Natasya membuka mulut tidak percaya mendengar apa yang dikatakan oleh Marsya. Bisa-bisanya wanita itu memberikan peringatan. ‘Dengar ya, Marsya! Jangan samakan diriku denganmu yang tega mengambil apa yang menjadi milik orang lain. Apa yang sudah terlepas tidak akan kupungut kembali,’Di ujung sambungan telepon terdengar bunyi suara gemerisik. Marsya menggeram marah mendapat sindiran menohok dari Natasya. Akan tetapi, ia tidak akan membiarkan direndahkan oleh Natasya.‘Dengar, Ca! Kamu memang pantas dibuang Raffa. Kamu itu hanyalah wanita yang lemah dan tidak berguna sama sekali,’ ejek Marsya di ujung sambungan telepon.Natasya mengeratkan pegangan pada ponsel. Ia sedang dalam kondisi emosi yang tidak stabil setelah tekanan emosi begitu besar. Ditambah kematian maminya yang mendadak.Ditariknya napas dalam-dalam kemudian ia hembuskan kembali dengan kasar. Ia tidak pernah menduga sahabat yang ia anggap bagai saudara kandung akan berkata seperti itu setelah pengkhianatan yang ia lakukan.
Raffael merasa bersalah dalam hatinya dan ia ikut merasakan kesedihan Natasya. Disentaknya pelan lengan Marsya yang menggenggam dengan erat. Ia berjalan mendekati wanita yang masih ia cintai itu dan ikut berlutut di sampingnya. “Berhenti menyalahkan dirimu. Ca! Kamu sama sekali tidak bersalah.”Natasya mengusap air matanya dengan kasar, ia melepas kacamata yang dipakainya kemudian membalikan badan menatap Raffael tajam. “Mamiku meninggal karena menonton berita yang menayangkan pernikahanmu! Kamu sudah membuat mamiku meninggal! Kalian semua sangat jahat dan kuharap kau tidak akan pernah mendapatkan bahagia di atas penderitaan keluargaku.”Raffael tertegun di temptnya berdiri, ia tidak dapat mempercayai pendengarannya kalau ia salah seorang yang membuat mami Natasya meninggal dunia.“Maaf, Ca! Namun, aku sama sekali tidak pernah mengharapkan kematian Mami. Semua sudah menjadi garis hidup yang harus kita semua jalani, Ca! Kamu harus tahu tidak hanya kau saja yang bersedih atas meninggaln
Perlahan Marsya membuka matanya ia melihat ke arah Raffael dengan tatapan tidak suka. “Kaiau aku tidak berpura-pura pingsan kau pasti akan tetap di sana menemani Natasya! Kau tidak menghargaiku sebagai seorang istri dengan sengaja kau juga mempermalukanku!”Raffael mendengus dengan keras, ia memutar bola mata. Diabaikannya ucapan Marsya dengan keras ditutupnya pintu mobil, lalu masuk ke bagian depan dan duduk di balik kemudi. Diliriknya kaca spion untuk melihat apa yang dilakukan oleh Marsya.Setelah memastikan istrinya itu sudah memasang sabuk pengaman, ia pun menyalakan mesin mobil lalu menjalankannya meninggalkan areal pemakaman itu. Ia mengemudi dalam diam. Akan tetapi, tidak dengan hatinya yang sibuk memikirkan bagaimana keadaan Natasya setelah ia tinggalkan.“Kenapa kau hanya diam saja? Kau masih mencintai ia, bukan? Tidakah kau bersedia melupakannya demi anak kita yang sedang kukandung?” Tanya Marsya dengan suara lirih dan mata berembun.Raffael hanya diam saja, ia lebih memili
Sontak saja Raffael menjadi terkejut mendengar berita itu, begitu pula dengan Marsya. Wajahnya terlihat pucat dan tegang. “Saya akan tetap mempertahankan kehamilan ini, sekalipun nyawa saya yang menjadi taruhan.”Ia tidak akan menggugurkan kandungannya demi apa pun juga. Seandainya ia tidak hamil, Raffael pasti akan mengajukan gugatan cerai, agar ia bisa kembali bersama dengan Natasya. Dan hal itu tidak boleh terjadi.Raffael melirik Marsya tajam, ia tidak ingin wanita itu membahayakan keselamatan nyawanya karena ia bisa saja hamil kembali suatu hari nanti.“Kau harus lebih mengutamakan dirimu sendiri! Bayi itu juga baru beberapa minggu usianya dan kau belum terikat batin dengan kuat.” Raffael memandangi wajah istrinya itu dengan dingin.Marsya balas menatap Raffael dengan marah. “Tentu saja kamu mengharap aku memilih diriku daripada janin dalam perutku. Biar kamu bisa kembali kepada mantan tunanganmu itu, bukan? Kamu memang tidak punya hati di saat istri sedang hamil dan bertaruh nya
“Bapak tidak bisa melakukan hal seperti ini kepada saya!” sahut Natasya lemah.Sayangnya penjelasan Natasya tidak diterima karena memang pada laporan keuangan itu terdapat tanda tangannya sebagai pembuat.Dengan tubuh lunglai ia bangkit dari duduk. “Bapak sudah membuat keputusan yang terburu-buru tanpa menyelidiki lebih lanjut apa yang saya katakan. Semoga saja orang yang sudah mengubah laporan itu segera terbuka hatinya untuk mengaku dan menyesal.”Ia berjalan keluar dari ruangan bosnya dengan langkah gontai kembali ke ruang kerja. Natasya membereskan semua barang-barang lalu memasukan ke sebuah kardus. Tidak ingin berlama-lama begitu sudah selesai ia langsung pergi.“Natasya, kenapa kamu membawa barang-barangmu?” tegur salah seorang rekan kerjanya.“Saya dipecat,” sahut Natasya pelan.Sontak saja rekan kerjanya menjadi terkejut mendengar hal itu. Ia tidak percaya karena selama mengenal Natasya wanita itu tidak pernah membuat hal yang buruk.Tidak mau menambah masalah Natasya menjela
Tenggorokan Natasya terasa kering denyut nadi di lehernya bergerak naik turun dengan cepat. “Baik, Bu!” Dibukanya pintu rumah ia mempersilakan kepada wanita pemilik kontrakan itu untuk menunggu di dalam.“Saya duduk di sini saja,” sahut wanita itu ketus.Natasya mengangguk, ia masuk rumah dan membiarkan pintunya terbuka lebar. Sesampai di dalam kamar, Natasya merosotkan badan duduk di lantai dengan air mata yang sedari tadi ditahannya tumpah.‘Ya, Tuhan! Mengapa begitu berat ujian yang kau berikan kepada kami?’ gumam Natasya pelan.Selama beberapa menit Natasya hanya duduk di lantai sambil menangis, tetapi ia kemudian tersadar ada papinya yang berada di rumah sakit. Dan juga pemilik rumah ini yang sudah tidak sabar mengusir keluar.Diusapnya dengan kasar air mata yang mengalir dengan punggung tangan. Ia bangkit berdiri mengambil koper besar di sudut kamar. Dirinya memasukan pakaian yang ada dalam lemari berikut barang-barang pribadi lainnya.Setelahnya, Natasya berjalan ke kamar papin
Marsya sontak saja menjadi terkejut mendengarnya. Ia tidak tahu bagaimana dan dari mana Raffael mengetahuinya. “Aku memang melakukan hal itu karena kau dengan diam-diam masih mencari keberadaan Ica! Kalau kau begitu membenciku kenapa setiap malam di tempat tidur kau selalu merayu dan menyentuhku?”Dengan mata menyala karena amarah, Marsya mendorong menjauh tubuh Raffael. Ia benci dirinya diperlakukan dengan begitu rendah. Dirinya manusia yang punya hati, walaupun ia sadar diri kalau sudah melakukan kesalahan dan mendapatkan Raffael dengan cara yang jahat.Raffael menatap Marsya dengan suara mendesis karena emosi, ia berkata, “Karena kau yang menawarkan dirimu! Mengapa aku harus menolaknya apa yang tersedia di depan mata?”Air mata Marsya langsung saja tumpah dengan suara tersendat karena isak tangis ia mengatakan kalau dirinya bukanlah wanita murahan. Ia pantas mendapatkan perlakuan sebagai seorang istri dari Raffael.Raffael membalikan badan dipukulkannya kepalan tangan pada dinding
Natasya langsung berlari memeluk papinya yang terbaring di atas ranjang. “Jangan pernah Papi berkaata seperti itu lagi! Papi akan masih lama hidup di dunia ini.”Papi Natasya mengusap lembut rambut hitam putrinya itu yang tergerai sampai punggung. Sebagai orang tua, ia merasa bersalah karena hanya bisa merepotkan saja.“Kalau kamu sudah lelah merawat Papi, kamu boleh pergi. Papi akan menemukan jalan untuk menghidupi diri sendiri.” Papi Natasya menatap putrinya dengan mata yang berkabut menahan air mata.Natasya menggelengkan kepala suaranya terdengar serak. “Papi bukanlah beban untukku dan aku tidak akan meninggalkan Papi sendirian demi apa pun juga! Kita pasti bisa mengatasi semua ini bersama-sama.”Terdengar suara kursi roda bergerak mendekat ke arah keduanya. “Aku tahu diriku ini sudah tua dan duduk di kursi roda, tetapi bukan berarti kalian harus mengabaikan posisiku sebagai suami dan menantu.”Natasya tertunduk merasa bersalah, ia sadar sudah membuat suaminya sakit hati. Pria itu
“Sialan, kamu! Kau sudah menipu dan membohongiku! Kau bukan istri ayahku karena pernikahan kalian tidak sah,” bentak Sandoro.Tubuh Natasya menjadi kaku, ia tidak menduga kalau Sandoro mendengar apa yang tadi dikatakan oleh papinya. Namun, kenapa pria itu justru marah. Bukankah seharusnya ia merasa senang?Natasya bergerak mundur, ia ingin memberikan jarak antara dirinya dengan Sandoro. Ia merasa terganggu dengan kedekatan mereka.“Lantas kalau kau mengetahuinya apa yang menjadi masalah? Aku tidak menginginkan apa pun dari ayahmu!” teriak Natasya.Ia berlari masuk kembali ke rumah duka tersebut dan Sandoro tidak mencegahnya. Begitu berada di depan pintu ia berhenti berlari dan diam sebentar untuk meredakan debaran jantungnya. Setelah dapat menguasai dirinya Natasya masuk berjalan menuju tempat papinya duduk. “Maaf, tadi ada yang harus kubicarakan dengan Sandoro.”“Papi mengerti kamu memang harus berdiskusi dengannya.” Papi Natasya menatap ke arah peti mati.Natasya menoleh ke arah pi
Wajah Sandoro berubah menjadi dingin dengan kedua tangan yang terkepal di sanping badan, Membuat Natasya dapat merasakan aura ketegangan yang menguar dari pria itu. Ia berjalan menjauh menuju papinya daripada mendengar amarah Sandoro. Pria itu seperti siap meledak mendengar apa yang dikatakan “Kau baik-baik saja, bukan?” tanya papi Natasya begitu ia sudah berada di sampingnya.“Entahlah, Pi! Aku tidak mungkin berbohong kalau diriku sepenuhnya baik-baik saja. Kematian Pratama sangat mengejutkan dan aku jujur tidak siap.” Natasya meletakan pundak di bahu papinya.Dengan air mata yang mengalir deras membasahi wajah Natasya berkata, “Apa yang akan terjadi denganku selanjutnya aku tidak tahu. Pratama sudah begitu baik dan ia tidak pernah menuntut lebih kepadaku.”Papi Natasya mengusap punggung rambut putrinya itu dengan lembut. Ia berkata, “Kamu pasti bisa menjalani hidup tanpa Pratama. Bukankah selama ini kamu sudah tidak bergantung kepadanya lagi? Sebenarnya ada hal yang papi dan Prata
“A-apa maksudmu berkata seperti itu? Kau yang bermaksud menggodaku, padahal kau mengetahui aku adalah ibu tirimu!” sahut Natasya dengan nada suara kesal.Sandoro semakin merendahkan badan hingga bibirnya sangat dekat telinga Natasya. “Jangan berpura-pura tidak tahu apa yang kumaksud!” bisik Sandoro.Tenggorokan Natasya terasa kering, bulu kuduknya bahkan meremang. Ia bergerak menjauh dari Sandoro, tetapi lengannya ditahan dengan lembut oleh Sandoro hingga tidak bisa bergerak.“Lepaskan aku!” lirih Natasya.“Kenapa kau ….” ucapan Sandoro terpotong ketika ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Dengan malas-malasan ia berjalan menjauh dari Natasya kembali ke tempatnya duduk. Sementara Natasya wajahnya memerah. Karena merasa malu kepergok dalam keadaan yang bisa saja disalah artikan oleh pelayan itu.Beruntung cahaya yang temaram membuat ia aman dari tatapan menyelidik Sandoro dari tempatnya duduk. Lutut dan jemari Natasya terasa bergetar, ia merasakan ada getaran hangat saat Sandoro
Natasya bangkit dari duduk ia benci mendengar nada suara Sandoro yang kembali menuduhnya. Ia yang bodoh dengan percaya kalau pria itu bisa sebentar saja berhenti membenci.“Duduklah kembali, Natasya! Aku minta maaf kalau ucapanku salah,” ucap Sandoro dengan nada suara tegas.Langkah Natasya terhenti, ia membalikan badan melihat ke arah Sandoro dengan kening berkerut. “Apakah aku tidak salah mendengar kalau kau meminta maaf?”“Aku tidak akan mengatakannya dua kali!” sahut Sandoro dingin.Natasya kembali duduk di tempatnya semula dalam diam. Ia tahu kembali ke kamar pun dirinya tidak akan bisa tidur. Setidaknya duduk di sini sekalipun nantinya hanya akan berdebat dengan Sandoro. Hal itu bisa mengalihkan ia dari rasa sedih kehilangan suami.Suara lonceng yang dibunyikan Sandoro membuat Natasya melirik pria itu. Ia menunggu siapa yang dipanggil oleh pria itu.Tak berapa lama muncullah seorang wanita dengan pakaian pelayan. Ia berjalan menghampiri tempat Sandoro duduk.“Selamat malam, Tua
Natasya mengangkat kepala ditatapnya Sandoro dengan nanar. Ia bangkit perlahan dari duduk berjalan mendekat ke arah Sandoro. Dan berhenti hanya berjarak beberapa senti saja dari pria itu. Plak! Sebuah tamparan keras Natasya layangkan ke pipi Sandoro. Ia menatap pria itu di balik kabut air mata sambil mengangkat wajah menantang.“Kau selalu saja menuntut jawaban dariku atas semua tuduhanmu! Terserah apa yang kau pikirkan tentangku, aku sama sekali tidak peduli! seru Natasya.Natasya berjalan melewati Sandoro keluar kamar mandi tersebut. Ia tidak ingin berada lebih lama lagi dengan pria tak punya hati itu.Lengan Natasya dicekal dengan kasar oleh Sandoro hingga langkahnya terhenti. Pria itu kemudian menyentak dengan kasar hingga badan Natasya membentur dada bidang pria itu.“Kau mau pergi begitu saja setelah menamparku?” tegas Sandoro.Natasya mengangkat wajah menantang Sandoro untuk balas menampar dirinya, sambil memejamkan mata. Selang beberapa saat menunggu ia tidak juga merasakan
Natasya melirik Sandoro sekilas sebelum ia kembali melihat tubuh suaminya yang sudah terbujur kaku. “Tidakkah kau bersedia menghormati kematian ayahmu dengan menyimpan kebencianmu kepadaku.”Terdengar helaan napas yang keras dari bibir Sandoro. “Hmm! Aku akan menahan diriku demi menghormati almarhum ayahku.”Usai mengucapkan hal itu Sandoro berjalan keluar dari ruangan tersebut. Membuat Natasya bisa bernapas lega. Dengan adanya jarak yang diberikan oleh Sandoro baginya, hingga ia dapat mengucapkan perpisahan kepada Pratama.“Saya akan keluar!” ucap pengacara Pratama.Natasya yang lupa akan kehadiran pengacara itu langsung menoleh dan hanya anggukan kepala yang ia berikan.Begitu dirinya sudah sendirian saja Natasya mendekatkan diri pada ranjang tempat Pratama berbaring. Ia membuka penutup kain yang menutupi wajah Pratama.Tangan Natasya terulur untuk mengusap lembut wajah Pratama. “Selamat tinggal dan terima kasih untuk semua yang sudah kau lakukan.” Dibungkukkan badan untuk memberik
Pengacara itu terlihat gugup, tetapi ia dengan cepat dapat menguasai dirinya kembali. “Ayolah, Sandoro! Kau harus bisa menerima kalau Natasya adalah ibu tirimu. Dan ia berhak mengetahui ayahmu yang sedang dirawat.”Sandoro melayangkan tatapan galak kepada pengacara itu. Dengan kasar ia berkata, “Berapa kau mendapatkan komisi dari wanita itu?”Pengacara itu terdiam, ia menatap Sandoro dengan kecewa. Digelengkannya kepala sambil mengulas senyum tipis. “Kau tidak akan pernah mau mengerti! Kuharap demi menghargai ayahmu yang sedang terbaring sakit, kau harus bisa menahan diri saat Natasya datang ke sini.”Suara dengusan nyaring terlontar dari bibir Sandoro, tetapi ia tidak menyahut lagi. Ia berjalan menjauh menuju kursi besi yang terletak tidak jauh dari pintu ruang gawat darurat lalu duduk di sana.Pandangannya tidak lepas dari pintu ruang gawat darurat itu. Ia menjadi semakin khawatir akan kesehatan ayahnya. Ia mendengar suara tapak sepatu mendekat. Ia menolehkan kepala untuk melihat s
Raffael berhenti berjalan ia melihat kepada kedua orang tuanya secara bergantian. “Kalian tidak perlu khawatir diriku tidak sakit. Aku hanya mengambil ini ….” Dikeluarkannya kertas berisi hasil tes DNA lalu ia menyodorkan kepada ayahnya. “Aku akan pergi dan tentang pengurusan bayi itu sekretarisku yang akan mencarikan pengasuh untuknya.”“K-kau pergi! Kenapa dan kemana?” tanya ibu Raffael.Raffael mengangkat pundak kemudian berjalan menuju pintu keluar. Ia tidak merasa perlu untuk menjawab pertanyaan dari ibunya. Karena dirinya sedang menahan emosi yang terpendam. Satu sisi dirinya merasa jahat meninggalkan bayi yang baru saja ditinggal pergi ibunya.Hanya saja fakta kalau bayi itu bukan darah dagingnya membuat ia mengeraskan hati. Ia bahkan tidak merasa perlu mengucapkan kata perpisahan kepada bayi itu.***Natasya dengan terpaksa tinggal di rumah besar milik Pratama. Walaupun ia harus siap menerima sikap kasar dan membingungkan Sandoro. Yang terkadang juga bersikap lembut, serta te
Raffael menundukan kepala memandangi wajah putri kecilnya yang sedang tidur. Ia mengamati dalam diam wajah putih cantik dengan rambut berwarna pirang. “Ibu, di keluarga kita memang ada yang memiliki rambut pirang. Kurasa tidak perlu melakukan tes DNA karena ibu dari anakku juga sudah tiada.”“Kau bisa mengabaikan fakta yang ada di depan matamu, tetapi Ibu tidak akan memaksamu karena kaulah ayah dari anak itu,” ucap ibu Raffael dengan nada suara kecewa.Raffael mengangguk, ia mengangkat bayi mungil yang sudah membuka mata. Mungkin ia terbangun karena mendengar suara perdebatan dengan ibunya.“Halo, Sayang! Apakah kamu terbangun karena mendengar suara ayah?” tanya Raffael.Ia mencium wajah putrinya hinngga membuat bayi itu tertawa geli. Senyum terbit di wajah Raffael setelah lelah bekerja melihatwajah putrinya membuat rasa itu hilang.Digendongnya bayi itu menuju teras rumah kemudian duduk di kursi yang ada di sana. Dipandanginya dengan lekat bayi yang balik menatap dengan senyum dan ce