Raffael melirik Ibunya sekilas. “Ibu sudah memaksakan pernikahan ini kepadaku. Ibu dan siapapun juga tidak ada yang bisa mengatur perasaanku! Selamanya saya hanya akan mencintai Natasya!”
Terdengar suara dengusan dari kursi bagian depan, di mana Ayahnya sedang duduk di samping sopir. “Mencintai, tetapi selingkuh! Sungguh konsep yang membingungkan,” timpal Ayah Raffael.
Raffael mengepalkan kedua tangan, bibirnya mengetat menahan marah, tetapi ia tidak melampiaskan amarahnya saat ini, karena ia menghargai Ibunya.
Setelah beberapa menit dalam perjalanan mobil yang ditumpangi Raffael pun berhenti di depan rumah Marsya. Terlihat sudah ada beberapa mobil dan kendaraan yang terparkir di depan rumah tersebut.
Raffael dan kedua orang tuanya turun dari mobil. Dirinya yang tidak memperhatikan hal lain, tidak mengetahui, kalau di belakang mobil mereka juga ada mobil dari beberapa orang saudara dekat orang tuanya, dengan membawa beberapa bingkisan.
“Ibu memang hebat! Bisa menyiapkan semua ini dalam waktu yang singkat.” Bisik Raffael kepada Ibunya.
“Karena Ibu tahu, kalau mengandalkanmu yang ada pernikahan kalian tidak akan terjadi. Dan anakmu akan lahir di luar pernikahan,” sahut Ibu Raffael.
Kedatangan mereka disambut oleh Marsya dan kedua orang tuanya, juga beberapa orang tetangga. Mereka semua duduk di kursi ruang tamu yang tidak terlalu luas.
Acara lamaran pun dimulai dan dicapai kesepakatan antara orang tua Marsya dan orang tua Raffael, kalau pernikahan akan dilangsungkan dalam waktu satu minggu lagi. Lebih cepat dari rencana awal.
Sontak saja Raffael menjadi terkejut, ia tidak mengira dirinya akan cepat menikah. Ia menatap Marsya dengan dingin, ia masih merasa dirinya sama sekali tidak menyentuh wanita itu, tetapi sekarang dirinya harus terjebak dalam pernikahan dengan wanita yang tidak dicintainya.
***
Natasya menatap layar ponselnya dengan perasaan bingung. Ia tidak habis pikir mengapa tunangannya menutup telepon begitu saja.
‘Apa yang terjadi? Mengapa sekarang Raffael juga memblokir kontakku?’ batin Natasya.
Ia sudah tidak berkonsenterasi lagi untuk belajar, setelah mendapat telepon singkat dari Raffael. Ia berdiri dari kursi yang didudukinya berjalan menuju jendela apartemennya dan berdiri di sana.
Jalanan terasa lengang, karena sekarang memang tengah malam, di Berlin. Hanya lampu jalanan saja yang menerangi. Natasya memutar cincin pertunangan yang ada di jarinya.
Hatinya merasa, kalau hubungannya dengan Raffael tidak baik-baik saja. Dan tunangannya itu menyembunyikan sesuatu yang besar darinya.
Natasya tertidur di kursi yang didudukinya. Ia terbangun, karena bunyi alaramnya yang terdengar nyaring.
Dirinya bangun dari tempat duduknya berjalan menuju kamar mandi. Ia mengisi bathub dengan air hangat, yang ia masukkan sabun mandi cair. Kemudian Natasya menceburkan dirinya ke dalam bathub tersebut.
Natasya mandi berendam, sambil membayangkan wajah tampan Raffael. ‘Saya merindukanmu, Raffa! Apakah kamu juga merasakan hal yang sama?’ Tanya hati Natasya.
Diakhirnya mandi berendam, setelah air menjadi dingin. Ia keluar kamar mandi, dengan memakai jubah mandi. Ia berjalan menuju lemari pakaian diambilnya sebuah gaun lengan pendek, dengan panjang di atas lutut.
Selesai berpakaian Natasya keluar kamar menuju dapur, lalu duduk di depan meja bar. Diambilnya selembar roti tawar, kemudian ia olesi dengan selai kacang. Ia memakan rotinya dengan nikmat, sambil mengecek ponsel berharap Raffael menghubunginya.
Natasya harus menelan kekecewaan, karena sama sekali tidak ada pesan, atau panggilan dari Raffael. ‘Kau sudah tidak sayang kepadaku lagi, Raff,’ gumam Natasya.
Nafsu makan Natasya menjadi hilang, ia pun meletakkan sisa roti bakarnya di atas piring. Namun, ketika ia hendak beranjak dari duduk ponselnya berbunyi nyaring. Mata Natasya berseri senang, ia mengira yang meneleponnya adalah Raffael. Namun, ternyata Papinya.
‘Halo, Ca! Maafkan, Papi harus memberikan kabar kepadamu. Kamu harus segera pulang ke Indonesia, Ca,’ ucap Ayah Natasya, melalui sambungan telepon.
‘Ha-lo, Papi! Apa yang terjadi? Tolong katakan kepada Caca sekarang juga!’ ucap Natasya dengan suara bergetar, karena gugup.
‘Papi tidak bisa mengatakannya, kamu segera saja pulang ke Indonesia dan kamu tidak akan kembali lagi ke Jerman.’ Papi Natasya mematikan sambungan telepon begitu saja.
Natasya menarik napas dengan berat. Ia menjadi gugup, karena belum pernah Papinya berlaku, seperti tadi di telepon.
Diletakkannya telepon di atas meja ia, kemudian mengeluarkan pakaiannya dari dalam lemari dan memasukkannya ke koper besar. Berikut dengan barang-barang pribadi miliknya, setelah selesai, ia memesan taksi online untuk ke bandara.
Setelah, melalui penerbangan yang panjang dan melelahkan Natasya tiba juga dengan selamat di bandara Internasional Seokarno-Hatta. Ia menyeret kopernya keluar dari bandara di mana, sebuah taksi sudah menunggunya.
Semakin dekat dengan rumahnya jantung Natasya semakin berdebar kencang. Kedua tangannya terasa dingin, karena ia tidak tahu apa yang akan ia temui, ketika sampai di rumah nanti.
Sesampai di depan rumahnya Natasya berdiri terdiam memandangi rumahnya, yang terlihat sepi. Natasya melangkah dengan pelan menaiki undakan tangga menuju teras rumah.
‘Kenapa pintu rumah tidak dikunci?’ batin Natasya, ketika ia dengan mudahnya membuka pintu tersebut.
Diletakkannya begitu saja kopernya, ia memanggil kedua orang tunya dengan suara nyaring. “Mami! Papi! Saya sudah pulang!”
Didengarnya suara langkah menuruni tangga. Melihat kedua orang tuanya dalam keadaan baik-baik saja membuat perasaan Natasya menjadi lega. Ia berlari menaiki tangga untuk memeluk Mami dan Papinya secara bergantian.
“Kenapa Papi begitu misterius, ketika di telepon?” Tanya Natasya, sambil mengusap air mata yang membasahi wajahnya.
“Duduklah! Nanti akan kami katakan kepadamu.” Mami Natasya merangkul pundaknya mengajak putrinya itu menuruni tangga menuju ruang keluarga.
Mereka semua duduk di sofa yang berbentuk huruf L. Natasya duduk di antara Papi dan Maminya. Namun, sebelum Papinya mulai bercerita Natasya dipersilakan untuk minum dahulu.
Tidak sabar menunggu apa yang akan dikatakan oleh Papinya, Natasya menghabiskan es jeruk minuman favoritnya sampai habis. “Sekarang Papi sudah bisa menceritakannya kepadaku.”
Papi Natasya menarik napas dalam-dalam terlihat ia berat untuk mengatakannya kepada putrinya itu.
“Perusahaan kita bangkrut! Papi kena tipu rekan bisnis papi. Rumah ini, bahkan sekarang bukan milik kita lagi. Kita harus segera berkemas, sebelum diusir dari rumah ini,” ucap Papi Natasya.
Badan Natasya menjadi bergetar, air matanya jatuh meleleh membasahi pipinya, karena ia tidak percaya mendengar apa yang terjadi.
“Kamu tidak marah dengan Mami dan Papi, ‘kan Ca? Kita sekarang bukan lagi orang kaya dan kita harus berjuang dari nol lagi.” Mami Natasya bertanya kepada Natsaya dengan suara bergetar, karena ia juga sedang menangis.
Natasya berbalik untuk memberikan pelukan kepada Maminya. Dengan suara yang tersendat ia berkata, “Caca tidak marah kepada Mami dan Papi, kita akan membangun usaha kita kembali.”
Beberapa jam, kemudian setelah Natasya cukup beristirahat. Ia dan kedua orang tuanya memasukkan barang-barang yang bisa mereka bawa ke dalam kardus.
Natasya berdiri di dalam kamar air matanya mengalir dengan deras, karena ia harus meninggalkan kamar yang telah ditempatinya sejak ia masih kecil. Begitu juga dengan rumah besar ini.
Tidak ingin berlama-lama merenungi kamar yang harus ditinggalkannya. Natasya dengan cepat keluar dari kamar tersebut dan bergabung dengan kedua orang tuanya, yang sudah berdiri di teras rumah.
Sebuah truk sudah disewa Papi Natasya untuk mengangkut barang-barang mereka. Sementara mereka bertiga menumpang taksi yang sudah dipesan, karena beberapa mobil milik keluarga mereka pun sekarang sudah berpindah tangan.
Sepanjang perjalanan Natasya berusaha untuk tidak menangis, agar kedua orang tuanya tidak merasa bersedih.
Taksi berhenti di depan sebuah rumah yang mungil dan hanya memiliki dua kamar saja, serta satu kamar mandi.
“Apa kamu kecewa, Ca? Karena sekarang kita harus tinggal di rumah yang begitu kecil, seperti ini?” Tanya Papi Natasya.
Dengan cepat Natasya menggelengkan kepala, karena ia tidak mau Papinya merasa bersalah. Ia mengatakan, kalau dirinya tidak masalah di mana sekarang harus tinggal.
***
Beberapa hari, setelah kepindahan mereka Natasya meminta ijin kepada kedua orang tuanya, kalau ia akan pergi untuk mencari pekerjaan.
Dengan menaiki bis kota, sesuatu yang belum pernah Natasya lakukan. Ia nekat datang ke perusahaan milik Raffael berharap tunangannya itu akan membantu.
Wajah Natasya berseri dengan harapan sedikit masalah keluarganya akan terpecahkan. Dengan langkah yang percaya diri Natasya berjalan memasuki gedung perusahaan Raffael.
“Apa kamu percaya, kalau Pak Raffael akan menikah dengan Marsya, wanita yang bekerja di bagian administrasi itu,” ucap sebuah suara.
Langkah Natasya langsung terhenti, senyum di bibirnya hilang, dengan jantung yang berdebar kencang. ‘Tidak mungkin Raffael akan menikah dengan Marysa! Mereka pasti membicarakan orang lain,’ batin Natasya.
“Iya, padahal Pak Raffael sudah mempunyai tunangan. Dan kabarnya tunangan Pak Raffael itu merupakan sahabat dari Marsya. Tega sekali Marsya itu merebut tunganya sahabat sendiri,” timpal temannya.
Natasya menguatkan diri untuk berjalan mendekati dua orang wanita yang sedang mengggosip tersebut. Ia tahu, kalau mereka tidak mengenalinya, karena tidak pernah bertemu dengannya.
“Maaf, dapatkah kalian memberitahukan kepada saya kapan dan di mana pernikahan dari Pak Raffael dengan Bu Marsya akan diadakan?” Tanya Natasya dengan suara bergetar.
Sontak saja kedua pegawai yang sedang menggosip itu membalikan badan melihat kepada Marsya. Dan mereka dapat mengenalinya, karena Raffael pernah beberapa kali membawa Natasya datang ke kantor itu. “Memangnya, Ibu tidak mendapatkan undangan?” Tanya salah seorang dari pegawai itu dengan senyum mengejek di bibirnya.Mereka mengamati wajah Natasya yang terlihat pucat, tetapi keduanya tidak peduli. Ada rasa senang di hati pegawai itu berhasil membuat wanita yang selama ini mereka irikan. Keduanya memang diam-diam juga mennyukai Raffael.Natasya menelan ludah dengan sukar tenggorokannya mendadak terasa kering. Dibasahinya bibir sebelum menjawab pertanyaa dari pegawai wanita yang dulu menghormatinya. Namun, sekarang mereka memandang remeh dirinya.“Saya hanya ingin mengetahui tempat resepsi itu diadakan kalau kalian tidak bersedia mengatakannya saya bisa bisa bertanya kepada orang lain.” Natasya membalikan badan, ia tidak akan berlama-lama berhadapan dengan kedua wanita yang sudah berlaku ti
dikatakan oleh Natasya bertolak belakang dengan penjelasannya tadi siang. “Sayang, bukannya tadi siang kamu sudah bertemu dengan Raffa?”Natasya melihat ke arah maminya dengan tatapan sendu. Ia memberikan senyum terpaksa kepada wanita yang telah melahirkannya itu. “Aku tidak memberitahukan kedatanganku malam ini kepadanya. Untuk memberikan kejutan spesial.”Walaupun merasa bingung dengan jawaban yang diberikan Natasya, ia tidak mau memperpanjang lagi menuntut penjelasan. Akan ada waktunya Natasya bercerita.Setelah berpamitan Natasya berjalan keluar rumah dan masuk taksi yang telah menunggunya. Setelah duduk ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan keras. Ia menggenggam kedua tangan di atas pangkuan sambil memejamkan mata.‘Aku harus kuat dan siap menghadapi mereka berdua,’ tekad Natasya dalam hati.Tak berselang lama taksi yang ditumpanginya berhenti di depan sebuah hotel berbintang yang Natasya kenali sebagai salah satu hotel milik Raffael.Setelah membayar ongkos ta
Marsya yang berdiri di samping Raffael menjadi cemburu dan marah. Ia menganggap Raffael dan Natasya mengabaikan kehadirannya. Ia melingkarkan lengan dengan sikap posesif pada perut Raffael. “Sayang! Kalian berdua menarik perhatian tamu undangan yang hadir.”Ia mengalihkan tatapan ke arah Natasya dengan sorot kebencian dan bibir yang dipoles merah menyala itu memerikan senyum mengejek.“Kami sudah menikah, Ca! Jangan kau rebut suamiku pergilah sebelum kau diusir keluar oleh petugas keamanan yang hanya akan membuatmu menjadi malu saja,” desis Marsya.Natasya mengusap air matanya dengan punggung tangan, ia membalas tatapan mata sahabatnya itu dengan tenang. Tidak ada sorot kebencian di matanya, walaupun ia sudah disakiti.“Sepertinya karena kau menikah hasil merebut, maka kau menjadi takut hal yang sama akan terjadi padamu. Ambillah, Raffa untukmu karena ia bukan lelaki yang tepat untukku. Kalian pasangan yang serasi sama-sama pengkhianat,” ucap Natasya.Tangan Marsya terangkat hendak me
“Mam,Bangunlah!” panggil papi Anastasya berulang kali. Namun, istrinya tidak juga bergerak.Dengan ketenangan yang hampir habis karena mengkhawatirikan keadaan wanita yang dicintainya. Papi Natasya mengambil ponsel dari atas meja lalu dihubunginya nomor darurat meminra segera dikirimkan ambulans.Diletakannya kembali ponsel di atas meja ia kemudian berlutut kembali di samping istrinya. Diciumnya pipi wanita yang telah menemaninya selama bertahun-tahun itu. “Bangun, Mam! Kamu harus tetap hidup menemani dan menguatkan Ica melalui cobaan dalam hidupnya.” Bisik Papi Natasya.Tidak ada tanda-tanda pergerakan dari wanita itu, ia tetap terlihat tenang dalam tidurnya. Papi Natasya memeluk tubuh kaku istrinya dengan air mata yang turun membasahi wajahnya.Sayup-sayup terdengar suara sirene ambulans mendekat kemudian berhenti tepat di depan rumah. Papi Natasya beranjak dari tempatnya. Dibukakannya pintu untuk petugas medis yang datang lalu ia persilakan masuk.“Tolong, selamatkan nyawa istri sa
Raffael tertegun mendengar penuturan Marsya, ia masih belum percaya kalau bayi yang dikandung wanita itu adalah anaknya. “Kalau janin yang kau kandung memang anakku, aku akan memikirkannya lagi tentang sikapku kepadamu.”Raffael mengalihkan pandangannya kembali ke depan, tetapi ia tidak memasang wajah sedingin tadi. Dirinya ingin cepat-cepat keluar dari tempat ini dan sendiri.Rasa lega menghinggapi dada Raffael ketika pada akhirnya pesta itu berakhir juga dengan satu demi satu tamu undangan meninggalkan tempat. Ia berjalan cepat keluar dari ballroom meninggalkan Marsya jauh tertinggal di belakangnya.Dikeluarkannya kunci dalam bentuk kartu untuk membuka honeymoon suite. Ia masuk kamar dan langsung melepas jas yang dipakainya untuk ia lemparkan begitu saja ke lantai. Dibukanya kulkas mini lalu ia ambil bir kaleng.Ditenggaknya isi dari bir kaleng itu sampai tandas setelahnya ia lemparkan ke dinding kamar. Hal itu ia lakukan untuk melampiaskan kemarahan dan kecewanya.Terdengar suara p
Ryan menulikan pendengaran dan mengunci mulutnya. Ia memejamkan mata mengabaikan tuduhan dari istrinya. Ia tidak peduli kalau Marsya akan menjadi semakin marah.Marsya menarik napas dalam-dalam, ia berhitung sampai 10 dalam hatinya. Namun, ia tidak berhasil mengendalikan kemarahannya atas sikap diam Raffael.Ditariknya lengan suaminya itu yang ia gunakan sebagai bantal. “Kenapa kamu selalu saja mengacuhkanku? Aku ini istrimu dan bukan patung!”Raffael dengan terpaksa membuka mata, ia menatap tepat mata Marsya dengan sorot dingin. “Aku sudah lelah dan ingin beristirahat! Pernyataan darimu tidak memerlukan jawaban yang mendesak karena itu hanyalah khayalanmu saja akibat dari rasa takutmu yang berlebihan.”Raffael kembali memejamkan mata, ia tidak peduli dengan suara tarikan napas Marsya yang berat. Ia hanya ingin melupakan kalau dirinya telah menikah dengan wanita yang bukanlah tunangannya.Marsya menjadi kalah sendiri karena dirinya diabaikan Raffael. Dibalikannya badan berjalan menuj
Natasya membuka mulut tidak percaya mendengar apa yang dikatakan oleh Marsya. Bisa-bisanya wanita itu memberikan peringatan. ‘Dengar ya, Marsya! Jangan samakan diriku denganmu yang tega mengambil apa yang menjadi milik orang lain. Apa yang sudah terlepas tidak akan kupungut kembali,’Di ujung sambungan telepon terdengar bunyi suara gemerisik. Marsya menggeram marah mendapat sindiran menohok dari Natasya. Akan tetapi, ia tidak akan membiarkan direndahkan oleh Natasya.‘Dengar, Ca! Kamu memang pantas dibuang Raffa. Kamu itu hanyalah wanita yang lemah dan tidak berguna sama sekali,’ ejek Marsya di ujung sambungan telepon.Natasya mengeratkan pegangan pada ponsel. Ia sedang dalam kondisi emosi yang tidak stabil setelah tekanan emosi begitu besar. Ditambah kematian maminya yang mendadak.Ditariknya napas dalam-dalam kemudian ia hembuskan kembali dengan kasar. Ia tidak pernah menduga sahabat yang ia anggap bagai saudara kandung akan berkata seperti itu setelah pengkhianatan yang ia lakukan.
Raffael merasa bersalah dalam hatinya dan ia ikut merasakan kesedihan Natasya. Disentaknya pelan lengan Marsya yang menggenggam dengan erat. Ia berjalan mendekati wanita yang masih ia cintai itu dan ikut berlutut di sampingnya. “Berhenti menyalahkan dirimu. Ca! Kamu sama sekali tidak bersalah.”Natasya mengusap air matanya dengan kasar, ia melepas kacamata yang dipakainya kemudian membalikan badan menatap Raffael tajam. “Mamiku meninggal karena menonton berita yang menayangkan pernikahanmu! Kamu sudah membuat mamiku meninggal! Kalian semua sangat jahat dan kuharap kau tidak akan pernah mendapatkan bahagia di atas penderitaan keluargaku.”Raffael tertegun di temptnya berdiri, ia tidak dapat mempercayai pendengarannya kalau ia salah seorang yang membuat mami Natasya meninggal dunia.“Maaf, Ca! Namun, aku sama sekali tidak pernah mengharapkan kematian Mami. Semua sudah menjadi garis hidup yang harus kita semua jalani, Ca! Kamu harus tahu tidak hanya kau saja yang bersedih atas meninggaln
“Sialan, kamu! Kau sudah menipu dan membohongiku! Kau bukan istri ayahku karena pernikahan kalian tidak sah,” bentak Sandoro.Tubuh Natasya menjadi kaku, ia tidak menduga kalau Sandoro mendengar apa yang tadi dikatakan oleh papinya. Namun, kenapa pria itu justru marah. Bukankah seharusnya ia merasa senang?Natasya bergerak mundur, ia ingin memberikan jarak antara dirinya dengan Sandoro. Ia merasa terganggu dengan kedekatan mereka.“Lantas kalau kau mengetahuinya apa yang menjadi masalah? Aku tidak menginginkan apa pun dari ayahmu!” teriak Natasya.Ia berlari masuk kembali ke rumah duka tersebut dan Sandoro tidak mencegahnya. Begitu berada di depan pintu ia berhenti berlari dan diam sebentar untuk meredakan debaran jantungnya. Setelah dapat menguasai dirinya Natasya masuk berjalan menuju tempat papinya duduk. “Maaf, tadi ada yang harus kubicarakan dengan Sandoro.”“Papi mengerti kamu memang harus berdiskusi dengannya.” Papi Natasya menatap ke arah peti mati.Natasya menoleh ke arah pi
Wajah Sandoro berubah menjadi dingin dengan kedua tangan yang terkepal di sanping badan, Membuat Natasya dapat merasakan aura ketegangan yang menguar dari pria itu. Ia berjalan menjauh menuju papinya daripada mendengar amarah Sandoro. Pria itu seperti siap meledak mendengar apa yang dikatakan “Kau baik-baik saja, bukan?” tanya papi Natasya begitu ia sudah berada di sampingnya.“Entahlah, Pi! Aku tidak mungkin berbohong kalau diriku sepenuhnya baik-baik saja. Kematian Pratama sangat mengejutkan dan aku jujur tidak siap.” Natasya meletakan pundak di bahu papinya.Dengan air mata yang mengalir deras membasahi wajah Natasya berkata, “Apa yang akan terjadi denganku selanjutnya aku tidak tahu. Pratama sudah begitu baik dan ia tidak pernah menuntut lebih kepadaku.”Papi Natasya mengusap punggung rambut putrinya itu dengan lembut. Ia berkata, “Kamu pasti bisa menjalani hidup tanpa Pratama. Bukankah selama ini kamu sudah tidak bergantung kepadanya lagi? Sebenarnya ada hal yang papi dan Prata
“A-apa maksudmu berkata seperti itu? Kau yang bermaksud menggodaku, padahal kau mengetahui aku adalah ibu tirimu!” sahut Natasya dengan nada suara kesal.Sandoro semakin merendahkan badan hingga bibirnya sangat dekat telinga Natasya. “Jangan berpura-pura tidak tahu apa yang kumaksud!” bisik Sandoro.Tenggorokan Natasya terasa kering, bulu kuduknya bahkan meremang. Ia bergerak menjauh dari Sandoro, tetapi lengannya ditahan dengan lembut oleh Sandoro hingga tidak bisa bergerak.“Lepaskan aku!” lirih Natasya.“Kenapa kau ….” ucapan Sandoro terpotong ketika ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Dengan malas-malasan ia berjalan menjauh dari Natasya kembali ke tempatnya duduk. Sementara Natasya wajahnya memerah. Karena merasa malu kepergok dalam keadaan yang bisa saja disalah artikan oleh pelayan itu.Beruntung cahaya yang temaram membuat ia aman dari tatapan menyelidik Sandoro dari tempatnya duduk. Lutut dan jemari Natasya terasa bergetar, ia merasakan ada getaran hangat saat Sandoro
Natasya bangkit dari duduk ia benci mendengar nada suara Sandoro yang kembali menuduhnya. Ia yang bodoh dengan percaya kalau pria itu bisa sebentar saja berhenti membenci.“Duduklah kembali, Natasya! Aku minta maaf kalau ucapanku salah,” ucap Sandoro dengan nada suara tegas.Langkah Natasya terhenti, ia membalikan badan melihat ke arah Sandoro dengan kening berkerut. “Apakah aku tidak salah mendengar kalau kau meminta maaf?”“Aku tidak akan mengatakannya dua kali!” sahut Sandoro dingin.Natasya kembali duduk di tempatnya semula dalam diam. Ia tahu kembali ke kamar pun dirinya tidak akan bisa tidur. Setidaknya duduk di sini sekalipun nantinya hanya akan berdebat dengan Sandoro. Hal itu bisa mengalihkan ia dari rasa sedih kehilangan suami.Suara lonceng yang dibunyikan Sandoro membuat Natasya melirik pria itu. Ia menunggu siapa yang dipanggil oleh pria itu.Tak berapa lama muncullah seorang wanita dengan pakaian pelayan. Ia berjalan menghampiri tempat Sandoro duduk.“Selamat malam, Tua
Natasya mengangkat kepala ditatapnya Sandoro dengan nanar. Ia bangkit perlahan dari duduk berjalan mendekat ke arah Sandoro. Dan berhenti hanya berjarak beberapa senti saja dari pria itu. Plak! Sebuah tamparan keras Natasya layangkan ke pipi Sandoro. Ia menatap pria itu di balik kabut air mata sambil mengangkat wajah menantang.“Kau selalu saja menuntut jawaban dariku atas semua tuduhanmu! Terserah apa yang kau pikirkan tentangku, aku sama sekali tidak peduli! seru Natasya.Natasya berjalan melewati Sandoro keluar kamar mandi tersebut. Ia tidak ingin berada lebih lama lagi dengan pria tak punya hati itu.Lengan Natasya dicekal dengan kasar oleh Sandoro hingga langkahnya terhenti. Pria itu kemudian menyentak dengan kasar hingga badan Natasya membentur dada bidang pria itu.“Kau mau pergi begitu saja setelah menamparku?” tegas Sandoro.Natasya mengangkat wajah menantang Sandoro untuk balas menampar dirinya, sambil memejamkan mata. Selang beberapa saat menunggu ia tidak juga merasakan
Natasya melirik Sandoro sekilas sebelum ia kembali melihat tubuh suaminya yang sudah terbujur kaku. “Tidakkah kau bersedia menghormati kematian ayahmu dengan menyimpan kebencianmu kepadaku.”Terdengar helaan napas yang keras dari bibir Sandoro. “Hmm! Aku akan menahan diriku demi menghormati almarhum ayahku.”Usai mengucapkan hal itu Sandoro berjalan keluar dari ruangan tersebut. Membuat Natasya bisa bernapas lega. Dengan adanya jarak yang diberikan oleh Sandoro baginya, hingga ia dapat mengucapkan perpisahan kepada Pratama.“Saya akan keluar!” ucap pengacara Pratama.Natasya yang lupa akan kehadiran pengacara itu langsung menoleh dan hanya anggukan kepala yang ia berikan.Begitu dirinya sudah sendirian saja Natasya mendekatkan diri pada ranjang tempat Pratama berbaring. Ia membuka penutup kain yang menutupi wajah Pratama.Tangan Natasya terulur untuk mengusap lembut wajah Pratama. “Selamat tinggal dan terima kasih untuk semua yang sudah kau lakukan.” Dibungkukkan badan untuk memberik
Pengacara itu terlihat gugup, tetapi ia dengan cepat dapat menguasai dirinya kembali. “Ayolah, Sandoro! Kau harus bisa menerima kalau Natasya adalah ibu tirimu. Dan ia berhak mengetahui ayahmu yang sedang dirawat.”Sandoro melayangkan tatapan galak kepada pengacara itu. Dengan kasar ia berkata, “Berapa kau mendapatkan komisi dari wanita itu?”Pengacara itu terdiam, ia menatap Sandoro dengan kecewa. Digelengkannya kepala sambil mengulas senyum tipis. “Kau tidak akan pernah mau mengerti! Kuharap demi menghargai ayahmu yang sedang terbaring sakit, kau harus bisa menahan diri saat Natasya datang ke sini.”Suara dengusan nyaring terlontar dari bibir Sandoro, tetapi ia tidak menyahut lagi. Ia berjalan menjauh menuju kursi besi yang terletak tidak jauh dari pintu ruang gawat darurat lalu duduk di sana.Pandangannya tidak lepas dari pintu ruang gawat darurat itu. Ia menjadi semakin khawatir akan kesehatan ayahnya. Ia mendengar suara tapak sepatu mendekat. Ia menolehkan kepala untuk melihat s
Raffael berhenti berjalan ia melihat kepada kedua orang tuanya secara bergantian. “Kalian tidak perlu khawatir diriku tidak sakit. Aku hanya mengambil ini ….” Dikeluarkannya kertas berisi hasil tes DNA lalu ia menyodorkan kepada ayahnya. “Aku akan pergi dan tentang pengurusan bayi itu sekretarisku yang akan mencarikan pengasuh untuknya.”“K-kau pergi! Kenapa dan kemana?” tanya ibu Raffael.Raffael mengangkat pundak kemudian berjalan menuju pintu keluar. Ia tidak merasa perlu untuk menjawab pertanyaan dari ibunya. Karena dirinya sedang menahan emosi yang terpendam. Satu sisi dirinya merasa jahat meninggalkan bayi yang baru saja ditinggal pergi ibunya.Hanya saja fakta kalau bayi itu bukan darah dagingnya membuat ia mengeraskan hati. Ia bahkan tidak merasa perlu mengucapkan kata perpisahan kepada bayi itu.***Natasya dengan terpaksa tinggal di rumah besar milik Pratama. Walaupun ia harus siap menerima sikap kasar dan membingungkan Sandoro. Yang terkadang juga bersikap lembut, serta te
Raffael menundukan kepala memandangi wajah putri kecilnya yang sedang tidur. Ia mengamati dalam diam wajah putih cantik dengan rambut berwarna pirang. “Ibu, di keluarga kita memang ada yang memiliki rambut pirang. Kurasa tidak perlu melakukan tes DNA karena ibu dari anakku juga sudah tiada.”“Kau bisa mengabaikan fakta yang ada di depan matamu, tetapi Ibu tidak akan memaksamu karena kaulah ayah dari anak itu,” ucap ibu Raffael dengan nada suara kecewa.Raffael mengangguk, ia mengangkat bayi mungil yang sudah membuka mata. Mungkin ia terbangun karena mendengar suara perdebatan dengan ibunya.“Halo, Sayang! Apakah kamu terbangun karena mendengar suara ayah?” tanya Raffael.Ia mencium wajah putrinya hinngga membuat bayi itu tertawa geli. Senyum terbit di wajah Raffael setelah lelah bekerja melihatwajah putrinya membuat rasa itu hilang.Digendongnya bayi itu menuju teras rumah kemudian duduk di kursi yang ada di sana. Dipandanginya dengan lekat bayi yang balik menatap dengan senyum dan ce