum. Toh, mau bagaimana lagi? Lagian ia juga sudah biasa di hukum. Jadi ini bukan lagi hal yang sulit untuknya.

Nadiv melangkahkan ke depan lalu menaruh bukunya ditumpukan paling atas. Kemudian ia kembali lagi ke bangkunya. Didan dan Rangga sempat menatap Nadiv, namun lelaki itu hanya menaikkan kedua alisnya.

Bu Meta pun langsung membagikan kertas ujiannya.

"Jangan ada yang mencontek. Kerjakan sendiri-sendiri," ucap bu Meta.

Perintah yang sangat sering didengar oleh seorang pelajar. Percuma guru mengatakan hal tersebut karena pada akhirnya siswa akan tetap mencontek. Toh, yang guru mau itu nilai tinggi bukan?

Bu Meta kembali duduk dan mulai memeriksa buku catatan milik muridnya. Nadiv dapat melihat bukunya yang mulai di ambil oleh bu Meta. Bu Meta membuka lembaran buku bersampul biru itu. Nadiv menunduk, ia sedang bersiap diri untuk mendengar ceramahan panjang dan berakhir dengan hukuman.

"Nadiv!" panggil bu Meta.

Oke, siap-siap

Nadiv menegakkan kepalanya. Menatap bu Meta.

"Iya bu?" sahutnya.

"Catatan kamu lengkap, tulisannya juga rapi. Nilai A buat kamu, pertahankan Div. Sepertinya kamu sudah mulai berubah," ucap bu Meta sambil tersenyum.

Hah? Lengkap? Gue gak salah denger?

Berbeda dengan penghuni kelas lainnya. Mereka kompak menatap Nadiv tak percaya. Didan dan Rangga bahkan langsung memutar kepalanya ke belakang. Mereka tidak salah dengar? Nadiv memiliki catatan lengkap? Itu seperti terdengar aneh.

Sedangkan Nadiv, lelaki itu sedang dilanda kebingungan. Keningnya mengernyit. Catatannya lengkap? Seingatnya, ia tak pernah menulis apapun di buku itu. Jangankan menulis, membukanya saja Nadiv tidak pernah. Lalu bagaimana bisa ada catatannya disana? Lengkap pula.

Rangga mengangkat tangannya lalu menepukkan kedua tangannya. Di sambung oleh yang lainnya. Mereka turut bertepuk tangan sambil menatap Nadiv tak percaya.

"Ini namanya rekor bu, Nadiv gak pernah punya catatan selengkap itu," ucap Trisna, ketua kelas yang sengklek.

Kadang membuat guru yang masuk ke kelas ini heran. Trisna, murid sengklek tidak beda jauh dari Nadiv itu bisa jadi ketua kelas. Kan masih ada Toni, murid teladan di kelas ini yang bisa dijadikan ketua kelas.

"Maka dari itu dipertahankan. Kalau perlu tingkatkan lagi Div," ucap bu Meta.

Nadiv hanya mengangguk sambil tersenyum kikuk. Namun otaknya masih berfikir, siapa orang yang sudah menuliskan catatan untuknya.

Setelah berselang lama, bel istirahat kedua berbunyi. Semua murid bergegas mengumpulkan kertas ujiannya kepada bu Meta.

"Gak paham gue, sumpah," keluh Didan sambil menyenderkan punggungnya di tembok, duduknya menyamping.

"Gue malah silangnya urutan, A B C D gitu sampe selesai," sahut Rangga.

"Eh gila lo," ucap Didan terkejut.

"Kali aja hoki," ucap Rangga.

"Gue malah A semua," ucap Nadiv sambil tersenyum miring.

"Kerad anjing!" umpat Rangga sambil tertawa mendengar ucapan Nadiv.

"Nih buku kalian," ucap Ina sambil memberikan tiga buku kepada Rangga.

Nadiv langsung mengambil bukunya dari tangan Rangga.

"Gue kepo siapa orang yang udah nulisin gue," ucapnya sambil membuka bukunya.

Di tatapnya intens tulisan yang ada dibukunya. Tulisannya kecil, rapi, dan tidak banyak coretan. Mulus. Tapi ini bukan tulisan Adelia, gadis yang tadi diduganya telah menuliskan catatan untuknya. Tulisan Adelia tidak serapi ini. Nadiv tahu itu.

"Ini bukan tulisan Adelia, " ucap Nadiv membuat kedua sahabatnya kompak menatapnya.

"Coba gue liat," ucap Didan merebut buku Nadiv.

Ia menatap lama tulisan itu. Kemudian matanya membulat. Ia tahu siapa pemilik tulisan dengan model seperti itu.

"Gue tau," ucap Didan.

"Siapa?," tanya Nadiv dan Rangga bersamaan.

"Rallin Natasha!"

***

Rallin dan Maudi berjalan menuju ruang studio bandnya. Rallin memang memegang kuasa atas studio itu. Apalagi dia anak band sekolah. Ia adalah vokalisnya. Sedangkan Maudi, gadis itu lebih tertarik untuk ikut marching band. Dan beruntungnya gadis itu yang ditunjuk sebagai mayoretnya.

Rallin masuk, disana sudah ada Bagas, Reza, dan juga Gandi. Mereka adalah anggota band sekolah juga. Rallin memangku gitar yang dibawanya. Memang sudah kebiasaan rutin setiap istirahat kedua, mereka kumpul disini.

Tampak Gandi sedang memainkan gitarnya. Tidak tahu lagu apa, tapi yang jelas nadanya lembut dan enak didengar.

"Jangan genjreng-genjreng doang dong. Suaranya mana nih," ucap Bagas.

"Vokalisnya dong nyumbang suara," ucap Reza.

"Lo semua udah sering denger suara gue," ucap Rallin sambil tersenyum.

"Senyum lo manis Lin, sumpah. Kenapa sih gak ngejar gue aja daripada Nadiv," ucap Gandi.

Bukan rahasia lagi kalau Gandi juga menyukai Rallin, hanya saja Rallin tidak pernah meresponnya. Ia hanya menganggap Gandi sebagai teman. Tidak lebih.

"Gue udah kepincut sama Nadiv, gimana dong?" ucap Rallin sambil terkekeh pelan. Kemudian ia merebahkan tubuhnya di sandaran sofa. Memejamkan mata. Jujur, saat ini ia mengantuk sekali karena harus begadang tadi malam.

"Anda belum beruntung. Silahkan coba lagi," ucap Reza sambil menepuk bahu Gandi.

"Lo kira Ale-Ale," sahut Bagas yang membuat semuanya tertawa.

"Gue mah sama Maudi aja, iya gak Di?" ucap Bagas sambil menaik turunkan kedua alisnya.

"Masa mayoret cantik kayak gue dapetnya pengeran kodok?," seloroh Maudi.

"Pangeran kodok kalo di cium jadi pangeran ganteng Di. Coba deh lo cium gue, kali aja gue jadi ganteng," ucap Bagas lagi.

Sebenarnya Bagas ini tampan. Lengkap dengan kulit hitam manisnya khas orang jawa. Di tambah dengan dua lesung pipi yang membuatnya terlihat mirip dengan artis Ryan Delon.

"Modus lo basi njing!" umpat Reza sambil menonyor kepala Bagas.

Semua tertawa, sampai akhirnya sebuah suara menginterupsi Rallin.

"Rallin?"

Related chapters

  • Can You See Me?   Bab. 3

    "Ralin?"Bukan hanya Rallin, namun semua orang yang ada didalam studio pun menolehkan kepalanya ke arah pintu. Disana, berdiri Didan dengan tampang polos. Cengiran lebar menghiasi bibirnya. Sepertinya ia salah waktu karena sudah mengganggu Rallin dan temannya.Rallin menegakkan tubuhnya dan meletakkan gitarnya di sofa dan berjalan keluar menghampiri Didan."Apaan Dan?" tanya Rallin.Didan tersenyum kikuk. Kepalanya melongok ke dalam pintu. "Gue pinjem Rallin bentar ya?" izinnya pada penghuni studio.Gandi mengangguk seolah memberi izin. "Bawa aja. Asal di balikin," ucapnya.Rallin memberengut kesal mendengar ucapan Gandi. "Lo pikir gue barang!" kesalnya.Setelah itu Didan menarik tangannya pelan. Lelaki itu membawa Rallin menuju taman belakang sekolah. Taman yang sangat jarang di kunjungi. Padahal kalau dilihat, taman ini suasananya sangat tenang. Cocok un

    Last Updated : 2021-08-23
  • Can You See Me?   Bab. 4

    Rallin terhenyak. Hatinya nyeri seperti dihantam ribuan belati yang menyesakkan. Lidahnya kelu tak mampu berucap. Matanya menatap nyalang dua insan berbeda gender yang tengah bercumbu dibangku pojok tempat duduk Nadiv. Air mata perlahan turun membasahi pipi mulu gadis berombre ungu itu. Ia tahu, Rallin bukan siapa-siapa Nadiv, tapi jangan lupa kalau gadis itu begitu mencintai Nadiv. Melihat pemandangan itu benar-benar membuat hatinya hancur.Nadiv dan Adelia sempat menoleh. Namun Nadiv menarik tengkuk gadis yang berada dipangkuannya itu dan kembali melanjutkan aksi ciuman mereka yang terhenti karena kedatangan Rallin."Udah liatkan? Mending sekarang lo pulang. Gue anterin," ucap Didan sambil menarik tangan Rallin. Namun segera ditepis oleh Rallin.Rangga menghela nafas. "Masih mau liat? Mau tambah sakit lagi?" tanya Rangga lembut.Jujur, Didan dan Rangga ingin sekali menghantam kepala Nadiv karena tidak ta

    Last Updated : 2021-08-23
  • Can You See Me?   Bab. 5

    "Nadiv yang buruk buat lo," ucap seseorang yang berdiri diambang pintu. Semua mata tertuju ke sumber suara.Pandangan Rallin menjadi kabur lantaran cairan bening itu kembali menggenang di pelupuk matanya. Gadis itu menangis lagi. Rangga dan Didan hanya bisa menghela nafas menghadapi orang yang sedang patah hati ini.Orang yang tengah bersender di pintu pun berjalan mendekat ke Rallin. Memotong jarak yang membentang. Kemudian berjongkok di hadapan Rallin. Menatapnya sebentar kemudian menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Mengusap pelan kepala gadis itu. Ia bisa merasakan baju seragamnya mulai basah karena air mata gadis itu. Ia tak peduli. Yang penting gadis itu nyaman."Sakit Sen," lirih Rallin semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Sendi."Berapa kali gue bilang? Berhenti Lin. Tapi lo nya batu," ucap Sendi sambil mengusap kepala gadis itu. Punggungnya bergetar semakin hebat. Tangisnya semakin pecah.

    Last Updated : 2021-08-23
  • Can You See Me?   Bab. 6

    Rallin berjalan malas menuruni tangga. Matanya melirik meja makan, hanya ada mamanya. Bisa dipastikan papanya sudah berangkat bekerja.Rallin berjalan pelan menuju salah satu kursi meja makan. Menariknya lalu duduk. Kepalanya setia tertunduk.Ranti menaikkan pandangannya. Menatap sinis ke arah Rallin. Selanjutnya ia menjatuhkan sendoknya sehingga menimbulkan dentingan yang cukup keras. Rallin tersentak kaget mendengarnya. "Nafsu makan saya hilang karena ada kamu," ketus Ranti lalu melenggang pergi menuju kamarnya.Mata Rallin terpejam erat. Kembali merasakan sesak di dadanya.Jangan sedih, lo udah biasa di kayak giniin. Kebal dong hati, ucapnya dalam hati.Rallin mencoba menaikkan kedua sudut bibirnya. Tangannya men

    Last Updated : 2021-08-23
  • Can You See Me?   Bab. 7

    Setelah puas menangis di taman belakang, Rallin memutuskan kembali ke kelas. Jam istirahat akan tiba sepuluh menit lagi.Selama berjalan, Rallin menerawang. Pikirannya kalut. Ia bahkan sempat bertanya pada Tuhan, kenapa hidupnya harus serumit ini? Jika di tanya apakah Rallin lelah? Jawabannya lebih dari lelah. Baginya tidak ada yang lebih menyakitkan dari di benci oleh orang yang dia sayangi. Orang tuanya dan Nadiv. Mereka seolah kompak untuk membuat Rallin semakin rapuh.Rallin sudah cukup sesak menahan semua beban hidupnya. Selama ini tidak ada yang pernah memahaminya kecuali Maudi, Sendi dan seseorang yang saat ini sedang tidak ada di sekolah.Seseorang itu tengah menjalani pertukaran pelajar. Seseorang itu juga sahabat karibnya Nadiv. Bedanya diantara mereka berempat, hanya seseorang itu yang paling pintar. Maka dari itu dia di ajukan untuk pertukaran pelajar dengan SMA Dwingga. Kabarnya dua hari lagi, seseorang itu te

    Last Updated : 2021-08-23
  • Can You See Me?   Bab. 8

    Selalu ada yang peduli meskipun ada banyak yang membenci. Percayalah, Tuhan memilihmu untuk merasakan sakit karena Dia yakin kau mampu bangkit***Rallin memegang kepalanya yang sakit karena terbentur dada bidang di depannya. Dalam hati ia berfikir siapa yang sudah di tabraknya ini. Apa dia Nadiv? Ya, itulah harapan Rallin. Sama seperti film percintaan yang setiap hari di tontonnya. Tiba-tiba Rallin merasakan jantungnya kembali berdegub kencang. Rallin tak berani menengadahkan kepalanya. Ia belum siap menatap mata Nadiv lagi. Tapi kenapa Nadiv tak bersuara sejak tadi? Biasanya lelaki itu akan mengumpatnya."Hai, sayang."Akhirnya ia bersuara juga. Tapi tunggu, ini bukan suara Nadiv. Dia yakin karena dia sudah sangat hafal bagaimana suara lelaki yang di cintainya itu. Lagi pula mana mung

    Last Updated : 2021-08-23
  • Can You See Me?   Bab. 9

    Hidup ini tidak adil, jadi biasakanlah dirimu- Patrick Star-***"Berhenti!" teriak seseorang dari pintu.Ranti menghentikan aksinya. Ia menatap tajam orang yang sudah mengganggu kesenangannya. Rallin diam, ia tak cukup berdaya walau sekedar menoleh. Dengan kasar, Ranti mendorong tubuh Rallin sampai gadis itu terjerembab ke lantai. Kembali menciptakan luka fisik untuk gadis yang kini sudah menunduk terisak. Tanpa berniat melihat siapa yang sudah berani meneriaki Ranti."Mau apa kamu?" tanya Ranti sengit. Matanya menatap tajam orang yang sudah mengganggu aktivitasnya.Orang itu berjalan cepat menghampiri Ranti. Matanya menyiratkan amarah yang tertahan. Nafasnya memburu. Bahkan urat-urat lehernya

    Last Updated : 2021-09-04
  • Can You See Me?   Bab. 10

    Aku suka caramu mengabaikan rasa sakit *** Rallin berjalan malas. Sudah dua hari ia berada di apartemen Maudi hanya untuk memulihkan lukanya. Kemarin Henggar sempat memaksanya untuk ke rumah sakit namun Rallin menolaknya. Rallin bersyukur masih ada yang mempedulikannya. Setidaknya mereka adalah alasan terkuat Rallin untuk bertahan dalam situasi ini. Ia mendudukkan dirinya di balkon kamar Maudi. Matanya menatap miris luka-luka di sekujur tubuhnya. Luka yang di dapat dari orang yang sangat di sayanginya. Entah sampai kapan penderitaan ini akan berakhir, yang jelas Rallin aku berusaha sekuat tenaga. Sampai menutup mata, jika diizinkan. Bibirnya tersenyum pilu. Mengingat hidupnya yang penuh dengan kekerasan. Kekerasan yang menyakiti batin maupun fisiknya. Set

    Last Updated : 2021-09-04

Latest chapter

  • Can You See Me?   Epilog

    Seorang lelaki berusia 20 tahun menatap wanita paruh baya dari kaca tembus pandang. Tatapannya terlihat datar.“Setiap malam dia menangis. Setiap aku mengantarkan makanan, dia selalu mengira aku putrinya,” ujar seorang gadis berpakaian perawat membuat lelaki itu mengalihkan pandangannya.“Apa kau kenal dengan putrinya? Apa kau bisa membawakan putrinya kemari?” tanya perawat.Lelaki itu tersenyum getir. “Putrinya sudah meninggal. Membuat dia hidup penuh dengan penyesalan,” jawab lelaki itu.Perawat hanya diam saja. Merasa tidak enak karena telah menanyakan hal itu. Lalu perawat itupun pamit permisi, meninggalkan lelaki itu sendiri.Lelaki itu berjalan pergi meninggalkan ruangan. Tangannya merogoh saku celananya kemudian mengeluarkan sebuah kertas yang sudah usang. Ia membuka kertas itu dan kembali membaca isinya yang hampir tiap malam ia baca tanpa bosan.“Teruntuk kamu, aku selalu mencintai kamu samp

  • Can You See Me?   Bab. 90

    “Nyokap gue bukan pelakor,”tekan lelaki di depan Henggar dengan matanya yang menyorot tajam.“Sudah, biar saya jelaskan,” lerai wanita itu dengan lembut.Kemudian tatapannya beralih ke Henggar. Wanita itu menatap sendu ke arah Henggar. “Saya tidak pernah merebut Papa kamu dari Mama kamu. Tapi Mama kamu yang telah merebut mas Herman dari saya,” terang wanita itu.Henggar menggeleng tak percaya. “Saya tidak percaya!”“Kamu bisa tahu saya, pasti kamu punya kalung berliontin hati, kan? Di dalamnya ada foto saya dan mas Herman,” ujar wanita itu.Henggar langsung bungkam. Benar yang dikatakan wanita itu, ia bisa tahu wanita itu karena dari liontin. Wanita itu tampak mengulas senyum tipis kemudian ia menepuk bahu Henggar.“Saya adalah istri pertama mas Herman tapi Mama kamu tidak pernah tahu tentang ini. Kenapa? Karena hubungan saya dan mas Herman tidak mendapat restu dari kedu

  • Can You See Me?   Bab. 89

    Seorang wanita dengan pakaian yang tampak glamour serta elegan itu tengah berada di sebuah studio foto. Sepertinya tengah melakukan photoshoot. Wanita itu terlihat sedang berjalan menuju ruang make up.“Ibu masih saja awet muda. Padahal sudah punya anak tiga,” puji seorang gadis yang berada di belakangnya. Sepertinya tengah membenarkan rambut yang berantakan.Wanita itu tersenyum tipis. Matanya menatap ke arah cermin yang ada di depannya. “Anakku hanya dua,” ujarnya tegas seolah tanpa beban.Gadis di belakangnya itu mengernyit. “Oh, iya? Bukankah ada tiga? Yang satu lagi perempuan?” tanya gadis itu lagi.“Hanya dua dan semuanya laki-laki. Satu anak lelakiku sudah meninggal,” tegas wanita itu lagi.Gadis hanya tersenyum simpul. Tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Kemudian ia kembali membenahi tatanan rambut milik wanita di depannya itu.“Pemirsa, sebuah fakta mengejutkan terungkap dari sal

  • Can You See Me?   Bab. 88

    Tidak ada yang baik-baik saja jika berada di posisi Henggar. Lelaki itu tampak putus asa. Ia bahkan berulang kali menyalahkan dirinya karena tidak bisa menjaga Rallin dengan baik. Adiknya yang begitu ia sayangi, kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan keadaan belum sadarkan diri. Ia tidak tahu apa yang membuat adiknya drop seperti itu.“Kemarin dia masih baik-baik aja, Di.” Henggar berkata lirih. Tatapan lelaki itu tampak kosong. Seperti tidak ada gairah hidup di dalam tatapannya.Maudi yang setia menemani Henggar pun ikut merasakan kehampaan lelaki itu. Ia juga merasa sangat terpukul. Terlebih lagi Rallin adalah sahabat satu-satunya yang mampu mengerti dirinya bahkan lebih dari siapapun termasuk orang tuanya. Melihat Rallin lemah tak berdaya membuat relung hatinya berdenyut sakit.“Doain aja yang terbaik buat dia, Gar. Gue bahkan ngerasa orang paling bodoh karena sahabat gue sakit aja gue nggak tau,” ujar Maudi miris.K

  • Can You See Me?   Bab. 87

    Dalam hidupnya, Henggar tidak pernah berfikir akan mengalami hal seburuk ini. Kehilangan saudara kembar dengan cara yang tragis menyisakan trauma yang dalam untuknya. Terjadinya perpecahan di dalam keluarganya, membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih dingin dan tertutup.Menjadi pribadi yang dingin, membuat Henggar tidak pernah merasa takut dengan apapun. Ia merasa, hatinya sudah mati. Namun untuk kedua kalinya, rasa takut yang begitu hebat kembali menyerang ulu hatinya.Derap langkah kaki yang begitu cepat seperti tengah berlari, membuat para pengunjung rumah sakit menatapnya dengan heran. Pandangan lelaki itu tampak mengabur karena buliran kristal mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak peduli dengan tatapan yang tertuju padanya. Pikirannya sekarang hanya terfokus pada adiknya, Rallin.Detak jantung Henggar mendadak terhenti saat tadi mendapati pesan dari Maudi yang mengabarkan kalau Rallin tiba-tiba mimisan lalu pingsan. Maudi juga memberitahu ruma

  • Can You See Me?   Bab. 86

    “Gila lo? Demi apa, anjir?!”Rallin menutup telinganya dengan kedua tangan. Meredam suara Maudi yang begitu melengking memekakkan telinga. Raut wajah Maudi tampak begitu terkejut setelah Rallin menceritakan kejadian di rumah sakit tadi. Tepat saat Arden menyatakan perasaannya pada Rallin.Jangankan Maudi, Rallin saja sangat terkejut bahkan gadis itu tidak bisa berkata apa-apa tadi. Setelah pulang dari rumah sakit, Rallin meminta Sendi untuk mengantarkannya ke rumah Maudi. Pasalnya gadis itu tidak sedang ada di apartemen. Toh, Rallin juga enggan pergi ke apartemen Maudi yang berdekatan dengan apartemen milik Nadiv.Entahlah, Rallin rasanya sudah mati rasa dengan lelaki yang sampai saat ini masih merajai hatinya. Perlakuan serta sikap lelaki itu seolah meminta Rallin untuk pergi dari sisinya. Rallin tersenyum getir, lalu untuk apa kemarin Nadiv melontarkan janji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi kalau pada akhirnya akan terus terulang seperti in

  • Can You See Me?   Bab. 85

    “Mungkin mengikhlaskan adalah cara terbaik untuk menyelamatkan diri, sebelum semuanya semakin dalam dan semakin sakit lagi.”Rallin menarik nafas panjang kala mendengar penuturan Arden yang menyentuh hatinya itu. Lelaki itu selalu tahu apa yang dipikirkan Rallin. Kini keduanya tengah duduk di sebuah bangku taman yang ada di halaman belakang rumah sakit. Tempat yang jarang dikunjungi, sehingga mampu menenangkan hati yang tengah gundah.Gadis itu menatap jauh ke depan. Pandangannya tampak kosong. Ada rasa hampa dalam dirinya ketika tidak bersama Nadiv. Nyatanya ia tak bisa membohongi perasaannya sendiri. Terlalu dalam mencintai rupanya salah satu cara mendekatkan diri dengan kecewa yang dalam juga. Ingin marah, tapi percuma. Sama saja seperti dirinya membuang-buang tenaga.Kemudian gadis itu mengalihkan pandangannya ke samping. Menatap Arden yang tampak ikut diam. “Kenapa saya nggak pernah beruntung dalam hal percintaan, Dok?” tanyanya send

  • Can You See Me?   Bab. 84

    Mulai saat ini, bersikaplah seharusnya. Tanpa harus membiarkan diri terluka hanya demi menjaga perasaan orang lain. Karena pada dasarnya, setiap hati juga ingin dihargai. Bukan terus memaklumi mereka yang tak pernah mencoba mengerti. Semua hal itu butuh waktu, dan hal baik datang di waktu yang tepat.Rallin menghela nafasnya panjang. Rasa sesak masih terus menggerogoti relung hatinya. Baru saja berjanji, namun langsung ingkar. Tidak pernah habis fikir dengan sikap Nadiv saat ini. Kalau memang ia masih mencintai Adelia, kenapa ia enggan kembali? Malah meminta Rallin untuk terus bersamanya.Sekarang, Rallin hanya ingin tenang. Ia tidak ingin terbebani dengan hal apapun termasuk asmara. Ia sadar, selama ini ia terlalu dalam melukai hatinya sendiri. Gadis itu mengusap air matanya yang tiba-tiba saja menetes.Bohong kalau ia tidak sakit hati. Cewek mana yang rela liat cowoknya mentingin cewek lain terlebih itu adalah mantannya sendiri. Namun sekarang, ia sudah meyaki

  • Can You See Me?   Bab. 82

    Ucapan Rallin membuat kepala Nadiv berputar 180 derajat menghadap Rallin. Tak mengerti dengan ucapan gadis itu. Wajahnya tampak bingung.Melihat itu, Rallin mengulas senyum getir. “Setidaknya, kalo lo emang nggak cinta, jangan bertingkah seolah-olah lo bakal cinta sama gue. Dibohongi kayak gini lebih menyakitkan daripada ditinggalkan.”Kening Nadiv berkerut. Ia tak suka dengan apa yang dibicarakan oleh Rallin. Apa maksud gadis itu menyuruhnya pergi? Apa Rallin sudah tidak mencintai dirinya lagi?“Maksud lo apa?”Rallin mengalihkan pandangannya ke depan. Menatap bunga-bunga yang tampaknya lebih menarik. “Pada akhirnya, yang pernah mencintai tanpa tapi, pernah bertahan tanpa paksaan, dan pernah sabar menanti sadar pun, akan melepaskan tanpa pesan,” ujarnya tanpa menatap Nadiv.“Lo mau ngelepasin gue? Kenapa?” tanya Nadiv. Ia tak terima dengan Rallin yang seperti ini. Ini hanya perkara ia menjaga Adelia

DMCA.com Protection Status