Hujan deras kembali mengguyur kota sore itu. Lia duduk di dekat jendela kamarnya, memandangi tetesan air yang berlarian di kaca seperti pikirannya yang berkejaran tanpa henti. Tangannya gemetar memegang secarik kertas berisi tulisan yang baru saja ia buat. “Raka, aku nggak pernah bermaksud menyakitimu. Tapi aku harus jujur pada diriku sendiri.” Dia berhenti membaca, membuang napas berat. Kertas itu diremasnya, dilempar ke lantai bersama beberapa lembar lainnya. Tidak ada kata-kata yang terasa cukup untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan. “Lia!” suara ibunya dari lantai bawah menyadarkannya. “Sebentar!” jawabnya dengan nada tergesa. Dia menghapus air mata yang mulai membasahi pipinya dan berjalan menuruni tangga. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat seseorang berdiri di depan pintu rumahnya—Dean, dengan wajah basah kuyup, membawa payung yang sudah setengah rusak. “Dean?” Lia menatapnya dengan mata membelalak. “Aku harus bicara,” katanya langsung, tanpa basa-basi. Dean me
Hujan turun perlahan di pagi itu, membasahi jalan-jalan kecil di sekitar taman tempat keputusan Lia diutarakan beberapa hari lalu. Lia duduk di bangku panjang di halaman belakang rumahnya, ditemani secangkir teh hangat yang hampir dingin. Matanya menatap kosong pada bunga mawar yang bergoyang lembut dihembus angin. Ponselnya tergeletak di samping, layar yang menyala hanya menampilkan notifikasi biasa—tidak ada pesan dari Dean, tidak ada kabar dari Raka. Sejak hari itu, keduanya menghilang dari hidup Lia seperti daun yang gugur dihembus badai. Hatinya berusaha menerima keheningan ini sebagai konsekuensi dari keputusannya, tetapi bagian kecil dalam dirinya masih merindukan kehadiran mereka. Kehilangan dua pria yang begitu berarti membuat dunianya terasa kosong. Di sudut lain kota, Raka berdiri di depan rak-rak tinggi di perpustakaan sekolah. Dia memegang buku yang belum ia baca sama sekali, hanya memutar halaman tanpa benar-benar memperhatikan. “Raka,” suara seorang teman meng
Pagi di sekolah terasa berbeda tanpa kehadiran Raka. Tidak ada lagi suara sepatu basketnya yang biasa terdengar di lorong, atau senyumnya yang sering ia lemparkan tanpa alasan jelas. Lia duduk di kursinya dengan tatapan kosong. Buku catatan di mejanya tetap tertutup, sementara teman-teman sekelasnya sibuk berbincang tentang ujian mendatang.“Lia.”Suara Hana, sahabatnya, membuat Lia tersadar. Lia menoleh, mencoba tersenyum meski lemah.“Lo nggak apa-apa?” tanya Hana, duduk di sampingnya dengan raut khawatir.Lia mengangguk kecil. “Aku... cuma nggak konsen.”Hana mendesah, menatap Lia dengan pandangan penuh simpati. “Gue tau ini berat buat lo. Tapi Raka pasti punya alasan kenapa dia pergi.”“Gue ngerti,” jawab Lia, menundukkan kepala. “Tapi kenapa rasanya kayak gue yang salah?”Hana tidak langsung menjawab. Ia hanya meraih tangan Lia, memberikan dukungan dalam diam. Lia tahu Hana mencoba membantu, tetapi perasaan bersalah itu tetap menghantui.Malam itu, Lia mencoba menghubungi Raka. T
Seminggu setelah pertandingan persahabatan itu, hidup Lia kembali terasa seperti berjalan di atas pasir bergerak. Ia mencoba fokus pada pelajaran, tetapi pikirannya selalu terlempar ke momen saat bertemu Raka. Ucapannya masih terngiang: “Kadang, kita harus kehilangan sesuatu buat ngerti apa yang benar-benar penting.”Namun, pagi itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Ketika Lia membuka loker, ia menemukan sebuah surat terlipat rapi di dalamnya. Tidak ada nama pengirim, tetapi tulisan tangan yang familier membuat jantung Lia berdebar.Dengan tangan gemetar, Lia membuka surat itu.*“Lia,Aku nggak tahu apakah aku benar-benar siap menulis ini. Tapi setelah pertandingan kemarin, ada banyak hal yang ingin aku sampaikan.Aku tahu aku bilang kita butuh waktu untuk masing-masing, dan aku masih percaya itu. Tapi aku juga nggak bisa menyangkal kalau aku kangen. Aku kangen semua obrolan kita, tawa kita, dan cara kamu selalu bikin hari-hari aku terasa lebih berarti.Mungkin aku bodoh karena menul
Pagi itu, Lia duduk di sudut kamar sambil memandangi ponselnya. Percakapan dengan Raka di taman masih terngiang jelas di benaknya. Namun, di sisi lain, Dean terus muncul dalam pikirannya, dengan senyum hangat dan tatapan penuh kepastian.Dia berada di persimpangan yang tak pernah ia bayangkan. Bagaimana ia bisa memilih? Bagaimana ia bisa adil pada keduanya, terutama ketika hatinya sendiri terasa terbelah dua?Pesan masuk mengalihkan perhatian Lia. Itu dari Dean.“Lia, aku tahu kamu mungkin masih bingung. Tapi aku harap kita bisa bicara. Aku di tempat biasa sore ini kalau kamu mau datang.”Lia memandang pesan itu lama. Ia tahu ia tidak bisa terus menghindari Dean, tetapi hatinya belum siap untuk menghadapi kenyataan.Sore itu, Lia akhirnya memutuskan untuk menemui Dean di kafe kecil tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Ketika ia masuk, Dean sudah duduk di meja sudut, dengan secangkir kopi di depannya.“Lia,” sapa Dean, berdiri untuk menyambutnya. Wajahnya penuh harap, tetap
Langit sore dipenuhi warna oranye keemasan, tapi suasana hati Lia sama sekali tidak secerah itu. Ia duduk di bangku taman sekolah, sendirian. Di tangannya, sebuah buku catatan terbuka, tapi tak satu pun kata tercatat di sana. Lia memandang kosong ke depan. Udara dingin sore itu menusuk kulitnya, tapi pikirannya terlalu penuh untuk peduli. Ia mengingat percakapannya dengan Dean beberapa hari lalu. "Apa aku masih punya tempat di hati kamu?" Kata-kata itu terus menghantuinya, seperti rekaman yang diputar ulang di dalam kepalanya. Ia tahu Dean pantas mendapatkan jawaban, tapi mengucapkannya terasa seperti menarik napas di bawah air—sulit dan menyakitkan. "Kenapa semuanya jadi serumit ini?" gumam Lia, suaranya hampir tak terdengar. Daun-daun berguguran di sekelilingnya, jatuh perlahan seperti waktu yang terus berjalan tanpa ampun. Lia tahu dia harus memilih, tapi bagaimana mungkin ia bisa memutuskan tanpa melukai salah satu dari mereka? Langkah kaki yang berat terdengar mende
Langit mulai mendung ketika Lia melangkah keluar dari rumahnya. Jantungnya berdegup kencang, seperti genderang yang tak henti-henti dipukul. Dia telah mengatur pertemuan dengan Dean dan Raka di taman kota. Kali ini, dia tak bisa lagi menghindar. Saat tiba di taman, angin dingin menyambutnya, membuat rambutnya yang terurai berkibar pelan. Taman itu tampak sepi, hanya ada beberapa orang yang duduk di bangku. Lia melihat ke sekitar, mencari sosok Dean dan Raka. Dean adalah yang pertama datang. Dia mengenakan jaket denim favoritnya, dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Wajahnya tampak tenang, tapi ada kekhawatiran di matanya yang membuat Lia merasa semakin bersalah. “Hai,” Dean menyapa, suaranya lembut. Lia mencoba tersenyum, meski hatinya terasa berat. “Hai. Terima kasih sudah datang.” Tak lama kemudian, Raka muncul. Dia berjalan dengan langkah tegap, matanya langsung mengarah ke Lia. Tidak ada senyuman di wajahnya, hanya tatapan yang penuh arti. Lia menelan ludah. Kedua
Langit masih berwarna abu-abu ketika Dean memutuskan untuk pergi ke rumah Lia. Pikirannya dipenuhi oleh percakapan mereka terakhir kali. Kata-kata Lia tentang kebingungan dan jarak yang tak terjelaskan terus berputar di kepalanya, seperti angin yang tak berhenti berhembus di malam yang dingin. terkeju Dia berdiri di depan pagar rumah Lia, ragu-ragu. Biasanya, langkahnya tegas saat mengunjungi Lia. Tapi kali ini, ada sesuatu yang menahannya. Dean menghela napas panjang, kemudian mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Dia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Akhirnya, pintu terbuka, dan Lia berdiri di sana, tampak terkejut. “Dean? Pagi-pagi begini kamu ke sini? Ada apa?” tanya Lia, suaranya terdengar bingung namun lembut. Dean mencoba tersenyum, meski senyumnya terasa dipaksakan. “Aku cuma... pengen ngobrol. Nggak apa-apa kalau kamu sibuk.” Lia menggeleng, membukakan pintu lebih lebar. “Masuk aja.” Di ruang tamu, mereka duduk berseberangan. Suasana hening menyelimuti mereka,
Malam yang cerah menyelimuti kota, bulan menggantung sempurna di langit, memancarkan sinar lembut yang menembus tirai jendela kamar Lia. Di balkon, Lia berdiri dengan secangkir teh hangat di tangannya, menatap langit penuh bintang. Hatinya terasa lebih tenang setelah melewati minggu-minggu penuh kegelisahan. Keputusan yang ia buat telah menjadi titik balik dalam hidupnya, dan ia tahu ini adalah langkah awal dari perjalanan baru. Ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi. Sebuah pesan dari Dean. “Ada waktu buat ngobrol? Aku di depan kosanmu.” Lia tersenyum tipis. Tanpa berpikir panjang, ia meraih jaketnya dan menuruni tangga. Di luar, Dean berdiri bersandar pada motornya. Ia mengenakan jaket kulit hitam yang membuatnya terlihat lebih santai dari biasanya. Ketika melihat Lia muncul, dia tersenyum hangat, menyembunyikan sedikit kegugupan di balik matanya. “Hai,” sapa Dean pelan. “Hai juga,” jawab Lia. “Kenapa nggak
Lia berdiri di depan cermin, tangannya merapikan rambut yang sedikit berantakan. Pikirannya sibuk memutar ulang percakapan terakhirnya dengan Raka beberapa hari lalu. Sesekali, ia menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah atas keputusan yang ia buat. Tapi di saat yang sama, ada kelegaan. Dia memandangi pantulan dirinya dengan sorot mata yang penuh pertanyaan. Apakah ini jalan yang benar? Apakah keputusannya memilih Dean adalah langkah terbaik? Hatinya menggelayut di antara rasa percaya diri dan keraguan yang tak henti-henti menghantui. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. “Lia, kita udah telat. Dean nunggu di bawah,” seru Ayu, teman sekamarnya, dengan nada ceria. Lia menarik napas dalam, mencoba menghapus pikiran-pikiran yang membebani. Dia melangkah keluar dengan senyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat. Di kafe kampus, Dean sudah duduk menunggu. Dia sedang sibuk memeriksa laptopnya, tetapi saat
Raka berjalan perlahan meninggalkan taman kampus, langkahnya berat seperti menahan beban tak kasatmata. Suara tawa kecil yang samar terdengar dari arah belakang membuat dadanya terasa sesak, tapi ia tidak menoleh. Angin sore menerpa wajahnya, menyapu rambutnya yang sedikit berantakan.Pikirannya bercampur aduk. Antara menyesali apa yang tidak pernah ia lakukan dan mencoba menerima kenyataan bahwa Lia telah memilih.Sesampainya di parkiran, ia duduk di jok motornya tanpa menyalakan mesin. Wajahnya menghadap ke langit yang semakin gelap, seakan mencari jawaban dari kekosongan yang tiba-tiba menyelimutinya.Dia memejamkan mata, mencoba mengingat senyum Lia, suara lembutnya, dan momen-momen kecil yang dulu terasa berarti. Namun, bayangan itu kini terasa seperti serpihan kaca yang menyakitkan saat disentuh.Suara dering ponsel membuyarkan lamunannya. Raka membuka layar, nama “Arin” tertera di sana.Ia menghela napas sebelum menjawab. “Hal
Langit sore mulai berubah jingga saat Lia berdiri di depan gedung kampus. Angin berembus lembut, menggoyangkan helaian rambutnya yang terurai. Tatapannya menerawang jauh, seakan pikirannya berada di tempat lain.“Lia.”Suara itu memecah lamunannya. Ia menoleh dan menemukan Dean berdiri tak jauh darinya. Senyum tipis terukir di wajah lelaki itu, meski ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuat dada Lia sedikit bergetar.“Aku sudah menunggumu.”Lia menarik napas dalam-dalam. Ia tahu percakapan ini tak bisa dihindari. Setelah semua yang terjadi, setelah kebingungan yang selama ini menghantuinya, mungkin ini saatnya mengambil keputusan.“Kita bicara di taman belakang?” usul Dean.Lia mengangguk. Mereka berjalan berdampingan, namun ada jarak tipis di antara mereka—seperti tembok tak kasatmata yang memisahkan perasaan mereka.Saat mereka tiba di taman, senja sudah hampir tenggelam. Langit berubah menjadi ungu keemasan, m
Senja mulai turun saat Lia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang di taman kampus. Angin sepoi-sepoi mengibaskan ujung rambutnya, namun ia tak peduli. Tatapannya tertuju pada secarik kertas yang ia genggam erat—surat dari Raka.Ia membaca ulang tulisan tangan yang familiar itu, berusaha memahami isi hati Raka yang terukir dalam kata-kata."Lia,Aku tahu hubungan kita telah melalui banyak pasang surut. Aku berterima kasih untuk setiap momen yang pernah kita bagi. Tapi aku sadar, terkadang cinta adalah tentang melepaskan. Aku ingin kamu bahagia, Lia, meskipun itu berarti aku harus mundur. Dean adalah orang yang tepat untukmu, dan aku yakin dia bisa memberikan kebahagiaan yang selama ini kamu cari.Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Kamu selalu ada di hatiku, tapi aku harus melangkah maju.Terima kasih untuk segalanya.-Raka"Hati Lia mencelos membaca baris terakhir itu. Ada rasa haru, bersamaan dengan rasa lega. Ia tah
Langit pagi terasa cerah, dengan sinar matahari lembut menyinari jalanan kampus yang mulai ramai oleh mahasiswa yang berlalu-lalang. Suara tawa dan percakapan ringan menggema di lorong-lorong, menyelimuti suasana kampus yang penuh kehidupan. Lia berjalan pelan menuju kelasnya, dengan tas selempang tergantung di bahu. Namun, di tengah keramaian itu, pikirannya melayang, terjebak dalam euforia percakapannya dengan Dean semalam.Ia tidak bisa berhenti tersenyum. Segala yang terjadi antara dirinya dan Dean terasa seperti mimpi. Setelah sekian lama berada dalam kebingungan tentang perasaan mereka, akhirnya semuanya jelas. Tapi di balik kebahagiaannya, ada perasaan lain yang berusaha ia sembunyikan—rasa bersalah pada Raka.“Lia!” Sebuah suara memanggilnya dari kejauhan.Lia menoleh dan melihat Dean berlari kecil ke arahnya, dengan senyuman khas yang selalu berhasil membuatnya merasa tenang.“Hai,” sapa Lia, berhenti di depan pintu kelas.“
Matahari pagi menyinari halaman kampus yang mulai ramai oleh para mahasiswa. Suara riuh dari para mahasiswa baru yang berlatih drama di aula terdengar sampai ke sudut taman kampus. Lia duduk di bangku kayu dengan sebuah buku terbuka di pangkuannya. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.Ia menoleh ke kanan, tempat Dean tengah berbicara dengan beberapa temannya. Sesekali tawa Dean terdengar, dan itu cukup untuk membuat jantung Lia berdegup sedikit lebih cepat. Sejak kompetisi debat kemarin, hubungan mereka semakin terasa berbeda. Ada kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, dan ia tahu, perlahan perasaannya terhadap Dean menjadi lebih jelas.“Lia!” Sebuah suara memanggilnya.Lia menoleh dan melihat Raka berjalan ke arahnya, membawa dua gelas kopi di tangan. Ada senyum kecil di wajah Raka, tetapi ia terlihat lebih tenang daripada sebelumnya.“Hai, Raka,” sapa Lia, memberikan ruang di bangku untuknya. “Kopi untukku?”
Hujan gerimis turun membasahi kota di sore itu. Langit tampak kelabu, seperti cerminan suasana hati Raka. Ia duduk di sebuah kedai kopi kecil yang berada di pinggir jalan, memandangi orang-orang yang berlalu lalang dengan payung warna-warni. Secangkir kopi hitam di depannya sudah mulai dingin, tapi ia tidak peduli.Pikirannya melayang pada kejadian pagi tadi. Ia sempat melihat Lia dan Dean berjalan bersama di koridor kampus, dengan senyum yang begitu tulus di wajah mereka. Meski sudah bertekad untuk menerima kenyataan, ada bagian kecil di hatinya yang masih terasa perih."Kenapa masih terasa sulit?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah suara rintik hujan.Pintu kedai terbuka, mengundang angin dingin masuk ke dalam. Raka mendongak, dan matanya bertemu dengan seorang gadis berambut panjang yang basah kuyup karena hujan. Ia mengenakan mantel kuning cerah, tapi rambutnya yang meneteskan air menunjukkan bahwa payung yang ia bawa tidak banyak me
Langit pagi masih dipenuhi rona oranye ketika Lia melangkahkan kaki ke taman kota. Ia sengaja datang lebih awal, mencari ketenangan sebelum menghadapi hari yang penuh keraguan. Aroma embun pagi bercampur dengan harum bunga mawar yang bermekaran di sekeliling membuatnya sedikit lebih tenang.Di tengah hamparan rumput, Lia duduk di bangku kayu yang menghadap kolam kecil. Ia menggenggam secangkir cokelat hangat yang dibawanya dari rumah, sesekali menyeruputnya perlahan. Pandangannya menerawang, memikirkan dua orang yang selama ini mengisi dunianya."Dean..." gumamnya pelan, suaranya tenggelam di antara kicauan burung.Dean, dengan segala ketulusannya, selalu ada untuknya, bahkan di saat Lia sendiri merasa sulit memahami dirinya. Namun, ada Raka, sahabat yang sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak kecil, yang kehadirannya begitu akrab hingga kadang terasa seperti udara—penting, tapi sering kali terlupakan.Lia menarik napas panjang, mencoba men