Seorang gadis menguap lebar saat pelajaran sejarah sedang berlangsung. Sontak sebuah tangan seseorang di sampingnya menutup mulutnya. Gadis itu menoleh kemudian menampilkan cengiran lebarnya.
"Kebiasaan," decak seseorang di sampingnya.
"Gue lupa, hehe" kekehnya pelan sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.
"Lupa terus. Apa sih yang lo inget?" cibir seseorang di sampingnya.
"Nadiv," jawab gadis itu sambil tersenyum.
Seseorang di sampingnya itu hanya menghela nafas. Matanya menatap fokus pada papan tulis yang berisi tulisan. Makin lama dipandang makin pusing karena tulisannya yang terlalu kecil.
Seseorang yang bername tag Maudiryn Hermawan itu menggelengkan kepalanya tak habis fikir dengan gadis yang notabene adalah sahabatnya itu. Entah punya muka berapa sampai ia setebal itu menyukai pacar orang tanpa rasa malu. Iya, Nadiv Dirgantara, lelaki yang di sukai sahabatnya itu telah memiliki kekasih. Bahkan sahabatnya itu terang-terangan menunjukkan rasa sukanya di depan banyak orang. Seluruh siswa Grand Nusa pun tahu tentang hal itu. Bahkan sahabatnya itu suka melakukan hal gila hanya untuk menarik perhatian Nadiv.
Baiklah, gadis yang kerap disapa Maudi itu tidak masalah jika sahabatnya menyukai lelaki yang baik-baik. Dalam artian tidak urakan, tidak nakal, tidak kasar. Tapi ini Nadiv, seantero Grand Nusa pun tahu bagaimana reputasi buruk yang di sandang lelaki itu. Jika di sandingkan dengan sahabatnya, Nadiv tidak ada apa-apanya.
"Kapan istirahat sih," keluh gadis itu.
Maudi menoleh, kemudian memutar bola matanya jengah.
"Kenapa sih? Lo lesu gitu kayak gak dikasih makan setahun," ucap Maudi.
Gadis disampingnya itu menoleh, kemudian memasang wajah sesedih mungkin.
"Gue kangen sama Nadiv, tadi pagi gak ketemu soalnya," ucapnya pelan, wajahnya pias.
Maudi melotot mendengar ucapan sahabatnya itu. Rahangnya menganga, andai saja tidak kuat, bisa dipastikan rahangnya jatuh ke lantai. Namun ia urungkan untuk membalas ucapan sahabatnya. Karena ia sadar kalau sedari tadi tatapan bu Meta sudah mengarah padanya. Maudi yang merasa terintimidasi pun segera membungkam mulut dan kembali memfokuskan matanya ke depan.
Sementara sahabatnya itu, kini tengah menelungkupkan wajahnya di antara lipatan kedua tangannya di meja. Di depan kepalanya ia tegakkan benteng pertahanan dari buku paket agar bu Meta tidak mengetahuinya.
"Rallin Natasha, gue rasa lo udah gila," ucap Maudi pelan sambil terus menatap ke depan.
Rallin, gadis yang tengah menelungkupkan wajahnya itu hanya tersenyum tipis. Iya, dia akui dia memang sudah gila. Gila akan pesona Nadiv Dirgantara.
Tak lama kemudian, bel istirahat berbunyi. Bagi seorang pelajar, suara bel pulang dan bel istirahat adalah suara yang paling merdu dari suara apapun.
Rallin segera menegakkan kepalanya dengan semangat. Senyumnya tercetak lebar. Dengan gerakan cepat, ia memasukkan seluruh barangnya ke dalam tas. Lalu berdiri dan melangkah keluar. Ia lupa kalau ia meninggalkan sahabatnya, Maudi.
"Cuma karena mau ketemu Nadiv, lo sampe ninggalin gue?" tanya Maudi datar.
Rallin yang sampai di ambang pintu pun berbalik kemudian berjalan menghampiri Maudi. Memasang wajah tanpa dosa kemudian menggandeng tangan Maudi.
"Iya maaf, soalnya gue semangat banget mau ketemu Nadiv," ucap Rallin dengan ceria.
"Berhenti jadi pelakor Lin," ucap Maudi.
"Gue gak ngerasa jadi pelakor Di," bantah Rallin.
"Tapi lo deketin cowok yang udah punya pacar Lin,"
"Selagi janur kuning belum melengkung, Nadiv masih bisa dimiliki siapapun, termasuk gue," ucap Rallin
Maudi memilih diam. Jika sudah seperti ini ia memilih untuk mengalah. Karena ia tahu, berdebat dengan Rallin tidak akan ada ujungnya. Dan tetap saja Rallin yang menang. Ia kadang berfikir kalau ia dan Rallin itu seperti kakak adik. Dimana hukumnya adik selalu menang dan kakak selalu kalah. Bukankah kebanyakan seperti itu?
***
Suasana kantin di jam istirahat pertama memang ramai. Apalagi kantin kelas sepuluh dan sebelas itu jadi satu tempat. Sedangkan kantin kelas tiga berada di lantai tiga.
Disana, di meja paling pojok sudah terisi empat orang. Salah satu di antaranya adalah perempuan.
"Mau pesen apa?" tanya lelaki bername tag Nadiv Dirgantara H. pada gadis disampingnya.
Gadis itu terlalu sibuk dengan ponselnya sampai ia tak mendengar ucapan Nadiv.
"Adel?," panggil Nadiv.
Gadis itu menoleh menatap Nadiv.
"Apa?" Jawab Adelia.
"Mau pesen apa?" tanya Nadiv lagi.
"Samain aja," jawab Adelia kemudian sibuk lagi dengan ponselnya.
Nadiv mengangguk. Ia hendak beranjak pergi namun temannya berucap.
"Gue gak di pesenin sekalian?" tanya Rangga.
"Ya kali cuma Adel doang njir," tambah Didan.
"Ogah amat. Pesen aja sendiri," ucap Nadiv kemudian berjalan menuju stand.
Rangga dan Didan mendecak sebal. Kemudian Rangga menyusul Nadiv untuk memesan makanan untuknya dan Didan.
Satu hal yang Rangga dan Didan fikirkan tentang Nadiv. Nadiv mencintai orang yang salah. Kenapa seperti itu? Karena mereka tahu kalau Adelia tidak pernah mencintai Nadiv. Dua bulan yang lalu, tepat hari pertama Adelia dan Nadiv berpacaran, Didan tidak sengaja mendengar percakapan antara Adelia dan temannya di perpustakaan. Awalnya Didan tidak peduli, toh bukan urusannya juga. Namun langkahnya terhenti saat nama Nadiv disebut.
Dan yang membuat Didan marah adalah saat Adelia mengatakan kalau ia menerima Nadiv hanya karena kasian dan tidak ingin lelaki itu malu.
Jujur, Didan ingin menghajar gadis itu. Tapi ia masih waras untuk tidak menyerang seorang gadis. Hal itu pun hanya Didan dan Rangga yang tahu. Mereka tak ingin Nadiv tahu tentang hal ini. Jika tahu, Nadiv pasti akan hancur. Jadilah mereka memilih diam dan memantau perkembangan hubungan sahabatnya. Namun sejauh ini, Nadiv masih saja bertahan dengan sikap Adelia yang acuh kepadanya.
Nadiv dan Rangga sudah kembali membawa pesanan mereka. Belum sempat Rangga duduk, Didan sudah lebih dulu berdiri mengambil makanannya.
"Santai aja kali. Gak sabaran amat lo!" decak Rangga sambil menaruk mangkuk berisi bakso tanpa mie nya itu.
"Lo lemot soalnya," ucap Didan sambil melahan satu pentol siomay nya.
Didan menatap penuh binar melihat dua sosok yang baru datang dan berdiri di ambang pintu. Terlihat mata dua gadis itu menelisik mencari bangku yang kosong. Tanpa pikir panjang, Didan langsung memanggil dua gadis itu.
"Rallin! Maudi!" teriak Didan sambil melambaikan tangannya.
Nadiv yang mendengar nama Rallin, tiba-tiba terdiam. Selera makannya hilang. Ia mendadak kenyang.
Berbeda dengan Nadiv, Rallin tampak berbinar menatap Didan, ah ralat, lebih tepatnya ke arah Nadiv yang duduk memunggunginya. Meskipun dari belakang, Rallin bisa tahu kalau itu punggung Nadiv, jangankan punggungnya, jejak Nadiv pun Rallin bisa tahu.
Dengan cepat Rallin menarik tangan Maudi berjalan ke arah Didan. Beruntung disana masih tersisa dua kursi. Dewi fortuna sedang berpihak pada Rallin hari ini.
"Disini aja Lin," ucap Didan.
" iya Dan, aman. Ada moodbooster soalnya " ucap Rallin sambil tersenyum ke arah Nadiv tanpa peduli adanya Adelia disana.
Nadiv hanya diam sambil meminum jus mangganya. Sementara Adelia, dia bahkan terlihat biasa saja. Cemburu? Adelia bahkan tidak memiliki rasa cemburu sedikit pun ketika Nadiv di dekati banyak wanita. Karena pada dasarnya cemburu itu ada karena kita memiliki rasa cinta pada pasangan kita. Dan disini, Adelia tidak memiliki perasaan apapun untuk Nadiv. Jadi bagaimana bisa dia cemburu?
"Hari ini lo yang pesen ya Di," ucap Rallin sambil menyengir lebar.
"Tiap hari juga gue yang pesen Lin," dengus Maudi sambil berjalan menuju stand
"Besok gue Di, tenang aja!" teriak Rallin kemudian duduk di depan Nadiv.
Tangannya ia tekuk untuk menyangga dagunya. Matanya terfokus pada lelaki yang ada didepannya. Entahlah, dari sekian banyak orang yang men-cap Nadiv seseorang yang buruk, Rallin malah mengatakan kalau Nadiv yang terbaik. Cinta memang sebuta itu.
Lalu matanya beralih pada gadis yang duduk di sebelah Nadiv. Gadis itu sedang sibuk dengan ponselnya. Rallin berdecih pelan. Pacarnya ada disamping sedangkan dia malah sibuk bermain ponsel? Kalau Rallin jadi Nadiv, pasti ia tidak akan segan-segan melempar ponsel itu. Tapi Rallin tak habis fikir, bagaimana bisa Nadiv lebih memilih gadis yang tidak mencintainya dan mengabaikan gadis seperti Rallin yang jelas-jelas sudah mengejarnya selama satu tahun terakhir ini?
Hei! Satu tahun mengejar cinta Nadiv itu bukanlah waktu singkat. Lalu dengan seenaknya Adelia datang di kehidupan Nadiv dan mengambil hati Nadiv bahkan saat Rallin belum bisa menggapainya. Ironis sekali.
Mata Rallin sontak membulat saat tangan Nadiv mendarat dipucuk kepala Adelia. Mengusapnya lembut syarat penuh kasih sayang.
"Udah? Aku anter ke kelas yuk," ucap Nadiv lembut.
Ya Tuhan! Kapan Nadiv bisa berkata selembut itu pada Rallin? Sungguh, Rallin sangat menunggu momen itu.
Rallin semakin panas saat Adelia hanya menganggukkan kepalanya saja dan berjalan duluan didepan Nadiv. Ingin rasanya Rallin menjambak rambut sebahu milik Adelia. Dengan sesuka hati dia mengabaikan orang yang sangat di cintainya? Tunggu saja saatnya, Rallin akan bertindak.
"Gue duluan," ucap Nadiv dingin kepada kedua sahabatnya.
Didan dan Rangga mengangguk saja. Toh, semenjak Nadiv berpacaran dengan Adelia, lelaki itu jarang sekali memiliki waktu untuk mereka. Dia lebih memilih menghabiskan waktu istirahatnya bersama Adelia. Ketika di kantin, yang biasanya hanya ada mereka bertiga, yang suka ngebacot sana-sini, kini harus ada Adelia. Hal itu tentu saja tidak memberikan pergerakan bebas untuk Didan dan Rangga.
"Gue gak suka sama Adelia," ucap Rallin tiba-tiba sambil menusuk bakso yang baru dibawa oleh Maudi dengan penuh tekanan, syarat menyalurkan emosinya yang terpendam sejak tadi.
"Seluruh Grand Nusa juga tau kalo lo gak suka sama Adelia," sahut Rangga.
"Semenjak Nadiv pacaran sama Adelia, dia lebih sering ngebucin. Mana ngebucinin orang yang salah lagi," tambah Didan.
"Dia terlalu buta sama cintanya, sama kayak lo Lin, terlalu buta sama cinta lo ke Nadiv." Tukas Maudi membuat Rallin menoleh cepat ke arahnya.
Rallin tidak bernafsu makan lagi. Ia jatuhkan kepalanya ke atas meja. Menghembuskan nafasnya berat. Seolah menyampaikan betapa banyak keresahan yang ada di dalam dirinya.
Namun tiba-tiba ia menegakkan kepalanya dan berdiri.
"GUE HERAN SAMA NADIV, TULANG RUSUK SECANTIK DAN SETULUS INI KENAPA SIH GAK MAU DILIRIK?!" teriaknya frustasi.
Membuat seluruh siswa yang berada di kantin menatapnya heran. Sementara Maudi, Didan, dan Rangga hanya bisa menundukkan kepalanya menahan malu dengan aksi heroik dari Rallin.
"Kalo gue bisa menghilang, gue udah menghilang dari tempat haram ini Lin, gila lo sumpah!" desis Maudi tajam.
Rallin hanya diam. Ia tak peduli. Yang ia fikirkan sekarang hanya Nadiv, Nadiv, dan Nadiv. Benar bukan kalau Rallin bisa melakukan hal gila hanya karena Nadiv?
Kata-kata legend ketika didalam kelas diantaranya; bosen nih, jam berapa?, gue ngantuk, gue laper, mudah-mudahan guru gak masuk, emang ada ulangan sekarang?, mampus gue belum ngerjain PR, nyontek dong, punya pulpen dua gak?, lo ngerti gak?, gak paham gue, ke toilet yuk. Poin keenam yang saat ini ditanyakan oleh Nadiv ketika lelaki itu baru saja masuk ke kelas. Matanya menatap heran kepada teman-temannya yang sibuk membolak-balik buku. Mereka tampak seperti sedang belajar.Kemudian ia melihat Rangga dan Didan sedang duduk di bangkunya. Bangku yang sangat strategis. Letaknya di pojok belakang barisan kursi guru. Sangat menguntungkan bagi siswa-siswa yang suka mencontek. Itulah mengapa Nadiv, Didan, dan Rangga memilih bangku itu. Mereka duduk dikursi tiga baris berturut dari belakang.Nadiv menghampiri Didan dan Rangga. Kemudian ia duduk di bangkunya yang paling belakang."Emang ada ulangan sekarang?" tanya Nadiv.
"Ralin?"Bukan hanya Rallin, namun semua orang yang ada didalam studio pun menolehkan kepalanya ke arah pintu. Disana, berdiri Didan dengan tampang polos. Cengiran lebar menghiasi bibirnya. Sepertinya ia salah waktu karena sudah mengganggu Rallin dan temannya.Rallin menegakkan tubuhnya dan meletakkan gitarnya di sofa dan berjalan keluar menghampiri Didan."Apaan Dan?" tanya Rallin.Didan tersenyum kikuk. Kepalanya melongok ke dalam pintu. "Gue pinjem Rallin bentar ya?" izinnya pada penghuni studio.Gandi mengangguk seolah memberi izin. "Bawa aja. Asal di balikin," ucapnya.Rallin memberengut kesal mendengar ucapan Gandi. "Lo pikir gue barang!" kesalnya.Setelah itu Didan menarik tangannya pelan. Lelaki itu membawa Rallin menuju taman belakang sekolah. Taman yang sangat jarang di kunjungi. Padahal kalau dilihat, taman ini suasananya sangat tenang. Cocok un
Rallin terhenyak. Hatinya nyeri seperti dihantam ribuan belati yang menyesakkan. Lidahnya kelu tak mampu berucap. Matanya menatap nyalang dua insan berbeda gender yang tengah bercumbu dibangku pojok tempat duduk Nadiv. Air mata perlahan turun membasahi pipi mulu gadis berombre ungu itu. Ia tahu, Rallin bukan siapa-siapa Nadiv, tapi jangan lupa kalau gadis itu begitu mencintai Nadiv. Melihat pemandangan itu benar-benar membuat hatinya hancur.Nadiv dan Adelia sempat menoleh. Namun Nadiv menarik tengkuk gadis yang berada dipangkuannya itu dan kembali melanjutkan aksi ciuman mereka yang terhenti karena kedatangan Rallin."Udah liatkan? Mending sekarang lo pulang. Gue anterin," ucap Didan sambil menarik tangan Rallin. Namun segera ditepis oleh Rallin.Rangga menghela nafas. "Masih mau liat? Mau tambah sakit lagi?" tanya Rangga lembut.Jujur, Didan dan Rangga ingin sekali menghantam kepala Nadiv karena tidak ta
"Nadiv yang buruk buat lo," ucap seseorang yang berdiri diambang pintu. Semua mata tertuju ke sumber suara.Pandangan Rallin menjadi kabur lantaran cairan bening itu kembali menggenang di pelupuk matanya. Gadis itu menangis lagi. Rangga dan Didan hanya bisa menghela nafas menghadapi orang yang sedang patah hati ini.Orang yang tengah bersender di pintu pun berjalan mendekat ke Rallin. Memotong jarak yang membentang. Kemudian berjongkok di hadapan Rallin. Menatapnya sebentar kemudian menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Mengusap pelan kepala gadis itu. Ia bisa merasakan baju seragamnya mulai basah karena air mata gadis itu. Ia tak peduli. Yang penting gadis itu nyaman."Sakit Sen," lirih Rallin semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Sendi."Berapa kali gue bilang? Berhenti Lin. Tapi lo nya batu," ucap Sendi sambil mengusap kepala gadis itu. Punggungnya bergetar semakin hebat. Tangisnya semakin pecah.
Rallin berjalan malas menuruni tangga. Matanya melirik meja makan, hanya ada mamanya. Bisa dipastikan papanya sudah berangkat bekerja.Rallin berjalan pelan menuju salah satu kursi meja makan. Menariknya lalu duduk. Kepalanya setia tertunduk.Ranti menaikkan pandangannya. Menatap sinis ke arah Rallin. Selanjutnya ia menjatuhkan sendoknya sehingga menimbulkan dentingan yang cukup keras. Rallin tersentak kaget mendengarnya. "Nafsu makan saya hilang karena ada kamu," ketus Ranti lalu melenggang pergi menuju kamarnya.Mata Rallin terpejam erat. Kembali merasakan sesak di dadanya.Jangan sedih, lo udah biasa di kayak giniin. Kebal dong hati, ucapnya dalam hati.Rallin mencoba menaikkan kedua sudut bibirnya. Tangannya men
Setelah puas menangis di taman belakang, Rallin memutuskan kembali ke kelas. Jam istirahat akan tiba sepuluh menit lagi.Selama berjalan, Rallin menerawang. Pikirannya kalut. Ia bahkan sempat bertanya pada Tuhan, kenapa hidupnya harus serumit ini? Jika di tanya apakah Rallin lelah? Jawabannya lebih dari lelah. Baginya tidak ada yang lebih menyakitkan dari di benci oleh orang yang dia sayangi. Orang tuanya dan Nadiv. Mereka seolah kompak untuk membuat Rallin semakin rapuh.Rallin sudah cukup sesak menahan semua beban hidupnya. Selama ini tidak ada yang pernah memahaminya kecuali Maudi, Sendi dan seseorang yang saat ini sedang tidak ada di sekolah.Seseorang itu tengah menjalani pertukaran pelajar. Seseorang itu juga sahabat karibnya Nadiv. Bedanya diantara mereka berempat, hanya seseorang itu yang paling pintar. Maka dari itu dia di ajukan untuk pertukaran pelajar dengan SMA Dwingga. Kabarnya dua hari lagi, seseorang itu te
Selalu ada yang peduli meskipun ada banyak yang membenci. Percayalah, Tuhan memilihmu untuk merasakan sakit karena Dia yakin kau mampu bangkit***Rallin memegang kepalanya yang sakit karena terbentur dada bidang di depannya. Dalam hati ia berfikir siapa yang sudah di tabraknya ini. Apa dia Nadiv? Ya, itulah harapan Rallin. Sama seperti film percintaan yang setiap hari di tontonnya. Tiba-tiba Rallin merasakan jantungnya kembali berdegub kencang. Rallin tak berani menengadahkan kepalanya. Ia belum siap menatap mata Nadiv lagi. Tapi kenapa Nadiv tak bersuara sejak tadi? Biasanya lelaki itu akan mengumpatnya."Hai, sayang."Akhirnya ia bersuara juga. Tapi tunggu, ini bukan suara Nadiv. Dia yakin karena dia sudah sangat hafal bagaimana suara lelaki yang di cintainya itu. Lagi pula mana mung
Hidup ini tidak adil, jadi biasakanlah dirimu- Patrick Star-***"Berhenti!" teriak seseorang dari pintu.Ranti menghentikan aksinya. Ia menatap tajam orang yang sudah mengganggu kesenangannya. Rallin diam, ia tak cukup berdaya walau sekedar menoleh. Dengan kasar, Ranti mendorong tubuh Rallin sampai gadis itu terjerembab ke lantai. Kembali menciptakan luka fisik untuk gadis yang kini sudah menunduk terisak. Tanpa berniat melihat siapa yang sudah berani meneriaki Ranti."Mau apa kamu?" tanya Ranti sengit. Matanya menatap tajam orang yang sudah mengganggu aktivitasnya.Orang itu berjalan cepat menghampiri Ranti. Matanya menyiratkan amarah yang tertahan. Nafasnya memburu. Bahkan urat-urat lehernya
Seorang lelaki berusia 20 tahun menatap wanita paruh baya dari kaca tembus pandang. Tatapannya terlihat datar.“Setiap malam dia menangis. Setiap aku mengantarkan makanan, dia selalu mengira aku putrinya,” ujar seorang gadis berpakaian perawat membuat lelaki itu mengalihkan pandangannya.“Apa kau kenal dengan putrinya? Apa kau bisa membawakan putrinya kemari?” tanya perawat.Lelaki itu tersenyum getir. “Putrinya sudah meninggal. Membuat dia hidup penuh dengan penyesalan,” jawab lelaki itu.Perawat hanya diam saja. Merasa tidak enak karena telah menanyakan hal itu. Lalu perawat itupun pamit permisi, meninggalkan lelaki itu sendiri.Lelaki itu berjalan pergi meninggalkan ruangan. Tangannya merogoh saku celananya kemudian mengeluarkan sebuah kertas yang sudah usang. Ia membuka kertas itu dan kembali membaca isinya yang hampir tiap malam ia baca tanpa bosan.“Teruntuk kamu, aku selalu mencintai kamu samp
“Nyokap gue bukan pelakor,”tekan lelaki di depan Henggar dengan matanya yang menyorot tajam.“Sudah, biar saya jelaskan,” lerai wanita itu dengan lembut.Kemudian tatapannya beralih ke Henggar. Wanita itu menatap sendu ke arah Henggar. “Saya tidak pernah merebut Papa kamu dari Mama kamu. Tapi Mama kamu yang telah merebut mas Herman dari saya,” terang wanita itu.Henggar menggeleng tak percaya. “Saya tidak percaya!”“Kamu bisa tahu saya, pasti kamu punya kalung berliontin hati, kan? Di dalamnya ada foto saya dan mas Herman,” ujar wanita itu.Henggar langsung bungkam. Benar yang dikatakan wanita itu, ia bisa tahu wanita itu karena dari liontin. Wanita itu tampak mengulas senyum tipis kemudian ia menepuk bahu Henggar.“Saya adalah istri pertama mas Herman tapi Mama kamu tidak pernah tahu tentang ini. Kenapa? Karena hubungan saya dan mas Herman tidak mendapat restu dari kedu
Seorang wanita dengan pakaian yang tampak glamour serta elegan itu tengah berada di sebuah studio foto. Sepertinya tengah melakukan photoshoot. Wanita itu terlihat sedang berjalan menuju ruang make up.“Ibu masih saja awet muda. Padahal sudah punya anak tiga,” puji seorang gadis yang berada di belakangnya. Sepertinya tengah membenarkan rambut yang berantakan.Wanita itu tersenyum tipis. Matanya menatap ke arah cermin yang ada di depannya. “Anakku hanya dua,” ujarnya tegas seolah tanpa beban.Gadis di belakangnya itu mengernyit. “Oh, iya? Bukankah ada tiga? Yang satu lagi perempuan?” tanya gadis itu lagi.“Hanya dua dan semuanya laki-laki. Satu anak lelakiku sudah meninggal,” tegas wanita itu lagi.Gadis hanya tersenyum simpul. Tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Kemudian ia kembali membenahi tatanan rambut milik wanita di depannya itu.“Pemirsa, sebuah fakta mengejutkan terungkap dari sal
Tidak ada yang baik-baik saja jika berada di posisi Henggar. Lelaki itu tampak putus asa. Ia bahkan berulang kali menyalahkan dirinya karena tidak bisa menjaga Rallin dengan baik. Adiknya yang begitu ia sayangi, kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan keadaan belum sadarkan diri. Ia tidak tahu apa yang membuat adiknya drop seperti itu.“Kemarin dia masih baik-baik aja, Di.” Henggar berkata lirih. Tatapan lelaki itu tampak kosong. Seperti tidak ada gairah hidup di dalam tatapannya.Maudi yang setia menemani Henggar pun ikut merasakan kehampaan lelaki itu. Ia juga merasa sangat terpukul. Terlebih lagi Rallin adalah sahabat satu-satunya yang mampu mengerti dirinya bahkan lebih dari siapapun termasuk orang tuanya. Melihat Rallin lemah tak berdaya membuat relung hatinya berdenyut sakit.“Doain aja yang terbaik buat dia, Gar. Gue bahkan ngerasa orang paling bodoh karena sahabat gue sakit aja gue nggak tau,” ujar Maudi miris.K
Dalam hidupnya, Henggar tidak pernah berfikir akan mengalami hal seburuk ini. Kehilangan saudara kembar dengan cara yang tragis menyisakan trauma yang dalam untuknya. Terjadinya perpecahan di dalam keluarganya, membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih dingin dan tertutup.Menjadi pribadi yang dingin, membuat Henggar tidak pernah merasa takut dengan apapun. Ia merasa, hatinya sudah mati. Namun untuk kedua kalinya, rasa takut yang begitu hebat kembali menyerang ulu hatinya.Derap langkah kaki yang begitu cepat seperti tengah berlari, membuat para pengunjung rumah sakit menatapnya dengan heran. Pandangan lelaki itu tampak mengabur karena buliran kristal mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak peduli dengan tatapan yang tertuju padanya. Pikirannya sekarang hanya terfokus pada adiknya, Rallin.Detak jantung Henggar mendadak terhenti saat tadi mendapati pesan dari Maudi yang mengabarkan kalau Rallin tiba-tiba mimisan lalu pingsan. Maudi juga memberitahu ruma
“Gila lo? Demi apa, anjir?!”Rallin menutup telinganya dengan kedua tangan. Meredam suara Maudi yang begitu melengking memekakkan telinga. Raut wajah Maudi tampak begitu terkejut setelah Rallin menceritakan kejadian di rumah sakit tadi. Tepat saat Arden menyatakan perasaannya pada Rallin.Jangankan Maudi, Rallin saja sangat terkejut bahkan gadis itu tidak bisa berkata apa-apa tadi. Setelah pulang dari rumah sakit, Rallin meminta Sendi untuk mengantarkannya ke rumah Maudi. Pasalnya gadis itu tidak sedang ada di apartemen. Toh, Rallin juga enggan pergi ke apartemen Maudi yang berdekatan dengan apartemen milik Nadiv.Entahlah, Rallin rasanya sudah mati rasa dengan lelaki yang sampai saat ini masih merajai hatinya. Perlakuan serta sikap lelaki itu seolah meminta Rallin untuk pergi dari sisinya. Rallin tersenyum getir, lalu untuk apa kemarin Nadiv melontarkan janji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi kalau pada akhirnya akan terus terulang seperti in
“Mungkin mengikhlaskan adalah cara terbaik untuk menyelamatkan diri, sebelum semuanya semakin dalam dan semakin sakit lagi.”Rallin menarik nafas panjang kala mendengar penuturan Arden yang menyentuh hatinya itu. Lelaki itu selalu tahu apa yang dipikirkan Rallin. Kini keduanya tengah duduk di sebuah bangku taman yang ada di halaman belakang rumah sakit. Tempat yang jarang dikunjungi, sehingga mampu menenangkan hati yang tengah gundah.Gadis itu menatap jauh ke depan. Pandangannya tampak kosong. Ada rasa hampa dalam dirinya ketika tidak bersama Nadiv. Nyatanya ia tak bisa membohongi perasaannya sendiri. Terlalu dalam mencintai rupanya salah satu cara mendekatkan diri dengan kecewa yang dalam juga. Ingin marah, tapi percuma. Sama saja seperti dirinya membuang-buang tenaga.Kemudian gadis itu mengalihkan pandangannya ke samping. Menatap Arden yang tampak ikut diam. “Kenapa saya nggak pernah beruntung dalam hal percintaan, Dok?” tanyanya send
Mulai saat ini, bersikaplah seharusnya. Tanpa harus membiarkan diri terluka hanya demi menjaga perasaan orang lain. Karena pada dasarnya, setiap hati juga ingin dihargai. Bukan terus memaklumi mereka yang tak pernah mencoba mengerti. Semua hal itu butuh waktu, dan hal baik datang di waktu yang tepat.Rallin menghela nafasnya panjang. Rasa sesak masih terus menggerogoti relung hatinya. Baru saja berjanji, namun langsung ingkar. Tidak pernah habis fikir dengan sikap Nadiv saat ini. Kalau memang ia masih mencintai Adelia, kenapa ia enggan kembali? Malah meminta Rallin untuk terus bersamanya.Sekarang, Rallin hanya ingin tenang. Ia tidak ingin terbebani dengan hal apapun termasuk asmara. Ia sadar, selama ini ia terlalu dalam melukai hatinya sendiri. Gadis itu mengusap air matanya yang tiba-tiba saja menetes.Bohong kalau ia tidak sakit hati. Cewek mana yang rela liat cowoknya mentingin cewek lain terlebih itu adalah mantannya sendiri. Namun sekarang, ia sudah meyaki
Ucapan Rallin membuat kepala Nadiv berputar 180 derajat menghadap Rallin. Tak mengerti dengan ucapan gadis itu. Wajahnya tampak bingung.Melihat itu, Rallin mengulas senyum getir. “Setidaknya, kalo lo emang nggak cinta, jangan bertingkah seolah-olah lo bakal cinta sama gue. Dibohongi kayak gini lebih menyakitkan daripada ditinggalkan.”Kening Nadiv berkerut. Ia tak suka dengan apa yang dibicarakan oleh Rallin. Apa maksud gadis itu menyuruhnya pergi? Apa Rallin sudah tidak mencintai dirinya lagi?“Maksud lo apa?”Rallin mengalihkan pandangannya ke depan. Menatap bunga-bunga yang tampaknya lebih menarik. “Pada akhirnya, yang pernah mencintai tanpa tapi, pernah bertahan tanpa paksaan, dan pernah sabar menanti sadar pun, akan melepaskan tanpa pesan,” ujarnya tanpa menatap Nadiv.“Lo mau ngelepasin gue? Kenapa?” tanya Nadiv. Ia tak terima dengan Rallin yang seperti ini. Ini hanya perkara ia menjaga Adelia