Raffael terdiam, ia sama sekali melupakan tentang orang tua Natasya. Dan pertanyaan dari Ayahnya membuat ia tertegun. “Saya belum memikirkannya.”
Ayah Raffael menarik napas mendengar jawaban dari putranya itu. “Kau harus memberitahukannya, mereka berhak untuk mengetahui hal itu.”
Setelah mengatakan hal itu Ayah Raffael keluar dari ruang kerja putranya. Ia membiarkan Raffael merenungkan apa yang dikatakan olehnya tadi.
Begitu pintu sudah di tutup dan Raffael kembali sendiri di ruangannya. Ia duduk dengan punggung bersandar pada sandaran kursi, sambil memejamkan mata.
Niatnya untuk makan siang sudah terlupakan, karena perutnya tidak lagi merasa lapar, setelah kunjungan dari Ayahnya.
Dirinya tidak mungkin mengatakan rencana pernikahannya, melalui telepon kepada orang tua Natasya, tetapi ia juga tidak tega mengatakan hal itu kepada orang tua Natasya.
‘Biarkan mereka mengetahuinya, melalui orang lain dan membenci diriku, karena saya tidak dapat melakukannya langsung,’ gumam Raffael.
Raffael kembali membuka mata ia menuang anggur ke dalam gelas. Ia tidak peduli, kalau dirinya akan menjadi mabuk. Ia hanya ingin melupakan tentang rencana pernikahannya dan permasalahan yang ditimbulkan.
Beberapa menit berselang Raffael sudah tidak sadarkan diri, karena mabuknya. Ia terbangun saat mendengar suara ponselnya yang berdering nyaring. Tangan Raffael meraba-raba di atas meja untuk meraih ponselnya.
‘Ha-lo’ ucap Raffael dengan suara yang tidak jelas, melalui sambungan telepon.
‘Raffael! Apakah kamu sedang mabuk?’ Tanya suara di ujung telepon dengan nada suara marah.
Raffael terkejut mendengarnya, karena ia menempelkan telepon tersebut di telinganya. Secara refleks ia melempar ponselnya dan ia sendiri menjatuhkan kepalanya kembali di atas meja.
Kali ini ia membiarkan saja teleponnya berbunyi. Ia kembali tidur dengan nyenyak, karena pengaruh dari beberapa gelas anggur yang tadi diminumnya.
Pintu ruang kerja Raffael di buka dengan kasar, sementara sang pemilik ruangan sama sekali tidak terbangun dari tidurnya.
Ibu dan Ayah Raffael berjalan masuk ke ruangan kerja itu dan keduanya menggelengkan kepala, ketika mencium aroma alkohol yang begitu tajam.
“Bangun, Raffael!” perintah Ibunya dengan suara keras.
Raffael hanya menggumam tidak jelas, dengan mata yang masih terpejam.
Ayah Raffael berjalan menuju kamar yang ada di dalam ruang kerja itu. Beberapa saat, kemudian ia keluar kembali dengan membawa air di dalam sebuah wadah. Dengan tenang Ayah Raffael menyiramkan air yang dibawanya ke kepala Raffael.Raffael langsung membuka matanya, sambil berseru marah, dengan suara yang tidak jelas, “Siapa yang sudah menyiram saya?”
“Betapa dewasanya kau ini, Raffael! Menghadapi masalah denagn mabuk,” sindir Ayah Raffael.
Raffael memegang kepalanya yang berdenyut sakit. Ia merasa pusing dan ditambah dengan suara yang nyaring membuat kepalanya semakin sakit saja.
“Mengapa kalian datang ke sini? Saya hanya ingin tidur sebentar saja.” Raffael berjalan menuju wastafel untuk mencuci wajah dan membasahi kepalanya dengan air.
Ia kembali ke meja kerjanya dan sekarang ia dapat melihat dengan jelas kedua orang tuanya. Sekarang ia merasa berada dalam persidangan saja. Di mana kedua orang tuanya melihat ke arahnya dengan tatapan tajam.
“Kamu benar-benar mengecewakan kami. Mabuk di kantor, bagaimana jika pegawaimu mengetahui, kalau bos mereka mabuk pada saat jam kerja?” ucap Ayah Raffael.
Raffael mengambil botol air mineral yang ada di atas meja, lalu meminum isinya sampai tersisa separuh. “Mereka hanya akan berbicara di belakang punggungku, tetapi mereka tidak akan berani untuk melakukan hal yang sama atau akan saya pecat.”
Ibu Raffael menarik napas, ia berjalan mendekati Raffael. Ditepuknya dengan pelan pundak putranya itu. “Kami tidak bermaksud untuk menghakimi, sebagai orang tua kami hanya ingin kamu berhenti minum untuk melupakan masalah. Masalah tidak akan hilang, dengan minuman. Bukankah, karena mabuk kamu mendapatkan masalah?”
Raffael menggerut, karena Ibunya mengingatkan awal dari masalah yang menimpanya. Dengan nada suara dingin Raffael berkata, “Ibu tidak perlu mengingatkan hal itu. Sekarang katakan saja kepada saya mengapa kalian datang ke sini?”
Ayah Raffael sudah hendak membentak putranya itu, tetapi dengan cepat Ibu Raffael memberikan isyarat kepada suaminya untuk tenang.
“Kami datang ke sini untuk memberitahukan kepadamu, kalau kita akan berangkat sekarang juga ke rumah calon istrimu.” Ibu Raffael berjalan menuju sofa di mana suaminya duduk.
Sontak saja Raffael menjadi terkejut mendengarnya. Seingatnya tadi Ayahnya mengatakan, kalau mereka pada malam hari akan datang ke rumah Marsya.
“Mengapa dipercepat waktunya?” Tanya Raffael.
“Karena kami khawatir kamu akan menghilang,” sahut Ayah Raffael cepat.
Raffael memutar bola matanya, ia tidak mengira, kalau Ayahnya akan berpikir dirinya melakukan hal yang serendah itu.
Mereka semua, kemudian keluar dari ruang kerja Raffael. Dengan Raffael mendapatkan perintah dari Ayahnya untuk ikut pulang ke rumah, bukan ke apartemennya.
Dengan tidak santai Raffael berjalan di belakang kedua orang tuanya. Kedua tangan ia masukkan ke saku celana. Ia hanya menggumam saja, ketika diajak bicara oleh Ibunya.
Sesampainya di parkiran Raffael masuk mobil Ayahnya, karena ia masih dalam pengaruh alkohol tidak baik baginya untuk mengemudi. Duduk di jok penumpang Raffael memejamkan mata untuk menghindari berbicara dengan kedua orang tuanya.
“Bangun, Raffa! Kita sudah sampai.” Ibu Raffael menggoyang pundak putranya itu, agar ia bangun.
Raffael membuka matanya yang terlihat merah. Ia menegakkan badan, lalu berjalan keluar dari mobil memasuki rumah kedua orang tuanya.
“Jangan tidur lagi, Raff!” Kamu harus segera bersiap untuk pergi ke rumah orang tua Marsya,” tegur Ibunya.
Raffael bangun dari berbaringnya di atas sofa. Ia berjalan menuju kamarnya. Sesampainya di kamar ia langsung masuk kamar mandi. Di bawah guyuran air pancuran pada suhu dingin. Selesai mandi Raffael keluar kamar mandi, kemudian berganti pakaian bersih.
Ia menuju ruang keluarga di mana kedua orang tuanya sudah menunggu. Ia duduk di sofa, kemudian diambilnya gelas berisi kopi hitam, yang terletak di atas meja. Diminumnya kopi hitam tersebut, sampai isinya habis.
“Memalukan! Seorang CEO mabuk di tempat kerja. Ingat, Raff! Kamu akan menjadi seorang suami dan ayah. Cukup hari ini untuk terakhir kalinya kamu mabuk!” peringat ayah Raffael.
Raffael hanya diam saja. ia justru mengambil kue yang ada di atas meja dan memakannya. Ia memang tadi melewatkan makan siangnya. Dan sekarang sudah sore.
“Jadi, kapan kita berangkat? Bukankah, kalian mengatakan kita harus segera ke rumah Marsya lantas kenapa kita hanya duduk-duduk saja di sini?” Tanya Raffael.
“Kita berangkat sekarang dan jangan permalukan dirimu sendiri, dengan tertidur di acara lamaran,” tegur Ayah Raffael.
Ketiganya keluar dari rumah masuk mobil dan duduk dengan nyaman di kursi penumpang. Raffael membuka ponselnya dan hal itu membuatnya sadar, kalau wallpaper yang ia pakai di ponselnya adalah foto dirinya dengan Natasya.
“Kamu harus bisa melupakan Natasya! Hargai perasaan Marsya, sebagai istrimu nanti. Natasya masa lalu yang harus kamu lupakan, Marsya masa depanmu untuk menciptakan kebahagiaan.” Ibu Raffael melirik ponsel yang ada di tangan Raffael.
Raffael melirik Ibunya sekilas. “Ibu sudah memaksakan pernikahan ini kepadaku. Ibu dan siapapun juga tidak ada yang bisa mengatur perasaanku! Selamanya saya hanya akan mencintai Natasya!”Terdengar suara dengusan dari kursi bagian depan, di mana Ayahnya sedang duduk di samping sopir. “Mencintai, tetapi selingkuh! Sungguh konsep yang membingungkan,” timpal Ayah Raffael.Raffael mengepalkan kedua tangan, bibirnya mengetat menahan marah, tetapi ia tidak melampiaskan amarahnya saat ini, karena ia menghargai Ibunya.Setelah beberapa menit dalam perjalanan mobil yang ditumpangi Raffael pun berhenti di depan rumah Marsya. Terlihat sudah ada beberapa mobil dan kendaraan yang terparkir di depan rumah tersebut.Raffael dan kedua orang tuanya turun dari mobil. Dirinya yang tidak memperhatikan hal lain, tidak mengetahui, kalau di belakang mobil mereka juga ada mobil dari beberapa orang saudara dekat orang tuanya, dengan membawa beberapa bingkisan.“Ibu memang hebat! Bisa menyiapkan semua ini dala
Sontak saja kedua pegawai yang sedang menggosip itu membalikan badan melihat kepada Marsya. Dan mereka dapat mengenalinya, karena Raffael pernah beberapa kali membawa Natasya datang ke kantor itu. “Memangnya, Ibu tidak mendapatkan undangan?” Tanya salah seorang dari pegawai itu dengan senyum mengejek di bibirnya.Mereka mengamati wajah Natasya yang terlihat pucat, tetapi keduanya tidak peduli. Ada rasa senang di hati pegawai itu berhasil membuat wanita yang selama ini mereka irikan. Keduanya memang diam-diam juga mennyukai Raffael.Natasya menelan ludah dengan sukar tenggorokannya mendadak terasa kering. Dibasahinya bibir sebelum menjawab pertanyaa dari pegawai wanita yang dulu menghormatinya. Namun, sekarang mereka memandang remeh dirinya.“Saya hanya ingin mengetahui tempat resepsi itu diadakan kalau kalian tidak bersedia mengatakannya saya bisa bisa bertanya kepada orang lain.” Natasya membalikan badan, ia tidak akan berlama-lama berhadapan dengan kedua wanita yang sudah berlaku ti
dikatakan oleh Natasya bertolak belakang dengan penjelasannya tadi siang. “Sayang, bukannya tadi siang kamu sudah bertemu dengan Raffa?”Natasya melihat ke arah maminya dengan tatapan sendu. Ia memberikan senyum terpaksa kepada wanita yang telah melahirkannya itu. “Aku tidak memberitahukan kedatanganku malam ini kepadanya. Untuk memberikan kejutan spesial.”Walaupun merasa bingung dengan jawaban yang diberikan Natasya, ia tidak mau memperpanjang lagi menuntut penjelasan. Akan ada waktunya Natasya bercerita.Setelah berpamitan Natasya berjalan keluar rumah dan masuk taksi yang telah menunggunya. Setelah duduk ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan keras. Ia menggenggam kedua tangan di atas pangkuan sambil memejamkan mata.‘Aku harus kuat dan siap menghadapi mereka berdua,’ tekad Natasya dalam hati.Tak berselang lama taksi yang ditumpanginya berhenti di depan sebuah hotel berbintang yang Natasya kenali sebagai salah satu hotel milik Raffael.Setelah membayar ongkos ta
Marsya yang berdiri di samping Raffael menjadi cemburu dan marah. Ia menganggap Raffael dan Natasya mengabaikan kehadirannya. Ia melingkarkan lengan dengan sikap posesif pada perut Raffael. “Sayang! Kalian berdua menarik perhatian tamu undangan yang hadir.”Ia mengalihkan tatapan ke arah Natasya dengan sorot kebencian dan bibir yang dipoles merah menyala itu memerikan senyum mengejek.“Kami sudah menikah, Ca! Jangan kau rebut suamiku pergilah sebelum kau diusir keluar oleh petugas keamanan yang hanya akan membuatmu menjadi malu saja,” desis Marsya.Natasya mengusap air matanya dengan punggung tangan, ia membalas tatapan mata sahabatnya itu dengan tenang. Tidak ada sorot kebencian di matanya, walaupun ia sudah disakiti.“Sepertinya karena kau menikah hasil merebut, maka kau menjadi takut hal yang sama akan terjadi padamu. Ambillah, Raffa untukmu karena ia bukan lelaki yang tepat untukku. Kalian pasangan yang serasi sama-sama pengkhianat,” ucap Natasya.Tangan Marsya terangkat hendak me
“Mam,Bangunlah!” panggil papi Anastasya berulang kali. Namun, istrinya tidak juga bergerak.Dengan ketenangan yang hampir habis karena mengkhawatirikan keadaan wanita yang dicintainya. Papi Natasya mengambil ponsel dari atas meja lalu dihubunginya nomor darurat meminra segera dikirimkan ambulans.Diletakannya kembali ponsel di atas meja ia kemudian berlutut kembali di samping istrinya. Diciumnya pipi wanita yang telah menemaninya selama bertahun-tahun itu. “Bangun, Mam! Kamu harus tetap hidup menemani dan menguatkan Ica melalui cobaan dalam hidupnya.” Bisik Papi Natasya.Tidak ada tanda-tanda pergerakan dari wanita itu, ia tetap terlihat tenang dalam tidurnya. Papi Natasya memeluk tubuh kaku istrinya dengan air mata yang turun membasahi wajahnya.Sayup-sayup terdengar suara sirene ambulans mendekat kemudian berhenti tepat di depan rumah. Papi Natasya beranjak dari tempatnya. Dibukakannya pintu untuk petugas medis yang datang lalu ia persilakan masuk.“Tolong, selamatkan nyawa istri sa
Raffael tertegun mendengar penuturan Marsya, ia masih belum percaya kalau bayi yang dikandung wanita itu adalah anaknya. “Kalau janin yang kau kandung memang anakku, aku akan memikirkannya lagi tentang sikapku kepadamu.”Raffael mengalihkan pandangannya kembali ke depan, tetapi ia tidak memasang wajah sedingin tadi. Dirinya ingin cepat-cepat keluar dari tempat ini dan sendiri.Rasa lega menghinggapi dada Raffael ketika pada akhirnya pesta itu berakhir juga dengan satu demi satu tamu undangan meninggalkan tempat. Ia berjalan cepat keluar dari ballroom meninggalkan Marsya jauh tertinggal di belakangnya.Dikeluarkannya kunci dalam bentuk kartu untuk membuka honeymoon suite. Ia masuk kamar dan langsung melepas jas yang dipakainya untuk ia lemparkan begitu saja ke lantai. Dibukanya kulkas mini lalu ia ambil bir kaleng.Ditenggaknya isi dari bir kaleng itu sampai tandas setelahnya ia lemparkan ke dinding kamar. Hal itu ia lakukan untuk melampiaskan kemarahan dan kecewanya.Terdengar suara p
Ryan menulikan pendengaran dan mengunci mulutnya. Ia memejamkan mata mengabaikan tuduhan dari istrinya. Ia tidak peduli kalau Marsya akan menjadi semakin marah.Marsya menarik napas dalam-dalam, ia berhitung sampai 10 dalam hatinya. Namun, ia tidak berhasil mengendalikan kemarahannya atas sikap diam Raffael.Ditariknya lengan suaminya itu yang ia gunakan sebagai bantal. “Kenapa kamu selalu saja mengacuhkanku? Aku ini istrimu dan bukan patung!”Raffael dengan terpaksa membuka mata, ia menatap tepat mata Marsya dengan sorot dingin. “Aku sudah lelah dan ingin beristirahat! Pernyataan darimu tidak memerlukan jawaban yang mendesak karena itu hanyalah khayalanmu saja akibat dari rasa takutmu yang berlebihan.”Raffael kembali memejamkan mata, ia tidak peduli dengan suara tarikan napas Marsya yang berat. Ia hanya ingin melupakan kalau dirinya telah menikah dengan wanita yang bukanlah tunangannya.Marsya menjadi kalah sendiri karena dirinya diabaikan Raffael. Dibalikannya badan berjalan menuj
Natasya membuka mulut tidak percaya mendengar apa yang dikatakan oleh Marsya. Bisa-bisanya wanita itu memberikan peringatan. ‘Dengar ya, Marsya! Jangan samakan diriku denganmu yang tega mengambil apa yang menjadi milik orang lain. Apa yang sudah terlepas tidak akan kupungut kembali,’Di ujung sambungan telepon terdengar bunyi suara gemerisik. Marsya menggeram marah mendapat sindiran menohok dari Natasya. Akan tetapi, ia tidak akan membiarkan direndahkan oleh Natasya.‘Dengar, Ca! Kamu memang pantas dibuang Raffa. Kamu itu hanyalah wanita yang lemah dan tidak berguna sama sekali,’ ejek Marsya di ujung sambungan telepon.Natasya mengeratkan pegangan pada ponsel. Ia sedang dalam kondisi emosi yang tidak stabil setelah tekanan emosi begitu besar. Ditambah kematian maminya yang mendadak.Ditariknya napas dalam-dalam kemudian ia hembuskan kembali dengan kasar. Ia tidak pernah menduga sahabat yang ia anggap bagai saudara kandung akan berkata seperti itu setelah pengkhianatan yang ia lakukan.
“Sialan, kamu! Kau sudah menipu dan membohongiku! Kau bukan istri ayahku karena pernikahan kalian tidak sah,” bentak Sandoro.Tubuh Natasya menjadi kaku, ia tidak menduga kalau Sandoro mendengar apa yang tadi dikatakan oleh papinya. Namun, kenapa pria itu justru marah. Bukankah seharusnya ia merasa senang?Natasya bergerak mundur, ia ingin memberikan jarak antara dirinya dengan Sandoro. Ia merasa terganggu dengan kedekatan mereka.“Lantas kalau kau mengetahuinya apa yang menjadi masalah? Aku tidak menginginkan apa pun dari ayahmu!” teriak Natasya.Ia berlari masuk kembali ke rumah duka tersebut dan Sandoro tidak mencegahnya. Begitu berada di depan pintu ia berhenti berlari dan diam sebentar untuk meredakan debaran jantungnya. Setelah dapat menguasai dirinya Natasya masuk berjalan menuju tempat papinya duduk. “Maaf, tadi ada yang harus kubicarakan dengan Sandoro.”“Papi mengerti kamu memang harus berdiskusi dengannya.” Papi Natasya menatap ke arah peti mati.Natasya menoleh ke arah pi
Wajah Sandoro berubah menjadi dingin dengan kedua tangan yang terkepal di sanping badan, Membuat Natasya dapat merasakan aura ketegangan yang menguar dari pria itu. Ia berjalan menjauh menuju papinya daripada mendengar amarah Sandoro. Pria itu seperti siap meledak mendengar apa yang dikatakan “Kau baik-baik saja, bukan?” tanya papi Natasya begitu ia sudah berada di sampingnya.“Entahlah, Pi! Aku tidak mungkin berbohong kalau diriku sepenuhnya baik-baik saja. Kematian Pratama sangat mengejutkan dan aku jujur tidak siap.” Natasya meletakan pundak di bahu papinya.Dengan air mata yang mengalir deras membasahi wajah Natasya berkata, “Apa yang akan terjadi denganku selanjutnya aku tidak tahu. Pratama sudah begitu baik dan ia tidak pernah menuntut lebih kepadaku.”Papi Natasya mengusap punggung rambut putrinya itu dengan lembut. Ia berkata, “Kamu pasti bisa menjalani hidup tanpa Pratama. Bukankah selama ini kamu sudah tidak bergantung kepadanya lagi? Sebenarnya ada hal yang papi dan Prata
“A-apa maksudmu berkata seperti itu? Kau yang bermaksud menggodaku, padahal kau mengetahui aku adalah ibu tirimu!” sahut Natasya dengan nada suara kesal.Sandoro semakin merendahkan badan hingga bibirnya sangat dekat telinga Natasya. “Jangan berpura-pura tidak tahu apa yang kumaksud!” bisik Sandoro.Tenggorokan Natasya terasa kering, bulu kuduknya bahkan meremang. Ia bergerak menjauh dari Sandoro, tetapi lengannya ditahan dengan lembut oleh Sandoro hingga tidak bisa bergerak.“Lepaskan aku!” lirih Natasya.“Kenapa kau ….” ucapan Sandoro terpotong ketika ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Dengan malas-malasan ia berjalan menjauh dari Natasya kembali ke tempatnya duduk. Sementara Natasya wajahnya memerah. Karena merasa malu kepergok dalam keadaan yang bisa saja disalah artikan oleh pelayan itu.Beruntung cahaya yang temaram membuat ia aman dari tatapan menyelidik Sandoro dari tempatnya duduk. Lutut dan jemari Natasya terasa bergetar, ia merasakan ada getaran hangat saat Sandoro
Natasya bangkit dari duduk ia benci mendengar nada suara Sandoro yang kembali menuduhnya. Ia yang bodoh dengan percaya kalau pria itu bisa sebentar saja berhenti membenci.“Duduklah kembali, Natasya! Aku minta maaf kalau ucapanku salah,” ucap Sandoro dengan nada suara tegas.Langkah Natasya terhenti, ia membalikan badan melihat ke arah Sandoro dengan kening berkerut. “Apakah aku tidak salah mendengar kalau kau meminta maaf?”“Aku tidak akan mengatakannya dua kali!” sahut Sandoro dingin.Natasya kembali duduk di tempatnya semula dalam diam. Ia tahu kembali ke kamar pun dirinya tidak akan bisa tidur. Setidaknya duduk di sini sekalipun nantinya hanya akan berdebat dengan Sandoro. Hal itu bisa mengalihkan ia dari rasa sedih kehilangan suami.Suara lonceng yang dibunyikan Sandoro membuat Natasya melirik pria itu. Ia menunggu siapa yang dipanggil oleh pria itu.Tak berapa lama muncullah seorang wanita dengan pakaian pelayan. Ia berjalan menghampiri tempat Sandoro duduk.“Selamat malam, Tua
Natasya mengangkat kepala ditatapnya Sandoro dengan nanar. Ia bangkit perlahan dari duduk berjalan mendekat ke arah Sandoro. Dan berhenti hanya berjarak beberapa senti saja dari pria itu. Plak! Sebuah tamparan keras Natasya layangkan ke pipi Sandoro. Ia menatap pria itu di balik kabut air mata sambil mengangkat wajah menantang.“Kau selalu saja menuntut jawaban dariku atas semua tuduhanmu! Terserah apa yang kau pikirkan tentangku, aku sama sekali tidak peduli! seru Natasya.Natasya berjalan melewati Sandoro keluar kamar mandi tersebut. Ia tidak ingin berada lebih lama lagi dengan pria tak punya hati itu.Lengan Natasya dicekal dengan kasar oleh Sandoro hingga langkahnya terhenti. Pria itu kemudian menyentak dengan kasar hingga badan Natasya membentur dada bidang pria itu.“Kau mau pergi begitu saja setelah menamparku?” tegas Sandoro.Natasya mengangkat wajah menantang Sandoro untuk balas menampar dirinya, sambil memejamkan mata. Selang beberapa saat menunggu ia tidak juga merasakan
Natasya melirik Sandoro sekilas sebelum ia kembali melihat tubuh suaminya yang sudah terbujur kaku. “Tidakkah kau bersedia menghormati kematian ayahmu dengan menyimpan kebencianmu kepadaku.”Terdengar helaan napas yang keras dari bibir Sandoro. “Hmm! Aku akan menahan diriku demi menghormati almarhum ayahku.”Usai mengucapkan hal itu Sandoro berjalan keluar dari ruangan tersebut. Membuat Natasya bisa bernapas lega. Dengan adanya jarak yang diberikan oleh Sandoro baginya, hingga ia dapat mengucapkan perpisahan kepada Pratama.“Saya akan keluar!” ucap pengacara Pratama.Natasya yang lupa akan kehadiran pengacara itu langsung menoleh dan hanya anggukan kepala yang ia berikan.Begitu dirinya sudah sendirian saja Natasya mendekatkan diri pada ranjang tempat Pratama berbaring. Ia membuka penutup kain yang menutupi wajah Pratama.Tangan Natasya terulur untuk mengusap lembut wajah Pratama. “Selamat tinggal dan terima kasih untuk semua yang sudah kau lakukan.” Dibungkukkan badan untuk memberik
Pengacara itu terlihat gugup, tetapi ia dengan cepat dapat menguasai dirinya kembali. “Ayolah, Sandoro! Kau harus bisa menerima kalau Natasya adalah ibu tirimu. Dan ia berhak mengetahui ayahmu yang sedang dirawat.”Sandoro melayangkan tatapan galak kepada pengacara itu. Dengan kasar ia berkata, “Berapa kau mendapatkan komisi dari wanita itu?”Pengacara itu terdiam, ia menatap Sandoro dengan kecewa. Digelengkannya kepala sambil mengulas senyum tipis. “Kau tidak akan pernah mau mengerti! Kuharap demi menghargai ayahmu yang sedang terbaring sakit, kau harus bisa menahan diri saat Natasya datang ke sini.”Suara dengusan nyaring terlontar dari bibir Sandoro, tetapi ia tidak menyahut lagi. Ia berjalan menjauh menuju kursi besi yang terletak tidak jauh dari pintu ruang gawat darurat lalu duduk di sana.Pandangannya tidak lepas dari pintu ruang gawat darurat itu. Ia menjadi semakin khawatir akan kesehatan ayahnya. Ia mendengar suara tapak sepatu mendekat. Ia menolehkan kepala untuk melihat s
Raffael berhenti berjalan ia melihat kepada kedua orang tuanya secara bergantian. “Kalian tidak perlu khawatir diriku tidak sakit. Aku hanya mengambil ini ….” Dikeluarkannya kertas berisi hasil tes DNA lalu ia menyodorkan kepada ayahnya. “Aku akan pergi dan tentang pengurusan bayi itu sekretarisku yang akan mencarikan pengasuh untuknya.”“K-kau pergi! Kenapa dan kemana?” tanya ibu Raffael.Raffael mengangkat pundak kemudian berjalan menuju pintu keluar. Ia tidak merasa perlu untuk menjawab pertanyaan dari ibunya. Karena dirinya sedang menahan emosi yang terpendam. Satu sisi dirinya merasa jahat meninggalkan bayi yang baru saja ditinggal pergi ibunya.Hanya saja fakta kalau bayi itu bukan darah dagingnya membuat ia mengeraskan hati. Ia bahkan tidak merasa perlu mengucapkan kata perpisahan kepada bayi itu.***Natasya dengan terpaksa tinggal di rumah besar milik Pratama. Walaupun ia harus siap menerima sikap kasar dan membingungkan Sandoro. Yang terkadang juga bersikap lembut, serta te
Raffael menundukan kepala memandangi wajah putri kecilnya yang sedang tidur. Ia mengamati dalam diam wajah putih cantik dengan rambut berwarna pirang. “Ibu, di keluarga kita memang ada yang memiliki rambut pirang. Kurasa tidak perlu melakukan tes DNA karena ibu dari anakku juga sudah tiada.”“Kau bisa mengabaikan fakta yang ada di depan matamu, tetapi Ibu tidak akan memaksamu karena kaulah ayah dari anak itu,” ucap ibu Raffael dengan nada suara kecewa.Raffael mengangguk, ia mengangkat bayi mungil yang sudah membuka mata. Mungkin ia terbangun karena mendengar suara perdebatan dengan ibunya.“Halo, Sayang! Apakah kamu terbangun karena mendengar suara ayah?” tanya Raffael.Ia mencium wajah putrinya hinngga membuat bayi itu tertawa geli. Senyum terbit di wajah Raffael setelah lelah bekerja melihatwajah putrinya membuat rasa itu hilang.Digendongnya bayi itu menuju teras rumah kemudian duduk di kursi yang ada di sana. Dipandanginya dengan lekat bayi yang balik menatap dengan senyum dan ce