Langit mendung menggelayut di atas lapangan sekolah. Angin sore yang dingin menerpa wajah Lia saat ia berdiri di dekat tribun, memandang sekelompok siswa yang sedang latihan voli. Namun, pikirannya tidak berada di sana. Pikirannya penuh oleh suara Dean dan tatapan Raka yang seakan mengikutinya ke mana pun ia pergi. โLia!โ Suara Lila membuyarkan lamunannya. Sahabatnya mendekat dengan napas terengah, membawa dua kaleng minuman. โThanks,โ gumam Lia, mengambil kaleng itu tanpa menatap Lila. โKamu oke? Sejak kapan sih kamu jadi suka merenung gini?โ Lila mencondongkan tubuhnya, memandangi wajah Lia dengan tatapan menyelidik. โAku nggak apa-apa,โ balas Lia singkat. โTapi kamu jelas kelihatan nggak baik.โ Lila meneguk minumannya, lalu melanjutkan dengan suara lebih pelan. โIni gara-gara Dean, ya? Atau... Raka?โ Lia terdiam. Angin yang menerpa rambutnya seakan membawa beban yang tak kasatmata. Akhirnya ia mengangguk perlahan. โAku nggak tahu, Lil. Semua ini terlalu rumit.โ Suar
Hujan deras kembali mengguyur kota sore itu. Lia duduk di dekat jendela kamarnya, memandangi tetesan air yang berlarian di kaca seperti pikirannya yang berkejaran tanpa henti. Tangannya gemetar memegang secarik kertas berisi tulisan yang baru saja ia buat. โRaka, aku nggak pernah bermaksud menyakitimu. Tapi aku harus jujur pada diriku sendiri.โ Dia berhenti membaca, membuang napas berat. Kertas itu diremasnya, dilempar ke lantai bersama beberapa lembar lainnya. Tidak ada kata-kata yang terasa cukup untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan. โLia!โ suara ibunya dari lantai bawah menyadarkannya. โSebentar!โ jawabnya dengan nada tergesa. Dia menghapus air mata yang mulai membasahi pipinya dan berjalan menuruni tangga. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat seseorang berdiri di depan pintu rumahnyaโDean, dengan wajah basah kuyup, membawa payung yang sudah setengah rusak. โDean?โ Lia menatapnya dengan mata membelalak. โAku harus bicara,โ katanya langsung, tanpa basa-basi. Dean me
Hujan turun perlahan di pagi itu, membasahi jalan-jalan kecil di sekitar taman tempat keputusan Lia diutarakan beberapa hari lalu. Lia duduk di bangku panjang di halaman belakang rumahnya, ditemani secangkir teh hangat yang hampir dingin. Matanya menatap kosong pada bunga mawar yang bergoyang lembut dihembus angin. Ponselnya tergeletak di samping, layar yang menyala hanya menampilkan notifikasi biasaโtidak ada pesan dari Dean, tidak ada kabar dari Raka. Sejak hari itu, keduanya menghilang dari hidup Lia seperti daun yang gugur dihembus badai. Hatinya berusaha menerima keheningan ini sebagai konsekuensi dari keputusannya, tetapi bagian kecil dalam dirinya masih merindukan kehadiran mereka. Kehilangan dua pria yang begitu berarti membuat dunianya terasa kosong. Di sudut lain kota, Raka berdiri di depan rak-rak tinggi di perpustakaan sekolah. Dia memegang buku yang belum ia baca sama sekali, hanya memutar halaman tanpa benar-benar memperhatikan. โRaka,โ suara seorang teman meng
Pagi di sekolah terasa berbeda tanpa kehadiran Raka. Tidak ada lagi suara sepatu basketnya yang biasa terdengar di lorong, atau senyumnya yang sering ia lemparkan tanpa alasan jelas. Lia duduk di kursinya dengan tatapan kosong. Buku catatan di mejanya tetap tertutup, sementara teman-teman sekelasnya sibuk berbincang tentang ujian mendatang.โLia.โSuara Hana, sahabatnya, membuat Lia tersadar. Lia menoleh, mencoba tersenyum meski lemah.โLo nggak apa-apa?โ tanya Hana, duduk di sampingnya dengan raut khawatir.Lia mengangguk kecil. โAku... cuma nggak konsen.โHana mendesah, menatap Lia dengan pandangan penuh simpati. โGue tau ini berat buat lo. Tapi Raka pasti punya alasan kenapa dia pergi.โโGue ngerti,โ jawab Lia, menundukkan kepala. โTapi kenapa rasanya kayak gue yang salah?โHana tidak langsung menjawab. Ia hanya meraih tangan Lia, memberikan dukungan dalam diam. Lia tahu Hana mencoba membantu, tetapi perasaan bersalah itu tetap menghantui.Malam itu, Lia mencoba menghubungi Raka. T
Seminggu setelah pertandingan persahabatan itu, hidup Lia kembali terasa seperti berjalan di atas pasir bergerak. Ia mencoba fokus pada pelajaran, tetapi pikirannya selalu terlempar ke momen saat bertemu Raka. Ucapannya masih terngiang: โKadang, kita harus kehilangan sesuatu buat ngerti apa yang benar-benar penting.โNamun, pagi itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Ketika Lia membuka loker, ia menemukan sebuah surat terlipat rapi di dalamnya. Tidak ada nama pengirim, tetapi tulisan tangan yang familier membuat jantung Lia berdebar.Dengan tangan gemetar, Lia membuka surat itu.*โLia,Aku nggak tahu apakah aku benar-benar siap menulis ini. Tapi setelah pertandingan kemarin, ada banyak hal yang ingin aku sampaikan.Aku tahu aku bilang kita butuh waktu untuk masing-masing, dan aku masih percaya itu. Tapi aku juga nggak bisa menyangkal kalau aku kangen. Aku kangen semua obrolan kita, tawa kita, dan cara kamu selalu bikin hari-hari aku terasa lebih berarti.Mungkin aku bodoh karena menul
Pagi itu, Lia duduk di sudut kamar sambil memandangi ponselnya. Percakapan dengan Raka di taman masih terngiang jelas di benaknya. Namun, di sisi lain, Dean terus muncul dalam pikirannya, dengan senyum hangat dan tatapan penuh kepastian.Dia berada di persimpangan yang tak pernah ia bayangkan. Bagaimana ia bisa memilih? Bagaimana ia bisa adil pada keduanya, terutama ketika hatinya sendiri terasa terbelah dua?Pesan masuk mengalihkan perhatian Lia. Itu dari Dean.โLia, aku tahu kamu mungkin masih bingung. Tapi aku harap kita bisa bicara. Aku di tempat biasa sore ini kalau kamu mau datang.โLia memandang pesan itu lama. Ia tahu ia tidak bisa terus menghindari Dean, tetapi hatinya belum siap untuk menghadapi kenyataan.Sore itu, Lia akhirnya memutuskan untuk menemui Dean di kafe kecil tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Ketika ia masuk, Dean sudah duduk di meja sudut, dengan secangkir kopi di depannya.โLia,โ sapa Dean, berdiri untuk menyambutnya. Wajahnya penuh harap, tetap
Langit sore dipenuhi warna oranye keemasan, tapi suasana hati Lia sama sekali tidak secerah itu. Ia duduk di bangku taman sekolah, sendirian. Di tangannya, sebuah buku catatan terbuka, tapi tak satu pun kata tercatat di sana. Lia memandang kosong ke depan. Udara dingin sore itu menusuk kulitnya, tapi pikirannya terlalu penuh untuk peduli. Ia mengingat percakapannya dengan Dean beberapa hari lalu. "Apa aku masih punya tempat di hati kamu?" Kata-kata itu terus menghantuinya, seperti rekaman yang diputar ulang di dalam kepalanya. Ia tahu Dean pantas mendapatkan jawaban, tapi mengucapkannya terasa seperti menarik napas di bawah airโsulit dan menyakitkan. "Kenapa semuanya jadi serumit ini?" gumam Lia, suaranya hampir tak terdengar. Daun-daun berguguran di sekelilingnya, jatuh perlahan seperti waktu yang terus berjalan tanpa ampun. Lia tahu dia harus memilih, tapi bagaimana mungkin ia bisa memutuskan tanpa melukai salah satu dari mereka? Langkah kaki yang berat terdengar mende
Langit mulai mendung ketika Lia melangkah keluar dari rumahnya. Jantungnya berdegup kencang, seperti genderang yang tak henti-henti dipukul. Dia telah mengatur pertemuan dengan Dean dan Raka di taman kota. Kali ini, dia tak bisa lagi menghindar. Saat tiba di taman, angin dingin menyambutnya, membuat rambutnya yang terurai berkibar pelan. Taman itu tampak sepi, hanya ada beberapa orang yang duduk di bangku. Lia melihat ke sekitar, mencari sosok Dean dan Raka. Dean adalah yang pertama datang. Dia mengenakan jaket denim favoritnya, dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Wajahnya tampak tenang, tapi ada kekhawatiran di matanya yang membuat Lia merasa semakin bersalah. โHai,โ Dean menyapa, suaranya lembut. Lia mencoba tersenyum, meski hatinya terasa berat. โHai. Terima kasih sudah datang.โ Tak lama kemudian, Raka muncul. Dia berjalan dengan langkah tegap, matanya langsung mengarah ke Lia. Tidak ada senyuman di wajahnya, hanya tatapan yang penuh arti. Lia menelan ludah. Kedua
Matahari pagi menyinari halaman kampus yang mulai ramai oleh para mahasiswa. Suara riuh dari para mahasiswa baru yang berlatih drama di aula terdengar sampai ke sudut taman kampus. Lia duduk di bangku kayu dengan sebuah buku terbuka di pangkuannya. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.Ia menoleh ke kanan, tempat Dean tengah berbicara dengan beberapa temannya. Sesekali tawa Dean terdengar, dan itu cukup untuk membuat jantung Lia berdegup sedikit lebih cepat. Sejak kompetisi debat kemarin, hubungan mereka semakin terasa berbeda. Ada kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, dan ia tahu, perlahan perasaannya terhadap Dean menjadi lebih jelas.โLia!โ Sebuah suara memanggilnya.Lia menoleh dan melihat Raka berjalan ke arahnya, membawa dua gelas kopi di tangan. Ada senyum kecil di wajah Raka, tetapi ia terlihat lebih tenang daripada sebelumnya.โHai, Raka,โ sapa Lia, memberikan ruang di bangku untuknya. โKopi untukku?โ
Hujan gerimis turun membasahi kota di sore itu. Langit tampak kelabu, seperti cerminan suasana hati Raka. Ia duduk di sebuah kedai kopi kecil yang berada di pinggir jalan, memandangi orang-orang yang berlalu lalang dengan payung warna-warni. Secangkir kopi hitam di depannya sudah mulai dingin, tapi ia tidak peduli.Pikirannya melayang pada kejadian pagi tadi. Ia sempat melihat Lia dan Dean berjalan bersama di koridor kampus, dengan senyum yang begitu tulus di wajah mereka. Meski sudah bertekad untuk menerima kenyataan, ada bagian kecil di hatinya yang masih terasa perih."Kenapa masih terasa sulit?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah suara rintik hujan.Pintu kedai terbuka, mengundang angin dingin masuk ke dalam. Raka mendongak, dan matanya bertemu dengan seorang gadis berambut panjang yang basah kuyup karena hujan. Ia mengenakan mantel kuning cerah, tapi rambutnya yang meneteskan air menunjukkan bahwa payung yang ia bawa tidak banyak me
Langit pagi masih dipenuhi rona oranye ketika Lia melangkahkan kaki ke taman kota. Ia sengaja datang lebih awal, mencari ketenangan sebelum menghadapi hari yang penuh keraguan. Aroma embun pagi bercampur dengan harum bunga mawar yang bermekaran di sekeliling membuatnya sedikit lebih tenang.Di tengah hamparan rumput, Lia duduk di bangku kayu yang menghadap kolam kecil. Ia menggenggam secangkir cokelat hangat yang dibawanya dari rumah, sesekali menyeruputnya perlahan. Pandangannya menerawang, memikirkan dua orang yang selama ini mengisi dunianya."Dean..." gumamnya pelan, suaranya tenggelam di antara kicauan burung.Dean, dengan segala ketulusannya, selalu ada untuknya, bahkan di saat Lia sendiri merasa sulit memahami dirinya. Namun, ada Raka, sahabat yang sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak kecil, yang kehadirannya begitu akrab hingga kadang terasa seperti udaraโpenting, tapi sering kali terlupakan.Lia menarik napas panjang, mencoba men
Pagi di pelataran sekolah terasa lebih tenang dari biasanya. Namun, di sudut lain, suasana hati Lia justru sebaliknya. Ia berjalan pelan melewati koridor sambil menggenggam erat buku catatan kecil di tangannya, tatapan matanya kosong menatap lantai. Sejak malam tadi, pesan singkat dari Dean terus terngiang di benaknya."Besok kita bicara, aku akan menunggumu di taman belakang sekolah."Pesan itu sederhana, tapi cukup untuk membuat tidur Lia tak nyenyak. Ada semacam ketegangan yang belum bisa ia uraikan. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat suara panggilan menyadarkannya."Lia!"Suara Raka membuatnya menoleh. Pemuda itu berdiri tak jauh darinya, mengenakan jaket abu-abu yang sudah menjadi ciri khasnya. Raka tersenyum kecil, meski matanya menyiratkan sesuatu yang berbedaโentah gugup atau ragu."Raka?" Lia mencoba tersenyum, meski wajahnya terlihat lelah."Kenapa pagi-pagi kamu kelihatan murung? Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Ra
Koridor kampus tampak lebih ramai dari biasanya. Mahasiswa berlalu-lalang dengan raut wajah penuh semangat. Hari itu, ada presentasi besar yang ditunggu-tunggu oleh semua fakultas. Lia, Dean, dan Raka menjadi pusat perhatian karena mereka tergabung dalam tim yang akan mempresentasikan proyek unggulan kampus.Lia duduk di sudut ruangan, memeriksa ulang bahan presentasinya dengan teliti. Di sebelahnya, Dean sibuk mengatur slide presentasi di laptop, sesekali melirik ke arah Lia untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.โKamu udah siap?โ tanya Dean sambil memutar layar laptop ke arah Lia.Lia mengangguk kecil. โIya, cuma sedikit deg-degan aja.โDean tersenyum, menepuk pundaknya pelan. โKamu bakal hebat, seperti biasa.โDari kejauhan, Raka memperhatikan keduanya. Meski senyuman tipis terlukis di wajahnya, ada sedikit rasa hampa yang tak bisa ia abaikan. Namun, ia tahu bahwa keputusan Lia sudah jelas, dan ia harus belajar menerim
Pagi itu, langit cerah tanpa satu pun awan menggantung. Udara dingin sisa hujan semalam masih terasa, namun sinar matahari mulai menghangatkan suasana. Lia berdiri di depan cermin kamarnya, memandang bayangannya sendiri dengan napas tertahan. Ia tahu, hari ini akan menjadi hari yang penting.Setelah menata rambutnya dengan sederhana, ia mengambil ponsel di meja. Pesan dari Dean yang masuk semalam kembali terngiang di pikirannya. โBesok kita makan bareng, ya? Aku mau ngobrol sesuatu sama kamu.โSebuah ketukan di pintu mengalihkan perhatian Lia. โLia, kamu nggak telat kan? Mau aku anter?โ suara ibunya terdengar dari balik pintu.โNggak kok, Bu. Aku jalan sebentar lagi,โ jawab Lia sambil mengambil tas. Ia mencoba menenangkan debaran di dadanya.Dean sudah menunggu di meja dekat jendela ketika Lia tiba. Ia tampak santai dengan kemeja putih dan jeans gelap, namun ada ketenangan yang berbeda dari raut wajahnya. Saat melihat Lia mendekat, Dean
Udara pagi yang segar menyelimuti taman kampus. Lia berjalan dengan langkah ringan menuju fakultasnya. Matahari bersinar cerah, seolah memantulkan perasaan lega di hatinya. Setelah sekian lama terjebak dalam kebimbangan, akhirnya ia mengambil keputusan yang memberinya ketenangan.Keputusannya memilih Dean sebagai pasangannya bukanlah hal yang mudah. Lia menyadari betul bahwa ada hati yang mungkin terluka, yaitu Raka, seseorang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Namun, ia percaya bahwa kejujuran adalah cara terbaik untuk menghadapi segalanya.Dean sudah menunggunya di depan gedung fakultas. Wajahnya berseri-seri, matanya menyiratkan rasa bahagia yang tidak bisa ia sembunyikan. Ketika Lia menghampirinya, Dean langsung tersenyum lebar.โPagi, Lia,โ sapa Dean lembut.โPagi,โ jawab Lia dengan senyum tipis.Dean meraih tas Lia dengan santai, menawarkan untuk membawanya. Lia membiarkannya, merasa nyaman dengan perhatian keci
Bab 87: Keputusan yang Tak TerhindarkanPagi yang cerah menyelimuti kota. Sinar matahari menembus tirai jendela kamar Lia, membangunkannya dari tidur yang tidak nyenyak. Sepanjang malam, pikirannya terus berputar. Pilihan antara Dean dan Raka seperti dua jalan berbeda yang harus ia tentukan, tetapi keduanya sama-sama memiliki kenangan yang melekat di hati.Lia duduk di tepi ranjang, menatap keluar jendela. Jalanan kampus mulai ramai oleh mahasiswa yang berlalu-lalang, membawa semangat hari baru. Tapi ia merasa kosong. Sebuah pesan singkat dari Dean masih menggantung di ponselnya:โAku butuh jawaban, Lia. Tapi aku nggak mau kamu merasa terburu-buru.โPesan itu sederhana, tetapi memiliki bobot yang berat. Lia tahu Dean berusaha memberinya ruang untuk berpikir, namun ia tidak bisa mengabaikan rasa sakit yang mungkin dirasakan pria itu.Dia bangkit, melangkah menuju meja belajarnya, di mana ada kotak kecil yang disimpan sejak lama. Isinya adalah b
Langit sore di kampus perlahan berubah jingga. Burung-burung terbang kembali ke sarangnya, menciptakan pemandangan indah di atas taman belakang fakultas. Lia melangkah perlahan di jalan setapak, membawa dirinya menuju tempat pertemuan yang diminta Dean. Pesan di ponselnya yang berbunyi, "Ketemu di taman belakang, jam 4 sore. Ada yang mau aku omongin." terus terngiang-ngiang.Ia berhenti sejenak di bawah pohon beringin besar yang menaungi taman. Dari kejauhan, ia sudah melihat Dean berdiri dengan postur santainya. Pria itu bersandar pada pagar besi, wajahnya setengah tertutup oleh sinar matahari yang menyinari rambut kecokelatannya. Ada sesuatu dalam cara dia menungguโtenang tapi penuh ketegasanโyang selalu membuat Lia merasa ada sesuatu yang besar sedang menunggunya.โHei,โ suara Dean memecah keheningan saat Lia semakin dekat.โHey,โ jawab Lia, mencoba menyembunyikan kegugupannya.โDuduk, yuk,โ ajak Dean, menunjuk bangku kayu di bawah pohon f