"Nadiv yang buruk buat lo," ucap seseorang yang berdiri diambang pintu. Semua mata tertuju ke sumber suara.
Pandangan Rallin menjadi kabur lantaran cairan bening itu kembali menggenang di pelupuk matanya. Gadis itu menangis lagi. Rangga dan Didan hanya bisa menghela nafas menghadapi orang yang sedang patah hati ini.
Orang yang tengah bersender di pintu pun berjalan mendekat ke Rallin. Memotong jarak yang membentang. Kemudian berjongkok di hadapan Rallin. Menatapnya sebentar kemudian menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Mengusap pelan kepala gadis itu. Ia bisa merasakan baju seragamnya mulai basah karena air mata gadis itu. Ia tak peduli. Yang penting gadis itu nyaman.
"Sakit Sen," lirih Rallin semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Sendi.
"Berapa kali gue bilang? Berhenti Lin. Tapi lo nya batu," ucap Sendi sambil mengusap kepala gadis itu. Punggungnya bergetar semakin hebat. Tangisnya semakin pecah.
Tiga lelaki yang ada disana hanya diam saling melempar pandang. Tak tahu harus berbuat apa. Membiarkan gadis itu menumpahkan segala rasa sakitnya.
Setelah di rasa Rallin cukup tenang, Sendi membantunya untuk berdiri. Memegang erat bahu gadis itu. Tampak kacau sekali penampilannya saat ini. Anak rambut yang basah karena keringat. Hidung yang memerah dan mata yang sembab. Sendi menatap gadis itu sebentar kemudian menaikkan pandangannya menatap Didan dan Rangga.
"Dan, lo bisa anterin dia balik?" Tanya Sendi.
Didan mengangguk. "Bisa kok," jawabnya.
"Gue masih ada urusan, gue titip Rallin," ucap Sendi kemudian menatap Rallin. Mengangkat dagu gadis itu karena sedari tadi menunduk. "Sama Didan gak papa kan? Gue gak bisa nganterin lo balik," tanya Sendi lembut. Gadis itu hanya mengangguk.
"Yaudah, gue duluan." Sendi pun langsung keluar dari kelasnya.
Begitu keluar, raut wajahnya berubah menjadi tegang. Matanya memerah menahan marah. Di keluarkannya ponsel dari saku baju. Membuka aplikasi W******p dan mencari kontak seseorang untuk dikiriminya pesan. Setelah menemukan kontaknya, langsung saja ia mengetik pesannya.
Sendi prasaja
Gue tunggu di taman kota. Gak dateng berarti lo cupu!* * *
"Gak mampir dulu Div?" Tanya Adelia saat ia sudah turun dari motor sport milik Nadiv.
Nadiv terdiam sebentar. Menatap mata Adelia intens. Tatapannya penuh cinta. Adelia tahu itu, tapi entah kenapa ia tidak bisa membalas ketulusan cinta Nadiv. Nadiv itu tampan. Meskipun tidak setampan ketua OSIS Grand Nusa, tapi lelaki ini cukup populer karena terlalu sering keluar masuk ruang BK. Lumayan banyak siswa yang menyukai Nadiv, tapi tidak senekat Rallin.
Rallin natasha. Gadis itu sudah mengejar Nadiv selama setahun lebih. Satu hal yang perlu kalian tahu. Adelia sangat membenci Rallin. Karena suatu alasan. Belum saatnya kalian mengetahui alasannya. Itu lah mengapa saat ia tahu Rallin menyukai Nadiv, dengan senang hati Adelia menerima Nadiv yang saat itu menyatakan cinta padanya. Anggap saja itu cara Adelia untuk membalas dendamnya pada Rallin.
"Kamu gak marah kan soal dikelas tadi?" Tanya Nadiv pelan. Jujur, ia takut kalau Adelia marah dengannya. Ia benar-benar mencintai gadis itu. Ia tak mau kehilangan Adelia. Sungguh.
Adelia tampak tersenyum manis. Senyum yang mampu memikat hati seorang Nadiv. Senyum yang selalu menjadi candu untuk Nadiv. "Enggak kok. Aku gak marah," jawab Adelia lembut.
Nadiv menghela nafas lega. "Syukur deh kalo kamu gak marah. Aku takut kehilangan kamu," lirih Nadiv sambil menunduk.
Adelia tersenyum. Kali ini senyuman tulus terbit di bibirnya kala mendengar kalimat itu dari mulut Nadiv. Gadis mana sih yang tidak melayang saat ada lelaki dengan tulusnya mengatakan kalimat seperti itu?
Tapi sekali lagi maaf, Adelia tetap tidak bisa membalas cinta Nadiv. Hatinya sudah terisi seseorang yang sekarang entah dimana rimbanya.
"Yaudah, aku pulang dulu ya," pamit Nadiv. Adelia tersenyum sambil mengangguk menanggapinya.
Baru saja Nadiv ingin melajukan motornya. Sebuah notif pesan masuk di ponselnya. Nadiv menyempatkan untuk membaca pesan itu. Dibukanya aplikasi w******p dan mendapati pesan dari salah satu teman sekelasnya.
Sendi prasaja
Gue tunggu di taman kota. Gak dateng berarti lo cupu!Nadiv mengernyitkan dahinya dalam. Tak mengerti dengan maksud ucapan Sendi. Seingatnya ia tidak pernah mencari masalah dengan teman sekelasnya itu. Lalu kenapa tiba-tiba Sendi mengajaknya bertemu? Dan isi pesan itu menyiratkan kalau Sendi tengah marah besar.
"Siapa?" Tanya Adelia penasaran saat melihat perubahan wajah Nadiv.
Nadiv tersadar dari pikirannya. Menatap Adelia lembut kemudian menggeleng. "Bukan siapa-siapa. Yaudah, aku pulang ya," pamitnya.
"Iya, hati-hati." Adelia melambaikan tangannya kala Nadiv mulai melaju meninggalkan area rumahnya. Setelah lelaki itu hilang dari pandangan, barulah ia masuk ke rumah.
* * *
Nadiv melangkahkan kakinya dengan santai. Ia tidak pulang ke rumah, melainkan menuju taman. Tempat dimana Sendi sudah menunggunya. Ia tidak tahu apa masalahnya dengan Sendi. Tapi ia tetap datang karena tidak mau dianggap cupu oleh teman sekelasnya itu.
Meskipun mereka sekelas, mereka jarang sekali terlibat komunikasi. Entahlah, Nadiv juga tidak mengerti. Tampaknya Sendi tidak menyukainya. Ia tahu itu karena Sendi selalu menatapnya sinis.
Nadiv melihat Sendi tengah duduk di bangku taman sambil memainkan ponsenya. Begitu menyadari ada kedatangan seseorang, Sendi mengalihkan perhatiannya. Tahu jika itu Nadiv, segera dimasukkannya ponselnya ke saku. Berdiri dari duduknya. Berhadapan dengan Nadiv. Menatap Nadiv tajam sedangkan Nadiv mengernyit heran.
"Kenapa, Sen?" Tanya Nadiv bersikap santai.
"Kalo lo gak bisa balas cintanya Rallin, setidaknya jangan pernah ngucapin kata kasar sama dia." Sendi mengatakan itu dengan penuh tekanan disetiap katanya.
Nadiv mengernyit. Jadi masalahnya tentang Rallin?
"Gue gak akan kasar kalo dia bisa tahu diri," balas Nadiv. Iyakan? Dia tidak salah. Kalau saja Rallin bisa tahu diri akan posisinya, pasti Nadiv tidak akan menyakitinya.
"Lo hanya tau cover tentang dia aja. Lo gak tau tentang kehidupan dia. Gue cuma minta sama lo, tolong baik sedikit sama dia. Seenggaknya itu bisa jadi alasan dia buat bahagia." Sendi mengucapkan itu dengan nada memohon.
"Kalo gue bersikap baik ke dia, yang ada dia bakal baper dan makin ngelunjak ngejar gue," ucap Nadiv. Ada benarnya juga. Ia tidak mau jika Rallin malah semakin baper karena dia bersikap baik pada gadis itu. Dihatinya hanya ada Adelia. Bukan yang lain.
Sendi menghela nafas panjang. Apa yang dikatakan Nadiv memang benar. Ia tahu Nadiv tidak menyukai Rallin. Tapi ia juga tidak tega kalau Rallin terus-terusan seperti ini. Ia tetangga Rallin. Ia tahu betul bagaimana kehidupan Rallin dirumah.
Yang ia tahu, alasan Rallin bahagia adalah Nadiv. Lelaki urakan didepannya ini benar-benar menyita semua perhatian Rallin. Jika Nadiv saja seperti ini, lalu apalagi yang bisa dijadikan alasan untuk Rallin bahagia?
* * *
Rallin turun dari motor sport Didan. Masih dengan mata sembabnya, ia melepaskan helm kemudian mengembalikannya kepada Didan.
"Gak usah nangis lagi. Gue gak suka liat lo cengeng gini," ucap Didan sambil menghapus air mata Rallin.
Rallin tersenyum tipis kemudian mengangguk. Didan memang selalu perhatian padanya. Terkadang yang ia harapkan adalah Nadiv yang bersikap seperti ini. Tapi, ah sudahlah.
"Gue balik, ya?" Pamit Didan.
Rallin mengangguk. "Iya, hati-hati. Makasih udah mau nganterin gue pulang," ucap Rallin.
"Santai aja kali," tukas Didan.
Kemudian lelaki itu berlalu dari hadapan Rallin. Rallin pun berbalik menatap pintu gerbang rumahnya. Rumah itu mewah diluar namun kelam didalam.
Gadis itu mulai berjalan menuju pintu utama. Menyiapkan mental dan hatinya jika sudah berada dirumah kelam ini. Rallin menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu. Matanya memejam. Kedua tangannya menutup erat telinganya.
Ia lelah. Lelah mendengar ini semua. Selalu seperti ini. Tidak ada keharmonisan di dalam rumah megah bergaya klasik Belanda. Yang ada hanya pertengkaran, pertikaian, dan caci maki yang keluar dari kedua mulut orang tuanya.
Di sana, di ruang tamu, terlihat kedua orang tuanya sedang bertengkar. Entah apa yang di bahas, Rallin tak ingin mendengar.
Ia muak melihat adegan seperti ini setiap harinya. Ia hanya ingin hidup tenang, sudah itu saja. Tapi kenapa rasanya sulit sekali?
Dua orang yang dulu yang sayang padanya kini berubah menjadi monster menyeramkan yang siap menerkamnya kapan pun. Dua orang yang dulu selalu memanjakannya kini berubah menjadi mengabaikannya. Bahkan membencinya. Dan itu semua terjadi setelah mereka kehilangan dia.
Rallin menghela nafas berat, seberat hidupnya. Ia berjalan perlahan. Langkahnya pelan menuju ruang tamu. Jarinya saling menaut seolah memberi kekuatan, kepalanya menunduk.
"Rallin pulang," ucap Rallin lirih.
Terlihat Ranti, mamanya menatap kasar ke arahnya.
"Mau kamu pulang atau tidak, saya tidak peduli." Setelah mengucapkan itu, Ranti lalu pergi begitu saja.
Rallin memejamkan matanya menahan sesak. Air mata mulai merembes keluar dari sudut matanya. Baru saja ia menangis, dan sekarang menangis lagi. Ia mengusapnya pelan, lalu menatap papanya yang duduk di sofa.
"Pa-"
"Kamu bukan anak saya. Jadi berhenti panggil saya papa," ucap Herman, papanya.
Rallin kembali memejamkan matanya, air matanya kali ini benar-benar meluncur deras. Ini menyakitkan. Rasa sakit ini benar-benar menggerogoti hatinya. Rallin berjalan mundur, kemudian berbalik. Ia berlari menuju mobilnya yang berada di garasi dengan uraian air mata. Di dalam mobil, tangisnya benar-benar pecah.
Ia meratapi hidupnya yang begitu berat. Dia pergi. Orang tuanya tak peduli. Nadiv masa bodoh. Lalu apa yang ia harapkan dari hidupnya jika semuanya setragis ini?
"Apa Tuhan memang membuat takdir gue seperti ini? Lalu untuk apa gue di beri hidup kalo cuma buat di sakitin?," lirih Rallin sambil memeluk dirinya sendiri, karena ia sadar, saat ini tidak ada yang mau memeluknya kecuali dirinya sendiri.
Tangannya bergerak membuka dashboard mobil. Di ambilnya sebuah foto yang tersimpan disana. Ia tersenyum nanar menatap foto itu, tangannya tergerak untuk mengusapnya.
"Hei, gue kangen."
* * *
Tangan mungil seorang gadis terulur mengusap sebuah batu nisan di depannya. Senyumnya terulas tipis. Sesekali ia mengusap air mata yang berjatuhan.
"Hei, gue kangen sama lo," ucap gadis itu tersenyum.
"Bisa gak ya gue minta Tuhan buat memutar ulang waktu?,"
"Gue cuma pengen menukar sesuatu,"
"Lo mau tau gak gue mau nuker apaan?"
"Gue mau nuker posisi lo sama gue. Posisinya gue disini," ucapnya sambil mengusap gundukkan tanah di depannya.
"Dan lo lagi kayak gini," lanjutnya sambil mengusap-ngusap batu nisan.
"Gue yakin kalo kayak gitu, pasti semuanya gak sekacau ini,"
"Karena gue tau, dari dulu mama sama papa itu sayangnya cuma sama lo. Bukan sama gue."
Gadis itu, Rallin, menahan isakannya. Disinilah tempat ia bisa menenangkan dirinya. Disini ia bisa mencurahkan segala beban hidupnya. Disini, dimakam dia.
Andai Rallin tahu kejadian masa depan, pasti waktu itu ia takkan melakukan hal yang membuat hidupnya menjadi sesuram ini. Pasti dia masih hidup sampai sekarang. Pasti orang tuanya masih menyayanginya meskipun orang tuanya lebih menyayangi dia.
Menyesal? Ia sangat menyesal, pastinya. Tapi ia bisa apa? Meminta Tuhan untuk mengembalikan dia? Rallin tertawa sumbang. Tatapannya kosong.
"Kalo gue bisa, udah gue lakuin dari dulu," gumamnya pelan.
"Gue pulang ya? Jangan kangen sama gue, doain gue biar gue kuat ngadepin semua ini" pamit Rallin kemudian berdiri.
Rallin menatap dirinya sendiri di samping kaca mobil. Rambut berantakan, seragam lusuh, wajah kusam. Rallin tersenyum miris. Dirinya selalu sekacau ini jika sudah menginjakkan kakinya di rumah.
Rallin berjalan malas menuruni tangga. Matanya melirik meja makan, hanya ada mamanya. Bisa dipastikan papanya sudah berangkat bekerja.Rallin berjalan pelan menuju salah satu kursi meja makan. Menariknya lalu duduk. Kepalanya setia tertunduk.Ranti menaikkan pandangannya. Menatap sinis ke arah Rallin. Selanjutnya ia menjatuhkan sendoknya sehingga menimbulkan dentingan yang cukup keras. Rallin tersentak kaget mendengarnya. "Nafsu makan saya hilang karena ada kamu," ketus Ranti lalu melenggang pergi menuju kamarnya.Mata Rallin terpejam erat. Kembali merasakan sesak di dadanya.Jangan sedih, lo udah biasa di kayak giniin. Kebal dong hati, ucapnya dalam hati.Rallin mencoba menaikkan kedua sudut bibirnya. Tangannya men
Setelah puas menangis di taman belakang, Rallin memutuskan kembali ke kelas. Jam istirahat akan tiba sepuluh menit lagi.Selama berjalan, Rallin menerawang. Pikirannya kalut. Ia bahkan sempat bertanya pada Tuhan, kenapa hidupnya harus serumit ini? Jika di tanya apakah Rallin lelah? Jawabannya lebih dari lelah. Baginya tidak ada yang lebih menyakitkan dari di benci oleh orang yang dia sayangi. Orang tuanya dan Nadiv. Mereka seolah kompak untuk membuat Rallin semakin rapuh.Rallin sudah cukup sesak menahan semua beban hidupnya. Selama ini tidak ada yang pernah memahaminya kecuali Maudi, Sendi dan seseorang yang saat ini sedang tidak ada di sekolah.Seseorang itu tengah menjalani pertukaran pelajar. Seseorang itu juga sahabat karibnya Nadiv. Bedanya diantara mereka berempat, hanya seseorang itu yang paling pintar. Maka dari itu dia di ajukan untuk pertukaran pelajar dengan SMA Dwingga. Kabarnya dua hari lagi, seseorang itu te
Selalu ada yang peduli meskipun ada banyak yang membenci. Percayalah, Tuhan memilihmu untuk merasakan sakit karena Dia yakin kau mampu bangkit***Rallin memegang kepalanya yang sakit karena terbentur dada bidang di depannya. Dalam hati ia berfikir siapa yang sudah di tabraknya ini. Apa dia Nadiv? Ya, itulah harapan Rallin. Sama seperti film percintaan yang setiap hari di tontonnya. Tiba-tiba Rallin merasakan jantungnya kembali berdegub kencang. Rallin tak berani menengadahkan kepalanya. Ia belum siap menatap mata Nadiv lagi. Tapi kenapa Nadiv tak bersuara sejak tadi? Biasanya lelaki itu akan mengumpatnya."Hai, sayang."Akhirnya ia bersuara juga. Tapi tunggu, ini bukan suara Nadiv. Dia yakin karena dia sudah sangat hafal bagaimana suara lelaki yang di cintainya itu. Lagi pula mana mung
Hidup ini tidak adil, jadi biasakanlah dirimu- Patrick Star-***"Berhenti!" teriak seseorang dari pintu.Ranti menghentikan aksinya. Ia menatap tajam orang yang sudah mengganggu kesenangannya. Rallin diam, ia tak cukup berdaya walau sekedar menoleh. Dengan kasar, Ranti mendorong tubuh Rallin sampai gadis itu terjerembab ke lantai. Kembali menciptakan luka fisik untuk gadis yang kini sudah menunduk terisak. Tanpa berniat melihat siapa yang sudah berani meneriaki Ranti."Mau apa kamu?" tanya Ranti sengit. Matanya menatap tajam orang yang sudah mengganggu aktivitasnya.Orang itu berjalan cepat menghampiri Ranti. Matanya menyiratkan amarah yang tertahan. Nafasnya memburu. Bahkan urat-urat lehernya
Aku suka caramu mengabaikan rasa sakit *** Rallin berjalan malas. Sudah dua hari ia berada di apartemen Maudi hanya untuk memulihkan lukanya. Kemarin Henggar sempat memaksanya untuk ke rumah sakit namun Rallin menolaknya. Rallin bersyukur masih ada yang mempedulikannya. Setidaknya mereka adalah alasan terkuat Rallin untuk bertahan dalam situasi ini. Ia mendudukkan dirinya di balkon kamar Maudi. Matanya menatap miris luka-luka di sekujur tubuhnya. Luka yang di dapat dari orang yang sangat di sayanginya. Entah sampai kapan penderitaan ini akan berakhir, yang jelas Rallin aku berusaha sekuat tenaga. Sampai menutup mata, jika diizinkan. Bibirnya tersenyum pilu. Mengingat hidupnya yang penuh dengan kekerasan. Kekerasan yang menyakiti batin maupun fisiknya. Set
Ironi cinta : wanita mencintai laki-laki yang menyakitinya, dan laki-laki menyakiti wanita yang mencintainya* * *Rallin terdiam duduk di balkon apartemen Maudi. Pemandangan di malam hari seperti ini tampak terlihat indah. Apalagi jika dilihat dari atas gedung apartemen ini. Hamparan kota di bawah sana nampak cantik dengan di hiasi lampu-lampu yang terang. Rallin Menikmati angin malam yang berhembus lembut menyapu seluruh wajahnya. Rallin menutup wajahnya dengan tangan sebentar lalu mengusapnya perlahan. Rambutnya yang terurai sedikit berantaka karena terkena sapuan angin. Tangan gadis itu terulur memegang besi pembatas. Matanya terpejam mencoba meresapi udara malam yang terasa menenangkan. Rallin menghembuskan nafasnya secara perlahan. Mencoba bersikap rileks.Hari ini ia sendiri. Maudi terpaksa harus pulang ke rumahny
Kadang kita hanya butuh diam, pura-pura tersenyum dan pura-pura terlihat biasa saja daripada harus menjelaskan apa yang terjadi karena tidak semua orang paham dengan apa yang kita rasakan***Matanya bergerak perlahan. Kemudian terbuka, lalu kembali tertutup. Silau dengan cahaya mentari yang menerobos masuk melalui jendela kaca. Lalu terbuka lagi. Sejenak ia terdiam. Matanya menerawang jauh ke langit-langit kamar. Lalu melihat sekeliling. Tiba-tiba rasa kaget menyeruak begitu saja. Ia memastikan penglihatannya sekali lagi. Namun tidak ada yang berubah. Ini adalah ruangan kamar Maudi. "Kok gue di kamar?" tanyanya sendiri. Seingatnya, semalam ia belum masuk ke kamar. Ia masih duduk santai di balkon. Lalu kenapa sekarang tiba-tiba di kam
Kalau nanti kamu tidak ditakdirkan denganku, percayalah aku pernah begitu sungguh menginginkanmu***Bu Ida menoleh ke arah pintu, begitu juga semua siswa. Disana, di ambang pintu, berdirilah seorang siswa berpenampilan brandalan. Baju kusut tidak di masukan, dasi tidak ada, sepatu warna merah yang menyalahi aturan. Dan lebih parahnya lagi siswa itu terlambat.Bu Ida berjalan ke arah pintu dengan geram. Saat sampai, yang dilihat adalah tampang tak berdosa milik muridnya itu."Baju dimasukan!" ucap bu Ida sambil memukul pinggang Nadiv sedikit keras."Ini lagi dasi nya mana?" tanya bu Ida sambil menujuk le
Seorang lelaki berusia 20 tahun menatap wanita paruh baya dari kaca tembus pandang. Tatapannya terlihat datar.“Setiap malam dia menangis. Setiap aku mengantarkan makanan, dia selalu mengira aku putrinya,” ujar seorang gadis berpakaian perawat membuat lelaki itu mengalihkan pandangannya.“Apa kau kenal dengan putrinya? Apa kau bisa membawakan putrinya kemari?” tanya perawat.Lelaki itu tersenyum getir. “Putrinya sudah meninggal. Membuat dia hidup penuh dengan penyesalan,” jawab lelaki itu.Perawat hanya diam saja. Merasa tidak enak karena telah menanyakan hal itu. Lalu perawat itupun pamit permisi, meninggalkan lelaki itu sendiri.Lelaki itu berjalan pergi meninggalkan ruangan. Tangannya merogoh saku celananya kemudian mengeluarkan sebuah kertas yang sudah usang. Ia membuka kertas itu dan kembali membaca isinya yang hampir tiap malam ia baca tanpa bosan.“Teruntuk kamu, aku selalu mencintai kamu samp
“Nyokap gue bukan pelakor,”tekan lelaki di depan Henggar dengan matanya yang menyorot tajam.“Sudah, biar saya jelaskan,” lerai wanita itu dengan lembut.Kemudian tatapannya beralih ke Henggar. Wanita itu menatap sendu ke arah Henggar. “Saya tidak pernah merebut Papa kamu dari Mama kamu. Tapi Mama kamu yang telah merebut mas Herman dari saya,” terang wanita itu.Henggar menggeleng tak percaya. “Saya tidak percaya!”“Kamu bisa tahu saya, pasti kamu punya kalung berliontin hati, kan? Di dalamnya ada foto saya dan mas Herman,” ujar wanita itu.Henggar langsung bungkam. Benar yang dikatakan wanita itu, ia bisa tahu wanita itu karena dari liontin. Wanita itu tampak mengulas senyum tipis kemudian ia menepuk bahu Henggar.“Saya adalah istri pertama mas Herman tapi Mama kamu tidak pernah tahu tentang ini. Kenapa? Karena hubungan saya dan mas Herman tidak mendapat restu dari kedu
Seorang wanita dengan pakaian yang tampak glamour serta elegan itu tengah berada di sebuah studio foto. Sepertinya tengah melakukan photoshoot. Wanita itu terlihat sedang berjalan menuju ruang make up.“Ibu masih saja awet muda. Padahal sudah punya anak tiga,” puji seorang gadis yang berada di belakangnya. Sepertinya tengah membenarkan rambut yang berantakan.Wanita itu tersenyum tipis. Matanya menatap ke arah cermin yang ada di depannya. “Anakku hanya dua,” ujarnya tegas seolah tanpa beban.Gadis di belakangnya itu mengernyit. “Oh, iya? Bukankah ada tiga? Yang satu lagi perempuan?” tanya gadis itu lagi.“Hanya dua dan semuanya laki-laki. Satu anak lelakiku sudah meninggal,” tegas wanita itu lagi.Gadis hanya tersenyum simpul. Tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Kemudian ia kembali membenahi tatanan rambut milik wanita di depannya itu.“Pemirsa, sebuah fakta mengejutkan terungkap dari sal
Tidak ada yang baik-baik saja jika berada di posisi Henggar. Lelaki itu tampak putus asa. Ia bahkan berulang kali menyalahkan dirinya karena tidak bisa menjaga Rallin dengan baik. Adiknya yang begitu ia sayangi, kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan keadaan belum sadarkan diri. Ia tidak tahu apa yang membuat adiknya drop seperti itu.“Kemarin dia masih baik-baik aja, Di.” Henggar berkata lirih. Tatapan lelaki itu tampak kosong. Seperti tidak ada gairah hidup di dalam tatapannya.Maudi yang setia menemani Henggar pun ikut merasakan kehampaan lelaki itu. Ia juga merasa sangat terpukul. Terlebih lagi Rallin adalah sahabat satu-satunya yang mampu mengerti dirinya bahkan lebih dari siapapun termasuk orang tuanya. Melihat Rallin lemah tak berdaya membuat relung hatinya berdenyut sakit.“Doain aja yang terbaik buat dia, Gar. Gue bahkan ngerasa orang paling bodoh karena sahabat gue sakit aja gue nggak tau,” ujar Maudi miris.K
Dalam hidupnya, Henggar tidak pernah berfikir akan mengalami hal seburuk ini. Kehilangan saudara kembar dengan cara yang tragis menyisakan trauma yang dalam untuknya. Terjadinya perpecahan di dalam keluarganya, membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih dingin dan tertutup.Menjadi pribadi yang dingin, membuat Henggar tidak pernah merasa takut dengan apapun. Ia merasa, hatinya sudah mati. Namun untuk kedua kalinya, rasa takut yang begitu hebat kembali menyerang ulu hatinya.Derap langkah kaki yang begitu cepat seperti tengah berlari, membuat para pengunjung rumah sakit menatapnya dengan heran. Pandangan lelaki itu tampak mengabur karena buliran kristal mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak peduli dengan tatapan yang tertuju padanya. Pikirannya sekarang hanya terfokus pada adiknya, Rallin.Detak jantung Henggar mendadak terhenti saat tadi mendapati pesan dari Maudi yang mengabarkan kalau Rallin tiba-tiba mimisan lalu pingsan. Maudi juga memberitahu ruma
“Gila lo? Demi apa, anjir?!”Rallin menutup telinganya dengan kedua tangan. Meredam suara Maudi yang begitu melengking memekakkan telinga. Raut wajah Maudi tampak begitu terkejut setelah Rallin menceritakan kejadian di rumah sakit tadi. Tepat saat Arden menyatakan perasaannya pada Rallin.Jangankan Maudi, Rallin saja sangat terkejut bahkan gadis itu tidak bisa berkata apa-apa tadi. Setelah pulang dari rumah sakit, Rallin meminta Sendi untuk mengantarkannya ke rumah Maudi. Pasalnya gadis itu tidak sedang ada di apartemen. Toh, Rallin juga enggan pergi ke apartemen Maudi yang berdekatan dengan apartemen milik Nadiv.Entahlah, Rallin rasanya sudah mati rasa dengan lelaki yang sampai saat ini masih merajai hatinya. Perlakuan serta sikap lelaki itu seolah meminta Rallin untuk pergi dari sisinya. Rallin tersenyum getir, lalu untuk apa kemarin Nadiv melontarkan janji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi kalau pada akhirnya akan terus terulang seperti in
“Mungkin mengikhlaskan adalah cara terbaik untuk menyelamatkan diri, sebelum semuanya semakin dalam dan semakin sakit lagi.”Rallin menarik nafas panjang kala mendengar penuturan Arden yang menyentuh hatinya itu. Lelaki itu selalu tahu apa yang dipikirkan Rallin. Kini keduanya tengah duduk di sebuah bangku taman yang ada di halaman belakang rumah sakit. Tempat yang jarang dikunjungi, sehingga mampu menenangkan hati yang tengah gundah.Gadis itu menatap jauh ke depan. Pandangannya tampak kosong. Ada rasa hampa dalam dirinya ketika tidak bersama Nadiv. Nyatanya ia tak bisa membohongi perasaannya sendiri. Terlalu dalam mencintai rupanya salah satu cara mendekatkan diri dengan kecewa yang dalam juga. Ingin marah, tapi percuma. Sama saja seperti dirinya membuang-buang tenaga.Kemudian gadis itu mengalihkan pandangannya ke samping. Menatap Arden yang tampak ikut diam. “Kenapa saya nggak pernah beruntung dalam hal percintaan, Dok?” tanyanya send
Mulai saat ini, bersikaplah seharusnya. Tanpa harus membiarkan diri terluka hanya demi menjaga perasaan orang lain. Karena pada dasarnya, setiap hati juga ingin dihargai. Bukan terus memaklumi mereka yang tak pernah mencoba mengerti. Semua hal itu butuh waktu, dan hal baik datang di waktu yang tepat.Rallin menghela nafasnya panjang. Rasa sesak masih terus menggerogoti relung hatinya. Baru saja berjanji, namun langsung ingkar. Tidak pernah habis fikir dengan sikap Nadiv saat ini. Kalau memang ia masih mencintai Adelia, kenapa ia enggan kembali? Malah meminta Rallin untuk terus bersamanya.Sekarang, Rallin hanya ingin tenang. Ia tidak ingin terbebani dengan hal apapun termasuk asmara. Ia sadar, selama ini ia terlalu dalam melukai hatinya sendiri. Gadis itu mengusap air matanya yang tiba-tiba saja menetes.Bohong kalau ia tidak sakit hati. Cewek mana yang rela liat cowoknya mentingin cewek lain terlebih itu adalah mantannya sendiri. Namun sekarang, ia sudah meyaki
Ucapan Rallin membuat kepala Nadiv berputar 180 derajat menghadap Rallin. Tak mengerti dengan ucapan gadis itu. Wajahnya tampak bingung.Melihat itu, Rallin mengulas senyum getir. “Setidaknya, kalo lo emang nggak cinta, jangan bertingkah seolah-olah lo bakal cinta sama gue. Dibohongi kayak gini lebih menyakitkan daripada ditinggalkan.”Kening Nadiv berkerut. Ia tak suka dengan apa yang dibicarakan oleh Rallin. Apa maksud gadis itu menyuruhnya pergi? Apa Rallin sudah tidak mencintai dirinya lagi?“Maksud lo apa?”Rallin mengalihkan pandangannya ke depan. Menatap bunga-bunga yang tampaknya lebih menarik. “Pada akhirnya, yang pernah mencintai tanpa tapi, pernah bertahan tanpa paksaan, dan pernah sabar menanti sadar pun, akan melepaskan tanpa pesan,” ujarnya tanpa menatap Nadiv.“Lo mau ngelepasin gue? Kenapa?” tanya Nadiv. Ia tak terima dengan Rallin yang seperti ini. Ini hanya perkara ia menjaga Adelia