Share

BAB 5 MASALAH

Raffael melirik Ibunya sekilas. “Ibu sudah memaksakan pernikahan ini kepadaku. Ibu dan siapapun juga tidak ada yang bisa mengatur perasaanku! Selamanya saya hanya akan mencintai Natasya!”

Terdengar suara dengusan dari kursi bagian depan, di mana Ayahnya sedang duduk di samping sopir. “Mencintai, tetapi selingkuh! Sungguh konsep yang membingungkan,” timpal Ayah Raffael.

Raffael mengepalkan kedua tangan, bibirnya mengetat menahan marah, tetapi ia tidak melampiaskan amarahnya saat ini, karena ia menghargai Ibunya.

Setelah beberapa menit dalam perjalanan mobil yang ditumpangi Raffael pun berhenti di depan rumah Marsya. Terlihat sudah ada beberapa mobil dan kendaraan yang terparkir di depan rumah tersebut.

Raffael dan kedua orang tuanya turun dari mobil. Dirinya yang tidak memperhatikan hal lain, tidak mengetahui, kalau di belakang mobil mereka juga ada mobil dari beberapa orang saudara dekat orang tuanya, dengan membawa beberapa bingkisan.

“Ibu memang hebat! Bisa menyiapkan semua ini dalam waktu yang singkat.” Bisik Raffael kepada Ibunya.

“Karena Ibu tahu, kalau mengandalkanmu yang ada pernikahan kalian tidak akan terjadi. Dan anakmu akan lahir di luar pernikahan,” sahut Ibu Raffael.

Kedatangan mereka disambut oleh Marsya dan kedua orang tuanya, juga beberapa orang tetangga. Mereka semua duduk di kursi ruang tamu yang tidak terlalu luas.

Acara lamaran pun dimulai dan dicapai kesepakatan antara orang tua Marsya dan orang tua Raffael, kalau pernikahan akan dilangsungkan dalam waktu satu minggu lagi. Lebih cepat dari rencana awal.

Sontak saja Raffael menjadi terkejut, ia tidak mengira dirinya akan cepat menikah. Ia menatap Marsya dengan dingin, ia masih merasa dirinya sama sekali tidak menyentuh wanita itu, tetapi sekarang dirinya harus terjebak dalam pernikahan dengan wanita yang tidak dicintainya.

***

Natasya menatap layar ponselnya dengan perasaan bingung. Ia tidak habis pikir mengapa tunangannya menutup telepon begitu saja.

‘Apa yang terjadi? Mengapa sekarang Raffael juga memblokir kontakku?’ batin Natasya.

Ia sudah tidak berkonsenterasi lagi untuk belajar, setelah mendapat telepon singkat dari Raffael. Ia berdiri dari kursi yang didudukinya berjalan menuju jendela apartemennya dan berdiri di sana.

Jalanan terasa lengang, karena sekarang memang tengah malam, di Berlin. Hanya lampu jalanan saja yang menerangi. Natasya memutar cincin pertunangan yang ada di jarinya.

Hatinya merasa, kalau hubungannya dengan Raffael tidak baik-baik saja. Dan tunangannya itu menyembunyikan sesuatu yang besar darinya.

Natasya tertidur di kursi yang didudukinya. Ia terbangun, karena bunyi alaramnya yang terdengar nyaring.

Dirinya bangun dari tempat duduknya berjalan menuju kamar mandi. Ia mengisi bathub dengan air hangat, yang ia masukkan sabun mandi cair. Kemudian Natasya menceburkan dirinya ke dalam bathub tersebut.

Natasya mandi berendam, sambil membayangkan wajah tampan Raffael. ‘Saya merindukanmu, Raffa! Apakah kamu juga merasakan hal yang sama?’ Tanya hati Natasya.

Diakhirnya mandi berendam, setelah air menjadi dingin. Ia keluar kamar mandi, dengan memakai jubah mandi. Ia berjalan menuju lemari pakaian diambilnya sebuah gaun lengan pendek, dengan panjang di atas lutut.

Selesai berpakaian Natasya keluar kamar menuju dapur, lalu duduk di depan meja bar. Diambilnya selembar roti tawar, kemudian ia olesi dengan selai kacang. Ia memakan rotinya dengan nikmat, sambil mengecek ponsel berharap Raffael menghubunginya.

Natasya harus menelan kekecewaan, karena sama sekali tidak ada pesan, atau panggilan dari Raffael. ‘Kau sudah tidak sayang kepadaku lagi, Raff,’ gumam Natasya.

Nafsu makan Natasya menjadi hilang, ia pun meletakkan sisa roti bakarnya di atas piring. Namun, ketika ia hendak beranjak dari duduk ponselnya berbunyi nyaring. Mata Natasya berseri senang, ia mengira yang meneleponnya adalah Raffael. Namun, ternyata Papinya.

‘Halo, Ca! Maafkan, Papi harus memberikan kabar kepadamu. Kamu harus segera pulang ke Indonesia, Ca,’ ucap Ayah Natasya, melalui sambungan telepon.

‘Ha-lo, Papi! Apa yang terjadi? Tolong katakan kepada Caca sekarang juga!’ ucap Natasya dengan suara bergetar, karena gugup.

‘Papi tidak bisa mengatakannya, kamu segera saja pulang ke Indonesia dan kamu tidak akan kembali lagi ke Jerman.’ Papi Natasya mematikan sambungan telepon begitu saja.

Natasya menarik napas dengan berat. Ia menjadi gugup, karena belum pernah Papinya berlaku, seperti tadi di telepon.

Diletakkannya telepon di atas meja ia, kemudian mengeluarkan pakaiannya dari dalam lemari dan memasukkannya ke koper besar. Berikut dengan barang-barang pribadi miliknya, setelah selesai, ia memesan taksi online untuk ke bandara.

Setelah, melalui penerbangan yang panjang dan melelahkan Natasya tiba juga dengan selamat di bandara Internasional Seokarno-Hatta. Ia menyeret kopernya keluar dari bandara di mana, sebuah taksi sudah menunggunya.

Semakin dekat dengan rumahnya jantung Natasya semakin berdebar kencang. Kedua tangannya terasa dingin, karena ia tidak tahu apa yang akan ia temui, ketika sampai di rumah nanti.

Sesampai di depan rumahnya Natasya berdiri terdiam memandangi rumahnya, yang terlihat sepi. Natasya melangkah dengan pelan menaiki undakan tangga menuju teras rumah.

‘Kenapa pintu rumah tidak dikunci?’ batin Natasya, ketika ia dengan mudahnya membuka pintu tersebut.

Diletakkannya begitu saja kopernya, ia memanggil kedua orang tunya dengan suara nyaring. “Mami! Papi! Saya sudah pulang!”

Didengarnya suara langkah menuruni tangga. Melihat kedua orang tuanya dalam keadaan baik-baik saja membuat perasaan Natasya menjadi lega. Ia berlari menaiki tangga untuk memeluk Mami dan Papinya secara bergantian.

“Kenapa Papi begitu misterius, ketika di telepon?” Tanya Natasya, sambil mengusap air mata yang membasahi wajahnya.

“Duduklah! Nanti akan kami katakan kepadamu.” Mami Natasya merangkul pundaknya mengajak putrinya itu menuruni tangga menuju ruang keluarga.

Mereka semua duduk di sofa yang berbentuk huruf L. Natasya duduk di antara Papi dan Maminya. Namun, sebelum Papinya mulai bercerita Natasya dipersilakan untuk minum dahulu.

Tidak sabar menunggu apa yang akan dikatakan oleh Papinya, Natasya menghabiskan es jeruk minuman favoritnya sampai habis. “Sekarang Papi sudah bisa menceritakannya kepadaku.”

Papi Natasya menarik napas dalam-dalam terlihat ia berat untuk mengatakannya kepada putrinya itu.

“Perusahaan kita bangkrut! Papi kena tipu rekan bisnis papi. Rumah ini, bahkan sekarang bukan milik kita lagi. Kita harus segera berkemas, sebelum diusir dari rumah ini,” ucap Papi Natasya.

Badan Natasya menjadi bergetar, air matanya jatuh meleleh membasahi pipinya, karena ia tidak percaya mendengar apa yang terjadi.

“Kamu tidak marah dengan Mami dan Papi, ‘kan Ca? Kita sekarang bukan lagi orang kaya dan kita harus berjuang dari nol lagi.” Mami Natasya bertanya kepada Natsaya dengan suara bergetar, karena ia juga sedang menangis.

Natasya berbalik untuk memberikan pelukan kepada Maminya. Dengan suara yang tersendat ia berkata, “Caca tidak marah kepada Mami dan Papi, kita akan membangun usaha kita kembali.”

Beberapa jam, kemudian setelah Natasya cukup beristirahat. Ia dan kedua orang tuanya memasukkan barang-barang yang bisa mereka bawa ke dalam kardus.

Natasya berdiri di dalam kamar air matanya mengalir dengan deras, karena ia harus meninggalkan kamar yang telah ditempatinya sejak ia masih kecil. Begitu juga dengan rumah besar ini.

Tidak ingin berlama-lama merenungi kamar yang harus ditinggalkannya. Natasya dengan cepat keluar dari kamar tersebut dan bergabung dengan kedua orang tuanya, yang sudah berdiri di teras rumah.

Sebuah truk sudah disewa Papi Natasya untuk mengangkut barang-barang mereka. Sementara mereka bertiga menumpang taksi yang sudah dipesan, karena beberapa mobil milik keluarga mereka pun sekarang sudah berpindah tangan.

Sepanjang perjalanan Natasya berusaha untuk tidak menangis, agar kedua orang tuanya tidak merasa bersedih.

Taksi berhenti di depan sebuah rumah yang mungil dan hanya memiliki dua kamar saja, serta satu kamar mandi.

“Apa kamu kecewa, Ca? Karena sekarang kita harus tinggal di rumah yang begitu kecil, seperti ini?” Tanya Papi Natasya.

Dengan cepat Natasya menggelengkan kepala, karena ia tidak mau Papinya merasa bersalah. Ia mengatakan, kalau dirinya tidak masalah di mana sekarang harus tinggal.

***

Beberapa hari, setelah kepindahan mereka Natasya meminta ijin kepada kedua orang tuanya, kalau ia akan pergi untuk mencari pekerjaan.

Dengan menaiki bis kota, sesuatu yang belum pernah Natasya lakukan. Ia nekat datang ke perusahaan milik Raffael berharap tunangannya itu akan membantu.

Wajah Natasya berseri dengan harapan sedikit masalah keluarganya akan terpecahkan. Dengan langkah yang percaya diri Natasya berjalan memasuki gedung perusahaan Raffael.

“Apa kamu percaya, kalau Pak Raffael akan menikah dengan Marsya, wanita yang bekerja di bagian administrasi itu,” ucap sebuah suara.

Langkah Natasya langsung terhenti, senyum di bibirnya hilang, dengan jantung yang berdebar kencang. ‘Tidak mungkin Raffael akan menikah dengan Marysa! Mereka pasti membicarakan orang lain,’ batin Natasya.

“Iya, padahal Pak Raffael sudah mempunyai tunangan. Dan kabarnya tunangan Pak Raffael itu merupakan sahabat dari Marsya. Tega sekali Marsya itu merebut tunganya sahabat sendiri,” timpal temannya.

Natasya menguatkan diri untuk berjalan mendekati dua orang wanita yang sedang mengggosip tersebut. Ia tahu, kalau mereka tidak mengenalinya, karena tidak pernah bertemu dengannya.

“Maaf, dapatkah kalian memberitahukan kepada saya kapan dan di mana pernikahan dari Pak Raffael dengan Bu Marsya akan diadakan?” Tanya Natasya dengan suara bergetar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status