Bab 2

Dean memandangi papan jadwal kegiatan OSIS di ruangannya. Ruangan itu sepi, hanya ditemani suara jam dinding yang berdetak. Wajahnya tetap tenang, tapi tangannya yang menggenggam pena tampak sedikit gemetar. Ia menghela napas panjang.

“Semua harus berjalan sempurna,” gumamnya pelan.

Piala yang dijatuhkan Lia kemarin terus terbayang di pikirannya. Itu bukan sekadar benda bagi Dean. Piala itu adalah simbol kerja kerasnya selama bertahun-tahun—sesuatu yang ia perjuangkan mati-matian untuk membuktikan dirinya kepada ayahnya.

Ayah Dean selalu menuntut kesempurnaan. Bagi beliau, sebuah kesalahan kecil adalah tanda kelemahan. Jadi, ketika piala itu rusak, Dean merasa seolah-olah ia sendiri yang gagal menjaganya.

Tapi, saat wajah Lia terlintas di pikirannya, ia mengerutkan dahi.

“Kenapa aku harus peduli? Dia cuma anak baru yang ceroboh,” katanya keras, seolah untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ada sesuatu tentang Lia yang membuatnya sulit untuk diabaikan—sesuatu yang membuat emosinya bercampur aduk antara marah dan penasaran.

Lia berdiri di depan pintu kelas, mencoba mengatur napasnya. Hari kedua, pikirnya, adalah kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Tapi kenyataan berbicara lain.

Ketika ia masuk ke kelas, bisikan-bisikan yang sama mulai terdengar. Beberapa siswa meliriknya dengan tatapan meremehkan. Lia mencoba mengabaikannya, tetapi bisikan itu terasa seperti jarum yang menusuk.

“Dia yang kemarin bikin piala jatuh, kan?”

“Pasti nggak akan bertahan lama di sini.”

Lia meremas erat tali tasnya. Ia ingin meneriaki mereka untuk berhenti, tetapi ia tahu itu hanya akan membuatnya terlihat lebih lemah.

Saat duduk di bangkunya, ia mendengar suara langkah yang sudah ia kenal—langkah Dean yang tegas dan penuh keyakinan. Tanpa sadar, Lia menunduk, berharap tidak menarik perhatiannya. Tapi harapan itu sia-sia.

“Lia,” panggil Dean dengan nada datar. Semua siswa langsung menoleh.

Lia mengangkat wajahnya perlahan. “Iya?”

Dean mendekat dengan tatapan tajam. “Setelah kelas selesai, temui aku di ruang OSIS.”

Tanpa menunggu jawaban, Dean berbalik dan berjalan pergi. Lia merasa perutnya seperti diikat simpul. Apa yang ia inginkan dariku sekarang? pikirnya.

Saat kelas berakhir, Lia berjalan menuju ruang OSIS dengan langkah berat. Ia ingin lari, tetapi sesuatu dalam dirinya menolak untuk mundur.

Ketika ia sampai, Dean sudah menunggunya. Ia duduk di meja panjang, tangannya dilipat di atas dada. Wajahnya terlihat dingin, tetapi matanya memancarkan sesuatu yang sulit diartikan.

“Kamu tahu kenapa aku memanggilmu?” tanya Dean tanpa basa-basi.

Lia menggeleng pelan.

“Karena piala itu. Aku mau kamu ikut bertanggung jawab,” jawab Dean dengan nada yang lebih keras dari yang diperlukan.

Lia terkejut. “Tapi… aku sudah bilang kalau itu nggak sengaja.”

“‘Nggak sengaja’ nggak cukup,” potong Dean. “Kamu nggak bisa terus-menerus pakai alasan itu. Kalau kamu mau jadi bagian dari sekolah ini, kamu harus belajar menghadapi konsekuensi dari tindakanmu.”

Lia merasakan darahnya mendidih. Ia sudah cukup menahan rasa malu, dan sekarang Dean memperlakukannya seperti penjahat?

“Kalau begitu, apa yang kamu mau?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar.

Dean menatapnya tajam. “Kamu harus bantu jadi bagian dari panitia acara sekolah minggu depan. Kalau kamu benar-benar peduli, ini saatnya membuktikan diri.”

Lia terdiam, mencoba mencerna kata-kata Dean. Di satu sisi, ia ingin menolak. Tapi di sisi lain, ia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa ia tidak selemah yang Dean pikirkan.

“Baiklah,” jawabnya akhirnya.

Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan ketegangan antara Dean dan Lia. Sebagai ketua panitia, Dean tidak segan-segan memberikan kritik tajam setiap kali Lia membuat kesalahan.

“Kamu nggak bisa masang poster seperti ini. Nggak simetris,” komentarnya saat Lia mencoba menempelkan poster di dinding aula.

Lia mengerutkan kening. “Ini cuma poster. Apa pentingnya kalau sedikit miring?”

Dean melotot. “Segala sesuatu penting. Kalau kamu nggak peduli dengan detail kecil, kamu nggak akan pernah berhasil.”

Lia merasa frustrasi, tetapi ia menolak untuk mundur. Setiap kali Dean mengkritik, ia mencoba untuk memperbaiki diri—bukan untuk menyenangkan Dean, tetapi untuk membuktikan bahwa ia bisa melakukannya.

Namun, di balik semua ketegangan itu, ada momen-momen kecil yang membuat Lia bingung. Kadang-kadang, Dean terlihat melunak, seperti saat ia membantu Lia mengangkat kotak alat dekorasi tanpa berkata apa-apa.

“Kenapa dia kadang seperti ini?” pikir Lia, merasa bingung dengan perilaku Dean yang tak terduga.

Suatu hari, ketika Lia sedang sendirian di aula, ia mendengar suara langkah Dean. Ia berbalik, berharap tidak perlu menghadapi kritik lagi. Tapi kali ini, Dean tidak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di sana, memperhatikan Lia dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Apa?” tanya Lia akhirnya, merasa tidak nyaman dengan keheningan itu.

Dean menggeleng. “Nggak ada. Aku cuma… ingin memastikan semuanya berjalan lancar.”

Ada sesuatu dalam nada suaranya yang berbeda—tidak setajam biasanya. Lia merasa ada sisi lain dari Dean yang tersembunyi di balik sikap dinginnya, tetapi ia tidak tahu apa itu.

Saat Dean pergi, Lia merasa dadanya sedikit lebih ringan. Ia tidak tahu kenapa, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, ada alasan di balik semua sikap ketus Dean.

Lia dan Dean masih berada di jalur perseteruan, tetapi ada dinamika baru yang mulai terbentuk. Di satu sisi, mereka terus berselisih, tetapi di sisi lain, ada percikan emosi yang mulai muncul, meskipun keduanya belum menyadarinya sepenuhnya.