Share

Bab 4

Author: Zayba Almira
last update Last Updated: 2024-12-08 21:52:43

Seminggu setelah insiden di ruang OSIS, suasana antara Lia dan Dean mulai sedikit mereda. Meski masih ada ketegangan, mereka tampak lebih berhati-hati dalam berbicara satu sama lain. Namun, konflik batin di antara keduanya tetap terasa—seperti api kecil yang terus menyala di bawah permukaan.

Hari itu, saat istirahat, Lia memutuskan untuk menghindari keramaian. Ia berjalan menuju taman belakang sekolah, tempat yang jarang dikunjungi siswa. Namun, ia tidak menyangka akan menemukan Dean di sana, duduk sendirian di bawah pohon besar dengan buku catatan di tangannya.

Lia ragu untuk mendekat, tetapi rasa penasaran mengalahkan keinginannya untuk menjauh. “Dean?” panggilnya pelan.

Dean mendongak, sedikit terkejut melihat Lia. Ia segera menutup buku catatannya. “Ada apa?” tanyanya singkat, dengan nada yang lebih datar daripada biasanya.

“Tidak, aku hanya... tidak tahu kalau kamu suka tempat ini juga,” jawab Lia canggung.

Dean menghela napas dan menggeser posisi duduknya, memberi ruang untuk Lia. “Kalau mau duduk, duduk saja. Tidak perlu izin.”

Lia tersenyum kecil, lalu duduk di sampingnya. Mereka terdiam cukup lama, hanya ditemani suara burung dan angin yang berhembus lembut.

“Dean,” akhirnya Lia membuka suara, “kenapa kamu selalu terlihat... marah pada dunia?”

Pertanyaan itu membuat Dean menegang. Ia terdiam sejenak, lalu berkata, “Aku tidak marah pada dunia. Aku hanya tidak punya waktu untuk kesalahan.”

“Tapi itu membuatmu terlihat... berat,” ujar Lia dengan nada hati-hati. “Seperti ada sesuatu yang kamu pendam.”

Dean menoleh, menatap Lia dengan mata yang penuh emosi yang ia sembunyikan dengan baik. “Kamu tidak tahu apa-apa tentangku, Lia,” katanya pelan.

Malam itu, Dean merenung di kamarnya. Kata-kata Lia terus terngiang di benaknya. “Seperti ada sesuatu yang kamu pendam.”

Ia membuka laci meja belajarnya, mengeluarkan sebuah foto lama. Di foto itu, terlihat Dean kecil berdiri bersama seorang pria dewasa—ayahnya. Tatapan tajam dan senyum tipis di wajah pria itu membuat Dean mengingat kembali masa kecilnya yang penuh tekanan.

“Ayah selalu menginginkan kesempurnaan dariku,” pikirnya. “Dan aku... tidak pernah cukup.”

Ia menutup foto itu dengan cepat, merasa perasaan lama kembali menghantamnya. Dean tidak pernah ingin orang lain tahu betapa beratnya beban yang ia pikul. Tetapi entah kenapa, setiap kali ia melihat Lia, ada sesuatu yang membuat temboknya perlahan retak.

“Kenapa dia harus menanyakan itu?” gumamnya, merasa terganggu.

Keesokan harinya, Lia datang lebih awal ke ruang OSIS untuk menyelesaikan beberapa tugas. Ia tidak menyangka Dean sudah ada di sana, duduk dengan ekspresi serius seperti biasa.

“Pagi,” sapa Lia canggung.

Dean hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Suasana di ruangan itu terasa tegang, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara.

Setelah beberapa saat, Dean akhirnya berbicara. “Aku ingin minta maaf... soal kemarin. Aku tidak seharusnya membentakmu seperti itu.”

Lia terkejut mendengar kata-kata itu. Dean jarang sekali meminta maaf, apalagi padanya.

“Tidak apa-apa,” jawab Lia pelan. “Aku juga mungkin terlalu emosional.”

Mereka terdiam lagi, tetapi kali ini keheningan terasa lebih ringan. Lia merasa ada sesuatu yang berubah dalam cara Dean memandangnya—lebih lembut, lebih manusiawi.

Namun, sebelum mereka sempat berbicara lebih jauh, suara ketukan pintu mengganggu momen itu. Seorang anggota OSIS masuk dengan wajah panik. “Dean, kita punya masalah besar! Salah satu vendor acara perpisahan membatalkan kerjasama.”

Dean langsung bangkit, wajahnya kembali serius. “Apa? Kenapa?”

“Katanya ada masalah dengan pembayaran awal,” jawab anggota OSIS itu.

Lia melihat bagaimana wajah Dean berubah—campuran antara marah dan frustasi. Ia tahu ini adalah momen yang sulit, tetapi entah kenapa ia merasa ingin membantu.

“Dean, aku bisa bicara dengan mereka,” kata Lia tiba-tiba.

Dean menatapnya tajam. “Kamu yakin? Ini bukan hal yang mudah.”

Lia mengangguk. “Aku akan mencoba. Kita tidak punya pilihan lain, kan?”

Lia mendatangi vendor itu dengan hati yang berdebar. Ia tahu ini adalah kesempatan untuk membuktikan dirinya, tetapi ia juga merasa tekanan besar dari kepercayaan yang Dean berikan.

Dengan suara yang gemetar namun penuh tekad, Lia menjelaskan situasi mereka kepada vendor. Awalnya, mereka tampak enggan untuk mendengarkan, tetapi perlahan, Lia berhasil meyakinkan mereka untuk memberi kesempatan kedua.

Saat ia kembali ke sekolah dengan kabar baik, Lia merasa lega namun juga lelah. Dean menunggunya di ruang OSIS, dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum kecil padanya.

“Kerja bagus,” katanya singkat, tetapi ada kehangatan dalam suaranya yang tidak biasa.

Lia tersenyum, merasa bahwa ia akhirnya berhasil membuat Dean melihatnya sebagai seseorang yang kompeten, bukan hanya sebagai beban.

Malam itu, Lia duduk di kamarnya, merenungkan semua yang telah terjadi. Ia merasa bahwa hubungannya dengan Dean perlahan berubah—dari ketegangan yang penuh konflik menjadi sesuatu yang lebih kompleks, lebih dalam.

Namun, di sisi lain, ia juga merasa takut. “Apakah ini hanya sementara? Atau ada sesuatu yang lebih dari ini?” pikirnya, memandang keluar jendela.

Di tempat lain, Dean juga merenung. Ia merasa bahwa Lia membawa sesuatu yang baru dalam hidupnya—sesuatu yang membuatnya mulai mempertanyakan prinsip-prinsipnya sendiri.

“Apa yang sebenarnya aku rasakan tentang dia?” pikir Dean, memandangi langit malam.

Bab ini menjadi titik balik dalam hubungan Lia dan Dean. Konflik mereka mulai bergeser dari permusuhan murni menjadi hubungan yang lebih kompleks, penuh emosi dan kebingungan. Namun, meski ada perubahan, masih ada banyak hal yang belum terungkap—baik tentang masa lalu Dean maupun perasaan mereka yang perlahan tumbuh.

Related chapters

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 5

    Hari perpisahan tahunan yang direncanakan dengan susah payah akhirnya tiba. Semua orang sibuk mempersiapkan detail terakhir. Lia dan Dean juga berada di tengah kesibukan, mencoba memastikan tidak ada hal yang terlewat. Namun, situasi mendadak berubah ketika salah satu panitia melaporkan bahwa dekorasi utama, yang seharusnya menjadi daya tarik acara, belum tiba. Vendor yang bertanggung jawab mengirimkan barang itu tidak dapat dihubungi sejak semalam. “Ini tidak mungkin terjadi sekarang!” Dean membanting ponselnya ke meja. Wajahnya menunjukkan perpaduan antara marah dan panik. Lia yang ada di sampingnya mencoba tetap tenang. “Kita masih punya waktu. Mungkin kita bisa cari solusi lain.” Dean menatapnya tajam. “Kamu bilang gampang, tapi dekorasi itu adalah pusat dari semua tema acara kita. Tanpanya, ini akan terlihat seperti acara biasa!” Lia merasakan dadanya sesak mendengar nada Dean, tapi ia tahu bukan waktunya untuk bertengkar. “Kalau begitu, kita cari alternatif. Aku bisa minta

    Last Updated : 2024-12-09
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 6

    Sejak acara perpisahan selesai, Raka semakin sering mendekati Lia. Bukan hanya sekadar mengobrol, tetapi juga memberikan perhatian kecil yang mulai menarik perhatian orang-orang di sekitarnya, termasuk Dean. Pagi itu, di ruang kelas, Raka menunggu Lia di meja depan dengan sebuah kotak kecil di tangannya. Ketika Lia datang, ia tersenyum lebar. “Lia, aku ada sesuatu untukmu,” katanya, menyerahkan kotak itu. Lia membuka kotaknya dan menemukan gelang kecil dari anyaman kain berwarna biru. “Ini lucu sekali. Terima kasih, Raka,” kata Lia tulus, tanpa menyadari tatapan siswa lain yang mulai berbisik-bisik. Dean, yang kebetulan lewat di depan kelas, berhenti sejenak. Ia melihat momen itu dengan ekspresi datar, tetapi ada api kecil yang berkobar di dalam dadanya. Ia tidak suka apa yang ia lihat—dan lebih dari itu, ia tidak tahu mengapa ia merasa terganggu. Saat istirahat, Lia masuk ke ruang OSIS untuk mengambil beberapa dokumen. Ia tidak menyangka menemukan Dean di sana, duduk di kursi s

    Last Updated : 2024-12-09
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 7

    Setelah beberapa minggu, kedekatan antara Lia dan Raka semakin terlihat. Raka selalu ada di sekitar Lia, menawarkan bantuan kecil seperti membawa buku atau sekadar menemani di kantin. Perhatian ini tidak luput dari perhatian orang-orang di sekolah, termasuk Dean. Namun, tidak semua orang percaya bahwa perhatian Raka sepenuhnya tulus. Beberapa teman dekat Lia mulai berbicara, meskipun hanya di belakangnya. “Raka itu kayaknya nggak cuma sekadar teman deh,” kata Lila, salah satu sahabat Lia. “Kamu sadar nggak, Li? Cara dia ngelihat kamu tuh beda.” Lia tertegun. Ia menatap Lila, lalu tertawa kecil. “Kamu terlalu berlebihan. Raka cuma baik, itu saja.” Tapi jauh di dalam hati, Lia mulai merasa ragu. Perhatian Raka memang kadang terasa lebih dari sekadar teman, tetapi ia tidak ingin menyimpulkan terlalu cepat. Di sisi lain, Dean semakin sulit menyembunyikan rasa tidak sukanya terhadap kedekatan Lia dan Raka. Suatu hari, saat rapat OSIS berlangsung, Dean melontarkan komentar yang membua

    Last Updated : 2024-12-10
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 8

    Setelah pengakuan Raka, Lia semakin sulit berkonsentrasi. Setiap kali mereka bertemu di sekolah, pandangan Raka selalu terlihat penuh harap. Meski begitu, Lia tidak bisa membohongi dirinya sendiri—perasaannya pada Raka tidak sekuat itu. Suatu sore, Lia duduk di balkon kamarnya, memandang langit yang mulai berubah warna. Ia meraih buku harian di atas meja dan mulai menulis:𝘙𝘢𝘬𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘪𝘬. 𝘋𝘪𝘢 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘥𝘪𝘩𝘢𝘳𝘨𝘢𝘪. 𝘛𝘢𝘱𝘪, 𝘬𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘩𝘢𝘭 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘥𝘪𝘢? 𝘋𝘪 𝘴𝘪𝘴𝘪 𝘭𝘢𝘪𝘯, 𝘢𝘥𝘢 𝘋𝘦𝘢𝘯. 𝘋𝘪𝘢... 𝘳𝘶𝘮𝘪𝘵. 𝘒𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘣𝘢𝘭𝘬𝘢𝘯, 𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘬𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨, 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘯𝘺𝘢𝘮𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢𝘯𝘺𝘢. 𝘈𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯𝘬𝘶?" Selesai menulis, Lia menutup bukunya dengan keras. Ia merasa lelah dengan kebingungan ini. --- Sementara itu, Dean juga tidak tenang. Setelah konfrontasi

    Last Updated : 2024-12-11
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 9

    Langit mendung menggelayut di atas lapangan sekolah. Angin sore yang dingin menerpa wajah Lia saat ia berdiri di dekat tribun, memandang sekelompok siswa yang sedang latihan voli. Namun, pikirannya tidak berada di sana. Pikirannya penuh oleh suara Dean dan tatapan Raka yang seakan mengikutinya ke mana pun ia pergi. “Lia!” Suara Lila membuyarkan lamunannya. Sahabatnya mendekat dengan napas terengah, membawa dua kaleng minuman. “Thanks,” gumam Lia, mengambil kaleng itu tanpa menatap Lila. “Kamu oke? Sejak kapan sih kamu jadi suka merenung gini?” Lila mencondongkan tubuhnya, memandangi wajah Lia dengan tatapan menyelidik. “Aku nggak apa-apa,” balas Lia singkat. “Tapi kamu jelas kelihatan nggak baik.” Lila meneguk minumannya, lalu melanjutkan dengan suara lebih pelan. “Ini gara-gara Dean, ya? Atau... Raka?” Lia terdiam. Angin yang menerpa rambutnya seakan membawa beban yang tak kasatmata. Akhirnya ia mengangguk perlahan. “Aku nggak tahu, Lil. Semua ini terlalu rumit.” Suar

    Last Updated : 2024-12-12
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 10

    Hujan deras kembali mengguyur kota sore itu. Lia duduk di dekat jendela kamarnya, memandangi tetesan air yang berlarian di kaca seperti pikirannya yang berkejaran tanpa henti. Tangannya gemetar memegang secarik kertas berisi tulisan yang baru saja ia buat. “Raka, aku nggak pernah bermaksud menyakitimu. Tapi aku harus jujur pada diriku sendiri.” Dia berhenti membaca, membuang napas berat. Kertas itu diremasnya, dilempar ke lantai bersama beberapa lembar lainnya. Tidak ada kata-kata yang terasa cukup untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan. “Lia!” suara ibunya dari lantai bawah menyadarkannya. “Sebentar!” jawabnya dengan nada tergesa. Dia menghapus air mata yang mulai membasahi pipinya dan berjalan menuruni tangga. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat seseorang berdiri di depan pintu rumahnya—Dean, dengan wajah basah kuyup, membawa payung yang sudah setengah rusak. “Dean?” Lia menatapnya dengan mata membelalak. “Aku harus bicara,” katanya langsung, tanpa basa-basi. Dean me

    Last Updated : 2024-12-14
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 11

    Hujan turun perlahan di pagi itu, membasahi jalan-jalan kecil di sekitar taman tempat keputusan Lia diutarakan beberapa hari lalu. Lia duduk di bangku panjang di halaman belakang rumahnya, ditemani secangkir teh hangat yang hampir dingin. Matanya menatap kosong pada bunga mawar yang bergoyang lembut dihembus angin. Ponselnya tergeletak di samping, layar yang menyala hanya menampilkan notifikasi biasa—tidak ada pesan dari Dean, tidak ada kabar dari Raka. Sejak hari itu, keduanya menghilang dari hidup Lia seperti daun yang gugur dihembus badai. Hatinya berusaha menerima keheningan ini sebagai konsekuensi dari keputusannya, tetapi bagian kecil dalam dirinya masih merindukan kehadiran mereka. Kehilangan dua pria yang begitu berarti membuat dunianya terasa kosong. Di sudut lain kota, Raka berdiri di depan rak-rak tinggi di perpustakaan sekolah. Dia memegang buku yang belum ia baca sama sekali, hanya memutar halaman tanpa benar-benar memperhatikan. “Raka,” suara seorang teman meng

    Last Updated : 2024-12-16
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 12

    Pagi di sekolah terasa berbeda tanpa kehadiran Raka. Tidak ada lagi suara sepatu basketnya yang biasa terdengar di lorong, atau senyumnya yang sering ia lemparkan tanpa alasan jelas. Lia duduk di kursinya dengan tatapan kosong. Buku catatan di mejanya tetap tertutup, sementara teman-teman sekelasnya sibuk berbincang tentang ujian mendatang.“Lia.”Suara Hana, sahabatnya, membuat Lia tersadar. Lia menoleh, mencoba tersenyum meski lemah.“Lo nggak apa-apa?” tanya Hana, duduk di sampingnya dengan raut khawatir.Lia mengangguk kecil. “Aku... cuma nggak konsen.”Hana mendesah, menatap Lia dengan pandangan penuh simpati. “Gue tau ini berat buat lo. Tapi Raka pasti punya alasan kenapa dia pergi.”“Gue ngerti,” jawab Lia, menundukkan kepala. “Tapi kenapa rasanya kayak gue yang salah?”Hana tidak langsung menjawab. Ia hanya meraih tangan Lia, memberikan dukungan dalam diam. Lia tahu Hana mencoba membantu, tetapi perasaan bersalah itu tetap menghantui.Malam itu, Lia mencoba menghubungi Raka. T

    Last Updated : 2024-12-18

Latest chapter

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 94

    Matahari pagi menyinari halaman kampus yang mulai ramai oleh para mahasiswa. Suara riuh dari para mahasiswa baru yang berlatih drama di aula terdengar sampai ke sudut taman kampus. Lia duduk di bangku kayu dengan sebuah buku terbuka di pangkuannya. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.Ia menoleh ke kanan, tempat Dean tengah berbicara dengan beberapa temannya. Sesekali tawa Dean terdengar, dan itu cukup untuk membuat jantung Lia berdegup sedikit lebih cepat. Sejak kompetisi debat kemarin, hubungan mereka semakin terasa berbeda. Ada kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, dan ia tahu, perlahan perasaannya terhadap Dean menjadi lebih jelas.“Lia!” Sebuah suara memanggilnya.Lia menoleh dan melihat Raka berjalan ke arahnya, membawa dua gelas kopi di tangan. Ada senyum kecil di wajah Raka, tetapi ia terlihat lebih tenang daripada sebelumnya.“Hai, Raka,” sapa Lia, memberikan ruang di bangku untuknya. “Kopi untukku?”

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bba 93

    Hujan gerimis turun membasahi kota di sore itu. Langit tampak kelabu, seperti cerminan suasana hati Raka. Ia duduk di sebuah kedai kopi kecil yang berada di pinggir jalan, memandangi orang-orang yang berlalu lalang dengan payung warna-warni. Secangkir kopi hitam di depannya sudah mulai dingin, tapi ia tidak peduli.Pikirannya melayang pada kejadian pagi tadi. Ia sempat melihat Lia dan Dean berjalan bersama di koridor kampus, dengan senyum yang begitu tulus di wajah mereka. Meski sudah bertekad untuk menerima kenyataan, ada bagian kecil di hatinya yang masih terasa perih."Kenapa masih terasa sulit?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah suara rintik hujan.Pintu kedai terbuka, mengundang angin dingin masuk ke dalam. Raka mendongak, dan matanya bertemu dengan seorang gadis berambut panjang yang basah kuyup karena hujan. Ia mengenakan mantel kuning cerah, tapi rambutnya yang meneteskan air menunjukkan bahwa payung yang ia bawa tidak banyak me

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 92

    Langit pagi masih dipenuhi rona oranye ketika Lia melangkahkan kaki ke taman kota. Ia sengaja datang lebih awal, mencari ketenangan sebelum menghadapi hari yang penuh keraguan. Aroma embun pagi bercampur dengan harum bunga mawar yang bermekaran di sekeliling membuatnya sedikit lebih tenang.Di tengah hamparan rumput, Lia duduk di bangku kayu yang menghadap kolam kecil. Ia menggenggam secangkir cokelat hangat yang dibawanya dari rumah, sesekali menyeruputnya perlahan. Pandangannya menerawang, memikirkan dua orang yang selama ini mengisi dunianya."Dean..." gumamnya pelan, suaranya tenggelam di antara kicauan burung.Dean, dengan segala ketulusannya, selalu ada untuknya, bahkan di saat Lia sendiri merasa sulit memahami dirinya. Namun, ada Raka, sahabat yang sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak kecil, yang kehadirannya begitu akrab hingga kadang terasa seperti udara—penting, tapi sering kali terlupakan.Lia menarik napas panjang, mencoba men

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 91

    Pagi di pelataran sekolah terasa lebih tenang dari biasanya. Namun, di sudut lain, suasana hati Lia justru sebaliknya. Ia berjalan pelan melewati koridor sambil menggenggam erat buku catatan kecil di tangannya, tatapan matanya kosong menatap lantai. Sejak malam tadi, pesan singkat dari Dean terus terngiang di benaknya."Besok kita bicara, aku akan menunggumu di taman belakang sekolah."Pesan itu sederhana, tapi cukup untuk membuat tidur Lia tak nyenyak. Ada semacam ketegangan yang belum bisa ia uraikan. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat suara panggilan menyadarkannya."Lia!"Suara Raka membuatnya menoleh. Pemuda itu berdiri tak jauh darinya, mengenakan jaket abu-abu yang sudah menjadi ciri khasnya. Raka tersenyum kecil, meski matanya menyiratkan sesuatu yang berbeda—entah gugup atau ragu."Raka?" Lia mencoba tersenyum, meski wajahnya terlihat lelah."Kenapa pagi-pagi kamu kelihatan murung? Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Ra

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 89

    Koridor kampus tampak lebih ramai dari biasanya. Mahasiswa berlalu-lalang dengan raut wajah penuh semangat. Hari itu, ada presentasi besar yang ditunggu-tunggu oleh semua fakultas. Lia, Dean, dan Raka menjadi pusat perhatian karena mereka tergabung dalam tim yang akan mempresentasikan proyek unggulan kampus.Lia duduk di sudut ruangan, memeriksa ulang bahan presentasinya dengan teliti. Di sebelahnya, Dean sibuk mengatur slide presentasi di laptop, sesekali melirik ke arah Lia untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.“Kamu udah siap?” tanya Dean sambil memutar layar laptop ke arah Lia.Lia mengangguk kecil. “Iya, cuma sedikit deg-degan aja.”Dean tersenyum, menepuk pundaknya pelan. “Kamu bakal hebat, seperti biasa.”Dari kejauhan, Raka memperhatikan keduanya. Meski senyuman tipis terlukis di wajahnya, ada sedikit rasa hampa yang tak bisa ia abaikan. Namun, ia tahu bahwa keputusan Lia sudah jelas, dan ia harus belajar menerim

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 90

    Pagi itu, langit cerah tanpa satu pun awan menggantung. Udara dingin sisa hujan semalam masih terasa, namun sinar matahari mulai menghangatkan suasana. Lia berdiri di depan cermin kamarnya, memandang bayangannya sendiri dengan napas tertahan. Ia tahu, hari ini akan menjadi hari yang penting.Setelah menata rambutnya dengan sederhana, ia mengambil ponsel di meja. Pesan dari Dean yang masuk semalam kembali terngiang di pikirannya. “Besok kita makan bareng, ya? Aku mau ngobrol sesuatu sama kamu.”Sebuah ketukan di pintu mengalihkan perhatian Lia. “Lia, kamu nggak telat kan? Mau aku anter?” suara ibunya terdengar dari balik pintu.“Nggak kok, Bu. Aku jalan sebentar lagi,” jawab Lia sambil mengambil tas. Ia mencoba menenangkan debaran di dadanya.Dean sudah menunggu di meja dekat jendela ketika Lia tiba. Ia tampak santai dengan kemeja putih dan jeans gelap, namun ada ketenangan yang berbeda dari raut wajahnya. Saat melihat Lia mendekat, Dean

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 88

    Udara pagi yang segar menyelimuti taman kampus. Lia berjalan dengan langkah ringan menuju fakultasnya. Matahari bersinar cerah, seolah memantulkan perasaan lega di hatinya. Setelah sekian lama terjebak dalam kebimbangan, akhirnya ia mengambil keputusan yang memberinya ketenangan.Keputusannya memilih Dean sebagai pasangannya bukanlah hal yang mudah. Lia menyadari betul bahwa ada hati yang mungkin terluka, yaitu Raka, seseorang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Namun, ia percaya bahwa kejujuran adalah cara terbaik untuk menghadapi segalanya.Dean sudah menunggunya di depan gedung fakultas. Wajahnya berseri-seri, matanya menyiratkan rasa bahagia yang tidak bisa ia sembunyikan. Ketika Lia menghampirinya, Dean langsung tersenyum lebar.“Pagi, Lia,” sapa Dean lembut.“Pagi,” jawab Lia dengan senyum tipis.Dean meraih tas Lia dengan santai, menawarkan untuk membawanya. Lia membiarkannya, merasa nyaman dengan perhatian keci

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 87

    Bab 87: Keputusan yang Tak TerhindarkanPagi yang cerah menyelimuti kota. Sinar matahari menembus tirai jendela kamar Lia, membangunkannya dari tidur yang tidak nyenyak. Sepanjang malam, pikirannya terus berputar. Pilihan antara Dean dan Raka seperti dua jalan berbeda yang harus ia tentukan, tetapi keduanya sama-sama memiliki kenangan yang melekat di hati.Lia duduk di tepi ranjang, menatap keluar jendela. Jalanan kampus mulai ramai oleh mahasiswa yang berlalu-lalang, membawa semangat hari baru. Tapi ia merasa kosong. Sebuah pesan singkat dari Dean masih menggantung di ponselnya:“Aku butuh jawaban, Lia. Tapi aku nggak mau kamu merasa terburu-buru.”Pesan itu sederhana, tetapi memiliki bobot yang berat. Lia tahu Dean berusaha memberinya ruang untuk berpikir, namun ia tidak bisa mengabaikan rasa sakit yang mungkin dirasakan pria itu.Dia bangkit, melangkah menuju meja belajarnya, di mana ada kotak kecil yang disimpan sejak lama. Isinya adalah b

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 86

    Langit sore di kampus perlahan berubah jingga. Burung-burung terbang kembali ke sarangnya, menciptakan pemandangan indah di atas taman belakang fakultas. Lia melangkah perlahan di jalan setapak, membawa dirinya menuju tempat pertemuan yang diminta Dean. Pesan di ponselnya yang berbunyi, "Ketemu di taman belakang, jam 4 sore. Ada yang mau aku omongin." terus terngiang-ngiang.Ia berhenti sejenak di bawah pohon beringin besar yang menaungi taman. Dari kejauhan, ia sudah melihat Dean berdiri dengan postur santainya. Pria itu bersandar pada pagar besi, wajahnya setengah tertutup oleh sinar matahari yang menyinari rambut kecokelatannya. Ada sesuatu dalam cara dia menunggu—tenang tapi penuh ketegasan—yang selalu membuat Lia merasa ada sesuatu yang besar sedang menunggunya.“Hei,” suara Dean memecah keheningan saat Lia semakin dekat.“Hey,” jawab Lia, mencoba menyembunyikan kegugupannya.“Duduk, yuk,” ajak Dean, menunjuk bangku kayu di bawah pohon f

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status