"Ralin?"
Bukan hanya Rallin, namun semua orang yang ada didalam studio pun menolehkan kepalanya ke arah pintu. Disana, berdiri Didan dengan tampang polos. Cengiran lebar menghiasi bibirnya. Sepertinya ia salah waktu karena sudah mengganggu Rallin dan temannya.
Rallin menegakkan tubuhnya dan meletakkan gitarnya di sofa dan berjalan keluar menghampiri Didan.
"Apaan Dan?" tanya Rallin.
Didan tersenyum kikuk. Kepalanya melongok ke dalam pintu. "Gue pinjem Rallin bentar ya?" izinnya pada penghuni studio.
Gandi mengangguk seolah memberi izin. "Bawa aja. Asal di balikin," ucapnya.
Rallin memberengut kesal mendengar ucapan Gandi. "Lo pikir gue barang!" kesalnya.
Setelah itu Didan menarik tangannya pelan. Lelaki itu membawa Rallin menuju taman belakang sekolah. Taman yang sangat jarang di kunjungi. Padahal kalau dilihat, taman ini suasananya sangat tenang. Cocok untuk mereka yang biasanya memiliki beban pikiran dan butuh tempat menenangkan diri.
Rallin duduk dibangku kayu yang dibentuk panjang. Disusul Didan yang duduk disampingnya.
"Kenapa?" tanya Rallin. Tangannya bergerak merapikan anak rambutnya yang berantakan karena tertiup angin.
Didan menoleh. Menatap Rallin sebentar kemudian mengalihkan pandangannya lagi ke depan. "Lo yang nulisin catatan sejarah Nadiv?" tanyanya langsung.
Rallin terdiam. Apa yang ditanyakan Didan itu memang benar ada. "Menurut lo, mungkin gak kalo gue biarin moodbooster gue dihukum sama macan liar?" tanyanya balik.
Didan menganggukkan kepalanya. Dia cukup salut dengan Rallin. Gadis itu memang gigih dalam memperjuangkan cintanya. Dia benar-benar tulus mencintai sahabatnya. Didan bahkan sampai geram sendiri dengan Nadiv. Lelaki itu terlalu menutup mata sampai ia tak bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang tidak.
Bahkan Rallin sampai rela membuatkan catatan untuk Nadiv hanya karena dia tidak mau Nadiv dihukum. Kalau saja Didan yang diperjuangkan oleh Rallin, ia tak akan menyia-nyiakan gadis itu. Kapan lagi bisa mendapatkan gadis sesempurna Rallin?
"Gimana bisa lo tau kalo kelas gue ada ulangan?" tanya Didan sambil menatap Rallin dari samping.
Tampak gadis itu menarik kedua ujung bibirnya. "Apapun tentang Nadiv gue tau," ucapnya sombong kemudian menatap Didan. Pikirannya menerawang ke kejadian kemarin, saat ia hendak pulang sekolah.
Rallin berjalan menyusuri koridor sekolah. Melewati kelas-kelas yang pintunya mulai ditutup oleh satpam. Mengingat jam pulang sekolah sudah berbunyi setengah jam yang lalu. Ia juga terlambat pulang karena ada urusan dengan salah satu guru. Sedangkan Maudi, gadis itu memilih pulang duluan karena di jemput ayahnya.
Sekolah belum benar-benar sepi. Masih ada beberapa siswa yang tampak berkeliaran di lapangan sekolah. Sepertinya mereka adalah anggota basket. Dilihat dari kostumnya. Ah iya! Dia baru ingat kalau sekarang hari rabu. Hari rabu adalah jadwal ekstrakurikuler basket. Dan kebanyakan anak basket itu berasal dari kelas XI IPS 1. Kelas Nadiv.
Rallin melihat Sendi. Dia adalah teman sekelas Nadiv dan Rallin cukup akrab dengan lelaki itu. Mengingat rumah mereka bersebelahan.
Rallin berjalan mendekat. Menghampiri Sendi yang sedang duduk di pinggir lapangan. Kakinya di luruskan. Keringat tampak mengucur di pelipis lelaki itu. Nafasnya juga terlihat memburu. Mungkin lelaki itu habis melakukan pemanasan dengan bola orange itu.
Rallin menepuk bahu Sendi keras. "Woi!" teriaknya tepat di telinga Sendi.
Sendi terlonjak kaget. Dia menatap tajam Rallin yang sudah memasang cengiran tanpa dosa. "Ngagetin aja sih!" gerutu Sendi.
Rallin terkekeh kemudian duduk disamping Sendi. Kakinya ikut diluruskan. Tangannya diletakkan ke belakang. Guna menyangga tubuhnya.
"Kenapa belum pulang? Mau nebeng?" tanya Sendi.
Rallin menggelengkan kepalanya. "Nggak. Gue bawa mobil kok," ucapnya.
"Besok ada ulangan dikelas gue. Materinya banyak lagi. Terus ntah kenapa gue ngerasa kayak dikasih wangsit," ucap Sendi menatap lurus ke depan.
Rallin diam. Dia menatap Sendi cengo. "Wangsit apaan?" tanyanya.
"Ya semacam pencerahan kalo besok bu Meta bakal minta ngumpulin catatannya," jawab Sendi.
Rallin menganggukkan kepalanya. Ia paham. Sendi tiba-tiba bangkit. Dia membersihkan tanah yang menempel di celananya.
"Gue kesana dulu. Lo balik sana. Udah sore," pinta Sendi sambil menepuk kepala Rallin kemudian pergi ke tengah lapangan. Berkumpul dengan teman anggotanya yang lain.
Rallin tersenyum menatap Sendi. Begitulah Sendi. Dia sudah seperti kakaknya sendiri. Sendi itu sudah seperti penjaganya disekolah. Dia itu sebelas dua belas dengan Nadiv. Sama-sama nakal dan urakan. Tapi Rallin senang bisa dekat dengan Sendi. Dia lelaki yang penyayang.
Rallin kemudian berjalan. Bukan ke arah parkiran tapi ia berbalik arah ke kelas Nadiv. Harapannya kelas itu belum dikunci oleh satpam. Dan benar saja, saat Rallin tiba disana, tampak satpam sedang memasangkan gembok di pintu.
"Pak! Pak!" teriak Rallin.
Satpam itu menoleh. Kemudian menatap Rallin yang berlari ke arahnya.
"Loh neng Tasha? Belum pulang?" tanya satpam yang bernama pak Juri itu.
Rallin terkekeh. Sejak ia masuk kelas sepuluh, pak Juri sudah memanggilnya Tasha. Saat Rallin bertanya alasannya, pak Juri dengan polosnya menjawab kalau nama Tasha lebih terlihat manis daripada Rallin. Pada saat itu Rallin hanya tersenyum menanggapinya.
"Mau ngambil buku temen pak," jawab Rallin.
Pak Juri kemudian membuka kembali pintu kelas itu. "Yaudah neng, silahkan ambil," ucap pak Juri.
Dengan segera Rallin melangkah masuk. Ia menuju bangku paling belakang dekat dinding. Ia sudah hafal betul kalau Nadiv tidak pernah membawa pulang bukunya. Maka dari itu ia langsung menilik laci meja lelaki itu. Dan benar saja. Disana banyak buku bertumpukan. Rallin yakin kalau semua buku pelajaran Nadiv disimpan disini.
Rallin mengambil semua buku yang ada di laci. Kemudian ia letakkan diatas meja. Matanya mencari tulisan buku sejarah pada sampul depan. Kemudian ia tersenyum mendapatkan apa yang ia cari. Buku dengan sampul biru bertuliskan 'Sejarah'. Rallin kemudian menata dan mengembalikan semua buku Nadiv ke dalam laci.
Ia melangkah keluar kelas sebelumnya ia memasukkan buku Nadiv ke dalam tas bermotif volkadot. Ia menyapa pak Juri kemudian berjalan ke parkiran dan pulang.
Saat malamnya, ia langsung menyalin catatan ke buku Nadiv. Rallin sampai menggelengkan kepalanya melihat betapa bersihnya buku Nadiv. Bahkan lembaran kertasnya saja masih lengket satu sama lain. Itu berarti Nadiv tidak pernah membuka buku ini.
Tak terasa jam sudah menunjukkan satu dini hari. Rallin menghela nafas sambil meregangkan jari-jarinya yang terasa pegal. Matanya sudah sangat sayu tanda ia mengantuk berat. Namun hatinya terus memberi semangat agar bisa menyelesaikan tugasnya. Ia tak mau kalau Nadiv dihukum oleh bu Meta. Ia tahu, guru itu tidak pernah main-main jika memberi hukuman.
Rallin tersenyum senang karena berhasil menyelesaikan tugasnya tepat pukul setengah tiga. Ia segera memasukkan buku Nadiv agar tidak ketinggalan. Sebelumnya ia tersenyum. Setidaknya beginilah cara dia mencintai Nadiv. Tidak akan membiarkan lelaki itu kesusahan selagi ia mampu. Ya walaupun nantinya catatan itu ntah benar dikumpulkan atau tidak, Rallin tidak masalah. Setidaknya untuk berjaga-jaga dan ia yakin pastinya catatan ini akan berguna untuk Nadiv.
Rallin merebahkan tubuhnya ke kasur berseprei gambar wajahnya. Sprei itu dulu hadiah dari ayahnya semasa ia ulang tahun. Perlahan gadis berambut panjang dengan sentuhan warna ungu di ujungnya itu menutup matanya. Semakin lelap membawanya ke alam bawah sadar.
"Woi!" teriak Didan tepat di depan wajah Rallin. Rallin terlonjak kaget dan menatap horor Didan.
"Apaan sih!" kesalnya kemudian mengusap wajahnya kasar. Bukannya apa, hanya saja air liur Didan ada yang muncrat ke wajahnya saat lelaki itu meneriakinya.
"Malah ngelamun lo. Cerita elah. Gue kepo nih," pinta Didan sambil menggoyangkan lengan Rallin. Rallin menepisnya kemudian bangkit dari duduknya.
"Ogah. Dah ah gue mau ke kelas. Bye!" Ucap Rallin sambil mengibaskan rambut ungunya itu ke wajah Didan. Kemudian ia berjalan menuju kelasnya.
"Kampret!" umpat Didan.
***
Bel pulang berbunyi nyaring. Seluruh siswa Grand Nusa bersorak senang dalam hati karena terbebas dari pelajaran yang membosankan. Apalagi jika diberi tugas, dan biasanya tugas yang belum terselesaikan akan dilanjutkan dirumah. Dan itu merupakan kebahagiaan tersendiri bagi para murid. Selain bisa mencontek, mereka juga bisa mencari jawabannya lewat internet.
Hari ini Rallin tidak membawa mobilnya. Ia sengaja, karena niatnya ingin meminta Nadiv mengantarnya. Rallin memasukkan bukunya ke dalam tas ranselnya. Kemudian menyatukan rambutnya yang tergerai menjadi satu. Dan menggulungnya ke atas lalu di kunci dengan jepitan rambut. Ia mengibaskan tangannya membuat angin mengeringkan lehernya yang berkeringat. Akhir-akhir ini, suhu di kotanya memang sedang naik.
"Panas anjir," ucapnya. Kemudian menyampirkan tasnya ke pundak.
"Pulang sama siapa?" tanya Maudi sambil memasang jepit rambut sama seperti Rallin.
"Pangeran dong. Dah ah, gue duluan. Bye!" Rallin langsung melangkah keluar meninggalkan Maudi.
Maudi hanya menggelengkan kepala lalu mengejar Rallin. Ia menyamakan langkahnya dengan langkah Rallin.
"Pulang sama gue aja lah. Ayah jemput tuh," ucap Maudi sambil menunjuk ke arah gerbang.
Rallin mengikuti arah pandang Maudi. Disana ada Hermawan, ayah Maudi. Rallin tersenyum saat Hermawan melambaikan tangan ke arahnya. Kemudian ia kembali menatap Maudi.
"Nggak deh. Kan gue udah bilang mau balik sama pangeran," tolak Rallin.
Maudi menghela nafas. "Yaudah, gue duluan ya," pamit Maudi sambil menarik pelan ujung rambut Rallin kemudian berlari.
"Aduh! Kampret lo!" teriak Rallin yang hanya ditanggapi kekehan oleh Maudi.
Rallin kembali melanjutkan langkahnya menuju kelas Nadiv. Tampak didepan kelas ada Didan dan Rangga. Rallin berjalan riang menghampiri duo kampret itu.
"Woi!" teriak Rallin sambil merangkul bahu Rangga dan Didan.
"Eh bocah, ngapain disini?" tanya Rangga sambil menonyor kepala Rallin.
Gadis itu mendengus kesal karena tatanan rambutnya sedikit berantakan. Padahal tadi sudah ia sisir rapi. Prinsipnya kalau mau ketemu Nadiv harus tampil cantik. Sudah cantik saja tidak dilirik apalagi kalau ia dekil? Dan sekarang rambut rusak karena Maudi dan Rangga. Menyebalkan.
"Mau balik. Nebeng Nadiv. Dia mana? Masih dikelas ya?" tanya Rallin hendak melongokkan kepalanya ke pintu. Namun buru-buru tasnya ditarik oleh Didan sehingga ia belum sempat melihat kelas Nadiv.
"Apaan sih?" tanya Rallin kemudian kembali melongokkan kepalanya. Namun lagi-lagi tasnya di tarik. Kali ini oleh Rangga.
"Kampret lo berdua. Apaan sih?" tanya Rallin kesal karena dua orang ini menghalanginya.
Rangga tersenyum lebar kemudian merangkul bahu Rallin. Membawanya berjalan. "Nadiv udah balik. Mending lo pulang sama gue," ucap Rangga.
Rallin mengernyit. Nadiv sudah pulang? Ia sedikit tidak yakin. Karena biasanya lelaki itu akan pulang paling terakhir. Rallin menepis pelan tangan Rangga. Kemudian menatap Rangga dan Didan dengan tatapan mengintimidasi.
"Bohong lo ya?" tuduhnya sambil menyipitkan matanya.
"Gak bohong elah," ucap Didan "Udah yok ah," lanjutnya sambil menarik tangan Rallin namun segera di tepis oleh Rallin.
Gadis berombre ungu itu berlari masuk ke dalam kelas Nadiv. Sampainya di ambang pintu dia terdiam. Matanya memanas. Dadanya sesak. Entah kenapa ia merasa pasokan oksigen disini sangat menipis. Hatinya nyeri melihat pemandangan didepannya. Rasanya sakit. Lidahnya kelu hanya untuk sekedar mengucap.
Disana, Nadiv tidak sendiri. Melakukan hal gila yang membuat Rallin harus kembali merasakan sakit untuk kesekian kalinya.
Rallin terhenyak. Hatinya nyeri seperti dihantam ribuan belati yang menyesakkan. Lidahnya kelu tak mampu berucap. Matanya menatap nyalang dua insan berbeda gender yang tengah bercumbu dibangku pojok tempat duduk Nadiv. Air mata perlahan turun membasahi pipi mulu gadis berombre ungu itu. Ia tahu, Rallin bukan siapa-siapa Nadiv, tapi jangan lupa kalau gadis itu begitu mencintai Nadiv. Melihat pemandangan itu benar-benar membuat hatinya hancur.Nadiv dan Adelia sempat menoleh. Namun Nadiv menarik tengkuk gadis yang berada dipangkuannya itu dan kembali melanjutkan aksi ciuman mereka yang terhenti karena kedatangan Rallin."Udah liatkan? Mending sekarang lo pulang. Gue anterin," ucap Didan sambil menarik tangan Rallin. Namun segera ditepis oleh Rallin.Rangga menghela nafas. "Masih mau liat? Mau tambah sakit lagi?" tanya Rangga lembut.Jujur, Didan dan Rangga ingin sekali menghantam kepala Nadiv karena tidak ta
"Nadiv yang buruk buat lo," ucap seseorang yang berdiri diambang pintu. Semua mata tertuju ke sumber suara.Pandangan Rallin menjadi kabur lantaran cairan bening itu kembali menggenang di pelupuk matanya. Gadis itu menangis lagi. Rangga dan Didan hanya bisa menghela nafas menghadapi orang yang sedang patah hati ini.Orang yang tengah bersender di pintu pun berjalan mendekat ke Rallin. Memotong jarak yang membentang. Kemudian berjongkok di hadapan Rallin. Menatapnya sebentar kemudian menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Mengusap pelan kepala gadis itu. Ia bisa merasakan baju seragamnya mulai basah karena air mata gadis itu. Ia tak peduli. Yang penting gadis itu nyaman."Sakit Sen," lirih Rallin semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Sendi."Berapa kali gue bilang? Berhenti Lin. Tapi lo nya batu," ucap Sendi sambil mengusap kepala gadis itu. Punggungnya bergetar semakin hebat. Tangisnya semakin pecah.
Rallin berjalan malas menuruni tangga. Matanya melirik meja makan, hanya ada mamanya. Bisa dipastikan papanya sudah berangkat bekerja.Rallin berjalan pelan menuju salah satu kursi meja makan. Menariknya lalu duduk. Kepalanya setia tertunduk.Ranti menaikkan pandangannya. Menatap sinis ke arah Rallin. Selanjutnya ia menjatuhkan sendoknya sehingga menimbulkan dentingan yang cukup keras. Rallin tersentak kaget mendengarnya. "Nafsu makan saya hilang karena ada kamu," ketus Ranti lalu melenggang pergi menuju kamarnya.Mata Rallin terpejam erat. Kembali merasakan sesak di dadanya.Jangan sedih, lo udah biasa di kayak giniin. Kebal dong hati, ucapnya dalam hati.Rallin mencoba menaikkan kedua sudut bibirnya. Tangannya men
Setelah puas menangis di taman belakang, Rallin memutuskan kembali ke kelas. Jam istirahat akan tiba sepuluh menit lagi.Selama berjalan, Rallin menerawang. Pikirannya kalut. Ia bahkan sempat bertanya pada Tuhan, kenapa hidupnya harus serumit ini? Jika di tanya apakah Rallin lelah? Jawabannya lebih dari lelah. Baginya tidak ada yang lebih menyakitkan dari di benci oleh orang yang dia sayangi. Orang tuanya dan Nadiv. Mereka seolah kompak untuk membuat Rallin semakin rapuh.Rallin sudah cukup sesak menahan semua beban hidupnya. Selama ini tidak ada yang pernah memahaminya kecuali Maudi, Sendi dan seseorang yang saat ini sedang tidak ada di sekolah.Seseorang itu tengah menjalani pertukaran pelajar. Seseorang itu juga sahabat karibnya Nadiv. Bedanya diantara mereka berempat, hanya seseorang itu yang paling pintar. Maka dari itu dia di ajukan untuk pertukaran pelajar dengan SMA Dwingga. Kabarnya dua hari lagi, seseorang itu te
Selalu ada yang peduli meskipun ada banyak yang membenci. Percayalah, Tuhan memilihmu untuk merasakan sakit karena Dia yakin kau mampu bangkit***Rallin memegang kepalanya yang sakit karena terbentur dada bidang di depannya. Dalam hati ia berfikir siapa yang sudah di tabraknya ini. Apa dia Nadiv? Ya, itulah harapan Rallin. Sama seperti film percintaan yang setiap hari di tontonnya. Tiba-tiba Rallin merasakan jantungnya kembali berdegub kencang. Rallin tak berani menengadahkan kepalanya. Ia belum siap menatap mata Nadiv lagi. Tapi kenapa Nadiv tak bersuara sejak tadi? Biasanya lelaki itu akan mengumpatnya."Hai, sayang."Akhirnya ia bersuara juga. Tapi tunggu, ini bukan suara Nadiv. Dia yakin karena dia sudah sangat hafal bagaimana suara lelaki yang di cintainya itu. Lagi pula mana mung
Hidup ini tidak adil, jadi biasakanlah dirimu- Patrick Star-***"Berhenti!" teriak seseorang dari pintu.Ranti menghentikan aksinya. Ia menatap tajam orang yang sudah mengganggu kesenangannya. Rallin diam, ia tak cukup berdaya walau sekedar menoleh. Dengan kasar, Ranti mendorong tubuh Rallin sampai gadis itu terjerembab ke lantai. Kembali menciptakan luka fisik untuk gadis yang kini sudah menunduk terisak. Tanpa berniat melihat siapa yang sudah berani meneriaki Ranti."Mau apa kamu?" tanya Ranti sengit. Matanya menatap tajam orang yang sudah mengganggu aktivitasnya.Orang itu berjalan cepat menghampiri Ranti. Matanya menyiratkan amarah yang tertahan. Nafasnya memburu. Bahkan urat-urat lehernya
Aku suka caramu mengabaikan rasa sakit *** Rallin berjalan malas. Sudah dua hari ia berada di apartemen Maudi hanya untuk memulihkan lukanya. Kemarin Henggar sempat memaksanya untuk ke rumah sakit namun Rallin menolaknya. Rallin bersyukur masih ada yang mempedulikannya. Setidaknya mereka adalah alasan terkuat Rallin untuk bertahan dalam situasi ini. Ia mendudukkan dirinya di balkon kamar Maudi. Matanya menatap miris luka-luka di sekujur tubuhnya. Luka yang di dapat dari orang yang sangat di sayanginya. Entah sampai kapan penderitaan ini akan berakhir, yang jelas Rallin aku berusaha sekuat tenaga. Sampai menutup mata, jika diizinkan. Bibirnya tersenyum pilu. Mengingat hidupnya yang penuh dengan kekerasan. Kekerasan yang menyakiti batin maupun fisiknya. Set
Ironi cinta : wanita mencintai laki-laki yang menyakitinya, dan laki-laki menyakiti wanita yang mencintainya* * *Rallin terdiam duduk di balkon apartemen Maudi. Pemandangan di malam hari seperti ini tampak terlihat indah. Apalagi jika dilihat dari atas gedung apartemen ini. Hamparan kota di bawah sana nampak cantik dengan di hiasi lampu-lampu yang terang. Rallin Menikmati angin malam yang berhembus lembut menyapu seluruh wajahnya. Rallin menutup wajahnya dengan tangan sebentar lalu mengusapnya perlahan. Rambutnya yang terurai sedikit berantaka karena terkena sapuan angin. Tangan gadis itu terulur memegang besi pembatas. Matanya terpejam mencoba meresapi udara malam yang terasa menenangkan. Rallin menghembuskan nafasnya secara perlahan. Mencoba bersikap rileks.Hari ini ia sendiri. Maudi terpaksa harus pulang ke rumahny
Seorang lelaki berusia 20 tahun menatap wanita paruh baya dari kaca tembus pandang. Tatapannya terlihat datar.“Setiap malam dia menangis. Setiap aku mengantarkan makanan, dia selalu mengira aku putrinya,” ujar seorang gadis berpakaian perawat membuat lelaki itu mengalihkan pandangannya.“Apa kau kenal dengan putrinya? Apa kau bisa membawakan putrinya kemari?” tanya perawat.Lelaki itu tersenyum getir. “Putrinya sudah meninggal. Membuat dia hidup penuh dengan penyesalan,” jawab lelaki itu.Perawat hanya diam saja. Merasa tidak enak karena telah menanyakan hal itu. Lalu perawat itupun pamit permisi, meninggalkan lelaki itu sendiri.Lelaki itu berjalan pergi meninggalkan ruangan. Tangannya merogoh saku celananya kemudian mengeluarkan sebuah kertas yang sudah usang. Ia membuka kertas itu dan kembali membaca isinya yang hampir tiap malam ia baca tanpa bosan.“Teruntuk kamu, aku selalu mencintai kamu samp
“Nyokap gue bukan pelakor,”tekan lelaki di depan Henggar dengan matanya yang menyorot tajam.“Sudah, biar saya jelaskan,” lerai wanita itu dengan lembut.Kemudian tatapannya beralih ke Henggar. Wanita itu menatap sendu ke arah Henggar. “Saya tidak pernah merebut Papa kamu dari Mama kamu. Tapi Mama kamu yang telah merebut mas Herman dari saya,” terang wanita itu.Henggar menggeleng tak percaya. “Saya tidak percaya!”“Kamu bisa tahu saya, pasti kamu punya kalung berliontin hati, kan? Di dalamnya ada foto saya dan mas Herman,” ujar wanita itu.Henggar langsung bungkam. Benar yang dikatakan wanita itu, ia bisa tahu wanita itu karena dari liontin. Wanita itu tampak mengulas senyum tipis kemudian ia menepuk bahu Henggar.“Saya adalah istri pertama mas Herman tapi Mama kamu tidak pernah tahu tentang ini. Kenapa? Karena hubungan saya dan mas Herman tidak mendapat restu dari kedu
Seorang wanita dengan pakaian yang tampak glamour serta elegan itu tengah berada di sebuah studio foto. Sepertinya tengah melakukan photoshoot. Wanita itu terlihat sedang berjalan menuju ruang make up.“Ibu masih saja awet muda. Padahal sudah punya anak tiga,” puji seorang gadis yang berada di belakangnya. Sepertinya tengah membenarkan rambut yang berantakan.Wanita itu tersenyum tipis. Matanya menatap ke arah cermin yang ada di depannya. “Anakku hanya dua,” ujarnya tegas seolah tanpa beban.Gadis di belakangnya itu mengernyit. “Oh, iya? Bukankah ada tiga? Yang satu lagi perempuan?” tanya gadis itu lagi.“Hanya dua dan semuanya laki-laki. Satu anak lelakiku sudah meninggal,” tegas wanita itu lagi.Gadis hanya tersenyum simpul. Tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Kemudian ia kembali membenahi tatanan rambut milik wanita di depannya itu.“Pemirsa, sebuah fakta mengejutkan terungkap dari sal
Tidak ada yang baik-baik saja jika berada di posisi Henggar. Lelaki itu tampak putus asa. Ia bahkan berulang kali menyalahkan dirinya karena tidak bisa menjaga Rallin dengan baik. Adiknya yang begitu ia sayangi, kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan keadaan belum sadarkan diri. Ia tidak tahu apa yang membuat adiknya drop seperti itu.“Kemarin dia masih baik-baik aja, Di.” Henggar berkata lirih. Tatapan lelaki itu tampak kosong. Seperti tidak ada gairah hidup di dalam tatapannya.Maudi yang setia menemani Henggar pun ikut merasakan kehampaan lelaki itu. Ia juga merasa sangat terpukul. Terlebih lagi Rallin adalah sahabat satu-satunya yang mampu mengerti dirinya bahkan lebih dari siapapun termasuk orang tuanya. Melihat Rallin lemah tak berdaya membuat relung hatinya berdenyut sakit.“Doain aja yang terbaik buat dia, Gar. Gue bahkan ngerasa orang paling bodoh karena sahabat gue sakit aja gue nggak tau,” ujar Maudi miris.K
Dalam hidupnya, Henggar tidak pernah berfikir akan mengalami hal seburuk ini. Kehilangan saudara kembar dengan cara yang tragis menyisakan trauma yang dalam untuknya. Terjadinya perpecahan di dalam keluarganya, membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih dingin dan tertutup.Menjadi pribadi yang dingin, membuat Henggar tidak pernah merasa takut dengan apapun. Ia merasa, hatinya sudah mati. Namun untuk kedua kalinya, rasa takut yang begitu hebat kembali menyerang ulu hatinya.Derap langkah kaki yang begitu cepat seperti tengah berlari, membuat para pengunjung rumah sakit menatapnya dengan heran. Pandangan lelaki itu tampak mengabur karena buliran kristal mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak peduli dengan tatapan yang tertuju padanya. Pikirannya sekarang hanya terfokus pada adiknya, Rallin.Detak jantung Henggar mendadak terhenti saat tadi mendapati pesan dari Maudi yang mengabarkan kalau Rallin tiba-tiba mimisan lalu pingsan. Maudi juga memberitahu ruma
“Gila lo? Demi apa, anjir?!”Rallin menutup telinganya dengan kedua tangan. Meredam suara Maudi yang begitu melengking memekakkan telinga. Raut wajah Maudi tampak begitu terkejut setelah Rallin menceritakan kejadian di rumah sakit tadi. Tepat saat Arden menyatakan perasaannya pada Rallin.Jangankan Maudi, Rallin saja sangat terkejut bahkan gadis itu tidak bisa berkata apa-apa tadi. Setelah pulang dari rumah sakit, Rallin meminta Sendi untuk mengantarkannya ke rumah Maudi. Pasalnya gadis itu tidak sedang ada di apartemen. Toh, Rallin juga enggan pergi ke apartemen Maudi yang berdekatan dengan apartemen milik Nadiv.Entahlah, Rallin rasanya sudah mati rasa dengan lelaki yang sampai saat ini masih merajai hatinya. Perlakuan serta sikap lelaki itu seolah meminta Rallin untuk pergi dari sisinya. Rallin tersenyum getir, lalu untuk apa kemarin Nadiv melontarkan janji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi kalau pada akhirnya akan terus terulang seperti in
“Mungkin mengikhlaskan adalah cara terbaik untuk menyelamatkan diri, sebelum semuanya semakin dalam dan semakin sakit lagi.”Rallin menarik nafas panjang kala mendengar penuturan Arden yang menyentuh hatinya itu. Lelaki itu selalu tahu apa yang dipikirkan Rallin. Kini keduanya tengah duduk di sebuah bangku taman yang ada di halaman belakang rumah sakit. Tempat yang jarang dikunjungi, sehingga mampu menenangkan hati yang tengah gundah.Gadis itu menatap jauh ke depan. Pandangannya tampak kosong. Ada rasa hampa dalam dirinya ketika tidak bersama Nadiv. Nyatanya ia tak bisa membohongi perasaannya sendiri. Terlalu dalam mencintai rupanya salah satu cara mendekatkan diri dengan kecewa yang dalam juga. Ingin marah, tapi percuma. Sama saja seperti dirinya membuang-buang tenaga.Kemudian gadis itu mengalihkan pandangannya ke samping. Menatap Arden yang tampak ikut diam. “Kenapa saya nggak pernah beruntung dalam hal percintaan, Dok?” tanyanya send
Mulai saat ini, bersikaplah seharusnya. Tanpa harus membiarkan diri terluka hanya demi menjaga perasaan orang lain. Karena pada dasarnya, setiap hati juga ingin dihargai. Bukan terus memaklumi mereka yang tak pernah mencoba mengerti. Semua hal itu butuh waktu, dan hal baik datang di waktu yang tepat.Rallin menghela nafasnya panjang. Rasa sesak masih terus menggerogoti relung hatinya. Baru saja berjanji, namun langsung ingkar. Tidak pernah habis fikir dengan sikap Nadiv saat ini. Kalau memang ia masih mencintai Adelia, kenapa ia enggan kembali? Malah meminta Rallin untuk terus bersamanya.Sekarang, Rallin hanya ingin tenang. Ia tidak ingin terbebani dengan hal apapun termasuk asmara. Ia sadar, selama ini ia terlalu dalam melukai hatinya sendiri. Gadis itu mengusap air matanya yang tiba-tiba saja menetes.Bohong kalau ia tidak sakit hati. Cewek mana yang rela liat cowoknya mentingin cewek lain terlebih itu adalah mantannya sendiri. Namun sekarang, ia sudah meyaki
Ucapan Rallin membuat kepala Nadiv berputar 180 derajat menghadap Rallin. Tak mengerti dengan ucapan gadis itu. Wajahnya tampak bingung.Melihat itu, Rallin mengulas senyum getir. “Setidaknya, kalo lo emang nggak cinta, jangan bertingkah seolah-olah lo bakal cinta sama gue. Dibohongi kayak gini lebih menyakitkan daripada ditinggalkan.”Kening Nadiv berkerut. Ia tak suka dengan apa yang dibicarakan oleh Rallin. Apa maksud gadis itu menyuruhnya pergi? Apa Rallin sudah tidak mencintai dirinya lagi?“Maksud lo apa?”Rallin mengalihkan pandangannya ke depan. Menatap bunga-bunga yang tampaknya lebih menarik. “Pada akhirnya, yang pernah mencintai tanpa tapi, pernah bertahan tanpa paksaan, dan pernah sabar menanti sadar pun, akan melepaskan tanpa pesan,” ujarnya tanpa menatap Nadiv.“Lo mau ngelepasin gue? Kenapa?” tanya Nadiv. Ia tak terima dengan Rallin yang seperti ini. Ini hanya perkara ia menjaga Adelia