Sontak saja kedua pegawai yang sedang menggosip itu membalikan badan melihat kepada Marsya. Dan mereka dapat mengenalinya, karena Raffael pernah beberapa kali membawa Natasya datang ke kantor itu. “Memangnya, Ibu tidak mendapatkan undangan?” Tanya salah seorang dari pegawai itu dengan senyum mengejek di bibirnya.
Mereka mengamati wajah Natasya yang terlihat pucat, tetapi keduanya tidak peduli. Ada rasa senang di hati pegawai itu berhasil membuat wanita yang selama ini mereka irikan. Keduanya memang diam-diam juga mennyukai Raffael.
Natasya menelan ludah dengan sukar tenggorokannya mendadak terasa kering. Dibasahinya bibir sebelum menjawab pertanyaa dari pegawai wanita yang dulu menghormatinya. Namun, sekarang mereka memandang remeh dirinya.
“Saya hanya ingin mengetahui tempat resepsi itu diadakan kalau kalian tidak bersedia mengatakannya saya bisa bisa bertanya kepada orang lain.” Natasya membalikan badan, ia tidak akan berlama-lama berhadapan dengan kedua wanita yang sudah berlaku tidak sopan kepadanya.
“Tunggu!” seru salah seorang pegawai itu.
Natasya pun menghentikan langkahnya, ia membalikan badan dengan ekspresi dingin agar mereka tidak dapat membaca betapa ia sangat menanti keterangan dari mereka.
“Pak Raffael dan tunangannya akan menikah di ballroom hotel milik keluarga mereka. Ibu pasti mengetahuinya. Kami harap bu Natasya tidak akan jatuh pingsan dan membuat kehebohan di pesta pernikahan itu karena akan membuat pak Raffael menjadi malu saja.” Mereka melayangkan senyum mengejek ke arah Natasya.
Natasya menyembunyikan rasa sakit hati dengan bibir yang bergetar menahan rasa kecewa, ia mengucapkan terima kasih kepada keduanya.
Setelahnya, ia berjalan menjauh dari tempat itu dengan langkah yang gontai. Digigitnya bibir agar isak tangis yang ditahannya tidak tumpah. Begitu sudah berada dalam lift seorang diri air mata yang sedari tadi ditahannya tumpah juga.
Isak tangis lolos dari bibir Natasya, hingga badannya bergetar. Ia tidak menyadari ketika pintu lift terbuka dan asisten Raffaellah yang memergokinya dalam keadaan begitu menyedihkan.
“Ca! Kamu sudah pulang?” Tanya Tommy, asisten Raffael terkejut.
Dengan cepat Natasya menghapus air mata dan membersit hidungnya berair sampai menjadi merah. Ia merasa malu karena sudah kepergok menangis.
Diulasnya senyum tipis yang terlihat menyedihkan dan membuat Tommy merasa iba kepada Natasya.
“Iya, aku baru pulang dan langsung mendapatkan kejutan luar biasa. Kuharap kau tidak akan mengatakan kepada Raffael kalau aku sudah mengetahuinya.” Natasya kemudian bergegas keluar dari lift.
Ia menghindari lebih lama bercakap-cakap dengan pria itu. Dirinya tidak akan membiarkan dikasihani oleh orang-orang yang berada dekat dengan Raffael. Ia ingin menjaga harga dirinya yang tersisa sedikit.
Begitu keluar dari gedung perusaah Raffael yang dingin dan sejuk Natasya langsung berhadapan dengan sinar matahari yang terik. Ia berjalan kaki dengan cepat menghindari bertemu orang-orang yang mengenalnya sebagai tunangan Raffael.
Sudah cukup ia tadi merasa dipermalukan dan direndahkan. Entah itu hanya perasaannya saja yang sedang sensitif.
‘Aku tidak bisa berlama-lama berada di dekat perusahaan Raffael. Biarlah kali ini aku naik taksi lagi,’ batin Tania.
Dilambaikannya tangan ke arah taksi kosong yang kebetulan melintas di depannya. Ia masuk taksi itu duduk di jok penumpang. Disebutkannya alamat rumah kepada sopir taksi.
Dicobanya untuk menghubungi Raffael, tetapi pria yang masih berstatus sebagai tunangannya itu tidak juga menjawab panggilan telepon darinya. Hanya suara dengung saja yang terdengar.
‘Tega sekali kamu, Raff! Kau campakan diriku begitu saja dan di saat aku sedang mengalami perubahan kehidupan.’ Batin Natasya.
Disenderkannya punggung pada sandaran jok mobil sambil memejamkan mata dengan air mata yang terus saja mengalir tanpa suara membasahi wajah.
Sopir taksi yang Natasya tumpangi sesekali melirik ke arahnya melalui kaca spion. Namun, Ia tidak menyadarinya sama sekali. Dirinya tidak melihat tatapan iba di mata sopir yang usianya sudah tidak muda lagi tersebut.
“Maaf, Nona! Bapak, bukannya ingin ikut campur hanya saja kasian melihat Nona yang menangis. Kalau ada hubungannya dengan lelaki, Nona tidak semestinya bersedih seperti itu,” ucap sopir taksi itu.
Natasya tersentak dari lamunannya, ia tersadar kalau dirinya tidak sendirian. Diusapnya air mata mengunakan lengan kemeja yang ia pakai. Diulasnya senyum tipis, tetapi ia tidak menjawab ucapan dari sopir itu.
Sopir itu pun mengerti kalau penumpangnya tidak ingin diganggu. Ia fokus mengemudikan mobil mengantarkan penumpangnya ke tempat tujuan dengan selamat.
Sesampai di rumahnya yang baru Natasya turun dari taksi. Ia berjalan dengan langkah gontai begitu melihat Maminya yang sedang menyapu teras rumah. Ia tertegun di tempatnya berdiri dengan hati yang terasa nyeri.
Seakan sadar diamati ibu Natasya memalingkan wajah melihat ke arah putrinya itu. Ia memberikan senyuman sembari melambaikan tangan. “Kenapa kamu berdiri saja di sana?” Tanya Maminya.
Natasya tersadar ia berjalan mendekati Maminya dan langsung saja memeluknya sambil menangis. “Mami! Maaf, Ica belum bisa membuat bangga seharusnya di saat usaha papi terpuruk, Ica bisa membantu kalian dan bukannya menyusahkan.”
Mami Natasya mengusap punggung putrinya itu dengan lembut. “Semua sudah terjadi dan kita harus menjalaninya. Kamu sendiri bagaimana pasti sedang senang karena akhirnya bisa bertemu dengan Raffael kembali setelah sekian lama berpisah.”
Tubuh Natasya menjadi kaku, ia tidak dapat mengatakan kepada maminya apa yang sudah terjadi karena hanya akan membuat wanita yang sudah melahirkannya itu menjadi sedih. Ia memejamkan mata menahan isak tangis yang hendak tumpah.
Rupanya mami Natasya dapat merasakan kesedihan putrinya itu. Ia mendorong pelan Natasya hingga pandangan keduanya bertemu.
Natasya menelan ludah dengan sukar tenggorokannya terasa kering dan lidahnya menjadi kelu. Ia tidak sanggup menceritakan kesedihan yang saat ini dirasakannya.
“Mami sangat mengenalmu! Katakan saja apa yang terjadi karena dapat Mami lihat kesedihan di matamu!” Mami Natasya menyentuhkan jarinya mengusap lembut pipi Natasya.
Natasya menyunggingkan senyuman yang tak sampai ke matanya. “Mami benar, aku memang bersedih, tetapi itu karena perasaan bersalah melihat Mami menjadi seperti ini. Hubunganku dengan Raffael baik-baik saja. Ia tentu saja akan membantuku untuk bekerja di perusahaannya. Kita akan baik-baik saja.”
Mata mami Natasya mengamati putrinya itu dengan lekat mencari apakah ia berbohong. Namun, mami Natasya tidak dapat menemukannya, ia pun tersenyum lebar.
Natasya menarik napas lega, meskipun dalam hati ia meminta maaf kepada maminya karena sudah berbohong. Ia hanya tidak ingin kedua orang tuanya menjadi semakin bersedih dan merasa bersalah. Cukup dirinya saja yang merasakan.
Keduanya masuk rumah bersama-sama. Natasya membantu maminya menyiapkan makan siang. Sesuatu yang selama ini belum pernah mereka kerjakan dan kini harus dilalui.
***
Natasya berdiri di depan cermin besar yang ada di kamarnya. Ia melihat pantulan dirinya yang terlihat cantik dan memukau. Ditariknya napas dalam-dalam kemudian ia hembuskan dengan kasar.
Dibulatkannya tekad untuk melakukan apa yang harus dilakukannya. Apa pun yang terjadi nanti ia sudah siap menerimanya.
Papi dan mami Natasya yang sedang duduk di kursi tua dengan warna pudar memandangi putri mereka dengan senyuman bahagia.
“Mam, Papi! Natasya mau pergi dahulu untuk urusan penting.” Natasya menghampiri kedua orang tuanya untuk berpamitan.
“Apakah kamu akan pergi berkencan dengan Raffael? Mengapa tidak terdengar suara mobilnya menjemputmu?” Tanya maminya penasaran.
Natasya mengulas senyum tipis. “Aku akan datang untuk memberikan kejutan baginya. Ia pasti tidak akan menyangka akan melihat kehadiranku.” Suara Natasya terdengar sedih dan bergetar.
dikatakan oleh Natasya bertolak belakang dengan penjelasannya tadi siang. “Sayang, bukannya tadi siang kamu sudah bertemu dengan Raffa?”Natasya melihat ke arah maminya dengan tatapan sendu. Ia memberikan senyum terpaksa kepada wanita yang telah melahirkannya itu. “Aku tidak memberitahukan kedatanganku malam ini kepadanya. Untuk memberikan kejutan spesial.”Walaupun merasa bingung dengan jawaban yang diberikan Natasya, ia tidak mau memperpanjang lagi menuntut penjelasan. Akan ada waktunya Natasya bercerita.Setelah berpamitan Natasya berjalan keluar rumah dan masuk taksi yang telah menunggunya. Setelah duduk ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan keras. Ia menggenggam kedua tangan di atas pangkuan sambil memejamkan mata.‘Aku harus kuat dan siap menghadapi mereka berdua,’ tekad Natasya dalam hati.Tak berselang lama taksi yang ditumpanginya berhenti di depan sebuah hotel berbintang yang Natasya kenali sebagai salah satu hotel milik Raffael.Setelah membayar ongkos ta
Marsya yang berdiri di samping Raffael menjadi cemburu dan marah. Ia menganggap Raffael dan Natasya mengabaikan kehadirannya. Ia melingkarkan lengan dengan sikap posesif pada perut Raffael. “Sayang! Kalian berdua menarik perhatian tamu undangan yang hadir.”Ia mengalihkan tatapan ke arah Natasya dengan sorot kebencian dan bibir yang dipoles merah menyala itu memerikan senyum mengejek.“Kami sudah menikah, Ca! Jangan kau rebut suamiku pergilah sebelum kau diusir keluar oleh petugas keamanan yang hanya akan membuatmu menjadi malu saja,” desis Marsya.Natasya mengusap air matanya dengan punggung tangan, ia membalas tatapan mata sahabatnya itu dengan tenang. Tidak ada sorot kebencian di matanya, walaupun ia sudah disakiti.“Sepertinya karena kau menikah hasil merebut, maka kau menjadi takut hal yang sama akan terjadi padamu. Ambillah, Raffa untukmu karena ia bukan lelaki yang tepat untukku. Kalian pasangan yang serasi sama-sama pengkhianat,” ucap Natasya.Tangan Marsya terangkat hendak me
“Mam,Bangunlah!” panggil papi Anastasya berulang kali. Namun, istrinya tidak juga bergerak.Dengan ketenangan yang hampir habis karena mengkhawatirikan keadaan wanita yang dicintainya. Papi Natasya mengambil ponsel dari atas meja lalu dihubunginya nomor darurat meminra segera dikirimkan ambulans.Diletakannya kembali ponsel di atas meja ia kemudian berlutut kembali di samping istrinya. Diciumnya pipi wanita yang telah menemaninya selama bertahun-tahun itu. “Bangun, Mam! Kamu harus tetap hidup menemani dan menguatkan Ica melalui cobaan dalam hidupnya.” Bisik Papi Natasya.Tidak ada tanda-tanda pergerakan dari wanita itu, ia tetap terlihat tenang dalam tidurnya. Papi Natasya memeluk tubuh kaku istrinya dengan air mata yang turun membasahi wajahnya.Sayup-sayup terdengar suara sirene ambulans mendekat kemudian berhenti tepat di depan rumah. Papi Natasya beranjak dari tempatnya. Dibukakannya pintu untuk petugas medis yang datang lalu ia persilakan masuk.“Tolong, selamatkan nyawa istri sa
Raffael tertegun mendengar penuturan Marsya, ia masih belum percaya kalau bayi yang dikandung wanita itu adalah anaknya. “Kalau janin yang kau kandung memang anakku, aku akan memikirkannya lagi tentang sikapku kepadamu.”Raffael mengalihkan pandangannya kembali ke depan, tetapi ia tidak memasang wajah sedingin tadi. Dirinya ingin cepat-cepat keluar dari tempat ini dan sendiri.Rasa lega menghinggapi dada Raffael ketika pada akhirnya pesta itu berakhir juga dengan satu demi satu tamu undangan meninggalkan tempat. Ia berjalan cepat keluar dari ballroom meninggalkan Marsya jauh tertinggal di belakangnya.Dikeluarkannya kunci dalam bentuk kartu untuk membuka honeymoon suite. Ia masuk kamar dan langsung melepas jas yang dipakainya untuk ia lemparkan begitu saja ke lantai. Dibukanya kulkas mini lalu ia ambil bir kaleng.Ditenggaknya isi dari bir kaleng itu sampai tandas setelahnya ia lemparkan ke dinding kamar. Hal itu ia lakukan untuk melampiaskan kemarahan dan kecewanya.Terdengar suara p
Ryan menulikan pendengaran dan mengunci mulutnya. Ia memejamkan mata mengabaikan tuduhan dari istrinya. Ia tidak peduli kalau Marsya akan menjadi semakin marah.Marsya menarik napas dalam-dalam, ia berhitung sampai 10 dalam hatinya. Namun, ia tidak berhasil mengendalikan kemarahannya atas sikap diam Raffael.Ditariknya lengan suaminya itu yang ia gunakan sebagai bantal. “Kenapa kamu selalu saja mengacuhkanku? Aku ini istrimu dan bukan patung!”Raffael dengan terpaksa membuka mata, ia menatap tepat mata Marsya dengan sorot dingin. “Aku sudah lelah dan ingin beristirahat! Pernyataan darimu tidak memerlukan jawaban yang mendesak karena itu hanyalah khayalanmu saja akibat dari rasa takutmu yang berlebihan.”Raffael kembali memejamkan mata, ia tidak peduli dengan suara tarikan napas Marsya yang berat. Ia hanya ingin melupakan kalau dirinya telah menikah dengan wanita yang bukanlah tunangannya.Marsya menjadi kalah sendiri karena dirinya diabaikan Raffael. Dibalikannya badan berjalan menuj
Natasya membuka mulut tidak percaya mendengar apa yang dikatakan oleh Marsya. Bisa-bisanya wanita itu memberikan peringatan. ‘Dengar ya, Marsya! Jangan samakan diriku denganmu yang tega mengambil apa yang menjadi milik orang lain. Apa yang sudah terlepas tidak akan kupungut kembali,’Di ujung sambungan telepon terdengar bunyi suara gemerisik. Marsya menggeram marah mendapat sindiran menohok dari Natasya. Akan tetapi, ia tidak akan membiarkan direndahkan oleh Natasya.‘Dengar, Ca! Kamu memang pantas dibuang Raffa. Kamu itu hanyalah wanita yang lemah dan tidak berguna sama sekali,’ ejek Marsya di ujung sambungan telepon.Natasya mengeratkan pegangan pada ponsel. Ia sedang dalam kondisi emosi yang tidak stabil setelah tekanan emosi begitu besar. Ditambah kematian maminya yang mendadak.Ditariknya napas dalam-dalam kemudian ia hembuskan kembali dengan kasar. Ia tidak pernah menduga sahabat yang ia anggap bagai saudara kandung akan berkata seperti itu setelah pengkhianatan yang ia lakukan.
Raffael merasa bersalah dalam hatinya dan ia ikut merasakan kesedihan Natasya. Disentaknya pelan lengan Marsya yang menggenggam dengan erat. Ia berjalan mendekati wanita yang masih ia cintai itu dan ikut berlutut di sampingnya. “Berhenti menyalahkan dirimu. Ca! Kamu sama sekali tidak bersalah.”Natasya mengusap air matanya dengan kasar, ia melepas kacamata yang dipakainya kemudian membalikan badan menatap Raffael tajam. “Mamiku meninggal karena menonton berita yang menayangkan pernikahanmu! Kamu sudah membuat mamiku meninggal! Kalian semua sangat jahat dan kuharap kau tidak akan pernah mendapatkan bahagia di atas penderitaan keluargaku.”Raffael tertegun di temptnya berdiri, ia tidak dapat mempercayai pendengarannya kalau ia salah seorang yang membuat mami Natasya meninggal dunia.“Maaf, Ca! Namun, aku sama sekali tidak pernah mengharapkan kematian Mami. Semua sudah menjadi garis hidup yang harus kita semua jalani, Ca! Kamu harus tahu tidak hanya kau saja yang bersedih atas meninggaln
Perlahan Marsya membuka matanya ia melihat ke arah Raffael dengan tatapan tidak suka. “Kaiau aku tidak berpura-pura pingsan kau pasti akan tetap di sana menemani Natasya! Kau tidak menghargaiku sebagai seorang istri dengan sengaja kau juga mempermalukanku!”Raffael mendengus dengan keras, ia memutar bola mata. Diabaikannya ucapan Marsya dengan keras ditutupnya pintu mobil, lalu masuk ke bagian depan dan duduk di balik kemudi. Diliriknya kaca spion untuk melihat apa yang dilakukan oleh Marsya.Setelah memastikan istrinya itu sudah memasang sabuk pengaman, ia pun menyalakan mesin mobil lalu menjalankannya meninggalkan areal pemakaman itu. Ia mengemudi dalam diam. Akan tetapi, tidak dengan hatinya yang sibuk memikirkan bagaimana keadaan Natasya setelah ia tinggalkan.“Kenapa kau hanya diam saja? Kau masih mencintai ia, bukan? Tidakah kau bersedia melupakannya demi anak kita yang sedang kukandung?” Tanya Marsya dengan suara lirih dan mata berembun.Raffael hanya diam saja, ia lebih memili