共有

 CINTA DI BALIK BENCI
CINTA DI BALIK BENCI
作者: Zayba Almira

Bab 1

作者: Zayba Almira
last update 最終更新日: 2024-12-07 19:44:19

Lia duduk di kursi belakang mobil tua keluarganya, memandangi jalan yang tampak asing melalui jendela berdebu. Tangannya menggenggam erat tas ransel yang sudah usang, sementara suara kedua orang tuanya bergema samar di telinganya. Mereka berbicara tentang keuangan keluarga, tentang “peluang baru” di sekolah unggulan, tetapi Lia tidak mendengar.

Yang ada di pikirannya hanya satu hal: Kenapa aku harus pergi dari semua yang aku kenal?

Sekolah lamanya mungkin tidak megah, tetapi di sanalah ia merasa aman. Ia punya teman-teman yang tulus, guru yang ramah, dan lingkungan yang mendukung. Sekarang, ia harus menghadapi tempat baru, di mana semua orang tampaknya jauh lebih pintar, lebih kaya, dan lebih baik darinya.

Saat mobil berhenti di depan gerbang besar dengan logo SMA Bina Cendekia yang berkilau keemasan, Lia merasa seperti memasuki dunia yang bukan miliknya. Tangannya bergetar saat ia meraih gagang pintu mobil.

“Semangat ya, Lia,” kata ibunya, berusaha terdengar optimis. Lia hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa.

Begitu melangkah masuk ke aula sekolah, Lia segera menyadari bahwa ia bukan hanya siswa baru; ia adalah seseorang yang terlihat tidak pada tempatnya. Seragamnya tampak lusuh dibandingkan seragam siswa lain yang rapi dan berkilau. Sepatunya yang sudah mulai memudar warnanya seolah berteriak, “Aku bukan bagian dari kalian.”

Matanya bergerak gelisah, mencari petunjuk tentang ke mana ia harus pergi. Ia melihat papan pengumuman di ujung aula dan memutuskan untuk mendekat. Namun, langkahnya terhenti ketika ia tanpa sengaja menyenggol meja piala besar yang diletakkan di tengah aula.

“Braakkk!”

Piala emas besar jatuh dan berguling ke lantai, menghantam dengan suara yang cukup keras untuk membuat semua orang di sekitar aula menoleh. Lia membeku di tempat, wajahnya pucat pasi.

“Oh, Tuhan… apa yang aku lakukan?” pikirnya panik.

Beberapa siswa mulai berbisik, sementara seorang pria dengan postur tinggi dan wajah serius melangkah maju. Ia mengenakan seragam yang sama dengan Lia, tetapi ada emblem khusus di dadanya—pertanda bahwa ia adalah seseorang yang penting di sekolah ini.

“Siapa yang berani menjatuhkan piala ini?” suaranya tegas, dingin, dan penuh otoritas.

Lia menelan ludah, merasa seluruh ruangan memandangnya. Ia ingin bersembunyi di bawah meja.

Dean, siswa teladan sekaligus ketua OSIS yang terkenal perfeksionis, berjalan mendekati meja piala dengan tatapan tajam. Matanya langsung mengunci pada Lia, yang masih berdiri terpaku dengan wajah bersalah.

“Kamu,” katanya, suaranya datar tetapi menusuk. “Kamu tahu piala ini adalah penghargaan tertinggi sekolah, kan?”

Lia mencoba menjawab, tetapi suaranya tersangkut di tenggorokan. Akhirnya, ia hanya menggeleng pelan.

Dean mendengus pelan, jelas tidak terkesan. “Piala ini melambangkan kerja keras seluruh siswa di sini. Tapi kamu? Di hari pertama, kamu sudah merusaknya. Hebat sekali.”

Lia merasakan panas di pipinya. Kata-kata Dean seperti cambuk yang memukul harga dirinya. Ia ingin menjelaskan bahwa itu tidak sengaja, tetapi nada suara Dean membuatnya terlalu takut untuk bicara.

“Sebaiknya kamu belajar berhati-hati, siswa baru,” lanjut Dean, lalu berbalik pergi tanpa menunggu jawaban.

Ketika Dean pergi, Lia merasa matanya mulai berkaca-kaca. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan rasa malunya.

“Ini bukan salahku,” pikirnya keras-keras. Tapi bisikan di sekitarnya membuat perasaan bersalah itu semakin kuat.

“Siswa baru itu sembrono sekali.”

“Kasihan Dean. Dia pasti marah besar.”

“Dia terlihat gugup. Mungkin dia nggak cocok sekolah di sini.”

Kata-kata itu menembus seperti anak panah. Lia berusaha mengatur napasnya, tetapi dadanya terasa sesak. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang hampir tumpah.

“Kenapa harus begini?” gumamnya pelan.

Hari pertama di sekolah berjalan seperti mimpi buruk. Lia merasa semua orang memperhatikan setiap langkahnya, meskipun mungkin itu hanya perasaannya saja. Setiap kali ia melihat Dean di koridor, ia merasa tubuhnya mengecil. Ia ingin meminta maaf, tetapi sesuatu dalam cara Dean menatapnya membuatnya yakin bahwa permintaan maaf itu tidak akan berarti apa-apa.

Di kelas, ia juga merasa asing. Siswa-siswa di sekitarnya tampak begitu percaya diri, mengobrol tentang materi pelajaran yang bahkan belum pernah ia dengar sebelumnya. Lia merasa seperti ikan kecil yang dilemparkan ke dalam lautan hiu.

Ketika bel berbunyi tanda akhir pelajaran, Lia segera mengemasi barang-barangnya dan berjalan cepat ke gerbang. Ia hanya ingin pulang, meninggalkan semua tekanan ini.

Di rumah, ibunya menyambutnya dengan senyum lembut. “Bagaimana hari pertamamu, Lia?”

Lia ingin mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja, tetapi suara gemetar yang keluar dari mulutnya berkata lain. “Aku… aku nggak tahu, Bu. Aku rasa aku nggak cocok di sana.”

Ibunya terdiam sejenak, lalu mendekat dan memeluk Lia. “Kamu hanya perlu waktu, sayang. Tidak mudah beradaptasi, tapi Ibu tahu kamu kuat.”

Lia tidak menjawab. Ia hanya memejamkan mata, membiarkan air matanya akhirnya jatuh.

“Kenapa semuanya harus berubah?” tanyanya dalam hati.

Malam itu, Lia duduk di depan cermin kamarnya, memandangi wajahnya sendiri. Di balik rasa takut dan kesedihan, ada sesuatu yang lain: sebuah percikan tekad.

“Kalau aku terus seperti ini, mereka akan benar. Mereka akan berpikir aku lemah.”

Lia menggenggam pinggiran meja cermin dengan erat. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mengubah fakta bahwa ia adalah siswa baru dengan latar belakang sederhana. Tetapi, ia bisa membuktikan bahwa ia tidak akan menyerah.

“Besok, aku akan bangkit,” katanya pelan, hampir seperti janji pada dirinya sendiri.

Dengan pikiran itu, Lia menarik napas panjang dan berusaha tidur, meskipun rasa takut tentang hari esok masih mengintai di sudut pikirannya.

関連チャプター

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 2

    Dean memandangi papan jadwal kegiatan OSIS di ruangannya. Ruangan itu sepi, hanya ditemani suara jam dinding yang berdetak. Wajahnya tetap tenang, tapi tangannya yang menggenggam pena tampak sedikit gemetar. Ia menghela napas panjang. “Semua harus berjalan sempurna,” gumamnya pelan. Piala yang dijatuhkan Lia kemarin terus terbayang di pikirannya. Itu bukan sekadar benda bagi Dean. Piala itu adalah simbol kerja kerasnya selama bertahun-tahun—sesuatu yang ia perjuangkan mati-matian untuk membuktikan dirinya kepada ayahnya. Ayah Dean selalu menuntut kesempurnaan. Bagi beliau, sebuah kesalahan kecil adalah tanda kelemahan. Jadi, ketika piala itu rusak, Dean merasa seolah-olah ia sendiri yang gagal menjaganya. Tapi, saat wajah Lia terlintas di pikirannya, ia mengerutkan dahi. “Kenapa aku harus peduli? Dia cuma anak baru yang ceroboh,” katanya keras, seolah untuk meyakinkan dirinya sendiri. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ada sesuatu tentang Lia yang membuatnya sulit untu

    最終更新日 : 2024-12-07
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 3

    Minggu ketiga di sekolah baru, Lia dan Dean kembali dipaksa bekerja sama untuk proyek besar OSIS: merencanakan acara perpisahan tahunan. Semuanya berjalan dengan cepat, namun ketegangan di antara mereka tidak pernah surut. Setiap kali mereka bertemu, baik di kelas, di ruang OSIS, atau di luar, Dean selalu tampak begitu dingin dan perfeksionis, sedangkan Lia berjuang untuk tetap bertahan, menepis rasa frustasi yang kian menumpuk. Di ruang OSIS, Dean menjelaskan dengan serius rincian acara dan pembagian tugas. Lia mencoba mengikuti, namun ia bisa merasakan ketegangan di udara. Dean sepertinya hanya melihatnya sebagai bagian dari tim yang harus dia kendalikan, bukan sebagai rekan sejajar. “Kamu harus lebih fokus pada detail ini. Jangan membuat kesalahan seperti yang terakhir,” kata Dean, suaranya tegas, namun ada sedikit kelelahan yang tersirat. Lia menahan napas, berusaha menenangkan dirinya. Ia tahu kata-kata itu bukan hanya tentang poster yang salah kemarin, tetapi tentang dirinya

    最終更新日 : 2024-12-07
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 4

    Seminggu setelah insiden di ruang OSIS, suasana antara Lia dan Dean mulai sedikit mereda. Meski masih ada ketegangan, mereka tampak lebih berhati-hati dalam berbicara satu sama lain. Namun, konflik batin di antara keduanya tetap terasa—seperti api kecil yang terus menyala di bawah permukaan. Hari itu, saat istirahat, Lia memutuskan untuk menghindari keramaian. Ia berjalan menuju taman belakang sekolah, tempat yang jarang dikunjungi siswa. Namun, ia tidak menyangka akan menemukan Dean di sana, duduk sendirian di bawah pohon besar dengan buku catatan di tangannya. Lia ragu untuk mendekat, tetapi rasa penasaran mengalahkan keinginannya untuk menjauh. “Dean?” panggilnya pelan. Dean mendongak, sedikit terkejut melihat Lia. Ia segera menutup buku catatannya. “Ada apa?” tanyanya singkat, dengan nada yang lebih datar daripada biasanya. “Tidak, aku hanya... tidak tahu kalau kamu suka tempat ini juga,” jawab Lia canggung. Dean menghela napas dan menggeser posisi duduknya, memberi ruang un

    最終更新日 : 2024-12-08
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 5

    Hari perpisahan tahunan yang direncanakan dengan susah payah akhirnya tiba. Semua orang sibuk mempersiapkan detail terakhir. Lia dan Dean juga berada di tengah kesibukan, mencoba memastikan tidak ada hal yang terlewat. Namun, situasi mendadak berubah ketika salah satu panitia melaporkan bahwa dekorasi utama, yang seharusnya menjadi daya tarik acara, belum tiba. Vendor yang bertanggung jawab mengirimkan barang itu tidak dapat dihubungi sejak semalam. “Ini tidak mungkin terjadi sekarang!” Dean membanting ponselnya ke meja. Wajahnya menunjukkan perpaduan antara marah dan panik. Lia yang ada di sampingnya mencoba tetap tenang. “Kita masih punya waktu. Mungkin kita bisa cari solusi lain.” Dean menatapnya tajam. “Kamu bilang gampang, tapi dekorasi itu adalah pusat dari semua tema acara kita. Tanpanya, ini akan terlihat seperti acara biasa!” Lia merasakan dadanya sesak mendengar nada Dean, tapi ia tahu bukan waktunya untuk bertengkar. “Kalau begitu, kita cari alternatif. Aku bisa minta

    最終更新日 : 2024-12-09
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 6

    Sejak acara perpisahan selesai, Raka semakin sering mendekati Lia. Bukan hanya sekadar mengobrol, tetapi juga memberikan perhatian kecil yang mulai menarik perhatian orang-orang di sekitarnya, termasuk Dean. Pagi itu, di ruang kelas, Raka menunggu Lia di meja depan dengan sebuah kotak kecil di tangannya. Ketika Lia datang, ia tersenyum lebar. “Lia, aku ada sesuatu untukmu,” katanya, menyerahkan kotak itu. Lia membuka kotaknya dan menemukan gelang kecil dari anyaman kain berwarna biru. “Ini lucu sekali. Terima kasih, Raka,” kata Lia tulus, tanpa menyadari tatapan siswa lain yang mulai berbisik-bisik. Dean, yang kebetulan lewat di depan kelas, berhenti sejenak. Ia melihat momen itu dengan ekspresi datar, tetapi ada api kecil yang berkobar di dalam dadanya. Ia tidak suka apa yang ia lihat—dan lebih dari itu, ia tidak tahu mengapa ia merasa terganggu. Saat istirahat, Lia masuk ke ruang OSIS untuk mengambil beberapa dokumen. Ia tidak menyangka menemukan Dean di sana, duduk di kursi s

    最終更新日 : 2024-12-09
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 7

    Setelah beberapa minggu, kedekatan antara Lia dan Raka semakin terlihat. Raka selalu ada di sekitar Lia, menawarkan bantuan kecil seperti membawa buku atau sekadar menemani di kantin. Perhatian ini tidak luput dari perhatian orang-orang di sekolah, termasuk Dean. Namun, tidak semua orang percaya bahwa perhatian Raka sepenuhnya tulus. Beberapa teman dekat Lia mulai berbicara, meskipun hanya di belakangnya. “Raka itu kayaknya nggak cuma sekadar teman deh,” kata Lila, salah satu sahabat Lia. “Kamu sadar nggak, Li? Cara dia ngelihat kamu tuh beda.” Lia tertegun. Ia menatap Lila, lalu tertawa kecil. “Kamu terlalu berlebihan. Raka cuma baik, itu saja.” Tapi jauh di dalam hati, Lia mulai merasa ragu. Perhatian Raka memang kadang terasa lebih dari sekadar teman, tetapi ia tidak ingin menyimpulkan terlalu cepat. Di sisi lain, Dean semakin sulit menyembunyikan rasa tidak sukanya terhadap kedekatan Lia dan Raka. Suatu hari, saat rapat OSIS berlangsung, Dean melontarkan komentar yang membua

    最終更新日 : 2024-12-10
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 8

    Setelah pengakuan Raka, Lia semakin sulit berkonsentrasi. Setiap kali mereka bertemu di sekolah, pandangan Raka selalu terlihat penuh harap. Meski begitu, Lia tidak bisa membohongi dirinya sendiri—perasaannya pada Raka tidak sekuat itu. Suatu sore, Lia duduk di balkon kamarnya, memandang langit yang mulai berubah warna. Ia meraih buku harian di atas meja dan mulai menulis:𝘙𝘢𝘬𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘪𝘬. 𝘋𝘪𝘢 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘥𝘪𝘩𝘢𝘳𝘨𝘢𝘪. 𝘛𝘢𝘱𝘪, 𝘬𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘩𝘢𝘭 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘥𝘪𝘢? 𝘋𝘪 𝘴𝘪𝘴𝘪 𝘭𝘢𝘪𝘯, 𝘢𝘥𝘢 𝘋𝘦𝘢𝘯. 𝘋𝘪𝘢... 𝘳𝘶𝘮𝘪𝘵. 𝘒𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘣𝘢𝘭𝘬𝘢𝘯, 𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘬𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨, 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘯𝘺𝘢𝘮𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢𝘯𝘺𝘢. 𝘈𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯𝘬𝘶?" Selesai menulis, Lia menutup bukunya dengan keras. Ia merasa lelah dengan kebingungan ini. --- Sementara itu, Dean juga tidak tenang. Setelah konfrontasi

    最終更新日 : 2024-12-11
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 9

    Langit mendung menggelayut di atas lapangan sekolah. Angin sore yang dingin menerpa wajah Lia saat ia berdiri di dekat tribun, memandang sekelompok siswa yang sedang latihan voli. Namun, pikirannya tidak berada di sana. Pikirannya penuh oleh suara Dean dan tatapan Raka yang seakan mengikutinya ke mana pun ia pergi. “Lia!” Suara Lila membuyarkan lamunannya. Sahabatnya mendekat dengan napas terengah, membawa dua kaleng minuman. “Thanks,” gumam Lia, mengambil kaleng itu tanpa menatap Lila. “Kamu oke? Sejak kapan sih kamu jadi suka merenung gini?” Lila mencondongkan tubuhnya, memandangi wajah Lia dengan tatapan menyelidik. “Aku nggak apa-apa,” balas Lia singkat. “Tapi kamu jelas kelihatan nggak baik.” Lila meneguk minumannya, lalu melanjutkan dengan suara lebih pelan. “Ini gara-gara Dean, ya? Atau... Raka?” Lia terdiam. Angin yang menerpa rambutnya seakan membawa beban yang tak kasatmata. Akhirnya ia mengangguk perlahan. “Aku nggak tahu, Lil. Semua ini terlalu rumit.” Suar

    最終更新日 : 2024-12-12

最新チャプター

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 94

    Matahari pagi menyinari halaman kampus yang mulai ramai oleh para mahasiswa. Suara riuh dari para mahasiswa baru yang berlatih drama di aula terdengar sampai ke sudut taman kampus. Lia duduk di bangku kayu dengan sebuah buku terbuka di pangkuannya. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.Ia menoleh ke kanan, tempat Dean tengah berbicara dengan beberapa temannya. Sesekali tawa Dean terdengar, dan itu cukup untuk membuat jantung Lia berdegup sedikit lebih cepat. Sejak kompetisi debat kemarin, hubungan mereka semakin terasa berbeda. Ada kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, dan ia tahu, perlahan perasaannya terhadap Dean menjadi lebih jelas.“Lia!” Sebuah suara memanggilnya.Lia menoleh dan melihat Raka berjalan ke arahnya, membawa dua gelas kopi di tangan. Ada senyum kecil di wajah Raka, tetapi ia terlihat lebih tenang daripada sebelumnya.“Hai, Raka,” sapa Lia, memberikan ruang di bangku untuknya. “Kopi untukku?”

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bba 93

    Hujan gerimis turun membasahi kota di sore itu. Langit tampak kelabu, seperti cerminan suasana hati Raka. Ia duduk di sebuah kedai kopi kecil yang berada di pinggir jalan, memandangi orang-orang yang berlalu lalang dengan payung warna-warni. Secangkir kopi hitam di depannya sudah mulai dingin, tapi ia tidak peduli.Pikirannya melayang pada kejadian pagi tadi. Ia sempat melihat Lia dan Dean berjalan bersama di koridor kampus, dengan senyum yang begitu tulus di wajah mereka. Meski sudah bertekad untuk menerima kenyataan, ada bagian kecil di hatinya yang masih terasa perih."Kenapa masih terasa sulit?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah suara rintik hujan.Pintu kedai terbuka, mengundang angin dingin masuk ke dalam. Raka mendongak, dan matanya bertemu dengan seorang gadis berambut panjang yang basah kuyup karena hujan. Ia mengenakan mantel kuning cerah, tapi rambutnya yang meneteskan air menunjukkan bahwa payung yang ia bawa tidak banyak me

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 92

    Langit pagi masih dipenuhi rona oranye ketika Lia melangkahkan kaki ke taman kota. Ia sengaja datang lebih awal, mencari ketenangan sebelum menghadapi hari yang penuh keraguan. Aroma embun pagi bercampur dengan harum bunga mawar yang bermekaran di sekeliling membuatnya sedikit lebih tenang.Di tengah hamparan rumput, Lia duduk di bangku kayu yang menghadap kolam kecil. Ia menggenggam secangkir cokelat hangat yang dibawanya dari rumah, sesekali menyeruputnya perlahan. Pandangannya menerawang, memikirkan dua orang yang selama ini mengisi dunianya."Dean..." gumamnya pelan, suaranya tenggelam di antara kicauan burung.Dean, dengan segala ketulusannya, selalu ada untuknya, bahkan di saat Lia sendiri merasa sulit memahami dirinya. Namun, ada Raka, sahabat yang sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak kecil, yang kehadirannya begitu akrab hingga kadang terasa seperti udara—penting, tapi sering kali terlupakan.Lia menarik napas panjang, mencoba men

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 91

    Pagi di pelataran sekolah terasa lebih tenang dari biasanya. Namun, di sudut lain, suasana hati Lia justru sebaliknya. Ia berjalan pelan melewati koridor sambil menggenggam erat buku catatan kecil di tangannya, tatapan matanya kosong menatap lantai. Sejak malam tadi, pesan singkat dari Dean terus terngiang di benaknya."Besok kita bicara, aku akan menunggumu di taman belakang sekolah."Pesan itu sederhana, tapi cukup untuk membuat tidur Lia tak nyenyak. Ada semacam ketegangan yang belum bisa ia uraikan. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat suara panggilan menyadarkannya."Lia!"Suara Raka membuatnya menoleh. Pemuda itu berdiri tak jauh darinya, mengenakan jaket abu-abu yang sudah menjadi ciri khasnya. Raka tersenyum kecil, meski matanya menyiratkan sesuatu yang berbeda—entah gugup atau ragu."Raka?" Lia mencoba tersenyum, meski wajahnya terlihat lelah."Kenapa pagi-pagi kamu kelihatan murung? Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Ra

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 89

    Koridor kampus tampak lebih ramai dari biasanya. Mahasiswa berlalu-lalang dengan raut wajah penuh semangat. Hari itu, ada presentasi besar yang ditunggu-tunggu oleh semua fakultas. Lia, Dean, dan Raka menjadi pusat perhatian karena mereka tergabung dalam tim yang akan mempresentasikan proyek unggulan kampus.Lia duduk di sudut ruangan, memeriksa ulang bahan presentasinya dengan teliti. Di sebelahnya, Dean sibuk mengatur slide presentasi di laptop, sesekali melirik ke arah Lia untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.“Kamu udah siap?” tanya Dean sambil memutar layar laptop ke arah Lia.Lia mengangguk kecil. “Iya, cuma sedikit deg-degan aja.”Dean tersenyum, menepuk pundaknya pelan. “Kamu bakal hebat, seperti biasa.”Dari kejauhan, Raka memperhatikan keduanya. Meski senyuman tipis terlukis di wajahnya, ada sedikit rasa hampa yang tak bisa ia abaikan. Namun, ia tahu bahwa keputusan Lia sudah jelas, dan ia harus belajar menerim

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 90

    Pagi itu, langit cerah tanpa satu pun awan menggantung. Udara dingin sisa hujan semalam masih terasa, namun sinar matahari mulai menghangatkan suasana. Lia berdiri di depan cermin kamarnya, memandang bayangannya sendiri dengan napas tertahan. Ia tahu, hari ini akan menjadi hari yang penting.Setelah menata rambutnya dengan sederhana, ia mengambil ponsel di meja. Pesan dari Dean yang masuk semalam kembali terngiang di pikirannya. “Besok kita makan bareng, ya? Aku mau ngobrol sesuatu sama kamu.”Sebuah ketukan di pintu mengalihkan perhatian Lia. “Lia, kamu nggak telat kan? Mau aku anter?” suara ibunya terdengar dari balik pintu.“Nggak kok, Bu. Aku jalan sebentar lagi,” jawab Lia sambil mengambil tas. Ia mencoba menenangkan debaran di dadanya.Dean sudah menunggu di meja dekat jendela ketika Lia tiba. Ia tampak santai dengan kemeja putih dan jeans gelap, namun ada ketenangan yang berbeda dari raut wajahnya. Saat melihat Lia mendekat, Dean

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 88

    Udara pagi yang segar menyelimuti taman kampus. Lia berjalan dengan langkah ringan menuju fakultasnya. Matahari bersinar cerah, seolah memantulkan perasaan lega di hatinya. Setelah sekian lama terjebak dalam kebimbangan, akhirnya ia mengambil keputusan yang memberinya ketenangan.Keputusannya memilih Dean sebagai pasangannya bukanlah hal yang mudah. Lia menyadari betul bahwa ada hati yang mungkin terluka, yaitu Raka, seseorang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Namun, ia percaya bahwa kejujuran adalah cara terbaik untuk menghadapi segalanya.Dean sudah menunggunya di depan gedung fakultas. Wajahnya berseri-seri, matanya menyiratkan rasa bahagia yang tidak bisa ia sembunyikan. Ketika Lia menghampirinya, Dean langsung tersenyum lebar.“Pagi, Lia,” sapa Dean lembut.“Pagi,” jawab Lia dengan senyum tipis.Dean meraih tas Lia dengan santai, menawarkan untuk membawanya. Lia membiarkannya, merasa nyaman dengan perhatian keci

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 87

    Bab 87: Keputusan yang Tak TerhindarkanPagi yang cerah menyelimuti kota. Sinar matahari menembus tirai jendela kamar Lia, membangunkannya dari tidur yang tidak nyenyak. Sepanjang malam, pikirannya terus berputar. Pilihan antara Dean dan Raka seperti dua jalan berbeda yang harus ia tentukan, tetapi keduanya sama-sama memiliki kenangan yang melekat di hati.Lia duduk di tepi ranjang, menatap keluar jendela. Jalanan kampus mulai ramai oleh mahasiswa yang berlalu-lalang, membawa semangat hari baru. Tapi ia merasa kosong. Sebuah pesan singkat dari Dean masih menggantung di ponselnya:“Aku butuh jawaban, Lia. Tapi aku nggak mau kamu merasa terburu-buru.”Pesan itu sederhana, tetapi memiliki bobot yang berat. Lia tahu Dean berusaha memberinya ruang untuk berpikir, namun ia tidak bisa mengabaikan rasa sakit yang mungkin dirasakan pria itu.Dia bangkit, melangkah menuju meja belajarnya, di mana ada kotak kecil yang disimpan sejak lama. Isinya adalah b

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 86

    Langit sore di kampus perlahan berubah jingga. Burung-burung terbang kembali ke sarangnya, menciptakan pemandangan indah di atas taman belakang fakultas. Lia melangkah perlahan di jalan setapak, membawa dirinya menuju tempat pertemuan yang diminta Dean. Pesan di ponselnya yang berbunyi, "Ketemu di taman belakang, jam 4 sore. Ada yang mau aku omongin." terus terngiang-ngiang.Ia berhenti sejenak di bawah pohon beringin besar yang menaungi taman. Dari kejauhan, ia sudah melihat Dean berdiri dengan postur santainya. Pria itu bersandar pada pagar besi, wajahnya setengah tertutup oleh sinar matahari yang menyinari rambut kecokelatannya. Ada sesuatu dalam cara dia menunggu—tenang tapi penuh ketegasan—yang selalu membuat Lia merasa ada sesuatu yang besar sedang menunggunya.“Hei,” suara Dean memecah keheningan saat Lia semakin dekat.“Hey,” jawab Lia, mencoba menyembunyikan kegugupannya.“Duduk, yuk,” ajak Dean, menunjuk bangku kayu di bawah pohon f

コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status