Rallin berjalan malas menuruni tangga. Matanya melirik meja makan, hanya ada mamanya. Bisa dipastikan papanya sudah berangkat bekerja.
Rallin berjalan pelan menuju salah satu kursi meja makan. Menariknya lalu duduk. Kepalanya setia tertunduk.
Ranti menaikkan pandangannya. Menatap sinis ke arah Rallin. Selanjutnya ia menjatuhkan sendoknya sehingga menimbulkan dentingan yang cukup keras. Rallin tersentak kaget mendengarnya.
Mata Rallin terpejam erat. Kembali merasakan sesak di dadanya.
Jangan sedih, lo udah biasa di kayak giniin. Kebal dong hati, ucapnya dalam hati.
Rallin mencoba menaikkan kedua sudut bibirnya. Tangannya mengusap sudut matanya yang berair.
"Jangan nangis. Masa mau ketemu Nadiv nanti mukanya kumel," ucapnya menghibur diri sendiri dengan membawa nama Nadiv.
Rallin hanya meminum susunya lalu beranjak keluar. Mengeluarkan mobil dari garasi lalu memacunya membelah kepadatan ibu kota.
Sesampainya di sekolah, Rallin sempat berkaca sebentar di dalam mobil. Memastikan penampilannya secantik mungkin. Kali ini ia menggunakan make up agak tebal untuk menutupi matanya yang sembab karena kemarin. Kemudian ia tersenyum. Kembali menjadi Rallin yang ceria.
Rallin turun dari mobilnya, tak lupa membawa gitar yang selalu dia letakkan di jok belakang mobil.
Rallin berjalan santai di koridor. Sesekali matanya mengedar mencari pujaan hati. Terkadang ia juga tersenyum menanggapi orang yang menyapanya. Rallin ini orang yang ramah, maka dari itu banyak yang menyukainya.
Rallin memasuki kelasnya. Tampak Maudi yang duduk dikursinya. Gadis itu tampak asik dengan ponsel yang pegangnya. Rallin mengintip sedikit. Rupanya gadis itu tengah live i*******m.
Rallin duduk lalu menyandarkan gitarnya didinding. Tangannya menopang dagu.
"Nadiv kok belum berangkat ya," gumamnya pelan.
Maudi diam saja. Ia tidak merespon gumaman Rallin. Bukannya apa, ia hanya malas membahas lelaki itu.
Rallin mendengus pelan. Ia tahu, Nadiv pasti akan berangkat tepat jam delapan. Entah kenapa lelaki itu hobi sekali berangkat terlambat. Padahal apa enaknya terlambat? Yang ada malah di hukum.
"Lin?" panggil Maudi.
Rallin mengalihkan pandangannya menghadap Maudi. Maudi mengernyit mengamati wajah Rallin. Sejenak ia meletakkan ponselnya di meja. Mendekatkan wajahnya ke wajah Rallin. Reflek Rallin memundurkan wajahnya.
"Mau ngapain lo? Jangan bilang mau- "
"Kenapa nangis lagi?" tanya Maudi sambil menjauhkan wajahnya.
Rallin menegang mendengar pertanyaan Maudi. Kenapa gadis itu bisa tahu kalau ia habis menangis? Padahal itu sudah ia tutupi dengan make up.
"Jangan karena lo pake make up tebel lo bisa bohong dari gue," ucap Maudi menyipitkan matanya.
Rallin berdehem pelan. Ia tahu, Maudi memang sulit di bohongi. Apalagi mereka sudah berteman sejak SMP.
"Ya biasalah Di, masalah rumah. Ah yaudah sih gak usah dipikirin," ucap Rallin tertawa pelan sambil mengibaskan tangannya seolah itu bukan hal yang penting.
Maudi menghela nafas pelan. Menatap sendu sahabatnya.
"Tinggal sama gue ya?" ucap Maudi memohon. Tangannya menggenggam erat tangan Rallin.
"Hah? Apaan? Gak usah. Lo mah lebay deh," ucap Rallin sambil terkekeh.
"Biar lo gak kesiksa kayak gini terus."
Rallin terdiam. Jujur, ia juga tidak mau seperti ini. Siapa sih yang mau hidup menderita? Hanya orang bodoh yang mau seperti itu. Rallin juga ingin hidup bahagia layaknya kebanyakan orang. Rallin juga ingin di sayang orang tuanya, di manja papanya, di perhatikan mamanya. Rallin juga ingin. Tapi Rallin cukup tahu diri, siapa dirinya sekarang? Hanya anak yang tak di anggap keberadaannya.
Rallin tersenyum miris. Kemudian menggeleng.
"Gue baik-baik aja," ucap Rallin sambil tersenyum.
"Lo gak baik-baik aja," sangkal Maudi.
"Dasar lo sok tahu, udah ah gue mau keluar. Mau nyari kesayangan," ucap Rallin kemudian bangkit dari kursinya.
Meninggalkan Maudi untuk saat ini lebih baik. Ia tak ingin sahabatnya itu mendesaknya untuk menceritakan hal yang terjadi kemarin. Maudi tahu apa permasalahannya. Berulang kali gadis itu menawarkannya untuk tinggal bersama namun ia menolak. Ia tak ingin merepotkan sahabatnya itu.
Langkah Rallin terhenti saat melihat Nadiv berdiri di depan ruang BK. Terlihat ia sedang di omeli oleh Bu Neni.
Rallin menilik jam di tangannya. Jam tujuh lewat empat puluh lima menit. Itu artinya Nadiv terlambat lima belas menit. Beruntung kelasnya sedang jam kosong. Jadi ia bisa modus memandang Nadiv sepuasnya.
Rallin berpura-pura melewati Bu Neni dan Nadiv. Saat ia tepat di samping Nadiv, Bu Neni memanggilnya.
"Rallin!"
Rallin tersenyum senang saat Bu Neni memanggilnya. Rencananya berhasil. Nadiv yang melihat itu mendengus kesal. Sebelum berbalik, ia sempat mengedipkan matanya ke arah Nadiv yang hanya di balas lirikan tajam dari lelaki itu.
Rallin membalikkan badannya. Menyapa Bu Neni.
"iya bu?"
"Tolong kamu kasih hukuman buat Nadiv. Terserah yang penting bisa buat dia kapok," ucap Bu Neni yang kelihatannya sudah lelah mengurus Nadiv.
Dengan semangat empat lima, Rallin dengan senang hati mengiyakan perintah Bu Neni. Bu Neni pergi meninggalkan Rallin dan Nadiv.
"Udah cepetan," ucap Nadiv tak sabar.
Ia malas jika harus berlama-lama dengan gadis yang terus mengejar-ngejarnya itu.
"Iya sayang iya. Sabar dong," ucap Rallin terkikik geli.
"Gak usah panggil sayang. Jijik gue dengernya," dengus Nadiv.
"Gak usah panggil apa?" tanya Rallin.
"Sayang."
"Iya gue juga sayang kok sama lo," ucap Rallin tertawa gemas.
"Anjing!" umpat Nadiv kesal karena merasa dikerjai oleh Rallin.
"Gue punya hukuman yang pas buat lo," ucap Rallin tersenyum penuh arti.
***
Kini ku rasakan hari yang berarti
Saat dirimu datang mengisi hati
Semoga hari ini kan terus merwarnai
Karena dirimu lah angan dalam mimpi
Nadiv menganga. Bagaimana tidak? Ia kira Rallin akan memberikan hukuman seperti pada umumnya. Tapi ini diluar nalarnya.
Hukumannya adalah mendengarkan Rallin bernyanyi. Gila? Nadiv berfikir ini adalah gila.
Tapi kenapa fikirannya berbeda dengan hatinya? Ia berfikir sejak tadi seharusnya ia pergi saja. Daripada terjebak dengan gadis gila itu. Tapi hatinya seolah memaksanya untuk tetap tinggal. Mendengar setiap bait lagu yang keluar dari mulut Rallin. Sejenak ia lupa kalau ia memiliki Adelia. Sejenak ia ikut hayut dalam bait lagu yang dinyanyikan Rallin. Sejenak ia akui, kalau Rallin sedikit membuat dirinya terpesona.Ku mohon tetaplah kan terus begini
Jangan sekalipun patahkan hati ini
Karena diriku kini sendiri
Mengukir indahmu di mimpiku
Rallin tersenyum menatap Nadiv. Ia seolah mengunci mata Nadiv untuk terus menatapnya. Ia tak menyangka kalau Nadiv mau mendengarkan dirinya bernyanyi. Biasanya lelaki itu akan pergi begitu saja jika tahu Rallin mulai memainkan gitarnya. Apa ini karena hukuman? Entahlah Rallin tidak tahu.
Nadiv terpaku. Apa ini? Kenapa seperti ini? Ia merasa ada sesuatu yang menjalar di hatinya saat menatap mata Rallin. Ia merasakan sesuatu yang berbeda. Ia tidak tahu tapi Nadiv merasa...nyaman? Buru-buru Nadiv menghilangkan pikiran aneh itu. Mana mungkin ia nyaman dengan gadis gila itu. Pikirannya telah kembali. Dihatinya hanya Adelia. Ia hanya boleh terpesona oleh Adelia. Tidak dengan gadis lain. Badboy tapi setia. Duh Nadiv.
Terlihat terbalik memang. Jika kebanyakan laki-laki yang akan menyanyikan lagu romantis kepada wanita. Maka berbeda dengan Rallin. Di sini malah dia yang menyanyikan lagu romantis untuk pujaan hatinya. Memangnya apa yang ia harapkan? Meminta Nadiv menyanyikan lagu romantis untuknya? itu hanya ada di mimpi Rallin.
Kau adalah anugrah yang terindah
Kau ciptaan dari yang kuasa
Izinkan ku bersama hingga mu
Hingga waktu itu menjemput ku
Rallin menghentikan permainan gitarnya. Menatap Nadiv intens. Sementara Nadiv hanya diam tanpa ekspresi.
"Gue suka sama lo."
Itu bukan sekali atau dua kali, melainkan berkali-kali Rallin mengungkapkan perasaannya di depan Nadiv.
"Gue gak suka sama lo," balas Nadiv kembali mematahkan hati Rallin.
"Belajar suka sama gue sedikit aja Div," lirih Rallin.
"Lo tau kenapa nilai raport gue banyak merahnya?" tanya Nadiv.
Rallin mengernyit mendengar pertanyaan Nadiv yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang ia ucapkan. Rallin menggeleng.
"Itu karena gue gak suka belajar," ucap Nadiv.
Rallin cukup pintar untuk menangkap maksud dari Nadiv. Ia menundukkan kepalanya. Jarinya saling meremas. Lagi-lagi penolakan yang ia dapat.
Nadiv bangkit dari duduknya. Namun sebelum berjalan, dia berucap,
"Berhenti perjuangin gue. Perjuangin gue itu sama aja kayak lo ngitung bintang dilangit. Gak akan ada hasilnya. Gue udah punya Adelia. Gue harap lo bisa tau diri buat jauh-jauh dari hidup gue. Janga ganggu hubungan gue."
Setelah itu Nadiv benar-benar pergi meninggalkan Rallin yang mati-matian agar tidak menangis. Ia cukup lelah jika harus menangis terus.
Tahan, jangan nangis.
Lo gak cengeng Lin.
Please tahan.
Satu tetes air matanya lolos jatuh melewati pipinya. Perlahan semakin deras.
Yah pecah. Bego lo.
Tiba-tiba ia teringat akan kata-kata yang pernah diucapkan seseroang untuknya.
Orang bodoh adalah dia yang rela menangisi seseorang, sedangkan orang yang ia tangisi tidak memikirkan sedikit pun tentang orang yang menangisinya
Dan saat ini, Rallin kembali menjadi orang bodoh.
Setelah puas menangis di taman belakang, Rallin memutuskan kembali ke kelas. Jam istirahat akan tiba sepuluh menit lagi.Selama berjalan, Rallin menerawang. Pikirannya kalut. Ia bahkan sempat bertanya pada Tuhan, kenapa hidupnya harus serumit ini? Jika di tanya apakah Rallin lelah? Jawabannya lebih dari lelah. Baginya tidak ada yang lebih menyakitkan dari di benci oleh orang yang dia sayangi. Orang tuanya dan Nadiv. Mereka seolah kompak untuk membuat Rallin semakin rapuh.Rallin sudah cukup sesak menahan semua beban hidupnya. Selama ini tidak ada yang pernah memahaminya kecuali Maudi, Sendi dan seseorang yang saat ini sedang tidak ada di sekolah.Seseorang itu tengah menjalani pertukaran pelajar. Seseorang itu juga sahabat karibnya Nadiv. Bedanya diantara mereka berempat, hanya seseorang itu yang paling pintar. Maka dari itu dia di ajukan untuk pertukaran pelajar dengan SMA Dwingga. Kabarnya dua hari lagi, seseorang itu te
Selalu ada yang peduli meskipun ada banyak yang membenci. Percayalah, Tuhan memilihmu untuk merasakan sakit karena Dia yakin kau mampu bangkit***Rallin memegang kepalanya yang sakit karena terbentur dada bidang di depannya. Dalam hati ia berfikir siapa yang sudah di tabraknya ini. Apa dia Nadiv? Ya, itulah harapan Rallin. Sama seperti film percintaan yang setiap hari di tontonnya. Tiba-tiba Rallin merasakan jantungnya kembali berdegub kencang. Rallin tak berani menengadahkan kepalanya. Ia belum siap menatap mata Nadiv lagi. Tapi kenapa Nadiv tak bersuara sejak tadi? Biasanya lelaki itu akan mengumpatnya."Hai, sayang."Akhirnya ia bersuara juga. Tapi tunggu, ini bukan suara Nadiv. Dia yakin karena dia sudah sangat hafal bagaimana suara lelaki yang di cintainya itu. Lagi pula mana mung
Hidup ini tidak adil, jadi biasakanlah dirimu- Patrick Star-***"Berhenti!" teriak seseorang dari pintu.Ranti menghentikan aksinya. Ia menatap tajam orang yang sudah mengganggu kesenangannya. Rallin diam, ia tak cukup berdaya walau sekedar menoleh. Dengan kasar, Ranti mendorong tubuh Rallin sampai gadis itu terjerembab ke lantai. Kembali menciptakan luka fisik untuk gadis yang kini sudah menunduk terisak. Tanpa berniat melihat siapa yang sudah berani meneriaki Ranti."Mau apa kamu?" tanya Ranti sengit. Matanya menatap tajam orang yang sudah mengganggu aktivitasnya.Orang itu berjalan cepat menghampiri Ranti. Matanya menyiratkan amarah yang tertahan. Nafasnya memburu. Bahkan urat-urat lehernya
Aku suka caramu mengabaikan rasa sakit *** Rallin berjalan malas. Sudah dua hari ia berada di apartemen Maudi hanya untuk memulihkan lukanya. Kemarin Henggar sempat memaksanya untuk ke rumah sakit namun Rallin menolaknya. Rallin bersyukur masih ada yang mempedulikannya. Setidaknya mereka adalah alasan terkuat Rallin untuk bertahan dalam situasi ini. Ia mendudukkan dirinya di balkon kamar Maudi. Matanya menatap miris luka-luka di sekujur tubuhnya. Luka yang di dapat dari orang yang sangat di sayanginya. Entah sampai kapan penderitaan ini akan berakhir, yang jelas Rallin aku berusaha sekuat tenaga. Sampai menutup mata, jika diizinkan. Bibirnya tersenyum pilu. Mengingat hidupnya yang penuh dengan kekerasan. Kekerasan yang menyakiti batin maupun fisiknya. Set
Ironi cinta : wanita mencintai laki-laki yang menyakitinya, dan laki-laki menyakiti wanita yang mencintainya* * *Rallin terdiam duduk di balkon apartemen Maudi. Pemandangan di malam hari seperti ini tampak terlihat indah. Apalagi jika dilihat dari atas gedung apartemen ini. Hamparan kota di bawah sana nampak cantik dengan di hiasi lampu-lampu yang terang. Rallin Menikmati angin malam yang berhembus lembut menyapu seluruh wajahnya. Rallin menutup wajahnya dengan tangan sebentar lalu mengusapnya perlahan. Rambutnya yang terurai sedikit berantaka karena terkena sapuan angin. Tangan gadis itu terulur memegang besi pembatas. Matanya terpejam mencoba meresapi udara malam yang terasa menenangkan. Rallin menghembuskan nafasnya secara perlahan. Mencoba bersikap rileks.Hari ini ia sendiri. Maudi terpaksa harus pulang ke rumahny
Kadang kita hanya butuh diam, pura-pura tersenyum dan pura-pura terlihat biasa saja daripada harus menjelaskan apa yang terjadi karena tidak semua orang paham dengan apa yang kita rasakan***Matanya bergerak perlahan. Kemudian terbuka, lalu kembali tertutup. Silau dengan cahaya mentari yang menerobos masuk melalui jendela kaca. Lalu terbuka lagi. Sejenak ia terdiam. Matanya menerawang jauh ke langit-langit kamar. Lalu melihat sekeliling. Tiba-tiba rasa kaget menyeruak begitu saja. Ia memastikan penglihatannya sekali lagi. Namun tidak ada yang berubah. Ini adalah ruangan kamar Maudi. "Kok gue di kamar?" tanyanya sendiri. Seingatnya, semalam ia belum masuk ke kamar. Ia masih duduk santai di balkon. Lalu kenapa sekarang tiba-tiba di kam
Kalau nanti kamu tidak ditakdirkan denganku, percayalah aku pernah begitu sungguh menginginkanmu***Bu Ida menoleh ke arah pintu, begitu juga semua siswa. Disana, di ambang pintu, berdirilah seorang siswa berpenampilan brandalan. Baju kusut tidak di masukan, dasi tidak ada, sepatu warna merah yang menyalahi aturan. Dan lebih parahnya lagi siswa itu terlambat.Bu Ida berjalan ke arah pintu dengan geram. Saat sampai, yang dilihat adalah tampang tak berdosa milik muridnya itu."Baju dimasukan!" ucap bu Ida sambil memukul pinggang Nadiv sedikit keras."Ini lagi dasi nya mana?" tanya bu Ida sambil menujuk le
Berjuang sampai jadi orang yang paling dia sayang***Nadiv berjalan dengan riang setelah mendapatkan dasi yang ia inginkan agar bisa masuk ke kelas. Ya meskipun tadi sempat mengalami kekesalan yang akut karena ulah Rallin. Beruntung, tidak ada Adelia atau setidaknya teman gadis itu. Kalau ada, bisa mati berdiri dia.Nadi mengetuk pintu sopan, seluruh perhatian murid teralihkan ke arahnya. Bu Ida memincingkan matanya menatap dasi yang melingkar rapi di lehernya."Nyolong dimana kamu?" tanya bu Ida tak pakai hati. Membuat seisi kelas menahan tawanya.Nadiv mendecih kemudian mengelus dadanya sabar. "Ya saya beli lah bu, masa iya nyolong," ucapnya berbohong. Masa iya harus jujur? Bisa-bisa semua penghuni kelas tertawa ngakak kalau tahu itu dasi milik Rallin. Gadis yang selalu dihindarinya.
Seorang lelaki berusia 20 tahun menatap wanita paruh baya dari kaca tembus pandang. Tatapannya terlihat datar.“Setiap malam dia menangis. Setiap aku mengantarkan makanan, dia selalu mengira aku putrinya,” ujar seorang gadis berpakaian perawat membuat lelaki itu mengalihkan pandangannya.“Apa kau kenal dengan putrinya? Apa kau bisa membawakan putrinya kemari?” tanya perawat.Lelaki itu tersenyum getir. “Putrinya sudah meninggal. Membuat dia hidup penuh dengan penyesalan,” jawab lelaki itu.Perawat hanya diam saja. Merasa tidak enak karena telah menanyakan hal itu. Lalu perawat itupun pamit permisi, meninggalkan lelaki itu sendiri.Lelaki itu berjalan pergi meninggalkan ruangan. Tangannya merogoh saku celananya kemudian mengeluarkan sebuah kertas yang sudah usang. Ia membuka kertas itu dan kembali membaca isinya yang hampir tiap malam ia baca tanpa bosan.“Teruntuk kamu, aku selalu mencintai kamu samp
“Nyokap gue bukan pelakor,”tekan lelaki di depan Henggar dengan matanya yang menyorot tajam.“Sudah, biar saya jelaskan,” lerai wanita itu dengan lembut.Kemudian tatapannya beralih ke Henggar. Wanita itu menatap sendu ke arah Henggar. “Saya tidak pernah merebut Papa kamu dari Mama kamu. Tapi Mama kamu yang telah merebut mas Herman dari saya,” terang wanita itu.Henggar menggeleng tak percaya. “Saya tidak percaya!”“Kamu bisa tahu saya, pasti kamu punya kalung berliontin hati, kan? Di dalamnya ada foto saya dan mas Herman,” ujar wanita itu.Henggar langsung bungkam. Benar yang dikatakan wanita itu, ia bisa tahu wanita itu karena dari liontin. Wanita itu tampak mengulas senyum tipis kemudian ia menepuk bahu Henggar.“Saya adalah istri pertama mas Herman tapi Mama kamu tidak pernah tahu tentang ini. Kenapa? Karena hubungan saya dan mas Herman tidak mendapat restu dari kedu
Seorang wanita dengan pakaian yang tampak glamour serta elegan itu tengah berada di sebuah studio foto. Sepertinya tengah melakukan photoshoot. Wanita itu terlihat sedang berjalan menuju ruang make up.“Ibu masih saja awet muda. Padahal sudah punya anak tiga,” puji seorang gadis yang berada di belakangnya. Sepertinya tengah membenarkan rambut yang berantakan.Wanita itu tersenyum tipis. Matanya menatap ke arah cermin yang ada di depannya. “Anakku hanya dua,” ujarnya tegas seolah tanpa beban.Gadis di belakangnya itu mengernyit. “Oh, iya? Bukankah ada tiga? Yang satu lagi perempuan?” tanya gadis itu lagi.“Hanya dua dan semuanya laki-laki. Satu anak lelakiku sudah meninggal,” tegas wanita itu lagi.Gadis hanya tersenyum simpul. Tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Kemudian ia kembali membenahi tatanan rambut milik wanita di depannya itu.“Pemirsa, sebuah fakta mengejutkan terungkap dari sal
Tidak ada yang baik-baik saja jika berada di posisi Henggar. Lelaki itu tampak putus asa. Ia bahkan berulang kali menyalahkan dirinya karena tidak bisa menjaga Rallin dengan baik. Adiknya yang begitu ia sayangi, kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan keadaan belum sadarkan diri. Ia tidak tahu apa yang membuat adiknya drop seperti itu.“Kemarin dia masih baik-baik aja, Di.” Henggar berkata lirih. Tatapan lelaki itu tampak kosong. Seperti tidak ada gairah hidup di dalam tatapannya.Maudi yang setia menemani Henggar pun ikut merasakan kehampaan lelaki itu. Ia juga merasa sangat terpukul. Terlebih lagi Rallin adalah sahabat satu-satunya yang mampu mengerti dirinya bahkan lebih dari siapapun termasuk orang tuanya. Melihat Rallin lemah tak berdaya membuat relung hatinya berdenyut sakit.“Doain aja yang terbaik buat dia, Gar. Gue bahkan ngerasa orang paling bodoh karena sahabat gue sakit aja gue nggak tau,” ujar Maudi miris.K
Dalam hidupnya, Henggar tidak pernah berfikir akan mengalami hal seburuk ini. Kehilangan saudara kembar dengan cara yang tragis menyisakan trauma yang dalam untuknya. Terjadinya perpecahan di dalam keluarganya, membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih dingin dan tertutup.Menjadi pribadi yang dingin, membuat Henggar tidak pernah merasa takut dengan apapun. Ia merasa, hatinya sudah mati. Namun untuk kedua kalinya, rasa takut yang begitu hebat kembali menyerang ulu hatinya.Derap langkah kaki yang begitu cepat seperti tengah berlari, membuat para pengunjung rumah sakit menatapnya dengan heran. Pandangan lelaki itu tampak mengabur karena buliran kristal mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak peduli dengan tatapan yang tertuju padanya. Pikirannya sekarang hanya terfokus pada adiknya, Rallin.Detak jantung Henggar mendadak terhenti saat tadi mendapati pesan dari Maudi yang mengabarkan kalau Rallin tiba-tiba mimisan lalu pingsan. Maudi juga memberitahu ruma
“Gila lo? Demi apa, anjir?!”Rallin menutup telinganya dengan kedua tangan. Meredam suara Maudi yang begitu melengking memekakkan telinga. Raut wajah Maudi tampak begitu terkejut setelah Rallin menceritakan kejadian di rumah sakit tadi. Tepat saat Arden menyatakan perasaannya pada Rallin.Jangankan Maudi, Rallin saja sangat terkejut bahkan gadis itu tidak bisa berkata apa-apa tadi. Setelah pulang dari rumah sakit, Rallin meminta Sendi untuk mengantarkannya ke rumah Maudi. Pasalnya gadis itu tidak sedang ada di apartemen. Toh, Rallin juga enggan pergi ke apartemen Maudi yang berdekatan dengan apartemen milik Nadiv.Entahlah, Rallin rasanya sudah mati rasa dengan lelaki yang sampai saat ini masih merajai hatinya. Perlakuan serta sikap lelaki itu seolah meminta Rallin untuk pergi dari sisinya. Rallin tersenyum getir, lalu untuk apa kemarin Nadiv melontarkan janji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi kalau pada akhirnya akan terus terulang seperti in
“Mungkin mengikhlaskan adalah cara terbaik untuk menyelamatkan diri, sebelum semuanya semakin dalam dan semakin sakit lagi.”Rallin menarik nafas panjang kala mendengar penuturan Arden yang menyentuh hatinya itu. Lelaki itu selalu tahu apa yang dipikirkan Rallin. Kini keduanya tengah duduk di sebuah bangku taman yang ada di halaman belakang rumah sakit. Tempat yang jarang dikunjungi, sehingga mampu menenangkan hati yang tengah gundah.Gadis itu menatap jauh ke depan. Pandangannya tampak kosong. Ada rasa hampa dalam dirinya ketika tidak bersama Nadiv. Nyatanya ia tak bisa membohongi perasaannya sendiri. Terlalu dalam mencintai rupanya salah satu cara mendekatkan diri dengan kecewa yang dalam juga. Ingin marah, tapi percuma. Sama saja seperti dirinya membuang-buang tenaga.Kemudian gadis itu mengalihkan pandangannya ke samping. Menatap Arden yang tampak ikut diam. “Kenapa saya nggak pernah beruntung dalam hal percintaan, Dok?” tanyanya send
Mulai saat ini, bersikaplah seharusnya. Tanpa harus membiarkan diri terluka hanya demi menjaga perasaan orang lain. Karena pada dasarnya, setiap hati juga ingin dihargai. Bukan terus memaklumi mereka yang tak pernah mencoba mengerti. Semua hal itu butuh waktu, dan hal baik datang di waktu yang tepat.Rallin menghela nafasnya panjang. Rasa sesak masih terus menggerogoti relung hatinya. Baru saja berjanji, namun langsung ingkar. Tidak pernah habis fikir dengan sikap Nadiv saat ini. Kalau memang ia masih mencintai Adelia, kenapa ia enggan kembali? Malah meminta Rallin untuk terus bersamanya.Sekarang, Rallin hanya ingin tenang. Ia tidak ingin terbebani dengan hal apapun termasuk asmara. Ia sadar, selama ini ia terlalu dalam melukai hatinya sendiri. Gadis itu mengusap air matanya yang tiba-tiba saja menetes.Bohong kalau ia tidak sakit hati. Cewek mana yang rela liat cowoknya mentingin cewek lain terlebih itu adalah mantannya sendiri. Namun sekarang, ia sudah meyaki
Ucapan Rallin membuat kepala Nadiv berputar 180 derajat menghadap Rallin. Tak mengerti dengan ucapan gadis itu. Wajahnya tampak bingung.Melihat itu, Rallin mengulas senyum getir. “Setidaknya, kalo lo emang nggak cinta, jangan bertingkah seolah-olah lo bakal cinta sama gue. Dibohongi kayak gini lebih menyakitkan daripada ditinggalkan.”Kening Nadiv berkerut. Ia tak suka dengan apa yang dibicarakan oleh Rallin. Apa maksud gadis itu menyuruhnya pergi? Apa Rallin sudah tidak mencintai dirinya lagi?“Maksud lo apa?”Rallin mengalihkan pandangannya ke depan. Menatap bunga-bunga yang tampaknya lebih menarik. “Pada akhirnya, yang pernah mencintai tanpa tapi, pernah bertahan tanpa paksaan, dan pernah sabar menanti sadar pun, akan melepaskan tanpa pesan,” ujarnya tanpa menatap Nadiv.“Lo mau ngelepasin gue? Kenapa?” tanya Nadiv. Ia tak terima dengan Rallin yang seperti ini. Ini hanya perkara ia menjaga Adelia