Share

Bab 9

Penulis: Zayba Almira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-12 11:40:12

Langit mendung menggelayut di atas lapangan sekolah. Angin sore yang dingin menerpa wajah Lia saat ia berdiri di dekat tribun, memandang sekelompok siswa yang sedang latihan voli. Namun, pikirannya tidak berada di sana. Pikirannya penuh oleh suara Dean dan tatapan Raka yang seakan mengikutinya ke mana pun ia pergi.

“Lia!” Suara Lila membuyarkan lamunannya. Sahabatnya mendekat dengan napas terengah, membawa dua kaleng minuman.

“Thanks,” gumam Lia, mengambil kaleng itu tanpa menatap Lila.

“Kamu oke? Sejak kapan sih kamu jadi suka merenung gini?” Lila mencondongkan tubuhnya, memandangi wajah Lia dengan tatapan menyelidik.

“Aku nggak apa-apa,” balas Lia singkat.

“Tapi kamu jelas kelihatan nggak baik.” Lila meneguk minumannya, lalu melanjutkan dengan suara lebih pelan. “Ini gara-gara Dean, ya? Atau... Raka?”

Lia terdiam. Angin yang menerpa rambutnya seakan membawa beban yang tak kasatmata. Akhirnya ia mengangguk perlahan.

“Aku nggak tahu, Lil. Semua ini terlalu rumit.” Suar
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 10

    Hujan deras kembali mengguyur kota sore itu. Lia duduk di dekat jendela kamarnya, memandangi tetesan air yang berlarian di kaca seperti pikirannya yang berkejaran tanpa henti. Tangannya gemetar memegang secarik kertas berisi tulisan yang baru saja ia buat. “Raka, aku nggak pernah bermaksud menyakitimu. Tapi aku harus jujur pada diriku sendiri.” Dia berhenti membaca, membuang napas berat. Kertas itu diremasnya, dilempar ke lantai bersama beberapa lembar lainnya. Tidak ada kata-kata yang terasa cukup untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan. “Lia!” suara ibunya dari lantai bawah menyadarkannya. “Sebentar!” jawabnya dengan nada tergesa. Dia menghapus air mata yang mulai membasahi pipinya dan berjalan menuruni tangga. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat seseorang berdiri di depan pintu rumahnya—Dean, dengan wajah basah kuyup, membawa payung yang sudah setengah rusak. “Dean?” Lia menatapnya dengan mata membelalak. “Aku harus bicara,” katanya langsung, tanpa basa-basi. Dean me

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 11

    Hujan turun perlahan di pagi itu, membasahi jalan-jalan kecil di sekitar taman tempat keputusan Lia diutarakan beberapa hari lalu. Lia duduk di bangku panjang di halaman belakang rumahnya, ditemani secangkir teh hangat yang hampir dingin. Matanya menatap kosong pada bunga mawar yang bergoyang lembut dihembus angin. Ponselnya tergeletak di samping, layar yang menyala hanya menampilkan notifikasi biasa—tidak ada pesan dari Dean, tidak ada kabar dari Raka. Sejak hari itu, keduanya menghilang dari hidup Lia seperti daun yang gugur dihembus badai. Hatinya berusaha menerima keheningan ini sebagai konsekuensi dari keputusannya, tetapi bagian kecil dalam dirinya masih merindukan kehadiran mereka. Kehilangan dua pria yang begitu berarti membuat dunianya terasa kosong. Di sudut lain kota, Raka berdiri di depan rak-rak tinggi di perpustakaan sekolah. Dia memegang buku yang belum ia baca sama sekali, hanya memutar halaman tanpa benar-benar memperhatikan. “Raka,” suara seorang teman meng

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-16
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 12

    Pagi di sekolah terasa berbeda tanpa kehadiran Raka. Tidak ada lagi suara sepatu basketnya yang biasa terdengar di lorong, atau senyumnya yang sering ia lemparkan tanpa alasan jelas. Lia duduk di kursinya dengan tatapan kosong. Buku catatan di mejanya tetap tertutup, sementara teman-teman sekelasnya sibuk berbincang tentang ujian mendatang.“Lia.”Suara Hana, sahabatnya, membuat Lia tersadar. Lia menoleh, mencoba tersenyum meski lemah.“Lo nggak apa-apa?” tanya Hana, duduk di sampingnya dengan raut khawatir.Lia mengangguk kecil. “Aku... cuma nggak konsen.”Hana mendesah, menatap Lia dengan pandangan penuh simpati. “Gue tau ini berat buat lo. Tapi Raka pasti punya alasan kenapa dia pergi.”“Gue ngerti,” jawab Lia, menundukkan kepala. “Tapi kenapa rasanya kayak gue yang salah?”Hana tidak langsung menjawab. Ia hanya meraih tangan Lia, memberikan dukungan dalam diam. Lia tahu Hana mencoba membantu, tetapi perasaan bersalah itu tetap menghantui.Malam itu, Lia mencoba menghubungi Raka. T

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 13

    Seminggu setelah pertandingan persahabatan itu, hidup Lia kembali terasa seperti berjalan di atas pasir bergerak. Ia mencoba fokus pada pelajaran, tetapi pikirannya selalu terlempar ke momen saat bertemu Raka. Ucapannya masih terngiang: “Kadang, kita harus kehilangan sesuatu buat ngerti apa yang benar-benar penting.”Namun, pagi itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Ketika Lia membuka loker, ia menemukan sebuah surat terlipat rapi di dalamnya. Tidak ada nama pengirim, tetapi tulisan tangan yang familier membuat jantung Lia berdebar.Dengan tangan gemetar, Lia membuka surat itu.*“Lia,Aku nggak tahu apakah aku benar-benar siap menulis ini. Tapi setelah pertandingan kemarin, ada banyak hal yang ingin aku sampaikan.Aku tahu aku bilang kita butuh waktu untuk masing-masing, dan aku masih percaya itu. Tapi aku juga nggak bisa menyangkal kalau aku kangen. Aku kangen semua obrolan kita, tawa kita, dan cara kamu selalu bikin hari-hari aku terasa lebih berarti.Mungkin aku bodoh karena menul

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 14

    Pagi itu, Lia duduk di sudut kamar sambil memandangi ponselnya. Percakapan dengan Raka di taman masih terngiang jelas di benaknya. Namun, di sisi lain, Dean terus muncul dalam pikirannya, dengan senyum hangat dan tatapan penuh kepastian.Dia berada di persimpangan yang tak pernah ia bayangkan. Bagaimana ia bisa memilih? Bagaimana ia bisa adil pada keduanya, terutama ketika hatinya sendiri terasa terbelah dua?Pesan masuk mengalihkan perhatian Lia. Itu dari Dean.“Lia, aku tahu kamu mungkin masih bingung. Tapi aku harap kita bisa bicara. Aku di tempat biasa sore ini kalau kamu mau datang.”Lia memandang pesan itu lama. Ia tahu ia tidak bisa terus menghindari Dean, tetapi hatinya belum siap untuk menghadapi kenyataan.Sore itu, Lia akhirnya memutuskan untuk menemui Dean di kafe kecil tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Ketika ia masuk, Dean sudah duduk di meja sudut, dengan secangkir kopi di depannya.“Lia,” sapa Dean, berdiri untuk menyambutnya. Wajahnya penuh harap, tetap

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 15: Kegelisahan Lia

    Langit sore dipenuhi warna oranye keemasan, tapi suasana hati Lia sama sekali tidak secerah itu. Ia duduk di bangku taman sekolah, sendirian. Di tangannya, sebuah buku catatan terbuka, tapi tak satu pun kata tercatat di sana. Lia memandang kosong ke depan. Udara dingin sore itu menusuk kulitnya, tapi pikirannya terlalu penuh untuk peduli. Ia mengingat percakapannya dengan Dean beberapa hari lalu. "Apa aku masih punya tempat di hati kamu?" Kata-kata itu terus menghantuinya, seperti rekaman yang diputar ulang di dalam kepalanya. Ia tahu Dean pantas mendapatkan jawaban, tapi mengucapkannya terasa seperti menarik napas di bawah air—sulit dan menyakitkan. "Kenapa semuanya jadi serumit ini?" gumam Lia, suaranya hampir tak terdengar. Daun-daun berguguran di sekelilingnya, jatuh perlahan seperti waktu yang terus berjalan tanpa ampun. Lia tahu dia harus memilih, tapi bagaimana mungkin ia bisa memutuskan tanpa melukai salah satu dari mereka? Langkah kaki yang berat terdengar mende

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 16: Badai di Ujung Senja

    Langit mulai mendung ketika Lia melangkah keluar dari rumahnya. Jantungnya berdegup kencang, seperti genderang yang tak henti-henti dipukul. Dia telah mengatur pertemuan dengan Dean dan Raka di taman kota. Kali ini, dia tak bisa lagi menghindar. Saat tiba di taman, angin dingin menyambutnya, membuat rambutnya yang terurai berkibar pelan. Taman itu tampak sepi, hanya ada beberapa orang yang duduk di bangku. Lia melihat ke sekitar, mencari sosok Dean dan Raka. Dean adalah yang pertama datang. Dia mengenakan jaket denim favoritnya, dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Wajahnya tampak tenang, tapi ada kekhawatiran di matanya yang membuat Lia merasa semakin bersalah. “Hai,” Dean menyapa, suaranya lembut. Lia mencoba tersenyum, meski hatinya terasa berat. “Hai. Terima kasih sudah datang.” Tak lama kemudian, Raka muncul. Dia berjalan dengan langkah tegap, matanya langsung mengarah ke Lia. Tidak ada senyuman di wajahnya, hanya tatapan yang penuh arti. Lia menelan ludah. Kedua

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20
  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 17: Di Bawah Bayang-Bayang Pilihan

    Langit masih berwarna abu-abu ketika Dean memutuskan untuk pergi ke rumah Lia. Pikirannya dipenuhi oleh percakapan mereka terakhir kali. Kata-kata Lia tentang kebingungan dan jarak yang tak terjelaskan terus berputar di kepalanya, seperti angin yang tak berhenti berhembus di malam yang dingin. terkeju Dia berdiri di depan pagar rumah Lia, ragu-ragu. Biasanya, langkahnya tegas saat mengunjungi Lia. Tapi kali ini, ada sesuatu yang menahannya. Dean menghela napas panjang, kemudian mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Dia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Akhirnya, pintu terbuka, dan Lia berdiri di sana, tampak terkejut. “Dean? Pagi-pagi begini kamu ke sini? Ada apa?” tanya Lia, suaranya terdengar bingung namun lembut. Dean mencoba tersenyum, meski senyumnya terasa dipaksakan. “Aku cuma... pengen ngobrol. Nggak apa-apa kalau kamu sibuk.” Lia menggeleng, membukakan pintu lebih lebar. “Masuk aja.” Di ruang tamu, mereka duduk berseberangan. Suasana hening menyelimuti mereka,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20

Bab terbaru

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 71

    Hujan turun deras malam itu, menambah keheningan yang menyelimuti kamar Lia. Ia duduk di dekat jendela, memeluk lututnya sambil memandangi tetesan air yang membasahi kaca. Bayangan Raka masih terngiang di kepalanya, begitu pula kata-kata terakhir yang ia ucapkan.“Aku ingin kamu bahagia, Lia.”Namun, bahagia seperti apa yang sebenarnya ia inginkan? Apakah ia benar-benar tidak bisa bahagia tanpa Raka?Pikirannya berkecamuk. Ia merasa seperti tersesat di persimpangan jalan. Tapi di tengah kebingungannya, ada satu nama lain yang terus menyelinap masuk ke dalam hatinya: Dean.Dean, dengan senyumannya yang selalu memberi rasa hangat. Dean, yang meski tidak pernah ia duga, selalu berada di saat ia membutuhkan seseorang.Keesokan harinya, Lia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kampus. Ia membutuhkan ketenangan, atau setidaknya tempat di mana ia bisa mengalihkan pikirannya dari semua kekacauan ini.Langkahnya terhenti ketik

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 70

    Langit kampus dipenuhi awan kelabu, mencerminkan suasana hati Lia yang tak menentu. Langkahnya terasa berat ketika ia memasuki taman di depan gedung utama, tempat Raka biasa menunggu. Namun hari ini berbeda. Tidak ada Raka yang tersenyum hangat menyapanya. Yang ada hanya bangku kosong dan udara dingin menusuk.Lia merapatkan jaketnya, matanya menyapu sekitar, berharap ia hanya terlambat beberapa menit. Namun, semakin lama ia berdiri di sana, semakin nyata kenyataan bahwa Raka tidak datang.“Lia.”Suara itu membuatnya menoleh. Dean berdiri tak jauh darinya, mengenakan hoodie abu-abu dan jeans. Rambutnya berantakan seperti baru berlari, dan ada senyuman kecil yang menggantung di bibirnya.“Aku kira kamu nggak ke sini,” katanya sambil melangkah mendekat.Lia menatapnya dengan ekspresi campur aduk. “Aku nunggu Raka.”Dean mengangguk pelan, meski ada sesuatu di matanya yang sulit diterjemahkan. “Raka nggak bilang apa-apa ke kamu?

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 69

    Bab 68Malam itu, hujan turun dengan deras, menciptakan irama alami yang menenangkan. Lia duduk di dekat jendela kamarnya, menatap tetesan air yang berlomba-lomba menuruni kaca. Pikirannya melayang, mencoba mencerna peristiwa yang baru saja terjadi.Pertemuan dengan Raka di kafe sore tadi masih terngiang jelas di benaknya. Tatapan mata Raka yang penuh harap, kata-kata yang terucap dengan hati-hati, dan keheningan yang sesekali menyelimuti percakapan mereka."Lia, aku tahu ini sulit untukmu," kata Raka sambil menatap langsung ke matanya. "Tapi aku ingin kamu tahu, perasaanku padamu tulus. Aku siap menunggumu sampai kamu benar-benar yakin."Lia hanya bisa tersenyum tipis saat itu, tanpa mampu memberikan jawaban pasti. Hatinya masih bimbang antara perasaannya pada Raka dan Dean.Keesokan harinya, Lia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota, berharap udara segar bisa membantunya berpikir lebih jernih. Langit cerah dengan awan putih berarak, angin sepoi-sepoi meniup lembut rambutnya.

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 68

    Malam itu, angin berhembus lembut, membawa aroma khas hujan yang baru saja reda. Lia duduk di teras rumahnya, menatap langit yang mulai cerah, dengan bintang-bintang yang bermunculan satu per satu. Pikirannya melayang, merenungkan pertemuannya dengan Raka dan Dean beberapa hari lalu.Ia telah menyampaikan keputusannya untuk tidak memilih salah satu dari mereka saat ini, dan meminta waktu untuk memahami perasaannya sendiri. Keduanya menerima keputusan itu dengan lapang dada, meskipun Lia bisa melihat kekecewaan di mata mereka.Sejak saat itu, Lia merasa ada jarak yang tercipta antara dirinya dengan Raka dan Dean. Mereka masih berkomunikasi, namun tidak seintens dulu. Lia memahami bahwa mereka memberi ruang baginya untuk berpikir, namun ia tak bisa menghindari rasa kesepian yang mulai menyelimuti hatinya.Suatu hari, saat berjalan-jalan di taman kota, Lia melihat seorang gadis kecil yang sedang bermain dengan anjing peliharaannya. Tawa riang gadis itu mengingatkannya pada masa kecilnya

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 67

    Langit mendung menggantung di atas kampus, memberikan suasana muram yang terasa selaras dengan perasaan Lia. Ia berjalan di koridor panjang menuju perpustakaan, mencoba mengalihkan pikirannya. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah beban keputusan yang ia hadapi menekan pundaknya.Pintu perpustakaan berderit saat ia membukanya. Di dalam, aroma buku tua langsung menyergap indra penciumannya. Tempat ini biasanya menjadi pelariannya, namun hari ini, ketenangan perpustakaan terasa terlalu sunyi.Lia melangkah menuju rak bagian belakang, tempat paling sepi yang biasa ia pilih untuk menyendiri. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pria yang sangat dikenalnya duduk di sudut ruangan, sibuk dengan laptopnya.Dean.Pria itu tampak tenggelam dalam pekerjaannya, wajahnya serius, jemarinya bergerak lincah di atas keyboard. Lia ragu sejenak, namun akhirnya mendekat. Ketukan kecil pada meja membuat Dean menoleh.“Oh, Lia,” ucapnya

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 66

    Lia duduk di kursi taman kampus, membiarkan angin pagi yang dingin menggoda rambutnya. Langit mendung di atasnya seperti mencerminkan pikirannya yang kacau. Beberapa mahasiswa berlalu-lalang, namun ia tidak memperhatikan mereka. Matanya tertuju pada buku catatan yang terbuka di pangkuannya, tetapi pikirannya jauh dari tulisan-tulisan yang memenuhi halaman itu.Dean menghampiri dari kejauhan, wajahnya terlihat serius. Tanpa banyak bicara, ia duduk di samping Lia. Aroma khas parfumnya menyapa hidung Lia, membuatnya sedikit tegang.“Lia,” Dean memulai, suaranya pelan namun tegas. “Kamu baik-baik saja?”Lia menoleh, mencoba menutupi emosi yang meluap dalam hatinya. “Aku baik,” jawabnya singkat, meski nada suaranya terdengar getir.Dean menarik napas panjang. Ia tahu Lia sedang berusaha keras menyembunyikan sesuatu. Selama ini, Lia selalu seperti itu—mencoba terlihat kuat meskipun hatinya sedang bergolak.“Kita nggak bisa terus kayak gini

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 65

    Hari itu, Lia merasa ada yang aneh. Seperti ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang sedang menunggu untuk diungkapkan. Perasaan itu muncul begitu ia berjalan melewati ruang kelas, ketika ia melihat sebuah pesan di ponselnya.Pesan dari Raka."Bisakah kita bicara setelah sekolah?"Itu saja. Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Tetapi cukup untuk membuat hati Lia berdegup lebih kencang. Seperti ada beban yang tertahan di dalam dirinya yang akhirnya harus dilepaskan.Setelah jam sekolah selesai, Lia berjalan dengan langkah perlahan menuju tempat yang telah mereka sepakati. Sebuah taman kecil di sudut sekolah yang biasanya jarang didatangi orang. Raka sudah menunggu di sana, tampak lebih serius daripada biasanya."Raka," sapa Lia pelan, mendekat.Raka menoleh, dan matanya langsung menangkap perhatian Lia. Ada sesuatu yang berbeda di mata laki-laki itu hari ini. Bukan hanya kecemasan, tapi juga keteguhan."Kita perlu bicara," kata Raka, suaranya lebih berat dari biasanya. “Tentan

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 64

    Langit pagi masih dihiasi sisa-sisa warna fajar ketika Lia tiba di perpustakaan sekolah. Sepi. Hanya suara halus AC yang memenuhi ruangan. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan pikiran. Hari ini ia memutuskan untuk menghindari Dean dan Raka. Hanya untuk satu hari.Tapi rencananya buyar begitu ia membuka pintu ruang baca.“Lia?”Suara itu familiar. Raka.Ia berdiri di pojok, dikelilingi tumpukan buku yang berantakan. Kemeja putihnya sedikit kusut, tapi wajahnya tetap tenang, meski ada kantong mata kecil yang tak bisa ia sembunyikan.“Oh, hai,” jawab Lia gugup, merasa kehadirannya seperti gangguan.Raka tersenyum kecil, lalu melangkah mendekat. “Aku nggak tahu kamu suka datang pagi-pagi ke sini.”Lia mengangkat bahu. “Aku cuma… butuh tempat tenang.”“Kebetulan,” kata Raka sambil menunjuk tumpukan buku. “Aku lagi cari bahan untuk tugas sejarah. Tapi kayaknya lebih banyak bingungnya daripada dapet jawabannya.”Lia terkekeh kecil, meski rasa canggung masih terasa. “Sejarah? K

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 63

    Langit mendung menyelimuti suasana kampus. Lia berjalan melewati lorong panjang dengan buku-buku di pelukannya, sementara pikirannya berputar tanpa arah. Setiap langkah terasa berat, seperti menggiring beban yang tak kasatmata.Di depan perpustakaan, Dean berdiri bersandar pada dinding, menatap ke arah pintu masuk dengan raut wajah serius. Begitu melihat Lia mendekat, dia segera meluruskan tubuhnya. Ada sesuatu dalam tatapan Dean yang membuat Lia merasa perutnya melilit.“Lia,” panggilnya, suaranya rendah namun tegas.Lia berhenti, menarik napas dalam sebelum menjawab. “Ada apa, Dean?”Dia mendekat. Jarak mereka hanya beberapa langkah, tapi suasana di antara mereka terasa seperti samudra luas. Dean menatap Lia dengan mata yang penuh emosi, campuran antara harapan dan kecemasan.“Kita harus bicara,” katanya akhirnya.Lia mengangguk perlahan, tanpa kata, lalu mengikuti langkah Dean menuju bangku di bawah pohon besar di taman kampus. Tempat itu sepi, hanya suara angin yang menyelinap di

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status