"I-iya halo, saya Zavira Anantha, umur saya 30 tahun," ucapnya menjabat tangan editor Lily bernama Abima. Ia benar-benar tidak menatap sama sekali pada pria di samping Abima.
"Nah kalau ini teman saya Nathaniel Hawthorne, dia agak pendiem jadi tolong maklum," kata Abima dengan ramah, meski begitu Zavira tidak melirik sedikit pun pada Nathaniel. Ia tahu yang ia lakukan salah dan semakin ketahuan bahwa dirinya wanita waktu itu. Akan tetapi, Zavira tidak berani untuk menatap pria itu sehingga memilih membuang muka. "Pesen aja makanannya, biar saya yang bayar," suruh Abima diangguki Lily, tanpa menolak wanita itu memesan steak untuk dirinya serta Zavira. Peka akan situasi sahabatnya, Lily sesekali menjawab dan memberitahu informasi tentang Zavira pada Abima. Nathaniel yang sedari tadi diam, ia terus menatap menusuk pada wanita yang duduk di depannya, Zavira. Zavira begitu tertekan, ia bisa merasakan tatapan menusuk dari Nathaniel, dirinya hanya bisa menunduk serta sesekali menatap Lily juga Abima. "Supaya nyaman, gimana kalo pendekatan dulu," ujar Abima membuat Lily mendengarnya heran. Melihat ekspresi bingung dari Lily, Abima menjelaskan untuk membiarkan Zavira dan Nathaniel berduaan. "Ta-tapi Kak, nanti yang ada malah canggung," tolak Lily mencoba mencegah Abima yang sudah beranjak dari tempat duduknya. Pria itu bahkan menarik paksa tangan Lily yang tak berdaya terseret begitu saja. Sebelum pergi, Abima menepuk pundak Nathaniel dua kali dan setelahnya ia pergi dengan tangan kanan menarik tangan Lily. Wanita itu tetap bersikeras tidak ingin meninggalkan Zavira bersama Nathaniel membuat Abima kesulitan. "Mau nurut atau saya gendong kamu?" Lily terkejut mendengar itu memilih tidak memaksa Abima dan mengikutinya pergi ke lantai bawah. Sesekali ia mendumel ketika merasakan pergelangan tangannya sakit. "Zavira." Panggilan singkat dengan nada dingin membuat wanita itu terkejut tetapi ia bahkan tidak mendongak dan terus menundukkan kepala. "Kamu pikir wajah saya di lantai?" tanyanya dengan nada tidak suka, dia melipatkan kedua tangan di dada, menunggu Zavira agar menatapnya. Zavira menghela napas, ia lalu menatap Nathaniel dengan ragu, "j-jadi mau bicarain apa ya?" Setelah mengajukkan pertanyaan itu, Zavira kembali menunduk. Nathaniel terkekeh, bagi Zavira, kekehan itu terdengar menyeramkan. Andai saja jika ia tidak di-blacklist, ia akan kabur saat ini juga dan mencari pekerjaan lain. "Saya tidak mau kerja sama jika kamu terus menghindari tatapan saya," ucap Nathaniel begitu tegas penuh ancaman membuat Zavira menatap dengan tatapan memelas. "Untuk kejadian waktu itu--" ucapan Nathaniel terpotong cepat oleh Zavira. "Lupain aja Pak, saya gak akan minta tanggung jawab apapun karena ini semua salah saya." Nathaniel mendengar itu menggeram kesal, awalnya ia ingin Zavira melupakannya dan fokus pada naskah yang nanti akan dikerjakan. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, Zavira menyuruh Nathaniel melupakannya membuat ia tidak suka. Tidak seharusnya penolakan itu keluar dari mulut Zavira, yang seharusnya berkata seperti itu adalah dirinya. Nathaniel membatalkan niatnya untuk membuat Zavira melupakan hal lalu. Ia akan melakukan sesuatu agar Zavira setidaknya sengsara. "Obrolan kita sampai sini saja, besok Saya ingin jika kamu mengerjakan naskah didampingi saya," ucap Nathaniel dengan cepat segera berdiri dari duduknya, ia berlalu pergi meninggalkan Zavira tanpa basa-basi. Zavira menatap cengo pada punggung Nathaniel. Tebakannya, ia merasa Nathaniel akan selalu bersikap seenaknya. Ia harap dirinya sabar untuk hal yang akan terjadi di masa depan. Notifikasi pesan berbunyi bersamaan dengan perginya Nathaniel. Pesan itu di kirim oleh Lily juga nomor tidak dikenal. Pesan dari Lily menanyakan keadaan Zavira. Ia segera menjawab juga bertanya di mana Lily berada dan dengan cepat mendapat jawaban bahwa Lily sedang di tempat lain, jauh dari restoran tadi. Membuka room chat nomor tak dikenal, Zavira membaca pesan bahwa itu dari Nathaniel, dia hanya mengirim pesan singkat mengenai namanya. "Gitu doang?" Zavira mendumel saat menyimpan nomor tersebut, ia memberi nama atas dasar rasa kesalnya, 'Editor Nathaniel🖕' dengan jari tengah di akhir nama. Menatap pada meja yang masih penuh dengan makanan utuh. Zavira tidak memiliki nafsu makan dan pergi begitu saja meninggalkan restoran sepi pengunjung karena sebelumnya entah Abima atau Nathaniel memesan seluruh restoran ini. Keluar menuju parkiran, ia melihat mobil sedan hitam terparkir sembarang menutupi jalannya, ia mendumel sembari mencari keberadaan si pemilik. Seorang pria paruh baya berbadan kurus menghampirinya dan meminta maaf karena sudah menghalangi jalannya. Zavira yang merasa tidak enak tersenyum memaafkan. Dari pakaian pria itu nampaknya dia supir dari pemilik mobil ini. Meski begitu, apa alasannya dia memarkirkan mobil sembarang? Sungguh tidak ada kerjaan! Pikir Zavira lalu masuk ke dalam mobil dan menjalankan mobilnya keluar dari area restoran. Dari kaca spion, ia melihat pria berbadan besar menatap ke mobilnya. Zavira mengernyitkan keningnya heran, pria berbeda dari pria paruh baya yang kurus tadi. Pria itu terus menatap ke arah mobilnya hingga berbelok ke arah kiri hilang dari pandangannya. "Haa, gila! Kok natapnya lama banget?" tanyanya pada diri sendiri, sungguh ia sedikit takut karena akhir-akhir ini ia merasa seseorang sedang memperhatikannya. Ketika sampai di rumah, ia memarkirkan mobil, halaman rumahnya tidak di batasi pagar atau tembok pemisah dari rumah satunya ke rumah lain. Perumahan yang ia tempati memiliki aturan untuk tidak memakai pagar pembatas. Keamanannya terjaga ketat, sudah puluhan tahun perumahan ini berdiri dengan aman tanpa kerusuhan. Meski sesekali sempat ada peristiwa menghebohkan, contohnya pencuri atau seseorang yang hampir saja membakar setengah perumahan ini. Rumah yang Zavira tempati berada di ujung, cukup sepi karena sebagian para penghuninya pekerjaan kantoran yang sangat sibuk hingga tak sempat untuk bercengkrama dengan tetangga. "Eh Vira, ke mana aja? Kok Tante baru lihat kamu?" tanya wanita paruh baya bertanya dari teras rumahnya, ia duduk sendirian di kursi roda, tersenyum menatap Zavira. Zavira membalas senyuman dan sedikit membungkuk lalu berkata, "halo Tante, aku sedikit ada masalah jadi ya akhir-akhir ini ngurung diri di rumah." Tante bernama Irna menatapnya dengan khawatir, selama ini ia membantu keperluan Zavira sejak kedua orang tuanya meninggal, ia bahkan merawat dan menganggapnya sebagai anak kandung. Zavira menghampiri Irna yang meminta kemari, wanita itu ingin memeluk Zavira yang ia rasa sedang menghadapi hal berat. "Kenapa gak bilang sama Tante? Padahal Tante ingin bantu kamu apapun keadaannya," ucapnya mengelus kepala Zavira ketika ia memeluk tubuh si empu. Air mata Zavira berlinang, ia rasanya merindukan sosok kedua orang tuanya. Pelukan hangat ketika ia sedang sedih. Hatinya melebur ketika Irna semakin mengeratkan pelukannya. Wanita paruh baya itu merasakan tubuh Zavira bergetar dengan suara isak tangis yang tertahan. Ia terus mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja serta mengelus belakang kepalanya. "Ma," panggilan dari pria yang merupakan anak tunggal Irna, ia keluar di saat tidak pas membuat keadaan menjadi canggung.Fabian Reith, pria yang sudah lama tidak ia lihat sejak 5 tahun lalu karena pria itu berkuliah di luar negeri. Anak sulung Irna yang selama ini menjadi teman masa kecil Zavira.Fabian menatap Zavira yang menyembunyikan wajahnya seperti anak kecil dipelukan ibunya. Hal ini membuat ia teringat hal lalu saat keduanya masih remaja."Ka-kalau gitu Tante, aku mau ke rumah dulu," ucap Zavira gugup dan terburu-buru, ia menyembunyikan wajahnya agar tidak melihat Fabian yang terus menatapnya.Irna terkekeh melihat tingkah Zavira, ia meminta Fabian untuk menemani Zavira sembari memberikan beberapa makanan agar suasana hatinya membaik."Tapi Bian malu Ma," ujar Fabian, ia belum siap jika mengobrol berduaan dengan Zavira. Dulu ia sempat menyukai temannya itu. Hingga sampai saat ini, Fabian masih menyukainya."Kamu tuh udah 30 tahun umurnya, masak gitu aja malu sih? Cepet ambil kue di kulkas terus kasih ke Vira, jangan malu-malu, kasihan dia selama ini gak ada temennya," omel Irna membuat Fabian ma
"Apa?!" Zavira menyentakkan nadanya ketika mendengar bahwa Nathaniel sudah berada di depan pintu rumahnya. Begitu terburu-buru ia turun dari kasur serta berlari untuk membuka pintu. Nampak Nathaniel dengan kaos putih serta celana panjang biru tua, pria itu menatap dingin pada Zavira. "Jam segini kamu baru bangun?" tanya Nathaniel sembari mematikan sambungan telepon. Zavira menatap jam pada ponselnya, jam menunjukkan pukul 8 lewat 30 menit. "Masuk dulu," ucapnya diangguki Nathaniel yang segera duduk ketika sampai di sofa ruang tamu. "Mau m--" "Nggak, langsung aja buka laptopnya, saya gak mau buang waktu," potongnya membuat Zavira cemberut kesal. Tanpa mengomel ia segera mengambil laptop yang ada di kamarnya lalu kembali ke ruang tamu, ia memilih duduk di lantai beralas karpet bulu. Laptopnya ia taruh di meja serta Nathaniel duduk di sofa sebelah kanannya. "Jadi … Aku harus apa?" tanya Zavira dengan kepala melihat ke arah belakang. Nathaniel yang sedari tadi menatap Zavira, ia te
"Aku malu!" Zavira menutup wajahnya yang memerah. Sementara Lily duduk di depannya, ia telah mendengar ocehan dari Zavira yang mengatakan bahwa dirinya ketahuan oleh Nathaniel akan novelnya. Lily penasaran, jika dia ganti ide, akan menceritakan tentang apa? Ia pun bertanya, "Jadi mau nulis cerita baru apa nih?" Zavira menggelengkan kepalanya, "gak tahu, aku nulis apa dong?" ia malah bertanya balik dengan bibir di kerucutkan. Lily menghela napas, "udah novel awal aja, daripada pusing cari ide baru," saran Lily membuat Zavira menggelengkan kepala cepat. "Gak bisa, gak bisaaaa, ahk aku malu banget bayangin nulis adegan ini itu di depan dia, apalagi dia selalu pengen lihat aku nulis cerita secara langsung," ocehnya dengan kesal. Nathaniel terlalu semena-mena, suatu saat nanti ia akan merobohkan es batu itu! Lihat saja! "Emang ada ide kalo buat cerita baru? Padahal udah seru lho cerita itu, sayang banget diganti," ujarnya dengan tak rela. Menurutnya ide cerita tersebut cukup seru mesk
Suara nada dering begitu nyaring terdengar, Zavira melihat nomor tak dikenal menelponnya. Hal ini membuat Zavira segera mendorong tubuh Fabian, "bentar, aku angkat telpon dulu," ujarnya seraya berjalan menjauh. Fabian mengangguk, ia memilih menunggu dan berjalan mendekati air sehingga kakinya basah. Sementara Zavira nampak tidak berbicara apapun ketika sedang menerima panggilan telepon. "Kamu gila ya?" tanya Zavira akhirnya buka suara dengan kesal, ternyata yang menelpon dirinya adalah sang mantan, ia berkata akan bunuh diri jika Zavira tidak ingin balikan dengannya. "Sana bunuh diri aja, aku gak peduli!" Dengan kesal Zavira menutup telepon itu, lalu ia blokir serta mematikan ponselnya. Zavira melirik ke belakang, Fabian tengah berjalan ke arahnya dengan senyuman manis. "Tadi siapa yang nelpon?" tanyanya penasaran. "Mantan pacar aku, udah yuk pulang aja," ajaknya yang begitu jelas tidak ingin membahas lanjut tentang mantan pacarnya. Fabian memilih diam tidak bertanya, dan mengiy
Keduanya memilih bicara diluar, atau teras dengan pintu rumah sengaja Zavira tutup tetapi tidak rapat. Fabian berdiri di depannya dengan wajah murung. "Waktu mabuk itu, aku udah inget apa yang aku bilang ke kamu," ujarnya kini memegang jari jemari Zavira. Zavira melepaskan pegangan itu, ia bertanya dengan nada ketus. "Terus? Kamu mau apa lagi?" "Aku mau tanggung--" ucapan Fabian segera Zavira potong dengan kesal. "Nggak." Ia berkata begitu tegas dengan sorot mata tajam. "Bayi kamu gimana kalo gak punya peran ayah?" tanya Fabian dengan raut wajah khawatir. "Aku bilang nggak ya nggak, lagian gada tanda-tanda aku hamil kok," jawabnya penuh ketus. "Zavira, kalo nantinya hamil gimana? Biar aku tanggung jawab ..." Ia bersikeras dengan di akhir kalimat terdiam sejenak, melihat Zavira yang menatapnya tajam, sungguh rasanya sakit ditatap seperti itu. Zavira menggelengkan ke
"Aahk coba ngebut dong," pinta Zavira pada Nathaniel yang mengangguk paham. Pasalnya sekarang jam sudah menunjukkan pukul 4 sore lewat 40 menit. Sesampai di perpustakaan, Zavira melihat perpustakaan sudah sepi, tidak ada kendaraan terparkir membuat Zavira berjongkok sedih. "Huwaaa, aku kelamaan belanjanya." Nathaniel segera menarik Zavira, "masih bisa, ayo masuk." Zavira membiarkan Nathaniel menarik masuk ke dalam perpustakaan. Benar saja ternyata ia masih bisa masuk padahal jam sudah menunjukkan pukul 5 lewat 15 menit. "Ah aku ingin baca buku yang lagi virall, kamu mau apa?" tanya Zavira pada Nathaniel yang memilih duduk, ia tidak minat membaca novel karena cukup muak beberapa hari lalu membaca naskah para penulisnya. Berjalan sendiri menyusuri setiap rak besar, Zavira bergumam membaca judul di pinggir buku. "Ish, perasaan di daerah rak ini deh," dumelnya dengan bibir di kerucutkan. Ketika tangannya tak sengaja memegang tangan seseorang, Zavira membeku takut, "ha-hantu?"
Zavira baru sadar akan suatu hal, karena kesibukan dengan dunia barunya, ia melupakan untuk membakar barang pemberian mantannya. Hanya satu barang yang tidak ia bakar yaitu boneka besar yang sempat ia taruh di gudang."Haa sial, boneka pan-- Sabar Vira, jangan kasar, sabar hufhtt." Zavira menghela napas panjang, ia sudah merapikan barang ke dalam kotak besar dan akan ia bakar tempat pembakar sampah.Segera setelah keluar, ia bertemu Nathaniel yang dengan wajah seriusnya mendekati Zavira. "Ada apa?" Ia bertanya sembari berjalan menuju tempat membakar sampah. Pagi-pagi seperti ini pria itu begitu rajin merecoki harinya pikir Zavira."Aku bantu." Nathaniel segera mengambil kotak dari tangan Zavira yang mau tak mau tidak menolak."Ngapain ke sini?" Zavira bertanya lagi. "Bukannya draft novel aku ada banyak, mau apa?"Nathaniel melirik Zavira sekilas lalu menatap fokus ke depan. "Entahlah, kamu sengaja buat draft banyak supaya gak ketemu aku."Zavira tertegun, Nathaniel akhirnya berbicara
Beberapa jam sebelum night ride …. Zavira telah membuat beberapa kue cantik yang akan ia titipkan pada 3 warung untuk percobaan sementara. Ia dengan mobil miliknya segera keluar dari halaman rumah dan pergi menuju warung tersebut. Sesampainya di sana, ia mulai memanggil pemilik warung yang sebelumnya telah berbicara dengannya. "Permisi Buk, aku Zavira yang kemarin mau nitip--" Ucapan Zavira terpotong begitu cepat dengan sinis, "nggak nggak, saya gak jadi nerima titipan kamu." Ia segera kembali masuk ke dalam meninggalkan Zavira yang tidak diberi kesempatan berucap. Zavira begitu terkejut akan situasi yang begitu mendadak hari ini, ia lalu kembali masuk ke dalam mobil dengan perasaan kacau. Dengan lesu ia mengendarai mobil menuju warung selanjutnya. Perasaannya campur aduk ketika turun dari mobil, dan benar saja ia ditolak. Kembali masuk ke dalam mobil, Zavira rasanya ingin menangis. Warung terakhir tidak membuat ia berharap begitu banyak. "Bude Aminah, ini Vira," ucapnya
Selama dua minggu ini, Aksara sangat sibuk karena mempersiapkan pernikahannya dengan Zavira. Ia begitu tidak sabar untuk mengikat hubungannya dengan Zavira lebih dalam.Zavira yang tidak begitu banyak membantu merasa tidak enak. Ia melihat Aksara baru saja pulang padahal hari ini hari minggu, tetapi pria itu tidak beristirahat."Kenapa kamu gak minta bantuan aku?" Zavira mengusap kepala Aksara dengan lembut, menatapnya penuh kekhawatiran."Aku tak ingin istriku lelah." Ia menyembunyikan wajahnya pada perut Zavira. Mendengar itu, ia terkekeh dan mencubit gemas pipi pria itu. "Terima kasih sudah bekerja keras hari ini."Aksara mengangguk dan menarik selimut menutupi sebagian tubuh keduanya. Zaviea mematikan lampu dan menyalakan lampu tidur, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Angin malam berhembus kencang dari arah balkon. "Aku mau nutup pintu balkon," ucap Zavira mendapati penolakan dari pria itu."Biar aku saja."Zavira menahan tubuh Aksara. "Nggak boleh, kamu capek, istir
"Kamu?" Aksara memincingkan matanya. "Dipecat, tidak alasan lagi, jangan pernah merendahkan calon istriku, ini peringatan untuk kalian semua yang mendengarkan." Aksara menatap pada karyawan lainnya lalu masuk kembali ke dalam lift.Saat pintu tertutup, Zavira menghela napas berat. Ia tida memprotes, sejujurnya ia merasa sakit hati dikatakan demikian. "Ah, harusnya aku berhenti kerja aja ya secepatnya," ucap Zavira dengan perasaan berkecamuk.Aksara menatap dengan khawatir. "Sayang, aku gak mau kamu keluar kerja karena orang lain, tapi kalau kamu gak nyaman, aku bakal ikutin kemauan kamu." Aksara memegang kedua pipi Zavira, menatap lebih sendu pada Zavira yang lebih rendah darinya.Zavira terdiam sejenak lalu berujar, "ah maaf, aku plin plan banget."Aksara menggelengkan kepalanya, "nggak, jangan pikirkan itu, ikuti saja kata hatimu sayang.""Makasih banyak." Ia tersenyum lega, mencoba menghilangkan pikiran negatif dan fokus pada pekerjaannya.Beberapa saat kemudian, Zavira kini keluar
"Maaf, sejujurnya aku takut untuk hamil lagi, meskipun aku bener-bener pengen hamil dan ngandung anak aku," ucap Zavira memegang kedua pipi Aksara agar pria itu tidak mengalihkan pandangannya.Aksara terdiam sementara. "Sayang …, apa kamu pikir pernikahan selalu mengarah tentang hamil?""Menurutku begitu, aku pikir semua cowok gak akan mau sama cewek yang nunda punya anak, mungkin mereka ngerasa lebay kalau lihat istrinya trauma sama hamil." Penjelasan itu membuat Aksara mendengarnya sedih."Sayang, gak semua begitu.""Aku tahu." Kini ia melepaskan genggaman pada pipi Aksara.Aksara lalu berdiri, mengangkat tubuh Zavira dan ia bawa agar wanitanya duduk di atas paha ia. Duduk di pinggir kasur dengan Zavira di atas pahanya, Aksara memulai percakapan dengan cukup dalam."Aku akan selalu berusaha menghargai pendapatmu. Aku menikahimu karena ingin hidup selamanya denganmu. Jika kamu ingin nunda punya anak atau kehamilan, aku tak apa, kita bisa menunggu sampai kamu siap." Aksara tersenyum,
Zavira baru saja pulang dari kantor pada pukul sepuluh malam. Ia sengaja lembur karena sempat libur dua minggu saat kejadian kemarin.Pekerjaan yang menumpuk mengharuskannya menyelesaikan lebih cepat. Dan sesekali ia kelimpungan disebabkan Aksara yang rewel menyuruh Zavira pulang.Kini di parkiran sudah ada mobil Aksara dengan pria itu menyetir di dalamnya. "Lama." Satu kata lolos ketika Zavira baru saja masuk ke dalam."Berapa puluh kali kamu ngomong lama," omel Zavira, ia menarik sabuk pengaman dan menyimpan tas di tempat duduk belakang."Hmm." Aksara berdeham, ia sedikit takut jika ia mengeluh lagi pada Zavira karena keterlambatan pulangnya.Kepala Zavira di sandarkan pada kaca yang setengah terbuka, ia memejamkan mata ketika mobil di jalankan, menikmati hembusan angin malam masuk ke dalam."Mau apa?" tanya Zavira dengan mata masih tertutup.Tangan kiri Aksara yang baru saja ingin memegang rambut si empu terhenti. "Aku …, mau megang rambut kamu." Dengan nada memohon ia menjawab.Za
Masih berada di ruang tamu, Zavira telah selesai mengobati luka pada tangan Aksara. Kini ia masih duduk di atas paha kekasihnya dengan tangan pria itu merengkuh erat pinggangnya.Melirik ke arah telinga Aksara yang memerah, Zavira lalu memegang telinga kekasihnya yang sensitif. "Ah." si empu menahan tangan Zavira agar tidak mengusap sensual telinganya."Kenapa?" Ia memiringkan kepala, menatap Aksara yang menatapnya dengan tatapan aneh."Sensitif," jawab Aksara singkat, ia menarik tangan Zavira agar memegang pipinya saja."Ah aku paham." Zavira mengangguk mengerti, yang ia tahu jakun Aksara lah yang sensitif, ternyata telinga juga sama halnya.Kepala Aksara di sandarkan pada bahu Zavira, kini kedua tangannya memeluk erat pinggang ramping kekasih. "Sayang.""Hmm?" Zavira membalas dengan dehaman, mengusap belakang kepala Aksara dengan ibu jari yang mengelus pinggir matanya."Tidur di kamar bersamaku lagi, ya?" pinta Aksara, ia menatapnya dengan mata berbinar-binar."Iyaa." Zavira mengang
Malam-malam sekali, ketika melihat bulan bersinar indah. Zavira yang ingin melihatnya dari taman, hal itu membuatnya segera keluar kamar dan menuruni anak tangga.Ketika melihat Aksara sedang duduk di sofa sembari bersandar, Zavira seperti biasa akan selalu mengabaikannya. Akan tetapi, kali ini berbeda, Zavira melihat tangan Aksara yang berdarah sedang memegang bunga mawar.Secara perlahan ia mendekati pria itu yang sedang memejamkan matanya, menutup dengan pergelangan tangan kiri sementara telapak tangan telah berdarah serta tangkai mawar yang dicengkram erat.Apa ini perumpamaan? Batin Zavira bertanya. Jika di umpakan, dirinya adalah mawar, lalu duri itu adalah konfliknya.Apa kini Aksara sedang berusaha terus mendapatkan Zavira meski harus melewati konflik hingga mempertaruhkan nyawanya? Entah mengapa Zavira merasa konyol akan perumpamaannya.Ketika ia ingin pergi berlalu, Aksara yang memang tidak tidur sejak awal segera menarik Zavira membuat kekasihnya itu duduk di atasnya.Belum
Pagi-pagi sekali, Zavira keluar dari kamarnya, ia ingin menghirup udara segera setelah kemarin merasa sumpek diam di kamar serta kamar rumah sakit beberapa hari lalu.Ketika ia sedang menuruni anak tangga, Zavira melihat Aksara tanpa mengenakan pakaian hanya dengan celana tidurnya sedang menyeduh teh hangat.Memilih mengabaikan kehadiran pria itu, Zavira terus melanjutkan jalannya menuju pintu. Panggilan dari Aksara yang menyadari kehadirannya tidak membuat langkah Zavira berhenti.Terdengar suara langkah kaki cepat lalu menahan langkahnya. Aksara memeluknya dari belakang dengan wajah murung. "Kamu ingin pergi?"Zavira menggelengkan kepalanya, mendorong tubuh Aksara yang begitu mudah pelukannya terlepas. Biasanya Aksara akan memeluknya dengan erat, tetapi kini pria itu suka rela di dorong.Aksara hanya takut Zavira semakin membencinya, mengingat perkataan kemarin yang ia ketahui bahwa Zavira menyesal menolongnya.Padahal ucapan yang selanjutnya Zavira katakan, ia menyesal mengatakan i
Selama 3 hari di rumah sakit dalam masa pemulihan, Zavira akhirnya di perbolehkan pulang, selama itu pula Zavira masih marah dengan Aksara. Pintu kamar terbuka, Aksara dengan kemeja putih yang nampak berantakan. Ia mencoba membantu Zavira turun dari kasur. Namun, di tepis oleh si empu. "Aku bisa sendiri," ucapnya dengan nada dingin, berjalan mendahului Aksara yang menatap punggung Zavira dengan perasaan sedih. Sungguh ia masih merasa bingung mengapa perkataannya salah. Selama ini ia tak pernah di ajarkan untuk memahami penderitaan yang orang lain rasakan. Orang tuanya hanya melakukan kekerasan padanya. Dari belakang, Aksara membawa tas berisi barang perlengkapan Zavira, sementara kekasihnya itu masih terus berjalan ke depan tanpa melirik ke belakang. Langkah Zavira terhenti ketika di pertengahan lorong, ia meminta tas pada Aksara. "Biar aku yang bawa," ujarnya tanpa mau menatap wajah Aksara sedikit pun. Aksara mengernyitkan keningnya, ia lalu menggelengkan kepala seraya berkata
Terbangun dari pingsannya, Zavira melihat dokter serta suster yang sedang melakukan pengecekkan padanya. "Dokter?" Zavira bertanya lemas, menggerakkan kepalanya, menatap ke segala arah."Ah iya, apakah ada yang sakit?"Zavira menggelengkan kepala pelan, lalu terdiam, "bagian sini, terasa aneh," gumamnya memegang perut.Dokter itu menunjukkan ekspresi sedih, "apa Anda ingin mendengar kabar ini sekarang juga? Jika tidak, saya akan memberitahu saat kondisi Anda benar-benar pulih."Zavira menggelengkan kepalanya, "aku mau denger sekarang juga," pintanya dengan tangan memegang lemas tangan dokter tersebut.Dokter tersebut menghela napas pelan, lalu ia berkata, "Kami telah melakukan pemeriksaan dan menemukan bahwa janin Anda tidak dapat dipertahankan."Zavira terdiam, ia lalu memegang perutnya dengan wajah murungnya. Tunggu, mengapa dirinya tidak sadar bahwa telah hamil?"Sayangnya, kami telah menemukan bahwa janin Anda telah mengalami keguguran karena cedera yang Anda alami," lanjut dokte