Share

Bab 3

Author: Zayba Almira
last update Last Updated: 2024-12-07 19:45:45

Minggu ketiga di sekolah baru, Lia dan Dean kembali dipaksa bekerja sama untuk proyek besar OSIS: merencanakan acara perpisahan tahunan. Semuanya berjalan dengan cepat, namun ketegangan di antara mereka tidak pernah surut. Setiap kali mereka bertemu, baik di kelas, di ruang OSIS, atau di luar, Dean selalu tampak begitu dingin dan perfeksionis, sedangkan Lia berjuang untuk tetap bertahan, menepis rasa frustasi yang kian menumpuk.

Di ruang OSIS, Dean menjelaskan dengan serius rincian acara dan pembagian tugas. Lia mencoba mengikuti, namun ia bisa merasakan ketegangan di udara. Dean sepertinya hanya melihatnya sebagai bagian dari tim yang harus dia kendalikan, bukan sebagai rekan sejajar.

“Kamu harus lebih fokus pada detail ini. Jangan membuat kesalahan seperti yang terakhir,” kata Dean, suaranya tegas, namun ada sedikit kelelahan yang tersirat.

Lia menahan napas, berusaha menenangkan dirinya. Ia tahu kata-kata itu bukan hanya tentang poster yang salah kemarin, tetapi tentang dirinya sebagai pribadi. Kenapa Dean terus memandangnya seperti orang yang tidak mampu?

“Baiklah,” jawab Lia, berusaha menyembunyikan perasaan kecewanya di dalam hati.

Namun, di dalam dirinya, ia merasa ada sesuatu yang meledak. “Kenapa dia harus selalu seperti ini?” pikirnya, matanya menatap kosong ke meja. “Kenapa aku yang harus selalu berada di bawah bayangannya?”

Puncak dari ketegangan itu akhirnya terjadi pada satu sore, saat semua orang sudah bekerja keras menyiapkan acara. Lia yang sedang duduk menyusun daftar tamu undangan tiba-tiba mendengar suara bentakan keras dari arah meja Dean.

“Ini tidak bisa dibiarkan!” teriak Dean, wajahnya merah padam. Semua mata langsung tertuju pada mereka.

Lia terkejut, berdiri cepat. “Apa yang terjadi, Dean?”

Dean menunjuk ke layar laptop yang menampilkan daftar anggaran acara. “Kamu ini kenapa? Tidak ada detail yang jelas. Semua anggaran acaramu kacau!” suaranya keras, penuh frustrasi.

Lia merasa tubuhnya seperti terbakar, semua kesabaran yang ia tahan selama ini runtuh begitu saja. “Aku sudah bekerja keras! Jangan terus menerus menyalahkanku!” teriaknya, suaranya bahkan bergetar karena campuran antara marah dan kecewa.

Dean terdiam sesaat, seolah terkejut dengan reaksi Lia yang tidak biasa. Namun, sebelum ia bisa merespons, Lia melanjutkan, “Aku bukan mesin yang bisa mengikuti segala yang kamu inginkan, Dean. Kamu pikir aku tidak cukup berusaha? Aku ingin melakukan yang terbaik, tapi kamu terus saja menganggapku bodoh!”

Lia merasa hatinya hancur, tetapi ia tidak bisa lagi menahan perasaan itu. Ia merasa sudah cukup dikendalikan oleh Dean. Semua rasa sakit itu keluar dalam bentuk kemarahan yang tidak bisa ia bendung.

Namun, saat itu juga, wajah Dean berubah. Ia terlihat ragu, seakan-akan ada sisi lain dari dirinya yang ingin ia ungkapkan, namun ia memilih untuk tetap diam. Ia mengalihkan pandangan, menarik napas panjang, dan berkata dengan suara yang lebih tenang, “Lia, aku… aku tidak bermaksud begitu.”

Lia melihat ekspresi Dean yang tidak biasa, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan sedikit kelegaan—namun, kebingungan juga muncul. Apa maksudnya ini? Mengapa tiba-tiba ia bersikap lebih lembut?

Namun, ketegangan itu belum berakhir. Pada hari berikutnya, acara yang mereka rencanakan hampir saja gagal karena masalah teknis. Sebuah kesalahan fatal terjadi pada sistem suara yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, dan itu membuat suasana di ruang OSIS menjadi sangat kacau. Semua orang panik, dan sekali lagi, Dean terlihat mengambil alih.

“Kenapa kalian tidak memeriksa semuanya lebih teliti?” Dean membentak, suaranya keras dan penuh kemarahan. “Aku sudah bilang, jangan buat kesalahan seperti ini!”

Lia melihat sekeliling, merasa jantungnya semakin berat. “Apa lagi yang bisa aku lakukan?” pikirnya. Semua orang di sekitar Dean mulai terlihat gelisah, namun Lia merasa semakin terasing. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia sudah bekerja keras jika semua orang hanya melihat kesalahan yang terlihat di permukaan?

Ketika keadaan semakin kacau, Lia merasa kehilangan arah. “Aku harus pergi,” katanya dalam hati, merasa segala sesuatu terlalu banyak untuk ditanggung.

Namun, saat ia berbalik hendak keluar, Dean memanggilnya.

“Lia, tunggu.”

Lia menoleh, matanya berkilat. “Apa? Apa lagi yang kamu ingin katakan, Dean?” Suaranya lebih keras dari yang ia inginkan, dipenuhi rasa frustasi yang kian memuncak.

Dean hanya terdiam sejenak, menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, ia berkata, “Maaf, aku… aku tidak seharusnya bersikap seperti ini padamu.”

Lia terkejut. Tidak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan. Di dalam dirinya, perasaan campur aduk memenuhi ruang hatinya—rasa marah, bingung, dan entah kenapa sedikit terluka.

Lia memutuskan untuk pulang lebih awal, melepaskan diri dari kekacauan itu. Dalam perjalanan pulang, ia merasakan hatinya hampa. Semua emosi yang terkumpul terasa seperti gelombang besar yang siap menerjang.

“Apa yang sebenarnya aku rasakan tentang Dean?” Lia bertanya pada dirinya sendiri, memandangi jalanan yang terus berlalu di luar jendela mobil. “Kenapa aku merasa kesal dan bingung sekaligus?”

Ia menutup matanya, mencoba menenangkan pikirannya. “Aku harus bisa melupakan semua ini. Aku tidak bisa terus berpikir tentangnya. Tidak ada gunanya.”

Namun, suara dalam dirinya berbisik, “Apakah benar kamu ingin melupakan semua ini?”

Malam itu, Lia duduk di kamarnya, merenung dalam keheningan. Ada banyak hal yang belum ia pahami tentang Dean. Kenapa dia bisa begitu keras dan dingin, namun sesekali tampak melunak? Apa yang ia rasakan sebenarnya?

Sedangkan Dean sendiri, meski terlihat dingin di luar, di dalam dirinya ia merasa perasaan yang membingungkan. Ia tidak pernah merasa begitu terhubung dengan seseorang seperti Lia. Setiap kali mereka bertemu, ada perasaan yang sulit ia jelaskan—rasa frustrasi, namun juga rasa ingin melindungi.

“Tapi kenapa aku merasa seperti ini?” pikir Dean, menatap cermin di kamarnya. “Kenapa harus dia yang membuatku merasa seperti orang yang tidak pernah mengerti perasaannya sendiri?”

Konflik di antara Lia dan Dean semakin memuncak. Ketegangan dan frustrasi yang mereka rasakan mendorong mereka untuk berhadapan dengan perasaan yang belum mereka sadari, menciptakan hubungan yang penuh emosi dan ketidakpastian. Kedua karakter ini berada di titik balik, di mana perasaan mereka mulai membentuk dinamika baru yang lebih kompleks.

Related chapters

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 4

    Seminggu setelah insiden di ruang OSIS, suasana antara Lia dan Dean mulai sedikit mereda. Meski masih ada ketegangan, mereka tampak lebih berhati-hati dalam berbicara satu sama lain. Namun, konflik batin di antara keduanya tetap terasa—seperti api kecil yang terus menyala di bawah permukaan. Hari itu, saat istirahat, Lia memutuskan untuk menghindari keramaian. Ia berjalan menuju taman belakang sekolah, tempat yang jarang dikunjungi siswa. Namun, ia tidak menyangka akan menemukan Dean di sana, duduk sendirian di bawah pohon besar dengan buku catatan di tangannya. Lia ragu untuk mendekat, tetapi rasa penasaran mengalahkan keinginannya untuk menjauh. “Dean?” panggilnya pelan. Dean mendongak, sedikit terkejut melihat Lia. Ia segera menutup buku catatannya. “Ada apa?” tanyanya singkat, dengan nada yang lebih datar daripada biasanya. “Tidak, aku hanya... tidak tahu kalau kamu suka tempat ini juga,” jawab Lia canggung. Dean menghela napas dan menggeser posisi duduknya, memberi ruang un

    Last Updated : 2024-12-08
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 5

    Hari perpisahan tahunan yang direncanakan dengan susah payah akhirnya tiba. Semua orang sibuk mempersiapkan detail terakhir. Lia dan Dean juga berada di tengah kesibukan, mencoba memastikan tidak ada hal yang terlewat. Namun, situasi mendadak berubah ketika salah satu panitia melaporkan bahwa dekorasi utama, yang seharusnya menjadi daya tarik acara, belum tiba. Vendor yang bertanggung jawab mengirimkan barang itu tidak dapat dihubungi sejak semalam. “Ini tidak mungkin terjadi sekarang!” Dean membanting ponselnya ke meja. Wajahnya menunjukkan perpaduan antara marah dan panik. Lia yang ada di sampingnya mencoba tetap tenang. “Kita masih punya waktu. Mungkin kita bisa cari solusi lain.” Dean menatapnya tajam. “Kamu bilang gampang, tapi dekorasi itu adalah pusat dari semua tema acara kita. Tanpanya, ini akan terlihat seperti acara biasa!” Lia merasakan dadanya sesak mendengar nada Dean, tapi ia tahu bukan waktunya untuk bertengkar. “Kalau begitu, kita cari alternatif. Aku bisa minta

    Last Updated : 2024-12-09
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 6

    Sejak acara perpisahan selesai, Raka semakin sering mendekati Lia. Bukan hanya sekadar mengobrol, tetapi juga memberikan perhatian kecil yang mulai menarik perhatian orang-orang di sekitarnya, termasuk Dean. Pagi itu, di ruang kelas, Raka menunggu Lia di meja depan dengan sebuah kotak kecil di tangannya. Ketika Lia datang, ia tersenyum lebar. “Lia, aku ada sesuatu untukmu,” katanya, menyerahkan kotak itu. Lia membuka kotaknya dan menemukan gelang kecil dari anyaman kain berwarna biru. “Ini lucu sekali. Terima kasih, Raka,” kata Lia tulus, tanpa menyadari tatapan siswa lain yang mulai berbisik-bisik. Dean, yang kebetulan lewat di depan kelas, berhenti sejenak. Ia melihat momen itu dengan ekspresi datar, tetapi ada api kecil yang berkobar di dalam dadanya. Ia tidak suka apa yang ia lihat—dan lebih dari itu, ia tidak tahu mengapa ia merasa terganggu. Saat istirahat, Lia masuk ke ruang OSIS untuk mengambil beberapa dokumen. Ia tidak menyangka menemukan Dean di sana, duduk di kursi s

    Last Updated : 2024-12-09
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 7

    Setelah beberapa minggu, kedekatan antara Lia dan Raka semakin terlihat. Raka selalu ada di sekitar Lia, menawarkan bantuan kecil seperti membawa buku atau sekadar menemani di kantin. Perhatian ini tidak luput dari perhatian orang-orang di sekolah, termasuk Dean. Namun, tidak semua orang percaya bahwa perhatian Raka sepenuhnya tulus. Beberapa teman dekat Lia mulai berbicara, meskipun hanya di belakangnya. “Raka itu kayaknya nggak cuma sekadar teman deh,” kata Lila, salah satu sahabat Lia. “Kamu sadar nggak, Li? Cara dia ngelihat kamu tuh beda.” Lia tertegun. Ia menatap Lila, lalu tertawa kecil. “Kamu terlalu berlebihan. Raka cuma baik, itu saja.” Tapi jauh di dalam hati, Lia mulai merasa ragu. Perhatian Raka memang kadang terasa lebih dari sekadar teman, tetapi ia tidak ingin menyimpulkan terlalu cepat. Di sisi lain, Dean semakin sulit menyembunyikan rasa tidak sukanya terhadap kedekatan Lia dan Raka. Suatu hari, saat rapat OSIS berlangsung, Dean melontarkan komentar yang membua

    Last Updated : 2024-12-10
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 8

    Setelah pengakuan Raka, Lia semakin sulit berkonsentrasi. Setiap kali mereka bertemu di sekolah, pandangan Raka selalu terlihat penuh harap. Meski begitu, Lia tidak bisa membohongi dirinya sendiri—perasaannya pada Raka tidak sekuat itu. Suatu sore, Lia duduk di balkon kamarnya, memandang langit yang mulai berubah warna. Ia meraih buku harian di atas meja dan mulai menulis:𝘙𝘢𝘬𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘪𝘬. 𝘋𝘪𝘢 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘥𝘪𝘩𝘢𝘳𝘨𝘢𝘪. 𝘛𝘢𝘱𝘪, 𝘬𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘩𝘢𝘭 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘥𝘪𝘢? 𝘋𝘪 𝘴𝘪𝘴𝘪 𝘭𝘢𝘪𝘯, 𝘢𝘥𝘢 𝘋𝘦𝘢𝘯. 𝘋𝘪𝘢... 𝘳𝘶𝘮𝘪𝘵. 𝘒𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘣𝘢𝘭𝘬𝘢𝘯, 𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘬𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨, 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘯𝘺𝘢𝘮𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢𝘯𝘺𝘢. 𝘈𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯𝘬𝘶?" Selesai menulis, Lia menutup bukunya dengan keras. Ia merasa lelah dengan kebingungan ini. --- Sementara itu, Dean juga tidak tenang. Setelah konfrontasi

    Last Updated : 2024-12-11
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 9

    Langit mendung menggelayut di atas lapangan sekolah. Angin sore yang dingin menerpa wajah Lia saat ia berdiri di dekat tribun, memandang sekelompok siswa yang sedang latihan voli. Namun, pikirannya tidak berada di sana. Pikirannya penuh oleh suara Dean dan tatapan Raka yang seakan mengikutinya ke mana pun ia pergi. “Lia!” Suara Lila membuyarkan lamunannya. Sahabatnya mendekat dengan napas terengah, membawa dua kaleng minuman. “Thanks,” gumam Lia, mengambil kaleng itu tanpa menatap Lila. “Kamu oke? Sejak kapan sih kamu jadi suka merenung gini?” Lila mencondongkan tubuhnya, memandangi wajah Lia dengan tatapan menyelidik. “Aku nggak apa-apa,” balas Lia singkat. “Tapi kamu jelas kelihatan nggak baik.” Lila meneguk minumannya, lalu melanjutkan dengan suara lebih pelan. “Ini gara-gara Dean, ya? Atau... Raka?” Lia terdiam. Angin yang menerpa rambutnya seakan membawa beban yang tak kasatmata. Akhirnya ia mengangguk perlahan. “Aku nggak tahu, Lil. Semua ini terlalu rumit.” Suar

    Last Updated : 2024-12-12
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 10

    Hujan deras kembali mengguyur kota sore itu. Lia duduk di dekat jendela kamarnya, memandangi tetesan air yang berlarian di kaca seperti pikirannya yang berkejaran tanpa henti. Tangannya gemetar memegang secarik kertas berisi tulisan yang baru saja ia buat. “Raka, aku nggak pernah bermaksud menyakitimu. Tapi aku harus jujur pada diriku sendiri.” Dia berhenti membaca, membuang napas berat. Kertas itu diremasnya, dilempar ke lantai bersama beberapa lembar lainnya. Tidak ada kata-kata yang terasa cukup untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan. “Lia!” suara ibunya dari lantai bawah menyadarkannya. “Sebentar!” jawabnya dengan nada tergesa. Dia menghapus air mata yang mulai membasahi pipinya dan berjalan menuruni tangga. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat seseorang berdiri di depan pintu rumahnya—Dean, dengan wajah basah kuyup, membawa payung yang sudah setengah rusak. “Dean?” Lia menatapnya dengan mata membelalak. “Aku harus bicara,” katanya langsung, tanpa basa-basi. Dean me

    Last Updated : 2024-12-14
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 11

    Hujan turun perlahan di pagi itu, membasahi jalan-jalan kecil di sekitar taman tempat keputusan Lia diutarakan beberapa hari lalu. Lia duduk di bangku panjang di halaman belakang rumahnya, ditemani secangkir teh hangat yang hampir dingin. Matanya menatap kosong pada bunga mawar yang bergoyang lembut dihembus angin. Ponselnya tergeletak di samping, layar yang menyala hanya menampilkan notifikasi biasa—tidak ada pesan dari Dean, tidak ada kabar dari Raka. Sejak hari itu, keduanya menghilang dari hidup Lia seperti daun yang gugur dihembus badai. Hatinya berusaha menerima keheningan ini sebagai konsekuensi dari keputusannya, tetapi bagian kecil dalam dirinya masih merindukan kehadiran mereka. Kehilangan dua pria yang begitu berarti membuat dunianya terasa kosong. Di sudut lain kota, Raka berdiri di depan rak-rak tinggi di perpustakaan sekolah. Dia memegang buku yang belum ia baca sama sekali, hanya memutar halaman tanpa benar-benar memperhatikan. “Raka,” suara seorang teman meng

    Last Updated : 2024-12-16

Latest chapter

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 13

    Seminggu setelah pertandingan persahabatan itu, hidup Lia kembali terasa seperti berjalan di atas pasir bergerak. Ia mencoba fokus pada pelajaran, tetapi pikirannya selalu terlempar ke momen saat bertemu Raka. Ucapannya masih terngiang: “Kadang, kita harus kehilangan sesuatu buat ngerti apa yang benar-benar penting.”Namun, pagi itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Ketika Lia membuka loker, ia menemukan sebuah surat terlipat rapi di dalamnya. Tidak ada nama pengirim, tetapi tulisan tangan yang familier membuat jantung Lia berdebar.Dengan tangan gemetar, Lia membuka surat itu.*“Lia,Aku nggak tahu apakah aku benar-benar siap menulis ini. Tapi setelah pertandingan kemarin, ada banyak hal yang ingin aku sampaikan.Aku tahu aku bilang kita butuh waktu untuk masing-masing, dan aku masih percaya itu. Tapi aku juga nggak bisa menyangkal kalau aku kangen. Aku kangen semua obrolan kita, tawa kita, dan cara kamu selalu bikin hari-hari aku terasa lebih berarti.Mungkin aku bodoh karena menul

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 12

    Pagi di sekolah terasa berbeda tanpa kehadiran Raka. Tidak ada lagi suara sepatu basketnya yang biasa terdengar di lorong, atau senyumnya yang sering ia lemparkan tanpa alasan jelas. Lia duduk di kursinya dengan tatapan kosong. Buku catatan di mejanya tetap tertutup, sementara teman-teman sekelasnya sibuk berbincang tentang ujian mendatang.“Lia.”Suara Hana, sahabatnya, membuat Lia tersadar. Lia menoleh, mencoba tersenyum meski lemah.“Lo nggak apa-apa?” tanya Hana, duduk di sampingnya dengan raut khawatir.Lia mengangguk kecil. “Aku... cuma nggak konsen.”Hana mendesah, menatap Lia dengan pandangan penuh simpati. “Gue tau ini berat buat lo. Tapi Raka pasti punya alasan kenapa dia pergi.”“Gue ngerti,” jawab Lia, menundukkan kepala. “Tapi kenapa rasanya kayak gue yang salah?”Hana tidak langsung menjawab. Ia hanya meraih tangan Lia, memberikan dukungan dalam diam. Lia tahu Hana mencoba membantu, tetapi perasaan bersalah itu tetap menghantui.Malam itu, Lia mencoba menghubungi Raka. T

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 11

    Hujan turun perlahan di pagi itu, membasahi jalan-jalan kecil di sekitar taman tempat keputusan Lia diutarakan beberapa hari lalu. Lia duduk di bangku panjang di halaman belakang rumahnya, ditemani secangkir teh hangat yang hampir dingin. Matanya menatap kosong pada bunga mawar yang bergoyang lembut dihembus angin. Ponselnya tergeletak di samping, layar yang menyala hanya menampilkan notifikasi biasa—tidak ada pesan dari Dean, tidak ada kabar dari Raka. Sejak hari itu, keduanya menghilang dari hidup Lia seperti daun yang gugur dihembus badai. Hatinya berusaha menerima keheningan ini sebagai konsekuensi dari keputusannya, tetapi bagian kecil dalam dirinya masih merindukan kehadiran mereka. Kehilangan dua pria yang begitu berarti membuat dunianya terasa kosong. Di sudut lain kota, Raka berdiri di depan rak-rak tinggi di perpustakaan sekolah. Dia memegang buku yang belum ia baca sama sekali, hanya memutar halaman tanpa benar-benar memperhatikan. “Raka,” suara seorang teman meng

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 10

    Hujan deras kembali mengguyur kota sore itu. Lia duduk di dekat jendela kamarnya, memandangi tetesan air yang berlarian di kaca seperti pikirannya yang berkejaran tanpa henti. Tangannya gemetar memegang secarik kertas berisi tulisan yang baru saja ia buat. “Raka, aku nggak pernah bermaksud menyakitimu. Tapi aku harus jujur pada diriku sendiri.” Dia berhenti membaca, membuang napas berat. Kertas itu diremasnya, dilempar ke lantai bersama beberapa lembar lainnya. Tidak ada kata-kata yang terasa cukup untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan. “Lia!” suara ibunya dari lantai bawah menyadarkannya. “Sebentar!” jawabnya dengan nada tergesa. Dia menghapus air mata yang mulai membasahi pipinya dan berjalan menuruni tangga. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat seseorang berdiri di depan pintu rumahnya—Dean, dengan wajah basah kuyup, membawa payung yang sudah setengah rusak. “Dean?” Lia menatapnya dengan mata membelalak. “Aku harus bicara,” katanya langsung, tanpa basa-basi. Dean me

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 9

    Langit mendung menggelayut di atas lapangan sekolah. Angin sore yang dingin menerpa wajah Lia saat ia berdiri di dekat tribun, memandang sekelompok siswa yang sedang latihan voli. Namun, pikirannya tidak berada di sana. Pikirannya penuh oleh suara Dean dan tatapan Raka yang seakan mengikutinya ke mana pun ia pergi. “Lia!” Suara Lila membuyarkan lamunannya. Sahabatnya mendekat dengan napas terengah, membawa dua kaleng minuman. “Thanks,” gumam Lia, mengambil kaleng itu tanpa menatap Lila. “Kamu oke? Sejak kapan sih kamu jadi suka merenung gini?” Lila mencondongkan tubuhnya, memandangi wajah Lia dengan tatapan menyelidik. “Aku nggak apa-apa,” balas Lia singkat. “Tapi kamu jelas kelihatan nggak baik.” Lila meneguk minumannya, lalu melanjutkan dengan suara lebih pelan. “Ini gara-gara Dean, ya? Atau... Raka?” Lia terdiam. Angin yang menerpa rambutnya seakan membawa beban yang tak kasatmata. Akhirnya ia mengangguk perlahan. “Aku nggak tahu, Lil. Semua ini terlalu rumit.” Suar

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 8

    Setelah pengakuan Raka, Lia semakin sulit berkonsentrasi. Setiap kali mereka bertemu di sekolah, pandangan Raka selalu terlihat penuh harap. Meski begitu, Lia tidak bisa membohongi dirinya sendiri—perasaannya pada Raka tidak sekuat itu. Suatu sore, Lia duduk di balkon kamarnya, memandang langit yang mulai berubah warna. Ia meraih buku harian di atas meja dan mulai menulis:𝘙𝘢𝘬𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘪𝘬. 𝘋𝘪𝘢 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘥𝘪𝘩𝘢𝘳𝘨𝘢𝘪. 𝘛𝘢𝘱𝘪, 𝘬𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘩𝘢𝘭 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘥𝘪𝘢? 𝘋𝘪 𝘴𝘪𝘴𝘪 𝘭𝘢𝘪𝘯, 𝘢𝘥𝘢 𝘋𝘦𝘢𝘯. 𝘋𝘪𝘢... 𝘳𝘶𝘮𝘪𝘵. 𝘒𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘣𝘢𝘭𝘬𝘢𝘯, 𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘬𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨, 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘯𝘺𝘢𝘮𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢𝘯𝘺𝘢. 𝘈𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯𝘬𝘶?" Selesai menulis, Lia menutup bukunya dengan keras. Ia merasa lelah dengan kebingungan ini. --- Sementara itu, Dean juga tidak tenang. Setelah konfrontasi

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 7

    Setelah beberapa minggu, kedekatan antara Lia dan Raka semakin terlihat. Raka selalu ada di sekitar Lia, menawarkan bantuan kecil seperti membawa buku atau sekadar menemani di kantin. Perhatian ini tidak luput dari perhatian orang-orang di sekolah, termasuk Dean. Namun, tidak semua orang percaya bahwa perhatian Raka sepenuhnya tulus. Beberapa teman dekat Lia mulai berbicara, meskipun hanya di belakangnya. “Raka itu kayaknya nggak cuma sekadar teman deh,” kata Lila, salah satu sahabat Lia. “Kamu sadar nggak, Li? Cara dia ngelihat kamu tuh beda.” Lia tertegun. Ia menatap Lila, lalu tertawa kecil. “Kamu terlalu berlebihan. Raka cuma baik, itu saja.” Tapi jauh di dalam hati, Lia mulai merasa ragu. Perhatian Raka memang kadang terasa lebih dari sekadar teman, tetapi ia tidak ingin menyimpulkan terlalu cepat. Di sisi lain, Dean semakin sulit menyembunyikan rasa tidak sukanya terhadap kedekatan Lia dan Raka. Suatu hari, saat rapat OSIS berlangsung, Dean melontarkan komentar yang membua

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 6

    Sejak acara perpisahan selesai, Raka semakin sering mendekati Lia. Bukan hanya sekadar mengobrol, tetapi juga memberikan perhatian kecil yang mulai menarik perhatian orang-orang di sekitarnya, termasuk Dean. Pagi itu, di ruang kelas, Raka menunggu Lia di meja depan dengan sebuah kotak kecil di tangannya. Ketika Lia datang, ia tersenyum lebar. “Lia, aku ada sesuatu untukmu,” katanya, menyerahkan kotak itu. Lia membuka kotaknya dan menemukan gelang kecil dari anyaman kain berwarna biru. “Ini lucu sekali. Terima kasih, Raka,” kata Lia tulus, tanpa menyadari tatapan siswa lain yang mulai berbisik-bisik. Dean, yang kebetulan lewat di depan kelas, berhenti sejenak. Ia melihat momen itu dengan ekspresi datar, tetapi ada api kecil yang berkobar di dalam dadanya. Ia tidak suka apa yang ia lihat—dan lebih dari itu, ia tidak tahu mengapa ia merasa terganggu. Saat istirahat, Lia masuk ke ruang OSIS untuk mengambil beberapa dokumen. Ia tidak menyangka menemukan Dean di sana, duduk di kursi s

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 5

    Hari perpisahan tahunan yang direncanakan dengan susah payah akhirnya tiba. Semua orang sibuk mempersiapkan detail terakhir. Lia dan Dean juga berada di tengah kesibukan, mencoba memastikan tidak ada hal yang terlewat. Namun, situasi mendadak berubah ketika salah satu panitia melaporkan bahwa dekorasi utama, yang seharusnya menjadi daya tarik acara, belum tiba. Vendor yang bertanggung jawab mengirimkan barang itu tidak dapat dihubungi sejak semalam. “Ini tidak mungkin terjadi sekarang!” Dean membanting ponselnya ke meja. Wajahnya menunjukkan perpaduan antara marah dan panik. Lia yang ada di sampingnya mencoba tetap tenang. “Kita masih punya waktu. Mungkin kita bisa cari solusi lain.” Dean menatapnya tajam. “Kamu bilang gampang, tapi dekorasi itu adalah pusat dari semua tema acara kita. Tanpanya, ini akan terlihat seperti acara biasa!” Lia merasakan dadanya sesak mendengar nada Dean, tapi ia tahu bukan waktunya untuk bertengkar. “Kalau begitu, kita cari alternatif. Aku bisa minta

DMCA.com Protection Status