Raffael melirik Ibunya sekilas. “Ibu sudah memaksakan pernikahan ini kepadaku. Ibu dan siapapun juga tidak ada yang bisa mengatur perasaanku! Selamanya saya hanya akan mencintai Natasya!”
Terdengar suara dengusan dari kursi bagian depan, di mana Ayahnya sedang duduk di samping sopir. “Mencintai, tetapi selingkuh! Sungguh konsep yang membingungkan,” timpal Ayah Raffael.
Raffael mengepalkan kedua tangan, bibirnya mengetat menahan marah, tetapi ia tidak melampiaskan amarahnya saat ini, karena ia menghargai Ibunya.
Setelah beberapa menit dalam perjalanan mobil yang ditumpangi Raffael pun berhenti di depan rumah Marsya. Terlihat sudah ada beberapa mobil dan kendaraan yang terparkir di depan rumah tersebut.
Raffael dan kedua orang tuanya turun dari mobil. Dirinya yang tidak memperhatikan hal lain, tidak mengetahui, kalau di belakang mobil mereka juga ada mobil dari beberapa orang saudara dekat orang tuanya, dengan membawa beberapa bingkisan.
“Ibu memang hebat! Bisa menyiapkan semua ini dalam waktu yang singkat.” Bisik Raffael kepada Ibunya.
“Karena Ibu tahu, kalau mengandalkanmu yang ada pernikahan kalian tidak akan terjadi. Dan anakmu akan lahir di luar pernikahan,” sahut Ibu Raffael.
Kedatangan mereka disambut oleh Marsya dan kedua orang tuanya, juga beberapa orang tetangga. Mereka semua duduk di kursi ruang tamu yang tidak terlalu luas.
Acara lamaran pun dimulai dan dicapai kesepakatan antara orang tua Marsya dan orang tua Raffael, kalau pernikahan akan dilangsungkan dalam waktu satu minggu lagi. Lebih cepat dari rencana awal.
Sontak saja Raffael menjadi terkejut, ia tidak mengira dirinya akan cepat menikah. Ia menatap Marsya dengan dingin, ia masih merasa dirinya sama sekali tidak menyentuh wanita itu, tetapi sekarang dirinya harus terjebak dalam pernikahan dengan wanita yang tidak dicintainya.
***
Natasya menatap layar ponselnya dengan perasaan bingung. Ia tidak habis pikir mengapa tunangannya menutup telepon begitu saja.
‘Apa yang terjadi? Mengapa sekarang Raffael juga memblokir kontakku?’ batin Natasya.
Ia sudah tidak berkonsenterasi lagi untuk belajar, setelah mendapat telepon singkat dari Raffael. Ia berdiri dari kursi yang didudukinya berjalan menuju jendela apartemennya dan berdiri di sana.
Jalanan terasa lengang, karena sekarang memang tengah malam, di Berlin. Hanya lampu jalanan saja yang menerangi. Natasya memutar cincin pertunangan yang ada di jarinya.
Hatinya merasa, kalau hubungannya dengan Raffael tidak baik-baik saja. Dan tunangannya itu menyembunyikan sesuatu yang besar darinya.
Natasya tertidur di kursi yang didudukinya. Ia terbangun, karena bunyi alaramnya yang terdengar nyaring.
Dirinya bangun dari tempat duduknya berjalan menuju kamar mandi. Ia mengisi bathub dengan air hangat, yang ia masukkan sabun mandi cair. Kemudian Natasya menceburkan dirinya ke dalam bathub tersebut.
Natasya mandi berendam, sambil membayangkan wajah tampan Raffael. ‘Saya merindukanmu, Raffa! Apakah kamu juga merasakan hal yang sama?’ Tanya hati Natasya.
Diakhirnya mandi berendam, setelah air menjadi dingin. Ia keluar kamar mandi, dengan memakai jubah mandi. Ia berjalan menuju lemari pakaian diambilnya sebuah gaun lengan pendek, dengan panjang di atas lutut.
Selesai berpakaian Natasya keluar kamar menuju dapur, lalu duduk di depan meja bar. Diambilnya selembar roti tawar, kemudian ia olesi dengan selai kacang. Ia memakan rotinya dengan nikmat, sambil mengecek ponsel berharap Raffael menghubunginya.
Natasya harus menelan kekecewaan, karena sama sekali tidak ada pesan, atau panggilan dari Raffael. ‘Kau sudah tidak sayang kepadaku lagi, Raff,’ gumam Natasya.
Nafsu makan Natasya menjadi hilang, ia pun meletakkan sisa roti bakarnya di atas piring. Namun, ketika ia hendak beranjak dari duduk ponselnya berbunyi nyaring. Mata Natasya berseri senang, ia mengira yang meneleponnya adalah Raffael. Namun, ternyata Papinya.
‘Halo, Ca! Maafkan, Papi harus memberikan kabar kepadamu. Kamu harus segera pulang ke Indonesia, Ca,’ ucap Ayah Natasya, melalui sambungan telepon.
‘Ha-lo, Papi! Apa yang terjadi? Tolong katakan kepada Caca sekarang juga!’ ucap Natasya dengan suara bergetar, karena gugup.
‘Papi tidak bisa mengatakannya, kamu segera saja pulang ke Indonesia dan kamu tidak akan kembali lagi ke Jerman.’ Papi Natasya mematikan sambungan telepon begitu saja.
Natasya menarik napas dengan berat. Ia menjadi gugup, karena belum pernah Papinya berlaku, seperti tadi di telepon.
Diletakkannya telepon di atas meja ia, kemudian mengeluarkan pakaiannya dari dalam lemari dan memasukkannya ke koper besar. Berikut dengan barang-barang pribadi miliknya, setelah selesai, ia memesan taksi online untuk ke bandara.
Setelah, melalui penerbangan yang panjang dan melelahkan Natasya tiba juga dengan selamat di bandara Internasional Seokarno-Hatta. Ia menyeret kopernya keluar dari bandara di mana, sebuah taksi sudah menunggunya.
Semakin dekat dengan rumahnya jantung Natasya semakin berdebar kencang. Kedua tangannya terasa dingin, karena ia tidak tahu apa yang akan ia temui, ketika sampai di rumah nanti.
Sesampai di depan rumahnya Natasya berdiri terdiam memandangi rumahnya, yang terlihat sepi. Natasya melangkah dengan pelan menaiki undakan tangga menuju teras rumah.
‘Kenapa pintu rumah tidak dikunci?’ batin Natasya, ketika ia dengan mudahnya membuka pintu tersebut.
Diletakkannya begitu saja kopernya, ia memanggil kedua orang tunya dengan suara nyaring. “Mami! Papi! Saya sudah pulang!”
Didengarnya suara langkah menuruni tangga. Melihat kedua orang tuanya dalam keadaan baik-baik saja membuat perasaan Natasya menjadi lega. Ia berlari menaiki tangga untuk memeluk Mami dan Papinya secara bergantian.
“Kenapa Papi begitu misterius, ketika di telepon?” Tanya Natasya, sambil mengusap air mata yang membasahi wajahnya.
“Duduklah! Nanti akan kami katakan kepadamu.” Mami Natasya merangkul pundaknya mengajak putrinya itu menuruni tangga menuju ruang keluarga.
Mereka semua duduk di sofa yang berbentuk huruf L. Natasya duduk di antara Papi dan Maminya. Namun, sebelum Papinya mulai bercerita Natasya dipersilakan untuk minum dahulu.
Tidak sabar menunggu apa yang akan dikatakan oleh Papinya, Natasya menghabiskan es jeruk minuman favoritnya sampai habis. “Sekarang Papi sudah bisa menceritakannya kepadaku.”
Papi Natasya menarik napas dalam-dalam terlihat ia berat untuk mengatakannya kepada putrinya itu.
“Perusahaan kita bangkrut! Papi kena tipu rekan bisnis papi. Rumah ini, bahkan sekarang bukan milik kita lagi. Kita harus segera berkemas, sebelum diusir dari rumah ini,” ucap Papi Natasya.
Badan Natasya menjadi bergetar, air matanya jatuh meleleh membasahi pipinya, karena ia tidak percaya mendengar apa yang terjadi.
“Kamu tidak marah dengan Mami dan Papi, ‘kan Ca? Kita sekarang bukan lagi orang kaya dan kita harus berjuang dari nol lagi.” Mami Natasya bertanya kepada Natsaya dengan suara bergetar, karena ia juga sedang menangis.
Natasya berbalik untuk memberikan pelukan kepada Maminya. Dengan suara yang tersendat ia berkata, “Caca tidak marah kepada Mami dan Papi, kita akan membangun usaha kita kembali.”
Beberapa jam, kemudian setelah Natasya cukup beristirahat. Ia dan kedua orang tuanya memasukkan barang-barang yang bisa mereka bawa ke dalam kardus.
Natasya berdiri di dalam kamar air matanya mengalir dengan deras, karena ia harus meninggalkan kamar yang telah ditempatinya sejak ia masih kecil. Begitu juga dengan rumah besar ini.
Tidak ingin berlama-lama merenungi kamar yang harus ditinggalkannya. Natasya dengan cepat keluar dari kamar tersebut dan bergabung dengan kedua orang tuanya, yang sudah berdiri di teras rumah.
Sebuah truk sudah disewa Papi Natasya untuk mengangkut barang-barang mereka. Sementara mereka bertiga menumpang taksi yang sudah dipesan, karena beberapa mobil milik keluarga mereka pun sekarang sudah berpindah tangan.
Sepanjang perjalanan Natasya berusaha untuk tidak menangis, agar kedua orang tuanya tidak merasa bersedih.
Taksi berhenti di depan sebuah rumah yang mungil dan hanya memiliki dua kamar saja, serta satu kamar mandi.
“Apa kamu kecewa, Ca? Karena sekarang kita harus tinggal di rumah yang begitu kecil, seperti ini?” Tanya Papi Natasya.
Dengan cepat Natasya menggelengkan kepala, karena ia tidak mau Papinya merasa bersalah. Ia mengatakan, kalau dirinya tidak masalah di mana sekarang harus tinggal.
***
Beberapa hari, setelah kepindahan mereka Natasya meminta ijin kepada kedua orang tuanya, kalau ia akan pergi untuk mencari pekerjaan.
Dengan menaiki bis kota, sesuatu yang belum pernah Natasya lakukan. Ia nekat datang ke perusahaan milik Raffael berharap tunangannya itu akan membantu.
Wajah Natasya berseri dengan harapan sedikit masalah keluarganya akan terpecahkan. Dengan langkah yang percaya diri Natasya berjalan memasuki gedung perusahaan Raffael.
“Apa kamu percaya, kalau Pak Raffael akan menikah dengan Marsya, wanita yang bekerja di bagian administrasi itu,” ucap sebuah suara.
Langkah Natasya langsung terhenti, senyum di bibirnya hilang, dengan jantung yang berdebar kencang. ‘Tidak mungkin Raffael akan menikah dengan Marysa! Mereka pasti membicarakan orang lain,’ batin Natasya.
“Iya, padahal Pak Raffael sudah mempunyai tunangan. Dan kabarnya tunangan Pak Raffael itu merupakan sahabat dari Marsya. Tega sekali Marsya itu merebut tunganya sahabat sendiri,” timpal temannya.
Natasya menguatkan diri untuk berjalan mendekati dua orang wanita yang sedang mengggosip tersebut. Ia tahu, kalau mereka tidak mengenalinya, karena tidak pernah bertemu dengannya.
“Maaf, dapatkah kalian memberitahukan kepada saya kapan dan di mana pernikahan dari Pak Raffael dengan Bu Marsya akan diadakan?” Tanya Natasya dengan suara bergetar.
Sontak saja kedua pegawai yang sedang menggosip itu membalikan badan melihat kepada Marsya. Dan mereka dapat mengenalinya, karena Raffael pernah beberapa kali membawa Natasya datang ke kantor itu. “Memangnya, Ibu tidak mendapatkan undangan?” Tanya salah seorang dari pegawai itu dengan senyum mengejek di bibirnya.Mereka mengamati wajah Natasya yang terlihat pucat, tetapi keduanya tidak peduli. Ada rasa senang di hati pegawai itu berhasil membuat wanita yang selama ini mereka irikan. Keduanya memang diam-diam juga mennyukai Raffael.Natasya menelan ludah dengan sukar tenggorokannya mendadak terasa kering. Dibasahinya bibir sebelum menjawab pertanyaa dari pegawai wanita yang dulu menghormatinya. Namun, sekarang mereka memandang remeh dirinya.“Saya hanya ingin mengetahui tempat resepsi itu diadakan kalau kalian tidak bersedia mengatakannya saya bisa bisa bertanya kepada orang lain.” Natasya membalikan badan, ia tidak akan berlama-lama berhadapan dengan kedua wanita yang sudah berlaku ti
dikatakan oleh Natasya bertolak belakang dengan penjelasannya tadi siang. “Sayang, bukannya tadi siang kamu sudah bertemu dengan Raffa?”Natasya melihat ke arah maminya dengan tatapan sendu. Ia memberikan senyum terpaksa kepada wanita yang telah melahirkannya itu. “Aku tidak memberitahukan kedatanganku malam ini kepadanya. Untuk memberikan kejutan spesial.”Walaupun merasa bingung dengan jawaban yang diberikan Natasya, ia tidak mau memperpanjang lagi menuntut penjelasan. Akan ada waktunya Natasya bercerita.Setelah berpamitan Natasya berjalan keluar rumah dan masuk taksi yang telah menunggunya. Setelah duduk ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan keras. Ia menggenggam kedua tangan di atas pangkuan sambil memejamkan mata.‘Aku harus kuat dan siap menghadapi mereka berdua,’ tekad Natasya dalam hati.Tak berselang lama taksi yang ditumpanginya berhenti di depan sebuah hotel berbintang yang Natasya kenali sebagai salah satu hotel milik Raffael.Setelah membayar ongkos ta
Marsya yang berdiri di samping Raffael menjadi cemburu dan marah. Ia menganggap Raffael dan Natasya mengabaikan kehadirannya. Ia melingkarkan lengan dengan sikap posesif pada perut Raffael. “Sayang! Kalian berdua menarik perhatian tamu undangan yang hadir.”Ia mengalihkan tatapan ke arah Natasya dengan sorot kebencian dan bibir yang dipoles merah menyala itu memerikan senyum mengejek.“Kami sudah menikah, Ca! Jangan kau rebut suamiku pergilah sebelum kau diusir keluar oleh petugas keamanan yang hanya akan membuatmu menjadi malu saja,” desis Marsya.Natasya mengusap air matanya dengan punggung tangan, ia membalas tatapan mata sahabatnya itu dengan tenang. Tidak ada sorot kebencian di matanya, walaupun ia sudah disakiti.“Sepertinya karena kau menikah hasil merebut, maka kau menjadi takut hal yang sama akan terjadi padamu. Ambillah, Raffa untukmu karena ia bukan lelaki yang tepat untukku. Kalian pasangan yang serasi sama-sama pengkhianat,” ucap Natasya.Tangan Marsya terangkat hendak me
“Mam,Bangunlah!” panggil papi Anastasya berulang kali. Namun, istrinya tidak juga bergerak.Dengan ketenangan yang hampir habis karena mengkhawatirikan keadaan wanita yang dicintainya. Papi Natasya mengambil ponsel dari atas meja lalu dihubunginya nomor darurat meminra segera dikirimkan ambulans.Diletakannya kembali ponsel di atas meja ia kemudian berlutut kembali di samping istrinya. Diciumnya pipi wanita yang telah menemaninya selama bertahun-tahun itu. “Bangun, Mam! Kamu harus tetap hidup menemani dan menguatkan Ica melalui cobaan dalam hidupnya.” Bisik Papi Natasya.Tidak ada tanda-tanda pergerakan dari wanita itu, ia tetap terlihat tenang dalam tidurnya. Papi Natasya memeluk tubuh kaku istrinya dengan air mata yang turun membasahi wajahnya.Sayup-sayup terdengar suara sirene ambulans mendekat kemudian berhenti tepat di depan rumah. Papi Natasya beranjak dari tempatnya. Dibukakannya pintu untuk petugas medis yang datang lalu ia persilakan masuk.“Tolong, selamatkan nyawa istri sa
Raffael tertegun mendengar penuturan Marsya, ia masih belum percaya kalau bayi yang dikandung wanita itu adalah anaknya. “Kalau janin yang kau kandung memang anakku, aku akan memikirkannya lagi tentang sikapku kepadamu.”Raffael mengalihkan pandangannya kembali ke depan, tetapi ia tidak memasang wajah sedingin tadi. Dirinya ingin cepat-cepat keluar dari tempat ini dan sendiri.Rasa lega menghinggapi dada Raffael ketika pada akhirnya pesta itu berakhir juga dengan satu demi satu tamu undangan meninggalkan tempat. Ia berjalan cepat keluar dari ballroom meninggalkan Marsya jauh tertinggal di belakangnya.Dikeluarkannya kunci dalam bentuk kartu untuk membuka honeymoon suite. Ia masuk kamar dan langsung melepas jas yang dipakainya untuk ia lemparkan begitu saja ke lantai. Dibukanya kulkas mini lalu ia ambil bir kaleng.Ditenggaknya isi dari bir kaleng itu sampai tandas setelahnya ia lemparkan ke dinding kamar. Hal itu ia lakukan untuk melampiaskan kemarahan dan kecewanya.Terdengar suara p
Ryan menulikan pendengaran dan mengunci mulutnya. Ia memejamkan mata mengabaikan tuduhan dari istrinya. Ia tidak peduli kalau Marsya akan menjadi semakin marah.Marsya menarik napas dalam-dalam, ia berhitung sampai 10 dalam hatinya. Namun, ia tidak berhasil mengendalikan kemarahannya atas sikap diam Raffael.Ditariknya lengan suaminya itu yang ia gunakan sebagai bantal. “Kenapa kamu selalu saja mengacuhkanku? Aku ini istrimu dan bukan patung!”Raffael dengan terpaksa membuka mata, ia menatap tepat mata Marsya dengan sorot dingin. “Aku sudah lelah dan ingin beristirahat! Pernyataan darimu tidak memerlukan jawaban yang mendesak karena itu hanyalah khayalanmu saja akibat dari rasa takutmu yang berlebihan.”Raffael kembali memejamkan mata, ia tidak peduli dengan suara tarikan napas Marsya yang berat. Ia hanya ingin melupakan kalau dirinya telah menikah dengan wanita yang bukanlah tunangannya.Marsya menjadi kalah sendiri karena dirinya diabaikan Raffael. Dibalikannya badan berjalan menuj
Natasya membuka mulut tidak percaya mendengar apa yang dikatakan oleh Marsya. Bisa-bisanya wanita itu memberikan peringatan. ‘Dengar ya, Marsya! Jangan samakan diriku denganmu yang tega mengambil apa yang menjadi milik orang lain. Apa yang sudah terlepas tidak akan kupungut kembali,’Di ujung sambungan telepon terdengar bunyi suara gemerisik. Marsya menggeram marah mendapat sindiran menohok dari Natasya. Akan tetapi, ia tidak akan membiarkan direndahkan oleh Natasya.‘Dengar, Ca! Kamu memang pantas dibuang Raffa. Kamu itu hanyalah wanita yang lemah dan tidak berguna sama sekali,’ ejek Marsya di ujung sambungan telepon.Natasya mengeratkan pegangan pada ponsel. Ia sedang dalam kondisi emosi yang tidak stabil setelah tekanan emosi begitu besar. Ditambah kematian maminya yang mendadak.Ditariknya napas dalam-dalam kemudian ia hembuskan kembali dengan kasar. Ia tidak pernah menduga sahabat yang ia anggap bagai saudara kandung akan berkata seperti itu setelah pengkhianatan yang ia lakukan.
Raffael merasa bersalah dalam hatinya dan ia ikut merasakan kesedihan Natasya. Disentaknya pelan lengan Marsya yang menggenggam dengan erat. Ia berjalan mendekati wanita yang masih ia cintai itu dan ikut berlutut di sampingnya. “Berhenti menyalahkan dirimu. Ca! Kamu sama sekali tidak bersalah.”Natasya mengusap air matanya dengan kasar, ia melepas kacamata yang dipakainya kemudian membalikan badan menatap Raffael tajam. “Mamiku meninggal karena menonton berita yang menayangkan pernikahanmu! Kamu sudah membuat mamiku meninggal! Kalian semua sangat jahat dan kuharap kau tidak akan pernah mendapatkan bahagia di atas penderitaan keluargaku.”Raffael tertegun di temptnya berdiri, ia tidak dapat mempercayai pendengarannya kalau ia salah seorang yang membuat mami Natasya meninggal dunia.“Maaf, Ca! Namun, aku sama sekali tidak pernah mengharapkan kematian Mami. Semua sudah menjadi garis hidup yang harus kita semua jalani, Ca! Kamu harus tahu tidak hanya kau saja yang bersedih atas meninggaln
Tidak mau terjadi keributan Natasya bangkit dari duduknya. “Maaf, saya akan makan di dapur.”Dengan anggukan kepala ia berjalan keluar dari ruang makan. Saat melewatii Raffael dan kekasihnya, ia mengangkat kepala. Menatap pasangan itu dengan raut datar. “Akhirnya kau sadar diri juga! Semoga kau tidak berpura-pura amnesia dan kembali makan di ruangan ini,” sindir Ades.Natasya menghentikan langkah, ia menatap wanita itu dengan tajam. “Saya memang pengasuh di rumah ini. Sementara Anda adalah kekasih pemilik rumah ini. Akan tetapi, apakah kau yakin Raffael akan menikahimu? Karena kudengar ia pernah bertunangan lama, tetapi ia justru menikahi sahabat tunangannya.”Raffael menggeram marah. ia memberikan pelototan pada Natasya. Dicekalnya lengan wanita itu setengah menyeret ia membawa wanita itu keluar. Didorongnya dengan kasar, hingga punggung Natasya menempel pada dinding.Tangan Raffael berpindah memegang dagu Natasya dengan kasar. Sampai kuku-kuku jarinya terasa menusuk daging, tetapi
“Kau pengecut! Selalu memilih untuk pergi.” Raffael menatap tajam punggung Natasya.Langkah Natasya terhenti, tetapi ia tidak membalikkan badan untuk melihat Raffael. “Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Tuan! Anda sudah mengatakannya dengan begitu jelas.”Dilanjutkannya kembali berjalan memasuki rumah. Sesampai di depan pintu kamar Tiara, ia membukanya pelan. Diliatnya kalau gadis cilik itu tidur dengan nyenyaknya.‘Akh, sebaiknya aku pergi keluar saja untuk mencari makan,’ batin Natasya.Ditutupnya kembali pintu kamar Tiara dan berjalan memasuki kamarnya sendiri. Diambilnya tas tangan berisikan dompet, serta ponsel. Setelahnya, ia keluar kamar menuruni tangga. Di bawah anak tangga ia berpapasan dengan Raffael yang akan naik. Sambil menundukkan kepala ia berjalan melewati pria itu.Tiba-tiba saja lengannya ditarik dengan kasar, hingga ia membentur dada Raffael. Suara kesiap karena terkejut lolos dari bibirnya.“Mau pergi kemana kau?” desis Raffael dengan suara tertahan.“Maaf, Tu
Nadi Natasya berdenyut cepat, ia menundukkan kepala tidak sanggup menatap mata Raffael. Agar pria itu tidak melihat kalau kata-katanya kembali melukai Natasya. “Terima kasih, untuk kesekian kali diingatkan. Maaf, saya yang sudah besar kepala.”Natasya berenang mengabaikan Raffael, ia berenang menuju Tiara yang berada dalam pelampungnya. “Apakah kamu mau turun dari tempatmu itu bermain air dengan Nanny?”Senyum cerah terbit di wajah Tiara, ia tidak mengetahui kalau nannynya sedang sedih. Gadis cilik itu merentangkan kedua tangan meminta diangkat dari pelampungnya.Dengan sigap Natasya melakukannya. Ia sengaja membawa Tiara berenang ke bagian yang terjauh dari Raffael. Suara tawa senang gadis cilik itu mampu menghibur Natasya membuatnya melupakan sejenak kata-kata kasar dari majikannya.“Apakah kau sudah lelah berenang? Kita naik ke atas ya karena hari sudah mulai gelap.” Ajak Natasya kepada Tiara.Anggukkan kepala Tiara berikan kepada Natasya. Selain sudah lelah, ia juga merasa mengant
Raffael terdiam, rahangnya mengetat dengan kedua tangan mengepal di samping tubuh. “Mengapa kau berpikir aku masih mencintai Natasya dan berhubungan kembali dengannya? Hubungan kami sudah lama usai. Kalau kau meragukan diriku silakan pergi dari hubungan ini.”Ades tidak puas dengan jawaban dari Raffal, tetapi rasa takutnya diputuskan pria itu jauh lebih besar. Ia harus mengalah kepada kekasihnya itu. Namun, tidak dengan Natasya. Akan diberikannya peringatan keras.“Maaf, Raff! Aku tidak bermaksud untuk meragukanmu. Hanya saja kehadiran wanita itu di rumah ini membuatku cemburu.” Ades memeluk Raffael erat. Untuk menunjukkan kalau dirinya takut kehilangan pria itu.Perlahan Raffael melepaskan pelukan Ades, ia hanya memberikan anggukan kemudian berjalan meninggalkan wanita itu seorang diri saja. Ades memandangi punggung Raffael sampai pria itu menghilang dari pandangan. Tampangnya terlihat cemberut saat ia dengan terpaksa keluar dari rumah itu. Ia harus bisa meyakinkan dirinya sendiri
“Apakah Nanny tahu siapa Om, itu?” Tanya Tiara dengan mata besarnya menatap penuh harap.Natasya mengalihkan tatapannya kepada Raffael. Ia ingin tahu apakah pria itu akan berkata jujur kepada anak kecil yang berdiri di antara mereka berdua.Raffael menegakkan badan dengan suara dingin, ia berkata, “Nannymu akan mengatakannya kalau ia berani.”Dengan suara pelan yang hanya bisa didengar Raffael, Natasya berkata, “Kenapa kau menjadi pengecut, Raff? Mengakui kalau gadis kecil ini adalah putrimu begitu berat.”Posisi Natasya yang berdiri begitu dekat saat berbicara, hingga dari posisi Ades berdiri. Terlihat seolah keduanya sedang berciuman. Dan hal itu jelas memancing rasa cemburunya.“Apa yang kalian berdua lakukan? Tidakkah kalian menghargai diriku dan juga ada anak kecil yang bisa melihat! Dasar pengasuh tidak tahu malu! Aku tahu kalau kau berusaha untuk menaikkan derajatmu menjadi Nyonya di rumah ini!” bentak Ades emosi.Sontak saja Natasya menjadi terkejut, ia langsung menjauhkan bad
“Hahaha! Kau sungguh menggelikan sekali. Mana mungkin kekasihku akan cemburu kepada pengasuh sepertimu. Ia tahu kalau kau bukanlah wanita yang akan menjadi pilihanku. Aku memintamu ke sini untuk mengingatkan agar kau tidak boleh menampakkan dirimu di hadapanku!” tegas Raffael.Hati Natasya terasa sakit mendengar ucapan kasar Raffael. Dirinya tidak dianggap sama sekali, padahal mereka pernah bertunangan. Sebegitu rendahnyakah status sebagai seorang pengasuh putrinya di mata Raffael?“Baik, Tuan! Saya mengerti. Saya akan berusaha agar kita tidak perlu bertemu. Karena tidak ada lagi yang perlu dibicarakan saya permisi.” Natasya bangkit dari duduk berjalan menuju pintu.Raffael juga bangkit dari duduknya, ia meletakkan tangan di atas tangan Natasya mencegah wanita itu membuka pintu. “Siapa yang mengatakan aku sudah selesai berbicara denganmu?”Natasya membalikkan badan hingga berhadapan dengan Raffael. Dan itu merupakan suatu kesalahan karena keduanya berada begitu dekat. Dia melangkah m
Natasya menelan ludah dengan sukar tenggorokannya terasa kering. Diambilnya gelas berisi air yang langsung ia minum. Setelahnya ia letakkan kembali gelas itu di atas meja.“Saya tidak ingin bertengkar di meja makan dan saya bekerja untuk Nona Tiara anak dari pemilik rumah ini. Yang kehadirannya belum diketahui oleh anak asuh saya.” Natasya melihat ke arah Tiara yang balas menatapnya.“Nanny, kita pergi saja dari sini. Kita makan di luar saja aku takut.” Tiara bangkit dari duduk. Ia menarik tangan Natasya menjauh dari tempat tersebut.Dengan senang hati Natasya memenuhi permintaan anak asuhnya itu. Sebelum keluar ia memberikan anggukan kepala kepada Raffael. Karena biar bagaimanapun juga pria itu adalah majikan yang selama ini tidak dilihatnya.“Siapa yang mengijinkan kalian keluar! Kembali ke tempat kalian kita makan bersama dan tidak ada perdebatan!” seru Raffael dengan nada suara dingin.Natasya menghentikan langkah diikuti oleh Tiara. Melalui genggaman tangan gadis cilik itu terlih
Sontak saja Ades menjadi terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Raffael. “Kau tidak becanda, bukan? Tentu saja aku bersedia.”Mata Ades berbinar senang, ia tidak menghiraukan fakta di depan matanya kalau Raffael tidak terlihat sama antusiasnya. Atau pun senang mendengar ia menyetujui apa yang dikatakan oleh pria itu.Dipeluknya pundak pria itu sambil mengecup pipinya sekilas. “Kuharap kau tidak menyesal dengan apa yang barusan kau katakan, Raff!”Raffael mengambil cawan berisi anggur disesapnya isinya sampai tandas dalam sekali tegug. Kalau berkata jujur kepada Ades tentu saja dirinya akan mengatakan menyesal. Ia tidak terlalu menyukai wanita itu karena bukanlah Natasya.“Bagaimana mungkin aku akan menyesal? Sementara kau adalah wanita cantik, serta mandiri sepertimu. Tentu saja kita berdua akan menjadi pasangan yang berbahagia dan membuat iri orang lain,” ucap Raffael dengan nada datar.Raffael bangkit dari duduknya mengulurkan tangan kepada Ades. Yang langsung disambut oleh wani
“Argh!” erang Raffael. Matanya menatap cincin pernikahan yang melingkar di jari manis Natasya dan itu membuat perasaan Raffael berkecamuk. Ia mengguncang badan Natasya hingga tubuh wanita itu terguncang karenanya. Raffael ingin meluapkan rasa frustrasi dan amarahnya. “Kau begitu senang, bukan melihatku menderita? Kau pasti hanya berpura-pura saja tidak mengetahui kalau Marsya sudah meninggal dan anak kecil itu bukanlah putriku!”Keduanya tidak menyadari kalau pintu kamar itu terbuka. Dan seorang anak kecil yang hendak melangkah masuk langsung berhenti. Ia mendengar dengan jelas pria yang sedang bertengkar dengan nannynya itu.“Apa yang kau lakukan kepada nannyku?” Tiara memukul kaki Raffael karena ia anggap menyakiti nannynya.Raffael tertegun ia tidak bermaksud agar anak kecil itu mendengar atau pun melihat pertengkarannya dengan Natasya. Ia membalikkan badan menatap gadis cilik itu dalam diam. Kemudian ia berjalan keluar begitu saja.Natasya menyimpan umpatannya dalam hati melihat