"Aah Vira, Lily, kalian ke mana aja?" tanya bartender yang sudah lama bekerja di bar ini. Dulu dia begitu akrab dengan keduanya yang selalu mampir.
Keduanya melambaikan tangan dengan senyuman ceria. "Biasa gue sibuk kerja Ren," jawab Lily yang menyebut akrab nama bartender itu. Reno lalu menatap wajah Zavira yang begitu kusut meski ditutupi senyuman manisnya. "Nah, kayaknya ke sini ada masalah, boleh dong manis cerita," ujar Reno sembari mengelap gelas yang akan ia sediakan untuk kedua temannya. Zavira lalu duduk di kursi tinggi, terdapat meja bar di depannya serta buku berisi banyak menu minuman ber-alkohol. "Haaah … Aku baru putus sama pacar, aku juga dipecat dari kerjaan," jelas Zavira tanpa merasa malu, ia lalu mengambil gelas kecil berisi air putih yang Reno siapkan. Reno menatap prihatin, "mau kerja di sini gak? Tenang aja, aku kenal deket sama managernya, gak perlu hal ribet langsung kerja besok boleh," ucapnya begitu manis membuat Zavira berbinar-binar, ia lalu menatap Lily. "Ya kalau kamu mau kerja aja." Lily menyetujui, daripada sahabatnya bosan sendirian di rumah, lebih baik kerja di bar, pikirnya. "Bentar, aku panggil manager dulu." Sebelum pergi, ia memanggil asistennya agar menyiapkan minuman untuk keduanya. Beberapa menit sembari menunggu, keduanya sudah mabuk karena minuman beralkohol yang dipesan. Asisten bartender bernama Arin menatap Reno yang datang bersama managernya. "Mereka udah tumbang?" Reno menatap tak percaya pada keduanya, padahal ia ingin membawa berita kurang mengenakkan. "Belum!" sentak Zavira membuat ketiganya terkejut. Nampak jelas wajah wanita itu merah akibat alkohol, ia bahkan meracau tak jelas. Manager bar yang bernama Mita kini duduk di depan Zavira. Ia mencoba mengajak ngobrol gadis itu, "Zavira, kamu bisa denger aku?" Zavira menatap Mita, ia lalu mengangguk, "aku nggak mabuk, tenang aja," ucapnya sembari memukul pipi berkali-kali. Mita terkekeh lalu melirik Reno, "kamu coba kasih tahu nanti lewat telepon, kalo dia udah di black list dari semua tempat biar gak bisa kerja," ujarnya membuat Arin mendengar itu terkejut. "K-Kak Manager, ka-lau boleh tahu dia lakuin hal krimi...nal kah?" tanya Arin gugup dan ragu tetapi ia penasaran. Mita menggelengkan kepalanya, "nggak, aku cuman tahu kalau gak boleh ada yang terima dia kerja atau perusahaannya bakal dibuat bangkrut." Mita menghela napas, merasa kasihan akan nasib Zavira yang saat ini tidak mengetahui apapun. Bruk! Kepala Lily terbentur pada meja sehingga dirinya dapat tersadar dari alkoholnya, "aduh." Ia meringis nyeri akan kepalanya begitu keras terbentur. "Eh Mita? Kamu manager di sini? Manager lama udah diganti kah?" tanya Lily seraya mengulurkan tangannya untuk menjabat. Mita menjabat tangan Lily sembari berkata, "iya, btw kamu aja deh yang bilang, kalau--" Reno segera memotong ucapan Mita, "tunggu Mit, emangnya gak apa kalau dikasih tahu? Apa gak ada konsekuensinya?" Mita terdiam sejenak, Lily menatap keduanya penasaran. "Ada apa?" tanya Lily sembari membereskan barang-barangnya yang entah kenapa berada diluar. Mita menggelengkan kepalanya pada Reno, "lagian nanti juga ketahuan, si bos juga terang-terangan banget bukan? santai aja," ujarnya diangguki oleh Reno lalu ia pun menatap Lily, "jadi gini, ada perusahaan besar yang di mana bosnya ini nge-blacklist Vira dari semua tempat kerja." Lily terdiam sejenak mencerna kata-kata dari Mita selaku temannya semasa SMA dulu. "Kamu serius?" Ia menatap heran pada Mita, seingatnya sahabatnya ini tidak pernah melakukan sesuatu hal aneh atau mencari masalah. Mita menghela napas lalu melirik ke arah Zavira yang sudah tidak ada di tempat. "Lah Zavira di mana?" ia bertanya heran, melirik ke sana kemari mencari keberadaan wanita berkepala tiga itu. Arin dan Reno yang fokus mendengar percakapan Mita juga Lily sama halnya tidak melihat Zavira pergi. Hal itu membuat keempatnya pergi mencari keberadaan Zavira. Sementara di sisi lain, Zavira menarik pria muda untuk masuk ke kamar hotel. Hanya Zavira dalam keadaan mabuk begitu mendominasi pria yang tidak mabuk sama sekali, pria itu hanya terhanyut oleh godaan dari Zavira. *** Deg! Zavira membuka kedua matanya dengan terkejut ketika tangannya meraba-raba dadanya yang tidak dibaluti apapun. "Mampus," gumam Zavira lalu beranjak dari tempat tidur dan melihat pria yang tidur memunggunginya. Pokonya sekarang kabur dulu, batin Zavira mencari pakaiannya yang berserakan di lantai, ia tidak melihat tas atau apapun selain pakainnya membuat Zavira pergi dalam waktu cepat. Berada di lorong hotel, ia melihat ke kanan kiri, hotel yang asing baginya. Namun, ketika mendengar suara pria serta wanita begitu mesra dari kejauhan sangat familiar baginya. Zavira sedikit menengok ke belakang dan benar saja mantan pacarnya bersama selingkuhan kemarin. Tanpa menunggu waktu lama, Zavira berlari ke arah lift, ia sesekali menutupi wajahnya. "Plis cepet tutup tutup," gumam Zavira memencet tombol lift. "Mbak! Jangan tutup pintu liftnya!" pekik Nita pada Zavira yang tidak dikenali karena Zavira menyembunyikan wajahnya. Pintu lift akhirnya tertutup, Zavira bernapas lega karena tidak bertemu dengan keduanya. "Haaaa, kenapa aku masih sedih sih?" ia bertanya heran ketika merasakan matanya memanas. Merasa sakit di hatinya serta bagian kelamin, Zavira meringis dengan bibir dikerucutkan. "Hidup aku rasanya sial banget," gumamnya begitu sedih. Ketika pintu lift terbuka, ia segera keluar dan menghapus air matanya. Berjalan terburu-buru keluar lift, ia merasakan seseorang menatapnya dari kejauhan. Zavira merasa ini hanya firasat semata, segera menepis pikiran itu, pikiran tentang seseorang sedang menatapnya. Tanpa menggunakan taksi atau kendaraan apapun, ia berjalan di pagi hari seorang diri menuju rumahnya. "Kenapa aku gak bawa dompet atau tas sih? Ahk, bahkan hp pun gak ada!" Zavira mendumal kesal, ia terus berjalan lurus untuk menuju rumahnya yang cukup jauh. 15 menit kemudian, Zavira sampai di depan rumahnya, ia melihat mobil miliknya serta beberapa sendal dengan pintu terbuka lebar. "Lily?" ia sedikit berlari masuk ke dalam rumah. Di sana terdapat Reno, Lily yang mengobrol santai menunggu kepulangan si pemilik rumah. "Akhirnya Tuan rumah kita muncul, dari mana aja?" tanya Reno menatap Zavira yang begitu lesu. Zavira menjatuhkan tubuhnya ke sofa, "sial banget asli, siall, aku gak boleh minum alkohol lagi," ucapnya dengan lelah memejamkan mata. Reno dengan peka memijat kaki Zavira yang merasa nyaman lalu memujinya, "ah enak banget, makasih." Reno mengangguk dan ketika ingin menjawab, ia melihat bagian paha Zavira terdapat cupang yang lumayan banyak. "Ohh i see," ucapnya membuat Lily menatap penasaran. "Anjay, menang banyak nih," ucap wanita itu menggoda Zavira. Zavira yang sadar akan ucapan aneh dari keduanya ia abaikan. Rasanya begitu malu untuk menceritakan kejadian tadi untuk saat ini juga. "Tenang aja, lo bisa cerita nanti," ucap Reno di angguki Zavira.Pada akhir pekan, Zavira serta Lily berada di bar. Zavira yang beberapa hari kemarin ingin melamar kerja di bar ini pun ditolak, meski begitu ia memilih tidak bertanya karena terlalu muak. Tidak benci, Zavira merasa malas untuk menanggapi hal ini. Selagi dirinya memiliki uang cukup banyak, ia tidak akan mengemis pekerjaan dan tidak akan bertanya apa alasannya. Awalnya begitu, hingga ketika ia berbincang dengan Lily, pikirannya berubah. "Btw, kamu gak nanya kenapa kamu ditolak kerja di sini juga?" tanya Lily seraya memainkan cangkir kecil berisi alkohol yang terisi setengahnya. "Nggak, kalo emang aku lagi boke bener-bener butuh kerjaan, nanti aku tanya kenapa aku ditolak mulu," jawab Zavira membuat Lily heran. "Lah aneh, kenapa gak sekarang coba?" Lily menangkup dagunya dengan telapak tangan kanan. "Tanya gitu ya?" kini Zavira menimbang saran dari Lily, ia lalu melihat Reno dan beralih menatap Lily seakan meminta jawaban. Lily melihat itu mengangguk serta berkata, "tanya aja, dari
"I-iya halo, saya Zavira Anantha, umur saya 30 tahun," ucapnya menjabat tangan editor Lily bernama Abima. Ia benar-benar tidak menatap sama sekali pada pria di samping Abima. "Nah kalau ini teman saya Nathaniel Hawthorne, dia agak pendiem jadi tolong maklum," kata Abima dengan ramah, meski begitu Zavira tidak melirik sedikit pun pada Nathaniel. Ia tahu yang ia lakukan salah dan semakin ketahuan bahwa dirinya wanita waktu itu. Akan tetapi, Zavira tidak berani untuk menatap pria itu sehingga memilih membuang muka. "Pesen aja makanannya, biar saya yang bayar," suruh Abima diangguki Lily, tanpa menolak wanita itu memesan steak untuk dirinya serta Zavira. Peka akan situasi sahabatnya, Lily sesekali menjawab dan memberitahu informasi tentang Zavira pada Abima. Nathaniel yang sedari tadi diam, ia terus menatap menusuk pada wanita yang duduk di depannya, Zavira. Zavira begitu tertekan, ia bisa merasakan tatapan menusuk dari Nathaniel, dirinya hanya bisa menunduk serta sesekali menatap Lil
Fabian Reith, pria yang sudah lama tidak ia lihat sejak 5 tahun lalu karena pria itu berkuliah di luar negeri. Anak sulung Irna yang selama ini menjadi teman masa kecil Zavira.Fabian menatap Zavira yang menyembunyikan wajahnya seperti anak kecil dipelukan ibunya. Hal ini membuat ia teringat hal lalu saat keduanya masih remaja."Ka-kalau gitu Tante, aku mau ke rumah dulu," ucap Zavira gugup dan terburu-buru, ia menyembunyikan wajahnya agar tidak melihat Fabian yang terus menatapnya.Irna terkekeh melihat tingkah Zavira, ia meminta Fabian untuk menemani Zavira sembari memberikan beberapa makanan agar suasana hatinya membaik."Tapi Bian malu Ma," ujar Fabian, ia belum siap jika mengobrol berduaan dengan Zavira. Dulu ia sempat menyukai temannya itu. Hingga sampai saat ini, Fabian masih menyukainya."Kamu tuh udah 30 tahun umurnya, masak gitu aja malu sih? Cepet ambil kue di kulkas terus kasih ke Vira, jangan malu-malu, kasihan dia selama ini gak ada temennya," omel Irna membuat Fabian ma
"Apa?!" Zavira menyentakkan nadanya ketika mendengar bahwa Nathaniel sudah berada di depan pintu rumahnya. Begitu terburu-buru ia turun dari kasur serta berlari untuk membuka pintu. Nampak Nathaniel dengan kaos putih serta celana panjang biru tua, pria itu menatap dingin pada Zavira. "Jam segini kamu baru bangun?" tanya Nathaniel sembari mematikan sambungan telepon. Zavira menatap jam pada ponselnya, jam menunjukkan pukul 8 lewat 30 menit. "Masuk dulu," ucapnya diangguki Nathaniel yang segera duduk ketika sampai di sofa ruang tamu. "Mau m--" "Nggak, langsung aja buka laptopnya, saya gak mau buang waktu," potongnya membuat Zavira cemberut kesal. Tanpa mengomel ia segera mengambil laptop yang ada di kamarnya lalu kembali ke ruang tamu, ia memilih duduk di lantai beralas karpet bulu. Laptopnya ia taruh di meja serta Nathaniel duduk di sofa sebelah kanannya. "Jadi … Aku harus apa?" tanya Zavira dengan kepala melihat ke arah belakang. Nathaniel yang sedari tadi menatap Zavira, ia te
"Aku malu!" Zavira menutup wajahnya yang memerah. Sementara Lily duduk di depannya, ia telah mendengar ocehan dari Zavira yang mengatakan bahwa dirinya ketahuan oleh Nathaniel akan novelnya. Lily penasaran, jika dia ganti ide, akan menceritakan tentang apa? Ia pun bertanya, "Jadi mau nulis cerita baru apa nih?" Zavira menggelengkan kepalanya, "gak tahu, aku nulis apa dong?" ia malah bertanya balik dengan bibir di kerucutkan. Lily menghela napas, "udah novel awal aja, daripada pusing cari ide baru," saran Lily membuat Zavira menggelengkan kepala cepat. "Gak bisa, gak bisaaaa, ahk aku malu banget bayangin nulis adegan ini itu di depan dia, apalagi dia selalu pengen lihat aku nulis cerita secara langsung," ocehnya dengan kesal. Nathaniel terlalu semena-mena, suatu saat nanti ia akan merobohkan es batu itu! Lihat saja! "Emang ada ide kalo buat cerita baru? Padahal udah seru lho cerita itu, sayang banget diganti," ujarnya dengan tak rela. Menurutnya ide cerita tersebut cukup seru mesk
Suara nada dering begitu nyaring terdengar, Zavira melihat nomor tak dikenal menelponnya. Hal ini membuat Zavira segera mendorong tubuh Fabian, "bentar, aku angkat telpon dulu," ujarnya seraya berjalan menjauh. Fabian mengangguk, ia memilih menunggu dan berjalan mendekati air sehingga kakinya basah. Sementara Zavira nampak tidak berbicara apapun ketika sedang menerima panggilan telepon. "Kamu gila ya?" tanya Zavira akhirnya buka suara dengan kesal, ternyata yang menelpon dirinya adalah sang mantan, ia berkata akan bunuh diri jika Zavira tidak ingin balikan dengannya. "Sana bunuh diri aja, aku gak peduli!" Dengan kesal Zavira menutup telepon itu, lalu ia blokir serta mematikan ponselnya. Zavira melirik ke belakang, Fabian tengah berjalan ke arahnya dengan senyuman manis. "Tadi siapa yang nelpon?" tanyanya penasaran. "Mantan pacar aku, udah yuk pulang aja," ajaknya yang begitu jelas tidak ingin membahas lanjut tentang mantan pacarnya. Fabian memilih diam tidak bertanya, dan mengiy
Keduanya memilih bicara diluar, atau teras dengan pintu rumah sengaja Zavira tutup tetapi tidak rapat. Fabian berdiri di depannya dengan wajah murung. "Waktu mabuk itu, aku udah inget apa yang aku bilang ke kamu," ujarnya kini memegang jari jemari Zavira. Zavira melepaskan pegangan itu, ia bertanya dengan nada ketus. "Terus? Kamu mau apa lagi?" "Aku mau tanggung--" ucapan Fabian segera Zavira potong dengan kesal. "Nggak." Ia berkata begitu tegas dengan sorot mata tajam. "Bayi kamu gimana kalo gak punya peran ayah?" tanya Fabian dengan raut wajah khawatir. "Aku bilang nggak ya nggak, lagian gada tanda-tanda aku hamil kok," jawabnya penuh ketus. "Zavira, kalo nantinya hamil gimana? Biar aku tanggung jawab ..." Ia bersikeras dengan di akhir kalimat terdiam sejenak, melihat Zavira yang menatapnya tajam, sungguh rasanya sakit ditatap seperti itu. Zavira menggelengkan ke
"Aahk coba ngebut dong," pinta Zavira pada Nathaniel yang mengangguk paham. Pasalnya sekarang jam sudah menunjukkan pukul 4 sore lewat 40 menit. Sesampai di perpustakaan, Zavira melihat perpustakaan sudah sepi, tidak ada kendaraan terparkir membuat Zavira berjongkok sedih. "Huwaaa, aku kelamaan belanjanya." Nathaniel segera menarik Zavira, "masih bisa, ayo masuk." Zavira membiarkan Nathaniel menarik masuk ke dalam perpustakaan. Benar saja ternyata ia masih bisa masuk padahal jam sudah menunjukkan pukul 5 lewat 15 menit. "Ah aku ingin baca buku yang lagi virall, kamu mau apa?" tanya Zavira pada Nathaniel yang memilih duduk, ia tidak minat membaca novel karena cukup muak beberapa hari lalu membaca naskah para penulisnya. Berjalan sendiri menyusuri setiap rak besar, Zavira bergumam membaca judul di pinggir buku. "Ish, perasaan di daerah rak ini deh," dumelnya dengan bibir di kerucutkan. Ketika tangannya tak sengaja memegang tangan seseorang, Zavira membeku takut, "ha-hantu?"
Selama dua minggu ini, Aksara sangat sibuk karena mempersiapkan pernikahannya dengan Zavira. Ia begitu tidak sabar untuk mengikat hubungannya dengan Zavira lebih dalam.Zavira yang tidak begitu banyak membantu merasa tidak enak. Ia melihat Aksara baru saja pulang padahal hari ini hari minggu, tetapi pria itu tidak beristirahat."Kenapa kamu gak minta bantuan aku?" Zavira mengusap kepala Aksara dengan lembut, menatapnya penuh kekhawatiran."Aku tak ingin istriku lelah." Ia menyembunyikan wajahnya pada perut Zavira. Mendengar itu, ia terkekeh dan mencubit gemas pipi pria itu. "Terima kasih sudah bekerja keras hari ini."Aksara mengangguk dan menarik selimut menutupi sebagian tubuh keduanya. Zaviea mematikan lampu dan menyalakan lampu tidur, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Angin malam berhembus kencang dari arah balkon. "Aku mau nutup pintu balkon," ucap Zavira mendapati penolakan dari pria itu."Biar aku saja."Zavira menahan tubuh Aksara. "Nggak boleh, kamu capek, istir
"Kamu?" Aksara memincingkan matanya. "Dipecat, tidak alasan lagi, jangan pernah merendahkan calon istriku, ini peringatan untuk kalian semua yang mendengarkan." Aksara menatap pada karyawan lainnya lalu masuk kembali ke dalam lift.Saat pintu tertutup, Zavira menghela napas berat. Ia tida memprotes, sejujurnya ia merasa sakit hati dikatakan demikian. "Ah, harusnya aku berhenti kerja aja ya secepatnya," ucap Zavira dengan perasaan berkecamuk.Aksara menatap dengan khawatir. "Sayang, aku gak mau kamu keluar kerja karena orang lain, tapi kalau kamu gak nyaman, aku bakal ikutin kemauan kamu." Aksara memegang kedua pipi Zavira, menatap lebih sendu pada Zavira yang lebih rendah darinya.Zavira terdiam sejenak lalu berujar, "ah maaf, aku plin plan banget."Aksara menggelengkan kepalanya, "nggak, jangan pikirkan itu, ikuti saja kata hatimu sayang.""Makasih banyak." Ia tersenyum lega, mencoba menghilangkan pikiran negatif dan fokus pada pekerjaannya.Beberapa saat kemudian, Zavira kini keluar
"Maaf, sejujurnya aku takut untuk hamil lagi, meskipun aku bener-bener pengen hamil dan ngandung anak aku," ucap Zavira memegang kedua pipi Aksara agar pria itu tidak mengalihkan pandangannya.Aksara terdiam sementara. "Sayang …, apa kamu pikir pernikahan selalu mengarah tentang hamil?""Menurutku begitu, aku pikir semua cowok gak akan mau sama cewek yang nunda punya anak, mungkin mereka ngerasa lebay kalau lihat istrinya trauma sama hamil." Penjelasan itu membuat Aksara mendengarnya sedih."Sayang, gak semua begitu.""Aku tahu." Kini ia melepaskan genggaman pada pipi Aksara.Aksara lalu berdiri, mengangkat tubuh Zavira dan ia bawa agar wanitanya duduk di atas paha ia. Duduk di pinggir kasur dengan Zavira di atas pahanya, Aksara memulai percakapan dengan cukup dalam."Aku akan selalu berusaha menghargai pendapatmu. Aku menikahimu karena ingin hidup selamanya denganmu. Jika kamu ingin nunda punya anak atau kehamilan, aku tak apa, kita bisa menunggu sampai kamu siap." Aksara tersenyum,
Zavira baru saja pulang dari kantor pada pukul sepuluh malam. Ia sengaja lembur karena sempat libur dua minggu saat kejadian kemarin.Pekerjaan yang menumpuk mengharuskannya menyelesaikan lebih cepat. Dan sesekali ia kelimpungan disebabkan Aksara yang rewel menyuruh Zavira pulang.Kini di parkiran sudah ada mobil Aksara dengan pria itu menyetir di dalamnya. "Lama." Satu kata lolos ketika Zavira baru saja masuk ke dalam."Berapa puluh kali kamu ngomong lama," omel Zavira, ia menarik sabuk pengaman dan menyimpan tas di tempat duduk belakang."Hmm." Aksara berdeham, ia sedikit takut jika ia mengeluh lagi pada Zavira karena keterlambatan pulangnya.Kepala Zavira di sandarkan pada kaca yang setengah terbuka, ia memejamkan mata ketika mobil di jalankan, menikmati hembusan angin malam masuk ke dalam."Mau apa?" tanya Zavira dengan mata masih tertutup.Tangan kiri Aksara yang baru saja ingin memegang rambut si empu terhenti. "Aku …, mau megang rambut kamu." Dengan nada memohon ia menjawab.Za
Masih berada di ruang tamu, Zavira telah selesai mengobati luka pada tangan Aksara. Kini ia masih duduk di atas paha kekasihnya dengan tangan pria itu merengkuh erat pinggangnya.Melirik ke arah telinga Aksara yang memerah, Zavira lalu memegang telinga kekasihnya yang sensitif. "Ah." si empu menahan tangan Zavira agar tidak mengusap sensual telinganya."Kenapa?" Ia memiringkan kepala, menatap Aksara yang menatapnya dengan tatapan aneh."Sensitif," jawab Aksara singkat, ia menarik tangan Zavira agar memegang pipinya saja."Ah aku paham." Zavira mengangguk mengerti, yang ia tahu jakun Aksara lah yang sensitif, ternyata telinga juga sama halnya.Kepala Aksara di sandarkan pada bahu Zavira, kini kedua tangannya memeluk erat pinggang ramping kekasih. "Sayang.""Hmm?" Zavira membalas dengan dehaman, mengusap belakang kepala Aksara dengan ibu jari yang mengelus pinggir matanya."Tidur di kamar bersamaku lagi, ya?" pinta Aksara, ia menatapnya dengan mata berbinar-binar."Iyaa." Zavira mengang
Malam-malam sekali, ketika melihat bulan bersinar indah. Zavira yang ingin melihatnya dari taman, hal itu membuatnya segera keluar kamar dan menuruni anak tangga.Ketika melihat Aksara sedang duduk di sofa sembari bersandar, Zavira seperti biasa akan selalu mengabaikannya. Akan tetapi, kali ini berbeda, Zavira melihat tangan Aksara yang berdarah sedang memegang bunga mawar.Secara perlahan ia mendekati pria itu yang sedang memejamkan matanya, menutup dengan pergelangan tangan kiri sementara telapak tangan telah berdarah serta tangkai mawar yang dicengkram erat.Apa ini perumpamaan? Batin Zavira bertanya. Jika di umpakan, dirinya adalah mawar, lalu duri itu adalah konfliknya.Apa kini Aksara sedang berusaha terus mendapatkan Zavira meski harus melewati konflik hingga mempertaruhkan nyawanya? Entah mengapa Zavira merasa konyol akan perumpamaannya.Ketika ia ingin pergi berlalu, Aksara yang memang tidak tidur sejak awal segera menarik Zavira membuat kekasihnya itu duduk di atasnya.Belum
Pagi-pagi sekali, Zavira keluar dari kamarnya, ia ingin menghirup udara segera setelah kemarin merasa sumpek diam di kamar serta kamar rumah sakit beberapa hari lalu.Ketika ia sedang menuruni anak tangga, Zavira melihat Aksara tanpa mengenakan pakaian hanya dengan celana tidurnya sedang menyeduh teh hangat.Memilih mengabaikan kehadiran pria itu, Zavira terus melanjutkan jalannya menuju pintu. Panggilan dari Aksara yang menyadari kehadirannya tidak membuat langkah Zavira berhenti.Terdengar suara langkah kaki cepat lalu menahan langkahnya. Aksara memeluknya dari belakang dengan wajah murung. "Kamu ingin pergi?"Zavira menggelengkan kepalanya, mendorong tubuh Aksara yang begitu mudah pelukannya terlepas. Biasanya Aksara akan memeluknya dengan erat, tetapi kini pria itu suka rela di dorong.Aksara hanya takut Zavira semakin membencinya, mengingat perkataan kemarin yang ia ketahui bahwa Zavira menyesal menolongnya.Padahal ucapan yang selanjutnya Zavira katakan, ia menyesal mengatakan i
Selama 3 hari di rumah sakit dalam masa pemulihan, Zavira akhirnya di perbolehkan pulang, selama itu pula Zavira masih marah dengan Aksara. Pintu kamar terbuka, Aksara dengan kemeja putih yang nampak berantakan. Ia mencoba membantu Zavira turun dari kasur. Namun, di tepis oleh si empu. "Aku bisa sendiri," ucapnya dengan nada dingin, berjalan mendahului Aksara yang menatap punggung Zavira dengan perasaan sedih. Sungguh ia masih merasa bingung mengapa perkataannya salah. Selama ini ia tak pernah di ajarkan untuk memahami penderitaan yang orang lain rasakan. Orang tuanya hanya melakukan kekerasan padanya. Dari belakang, Aksara membawa tas berisi barang perlengkapan Zavira, sementara kekasihnya itu masih terus berjalan ke depan tanpa melirik ke belakang. Langkah Zavira terhenti ketika di pertengahan lorong, ia meminta tas pada Aksara. "Biar aku yang bawa," ujarnya tanpa mau menatap wajah Aksara sedikit pun. Aksara mengernyitkan keningnya, ia lalu menggelengkan kepala seraya berkata
Terbangun dari pingsannya, Zavira melihat dokter serta suster yang sedang melakukan pengecekkan padanya. "Dokter?" Zavira bertanya lemas, menggerakkan kepalanya, menatap ke segala arah."Ah iya, apakah ada yang sakit?"Zavira menggelengkan kepala pelan, lalu terdiam, "bagian sini, terasa aneh," gumamnya memegang perut.Dokter itu menunjukkan ekspresi sedih, "apa Anda ingin mendengar kabar ini sekarang juga? Jika tidak, saya akan memberitahu saat kondisi Anda benar-benar pulih."Zavira menggelengkan kepalanya, "aku mau denger sekarang juga," pintanya dengan tangan memegang lemas tangan dokter tersebut.Dokter tersebut menghela napas pelan, lalu ia berkata, "Kami telah melakukan pemeriksaan dan menemukan bahwa janin Anda tidak dapat dipertahankan."Zavira terdiam, ia lalu memegang perutnya dengan wajah murungnya. Tunggu, mengapa dirinya tidak sadar bahwa telah hamil?"Sayangnya, kami telah menemukan bahwa janin Anda telah mengalami keguguran karena cedera yang Anda alami," lanjut dokte