"I-iya halo, saya Zavira Anantha, umur saya 30 tahun," ucapnya menjabat tangan editor Lily bernama Abima. Ia benar-benar tidak menatap sama sekali pada pria di samping Abima.
"Nah kalau ini teman saya Nathaniel Hawthorne, dia agak pendiem jadi tolong maklum," kata Abima dengan ramah, meski begitu Zavira tidak melirik sedikit pun pada Nathaniel. Ia tahu yang ia lakukan salah dan semakin ketahuan bahwa dirinya wanita waktu itu. Akan tetapi, Zavira tidak berani untuk menatap pria itu sehingga memilih membuang muka. "Pesen aja makanannya, biar saya yang bayar," suruh Abima diangguki Lily, tanpa menolak wanita itu memesan steak untuk dirinya serta Zavira. Peka akan situasi sahabatnya, Lily sesekali menjawab dan memberitahu informasi tentang Zavira pada Abima. Nathaniel yang sedari tadi diam, ia terus menatap menusuk pada wanita yang duduk di depannya, Zavira. Zavira begitu tertekan, ia bisa merasakan tatapan menusuk dari Nathaniel, dirinya hanya bisa menunduk serta sesekali menatap Lily juga Abima. "Supaya nyaman, gimana kalo pendekatan dulu," ujar Abima membuat Lily mendengarnya heran. Melihat ekspresi bingung dari Lily, Abima menjelaskan untuk membiarkan Zavira dan Nathaniel berduaan. "Ta-tapi Kak, nanti yang ada malah canggung," tolak Lily mencoba mencegah Abima yang sudah beranjak dari tempat duduknya. Pria itu bahkan menarik paksa tangan Lily yang tak berdaya terseret begitu saja. Sebelum pergi, Abima menepuk pundak Nathaniel dua kali dan setelahnya ia pergi dengan tangan kanan menarik tangan Lily. Wanita itu tetap bersikeras tidak ingin meninggalkan Zavira bersama Nathaniel membuat Abima kesulitan. "Mau nurut atau saya gendong kamu?" Lily terkejut mendengar itu memilih tidak memaksa Abima dan mengikutinya pergi ke lantai bawah. Sesekali ia mendumel ketika merasakan pergelangan tangannya sakit. "Zavira." Panggilan singkat dengan nada dingin membuat wanita itu terkejut tetapi ia bahkan tidak mendongak dan terus menundukkan kepala. "Kamu pikir wajah saya di lantai?" tanyanya dengan nada tidak suka, dia melipatkan kedua tangan di dada, menunggu Zavira agar menatapnya. Zavira menghela napas, ia lalu menatap Nathaniel dengan ragu, "j-jadi mau bicarain apa ya?" Setelah mengajukkan pertanyaan itu, Zavira kembali menunduk. Nathaniel terkekeh, bagi Zavira, kekehan itu terdengar menyeramkan. Andai saja jika ia tidak di-blacklist, ia akan kabur saat ini juga dan mencari pekerjaan lain. "Saya tidak mau kerja sama jika kamu terus menghindari tatapan saya," ucap Nathaniel begitu tegas penuh ancaman membuat Zavira menatap dengan tatapan memelas. "Untuk kejadian waktu itu--" ucapan Nathaniel terpotong cepat oleh Zavira. "Lupain aja Pak, saya gak akan minta tanggung jawab apapun karena ini semua salah saya." Nathaniel mendengar itu menggeram kesal, awalnya ia ingin Zavira melupakannya dan fokus pada naskah yang nanti akan dikerjakan. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, Zavira menyuruh Nathaniel melupakannya membuat ia tidak suka. Tidak seharusnya penolakan itu keluar dari mulut Zavira, yang seharusnya berkata seperti itu adalah dirinya. Nathaniel membatalkan niatnya untuk membuat Zavira melupakan hal lalu. Ia akan melakukan sesuatu agar Zavira setidaknya sengsara. "Obrolan kita sampai sini saja, besok Saya ingin jika kamu mengerjakan naskah didampingi saya," ucap Nathaniel dengan cepat segera berdiri dari duduknya, ia berlalu pergi meninggalkan Zavira tanpa basa-basi. Zavira menatap cengo pada punggung Nathaniel. Tebakannya, ia merasa Nathaniel akan selalu bersikap seenaknya. Ia harap dirinya sabar untuk hal yang akan terjadi di masa depan. Notifikasi pesan berbunyi bersamaan dengan perginya Nathaniel. Pesan itu di kirim oleh Lily juga nomor tidak dikenal. Pesan dari Lily menanyakan keadaan Zavira. Ia segera menjawab juga bertanya di mana Lily berada dan dengan cepat mendapat jawaban bahwa Lily sedang di tempat lain, jauh dari restoran tadi. Membuka room chat nomor tak dikenal, Zavira membaca pesan bahwa itu dari Nathaniel, dia hanya mengirim pesan singkat mengenai namanya. "Gitu doang?" Zavira mendumel saat menyimpan nomor tersebut, ia memberi nama atas dasar rasa kesalnya, 'Editor Nathaniel🖕' dengan jari tengah di akhir nama. Menatap pada meja yang masih penuh dengan makanan utuh. Zavira tidak memiliki nafsu makan dan pergi begitu saja meninggalkan restoran sepi pengunjung karena sebelumnya entah Abima atau Nathaniel memesan seluruh restoran ini. Keluar menuju parkiran, ia melihat mobil sedan hitam terparkir sembarang menutupi jalannya, ia mendumel sembari mencari keberadaan si pemilik. Seorang pria paruh baya berbadan kurus menghampirinya dan meminta maaf karena sudah menghalangi jalannya. Zavira yang merasa tidak enak tersenyum memaafkan. Dari pakaian pria itu nampaknya dia supir dari pemilik mobil ini. Meski begitu, apa alasannya dia memarkirkan mobil sembarang? Sungguh tidak ada kerjaan! Pikir Zavira lalu masuk ke dalam mobil dan menjalankan mobilnya keluar dari area restoran. Dari kaca spion, ia melihat pria berbadan besar menatap ke mobilnya. Zavira mengernyitkan keningnya heran, pria berbeda dari pria paruh baya yang kurus tadi. Pria itu terus menatap ke arah mobilnya hingga berbelok ke arah kiri hilang dari pandangannya. "Haa, gila! Kok natapnya lama banget?" tanyanya pada diri sendiri, sungguh ia sedikit takut karena akhir-akhir ini ia merasa seseorang sedang memperhatikannya. Ketika sampai di rumah, ia memarkirkan mobil, halaman rumahnya tidak di batasi pagar atau tembok pemisah dari rumah satunya ke rumah lain. Perumahan yang ia tempati memiliki aturan untuk tidak memakai pagar pembatas. Keamanannya terjaga ketat, sudah puluhan tahun perumahan ini berdiri dengan aman tanpa kerusuhan. Meski sesekali sempat ada peristiwa menghebohkan, contohnya pencuri atau seseorang yang hampir saja membakar setengah perumahan ini. Rumah yang Zavira tempati berada di ujung, cukup sepi karena sebagian para penghuninya pekerjaan kantoran yang sangat sibuk hingga tak sempat untuk bercengkrama dengan tetangga. "Eh Vira, ke mana aja? Kok Tante baru lihat kamu?" tanya wanita paruh baya bertanya dari teras rumahnya, ia duduk sendirian di kursi roda, tersenyum menatap Zavira. Zavira membalas senyuman dan sedikit membungkuk lalu berkata, "halo Tante, aku sedikit ada masalah jadi ya akhir-akhir ini ngurung diri di rumah." Tante bernama Irna menatapnya dengan khawatir, selama ini ia membantu keperluan Zavira sejak kedua orang tuanya meninggal, ia bahkan merawat dan menganggapnya sebagai anak kandung. Zavira menghampiri Irna yang meminta kemari, wanita itu ingin memeluk Zavira yang ia rasa sedang menghadapi hal berat. "Kenapa gak bilang sama Tante? Padahal Tante ingin bantu kamu apapun keadaannya," ucapnya mengelus kepala Zavira ketika ia memeluk tubuh si empu. Air mata Zavira berlinang, ia rasanya merindukan sosok kedua orang tuanya. Pelukan hangat ketika ia sedang sedih. Hatinya melebur ketika Irna semakin mengeratkan pelukannya. Wanita paruh baya itu merasakan tubuh Zavira bergetar dengan suara isak tangis yang tertahan. Ia terus mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja serta mengelus belakang kepalanya. "Ma," panggilan dari pria yang merupakan anak tunggal Irna, ia keluar di saat tidak pas membuat keadaan menjadi canggung.Fabian Reith, pria yang sudah lama tidak ia lihat sejak 5 tahun lalu karena pria itu berkuliah di luar negeri. Anak sulung Irna yang selama ini menjadi teman masa kecil Zavira.Fabian menatap Zavira yang menyembunyikan wajahnya seperti anak kecil dipelukan ibunya. Hal ini membuat ia teringat hal lalu saat keduanya masih remaja."Ka-kalau gitu Tante, aku mau ke rumah dulu," ucap Zavira gugup dan terburu-buru, ia menyembunyikan wajahnya agar tidak melihat Fabian yang terus menatapnya.Irna terkekeh melihat tingkah Zavira, ia meminta Fabian untuk menemani Zavira sembari memberikan beberapa makanan agar suasana hatinya membaik."Tapi Bian malu Ma," ujar Fabian, ia belum siap jika mengobrol berduaan dengan Zavira. Dulu ia sempat menyukai temannya itu. Hingga sampai saat ini, Fabian masih menyukainya."Kamu tuh udah 30 tahun umurnya, masak gitu aja malu sih? Cepet ambil kue di kulkas terus kasih ke Vira, jangan malu-malu, kasihan dia selama ini gak ada temennya," omel Irna membuat Fabian ma
"Apa?!" Zavira menyentakkan nadanya ketika mendengar bahwa Nathaniel sudah berada di depan pintu rumahnya. Begitu terburu-buru ia turun dari kasur serta berlari untuk membuka pintu. Nampak Nathaniel dengan kaos putih serta celana panjang biru tua, pria itu menatap dingin pada Zavira. "Jam segini kamu baru bangun?" tanya Nathaniel sembari mematikan sambungan telepon. Zavira menatap jam pada ponselnya, jam menunjukkan pukul 8 lewat 30 menit. "Masuk dulu," ucapnya diangguki Nathaniel yang segera duduk ketika sampai di sofa ruang tamu. "Mau m--" "Nggak, langsung aja buka laptopnya, saya gak mau buang waktu," potongnya membuat Zavira cemberut kesal. Tanpa mengomel ia segera mengambil laptop yang ada di kamarnya lalu kembali ke ruang tamu, ia memilih duduk di lantai beralas karpet bulu. Laptopnya ia taruh di meja serta Nathaniel duduk di sofa sebelah kanannya. "Jadi … Aku harus apa?" tanya Zavira dengan kepala melihat ke arah belakang. Nathaniel yang sedari tadi menatap Zavira, ia te
"Aku malu!" Zavira menutup wajahnya yang memerah. Sementara Lily duduk di depannya, ia telah mendengar ocehan dari Zavira yang mengatakan bahwa dirinya ketahuan oleh Nathaniel akan novelnya. Lily penasaran, jika dia ganti ide, akan menceritakan tentang apa? Ia pun bertanya, "Jadi mau nulis cerita baru apa nih?" Zavira menggelengkan kepalanya, "gak tahu, aku nulis apa dong?" ia malah bertanya balik dengan bibir di kerucutkan. Lily menghela napas, "udah novel awal aja, daripada pusing cari ide baru," saran Lily membuat Zavira menggelengkan kepala cepat. "Gak bisa, gak bisaaaa, ahk aku malu banget bayangin nulis adegan ini itu di depan dia, apalagi dia selalu pengen lihat aku nulis cerita secara langsung," ocehnya dengan kesal. Nathaniel terlalu semena-mena, suatu saat nanti ia akan merobohkan es batu itu! Lihat saja! "Emang ada ide kalo buat cerita baru? Padahal udah seru lho cerita itu, sayang banget diganti," ujarnya dengan tak rela. Menurutnya ide cerita tersebut cukup seru mesk
Suara nada dering begitu nyaring terdengar, Zavira melihat nomor tak dikenal menelponnya. Hal ini membuat Zavira segera mendorong tubuh Fabian, "bentar, aku angkat telpon dulu," ujarnya seraya berjalan menjauh. Fabian mengangguk, ia memilih menunggu dan berjalan mendekati air sehingga kakinya basah. Sementara Zavira nampak tidak berbicara apapun ketika sedang menerima panggilan telepon. "Kamu gila ya?" tanya Zavira akhirnya buka suara dengan kesal, ternyata yang menelpon dirinya adalah sang mantan, ia berkata akan bunuh diri jika Zavira tidak ingin balikan dengannya. "Sana bunuh diri aja, aku gak peduli!" Dengan kesal Zavira menutup telepon itu, lalu ia blokir serta mematikan ponselnya. Zavira melirik ke belakang, Fabian tengah berjalan ke arahnya dengan senyuman manis. "Tadi siapa yang nelpon?" tanyanya penasaran. "Mantan pacar aku, udah yuk pulang aja," ajaknya yang begitu jelas tidak ingin membahas lanjut tentang mantan pacarnya. Fabian memilih diam tidak bertanya, dan mengiy
Keduanya memilih bicara diluar, atau teras dengan pintu rumah sengaja Zavira tutup tetapi tidak rapat. Fabian berdiri di depannya dengan wajah murung. "Waktu mabuk itu, aku udah inget apa yang aku bilang ke kamu," ujarnya kini memegang jari jemari Zavira. Zavira melepaskan pegangan itu, ia bertanya dengan nada ketus. "Terus? Kamu mau apa lagi?" "Aku mau tanggung--" ucapan Fabian segera Zavira potong dengan kesal. "Nggak." Ia berkata begitu tegas dengan sorot mata tajam. "Bayi kamu gimana kalo gak punya peran ayah?" tanya Fabian dengan raut wajah khawatir. "Aku bilang nggak ya nggak, lagian gada tanda-tanda aku hamil kok," jawabnya penuh ketus. "Zavira, kalo nantinya hamil gimana? Biar aku tanggung jawab ..." Ia bersikeras dengan di akhir kalimat terdiam sejenak, melihat Zavira yang menatapnya tajam, sungguh rasanya sakit ditatap seperti itu. Zavira menggelengkan ke
"Aahk coba ngebut dong," pinta Zavira pada Nathaniel yang mengangguk paham. Pasalnya sekarang jam sudah menunjukkan pukul 4 sore lewat 40 menit. Sesampai di perpustakaan, Zavira melihat perpustakaan sudah sepi, tidak ada kendaraan terparkir membuat Zavira berjongkok sedih. "Huwaaa, aku kelamaan belanjanya." Nathaniel segera menarik Zavira, "masih bisa, ayo masuk." Zavira membiarkan Nathaniel menarik masuk ke dalam perpustakaan. Benar saja ternyata ia masih bisa masuk padahal jam sudah menunjukkan pukul 5 lewat 15 menit. "Ah aku ingin baca buku yang lagi virall, kamu mau apa?" tanya Zavira pada Nathaniel yang memilih duduk, ia tidak minat membaca novel karena cukup muak beberapa hari lalu membaca naskah para penulisnya. Berjalan sendiri menyusuri setiap rak besar, Zavira bergumam membaca judul di pinggir buku. "Ish, perasaan di daerah rak ini deh," dumelnya dengan bibir di kerucutkan. Ketika tangannya tak sengaja memegang tangan seseorang, Zavira membeku takut, "ha-hantu?"
Zavira baru sadar akan suatu hal, karena kesibukan dengan dunia barunya, ia melupakan untuk membakar barang pemberian mantannya. Hanya satu barang yang tidak ia bakar yaitu boneka besar yang sempat ia taruh di gudang."Haa sial, boneka pan-- Sabar Vira, jangan kasar, sabar hufhtt." Zavira menghela napas panjang, ia sudah merapikan barang ke dalam kotak besar dan akan ia bakar tempat pembakar sampah.Segera setelah keluar, ia bertemu Nathaniel yang dengan wajah seriusnya mendekati Zavira. "Ada apa?" Ia bertanya sembari berjalan menuju tempat membakar sampah. Pagi-pagi seperti ini pria itu begitu rajin merecoki harinya pikir Zavira."Aku bantu." Nathaniel segera mengambil kotak dari tangan Zavira yang mau tak mau tidak menolak."Ngapain ke sini?" Zavira bertanya lagi. "Bukannya draft novel aku ada banyak, mau apa?"Nathaniel melirik Zavira sekilas lalu menatap fokus ke depan. "Entahlah, kamu sengaja buat draft banyak supaya gak ketemu aku."Zavira tertegun, Nathaniel akhirnya berbicara
Beberapa jam sebelum night ride …. Zavira telah membuat beberapa kue cantik yang akan ia titipkan pada 3 warung untuk percobaan sementara. Ia dengan mobil miliknya segera keluar dari halaman rumah dan pergi menuju warung tersebut. Sesampainya di sana, ia mulai memanggil pemilik warung yang sebelumnya telah berbicara dengannya. "Permisi Buk, aku Zavira yang kemarin mau nitip--" Ucapan Zavira terpotong begitu cepat dengan sinis, "nggak nggak, saya gak jadi nerima titipan kamu." Ia segera kembali masuk ke dalam meninggalkan Zavira yang tidak diberi kesempatan berucap. Zavira begitu terkejut akan situasi yang begitu mendadak hari ini, ia lalu kembali masuk ke dalam mobil dengan perasaan kacau. Dengan lesu ia mengendarai mobil menuju warung selanjutnya. Perasaannya campur aduk ketika turun dari mobil, dan benar saja ia ditolak. Kembali masuk ke dalam mobil, Zavira rasanya ingin menangis. Warung terakhir tidak membuat ia berharap begitu banyak. "Bude Aminah, ini Vira," ucapnya
Baru saja masuk ke dalam ruangan, ia merasa hawa di dalam begitu menyeramkan. Zavira lalu melirik pada Aksara yang terdiam menatap fokus pada layar monitor.Padahal biasanya Aksara akan menatapnya saat ia masuk, tetapi pria itu malah mengabaikannya. "Pak Aksara, ini dokumennya, tadi sekretaris baru rekan kita yang nganter, aku udah sewa gedung untuk rayain hari ulang tahun perusahaan kita."Aksara mengangguk dan menerima dokumennya. "Kenapa manggil pakai Pak?" Ia menarik pinggang Zavira sementara dokumen itu ia taruh di atas meja."Ah …." Zavira menatap ke arah lain dengan gugup. "Kamu kayak marah, apa aku ada salah?" Zavira lalu menatap kembali Aksara.Pria itu segera memijat keningnya, "maaf, nggak ada, aku cuman bersikap berlebihan saja." Ia lalu melepaskan tangannya pada pinggang ZaviraZavira memilih diam, ia ingin tahu apa yang Aksara lakukan selanjutnya. Hingga beberapa jam berlalu, meski Aksara terlihat kembali normal, ia merasa ada jarak diantara keduanya."Aksara …." Zavira
Zavira terbangun dari tidurnya karena merasakan sesuatu berat meliliti tubuhnya. Ketika ia membuka mata, ia melihat Aksara berada di atasnya memeluk dengan kepala berada di dadanya."Aksara, minggir." Ia mencoba mendorong kekasihnya yang tidak terbangun. Ia tahu Aksara saat ini berpura-pura sedang tertidur. Pelukan semakin erat itu yang membuat Zavira menebak demikian."… Aksara." Ia mencubit pelan pipi Aksara, tetapi itu tidak membuat Aksara bangun. "Sayang, minggir yaa," ucapnya dengan lembut.Aksara lalu membuka mata, menatap Zavira dengan berbinar-binar, "panggil lagi."Zavira mengedipkan mata berkali-kali lalu tersenyum, "Aksara," panggilnya dengan sengaja membuat Aksara kembali membaringkan kepalanya lalu menutup mata."Bercanda sayang, badan kamu berat. Biar aku tidur di atas kamu aja."Gerakan cepat dari Aksara yang semula berbaring di atasnya kini mengangkat tubuh Zavira yang tidak mengenakkan pakaian terbaring di atasnya.Aksara kembali memejamkan mata, "aku ingin pelukan le
Nathaniel tersenyum tipis, "aku kira kamu tidak memikirkan perasaanku. Tapi, terima kasih."Zavira mengangguk, "maaf kalau lancang, aku harap kedepannya kita bisa berteman biasa atau sekedar rekan bisnis."Nathaniel mengangguk mengerti, ia tidak memiliki obsesi sebegitunya seperti Aksara dan ayahnya Theo. "Mohon untuk kerjasamanya di masa yang akan datang." Ia mengulurkan tangannya.Zavira lalu menjabat tangan tersebut, "iya, mohon kerjasamanya.""Apa yang kalian lakukan?" Aksara yang sudah setengah basah menghampiri mereka begitu terburu-buru saat melihat dari kejauhan Nathaniel mengulurkan tangan.Zavira segera melepaskan genggaman dan menatap khawatir pada Aksara yang basah kuyup bagian atasnya. “Kenapa malah hujan-hujanan?"Aksara menatap cemburu, ia lalu berujar, "jawab dulu pertanyaanku tadi, sayang." Ia sengaja menegaskan panggilan sayang di akhir.Zavira mendengar itu terkejut, "jabat tangan biasa, dulu kan Nathan pernah jadi editor aku," jelas Zavira sembari tersenyum.Aksara
Waktu itu. "Aku titipkan dia padamu," ucap Theo dengan wajah kusutnya, terdapat mata panda begitu lekat. Theo benar-benar kacau semenjak kehilangan Renjana, mantan kekasihnya. Aksara yang kala itu berumur 12 tahun menggaruk tengkuknya dengan canggung menggendong keponakannya yang baru berumur beberapa bulan. Semenjak putus secara sepihak oleh mantan kekasihnya, Theo dijodohkan oleh sang ayah demi kepentingan bisnis. Saat itu Theo berumur 22 tahun dan setelah 1 tahun menikah, ia baru melakukan hubungan badan dengan istrinya. Ia telah memiliki anak setelah berhubungan badan dengan istrinya satu kali. Setelahnya ia tidak pernah menyentuh istrinya sedikit pun. Perasaannya penuh dengan jijik pada dirinya sendiri karena harus melakukan hal tersebut dengan wanita yang tidak ia sukai. Theo berencana bercerai karena anaknya telah lahir, untungnya sang ayah tidak menolak dan mengiyakan permintaan Theo. "Kak, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?" tanya Aksara, wajahnya memiliki sedikit
Jam menunjukkan pukul 4 pagi, Zavira segera keluar kamar dan melihat Aksara tertidur di sofa ruang tamu. "Kenapa malah nggak ke rumah utama sih," gumamnya protes."Zavira?" Aksara terbangun kita mendengar suara dentingan gelas dan air mengalir. Zavira melirik ke belakang, lalu kembali menatap ke depan, dapur tanpa sekat sehingga ruang tamu terlihat jelas. "Ngapain?" Aksara berjalan mendekat dan akan memeluk Zavira. "Stop!" Zavira memundurkan langkahnya, sehingga pelukan itu tidak jadi. "Aku cuman mau minum."Aksara menatapnya dengan murung, Zavira masih menolak bersentuhan dengannya. "Kumohon, aku ingin memelukmu."Zavira menggelengkan kepalanya, ia masih belum puas karena perlakuan Aksara. Setidaknya ia ingin pria itu tidak mengulangi perbuatannya meski sudah berjanji."Ma-mau ke mana?" Aksara bertanya dengan nada takut saat Zavira berjalan menuju pintu keluar dengan membawa kunci rumah."Aku udah kasih pilihan sama kamu, tapi kamu malah tidur di sini," jelasnya dan baru saja mera
"Zavira, lebih baik pukul aku daripada mendiamkan aku," ucap Aksara menarik tangan Zavira dan ia tempelkan pada pipinya."Gak, aku mau sendiri itu lebih baik!" Zavira ingin melepaskan tangannya begitu kesulitan, pergelangan tangannya terasa sakit karena gesekan besi itu."Lepas! Sakit tahu!" Zavira menatap tajam pada Aksara, tak sedikitpun ada kelembutan pada tatapannya.Aksara menyesali perbuatannya, tak seharusnya ia mengurung Zavira dan menyerahkan pada para pembantu itu. "Maaf, aku bersalah …, Zavira, tolong maafkan aku." "Lepasin tangan aku, dan jangan temuin aku selama 3 hari kalau ingin aku maafin," ucap Zavira dengan serius membuat Aksara terkejut."T-tidak, ku mohon jangan suruh aku melakukan itu, aku tak sanggup," ungkapnya dengan nada penuh ketakutan, ia bahkan tak melepaskan genggaman tangan Zavira sedikit pun."Kalau kamu gini terus aku makin males maafinnya!" Tatapan Zavira yang menusuk itu membuat Aksara benar-benar ingin menangis. "Kumohon, aku janji gak akan menguru
Aksara menarik cepat tubuh Zavira sehingga Zavira meringis kesakitan pada pergelangan kaki serta lututnya. "Aduh pe-pelan pelan, kaki aku sakit," ringis Zavira membuat Fabian menatap kesal pada Aksara."Zavira," panggil Fabian menatap lembut pada wanita itu yang kini Aksara dekap.Zavira menggelengkan kepalanya, "gak apa-apa," ujarnya lalu Aksara mengangkat tubuhnya.Tanpa banyak bicara, Aksara membawa Zavira masuk ke dalam mobil, rahangnya nampak dikeraskan dengan urat leher nampak. Alis tebalnya menekuk ke bawah tanpa adanya senyuman.Dalam mobil dengan duduk di kursi belakang berada di atas pangkuan Aksara, Zavira merasa canggung, Aksara tak melirik sedikitpun padanya.Zavira paham pria itu cemburu, tetapi ia terjatuh hingga berada di atas Fabian tanpa sengaja. Ah sungguh, mengapa ia teledor sekali! Zavira lebih memilih diam hingga sampai di dalam rumah besar bak mansion itu, Aksara membawanya menuju kamar yang berbeda, bahkan lebih tepatnya ia di bawa menuju rumah kedua yang namp
Tanpa pikir panjang, Zavira segera berlari pergi saat menerima pesan dari Fabian, sesaat sebelumnya ia berganti pakaian terlebih dahulu.Ia segera mengambil kunci motor dan pergi menuju gerbang di mana satpam sedang berjaga."Pak tolong buka gerbangnya, nanti kalau ada yang nyariin aku, bilang aja ke rumah temen gitu," ucap Zavira terburu-buru membuat Satpam itu segera membuka gerbangnya.Mengendarai motor seorang diri pada jam 1 malam, Zavira hanya merasakan takut jikalau nanti ada begal. Namun, untungnya ia bisa sampai rumah Fabian dengan selamat.Kondisi rumah pria itu sangat kacau dengan lampu yang tidak menyala satu pun, bahkan ketika ia membuka pintu, barang-barang berserakan, seperti seseorang baru saja bertengkar hebat.Zavira melihat Fabian seorang diri memojok di kamar pribadinya dengan ponsel masih menyala menunjukkan roomchat Zavira."Fabian," panggilnya dengan nada rendah, berjalan menghampiri Fabian dengan wajah baru saja menangis.Sebelumnya, Zavira mendapat pesan bahwa
Zavira menatap ke arah Aksara yang baru saja pulang, jam menunjukkan pukul 12 kurang 30 menit. Dengan khawatir, ia menghampiri pria itu yang nampak setengah mabuk."Zavira?" Aksara memastikan yang memegang tangannya adalah Zavira. Matanya semula terpejam kini terbuka perlahan, menatap ke bawah di mana Zavira berdiri."Minum berapa botol tadi?" tanyanya menuntun Aksara menuju lantai atas. Semenjak mereka berpacaran, keduanya kini sekamar."Ehm lima, pak tua itu terus menyodori gelas saat membicarakanmu, aku tidak fokus dan tanpa sadar menerima gelasnya," jelas Aksara dengan wajah memerah, ia menatap penuh cinta pada Zavira."Kamu gak bener-bener mabuk kan? Masih sadar?" Zavira bertanya memastikan, ia lalu membuka pintu kamar.Aksara mengangguk, "hanya kepala ku pusing dan terasa berat, badan juga terasa panas." Ia memeluk erat tubuh Zavira yang dingin membuat tubuhnya sejuk."Mau mandi? Aku siapin air anget atau gak usah?" Zavira mendongak, sedikit merasa sesak karena pelukan Aksara.A