Pada akhir pekan, Zavira serta Lily berada di bar. Zavira yang beberapa hari kemarin ingin melamar kerja di bar ini pun ditolak, meski begitu ia memilih tidak bertanya karena terlalu muak.
Tidak benci, Zavira merasa malas untuk menanggapi hal ini. Selagi dirinya memiliki uang cukup banyak, ia tidak akan mengemis pekerjaan dan tidak akan bertanya apa alasannya. Awalnya begitu, hingga ketika ia berbincang dengan Lily, pikirannya berubah. "Btw, kamu gak nanya kenapa kamu ditolak kerja di sini juga?" tanya Lily seraya memainkan cangkir kecil berisi alkohol yang terisi setengahnya. "Nggak, kalo emang aku lagi boke bener-bener butuh kerjaan, nanti aku tanya kenapa aku ditolak mulu," jawab Zavira membuat Lily heran. "Lah aneh, kenapa gak sekarang coba?" Lily menangkup dagunya dengan telapak tangan kanan. "Tanya gitu ya?" kini Zavira menimbang saran dari Lily, ia lalu melihat Reno dan beralih menatap Lily seakan meminta jawaban. Lily melihat itu mengangguk serta berkata, "tanya aja, daripada nanti-nanti ribet." Reno yang baru saja datang menatap Zavira dengan penasaran, "mau nanya apa Vir?" Ia lalu memberikan toples berisi kue kering pada Lily. Lily meraih serta membuka toples itu yang tertutup rapat dengan solasi, cukup lama karena ia kesulitan membukanya. "Kenapa aku ditolak di kerjaan mana pun? Bahkan di sini juga, kamu pasti tahu kan?" Zavira tak menyadari Lily yang tetap diam saja meski kesulitan membuka tutup toples. "Untuk alesannya aku gak tahu, tapi yang jelas ada bos ternama yang blacklist kamu," jelas Reno membuat Zavira mengangguk paham. Hal berbau kekuasaan bagi dirinya cukup sulit untuk menghadapi pria itu, pikir Zavira. Hal ini membuatnya teringat kejadian saat ia lulus sekolah menengah atas. Peristiwa di mana kedua orang tuanya merupakan korban kecelakaan yang diakibatkan si pelaku lalai dalam mengendarai mobil. Zavira menghela napas panjang, jika mengingat kejadian itu, rasanya ia semakin membenci pada si pelaku yang bahkan tidak terjerat hukuman apapun. Lamunannya buyar ketika ia mendengar suara toples yang dihancurkan. Prak! Kretak! Reno serta Zavira menatap bersamaan ke arah Lily yang merusak toples itu karena ia tidak bisa membuka solasi yang menutupi setiap celah tutupnya. "Pfffth, apa-apaan ini, diancurin segala." Reno menahan tawanya dan membantu Lily membereskan kue yang berserakan di meja bar. Lily berdecak sebal, dia menyalahkan keduanya tidak membantu dirinya yang kesulitan membuka solasi pada tutup toples. Zavira menggelengkan kepala sembari mengambil satu kue kering lalu ia memakannya. "Enak juga, ini kalo aku lamar kerja di pabrik kue bakal ditolak juga kah?" Reno menjentikkan jarinya, "jelas, yang pasti kamu bakal kesulitan cari kerjaan. Gimana kalo kerja di rumah aja?" saran Reno membuat Zavira berpikir sejenak. "Jualan online gitu?" Reno mengangguk atas jawaban dari pertanyaannya membuat Zavira saat ini juga mengunduh aplikasi untuk menjual makanan secara online. Beberapa menit kemudian ia tersenyum hampa ketika melihat akunnya dalam waktu cepat di-banned selama 30 tahun. "Ha.ha.ha.ha." Reno serta Lily menelan saliva-nya, mereka sungguh heran, siapa pria hebat yang sampai di dalam ponsel pun Zavira di-blacklist. "Kalian pikir aku waras gak?" Zavira menyimpan ponsel sembari meminum alkohol dalam satu tegakan. Reno menghela napas lalu tiba-tiba pundaknya diketuk oleh Arin beberapa kali, dia berbisik sesuatu padanya. Setelah mendengar bisikan itu, Reno pun berucap, "tanganin dia dulu Li, kamu jangan sampe mabuk, bisa-bisa kejadian kemarin ke ulang." Belum sempat Reno melangkah pergi, Lily menahannya. "Kenapa? kamu mau ke mana?" Reno menunjuk beberapa wanita bergaya modis begitu seksi menunggu kedatangannya. "Tamu VVIP," bisiknya membuat Lily ber-oh ria. *** "Gimana kalau jadi penulis novel?" tawar Lily yang kini sedang mengerjakan naskah di laptopnya. Ia sedang berada di kamar milik Zavira. Zavira yang duduk di balkon sedangkan Lily kasur, ia melihat ke aranya seraya berkata, "boleh juga, lagian dulu sempet nulis novel sampai dicetak," ucap Zavira sembari berjalan mendekati sahabatnya. "Mau aku kenalin editor temen aku gak? Biar kamu ada yang ngurus, maksud aku, untuk lakuin kontraknya supaya dapet uang," jelas Lily kini mencari nama kontak di ponselnya. Zavira mengangguk saja menuruti kemauan Lily. "aku bakal di blacklist gak?" Ia bertanya penasaran. Jika dirinya ternyata di blacklist oleh editor itu, tamat sudah riwayatnya. Lily meminta Zavira menunggu sebentar ketika sedang saling kirim pesan pada editornya. "Pas! Nanti malem kita ketemu editor aku, dia bakal bawa temennya yang nanti jadi editor kamu." Zavira tersenyum senang mendengar itu, "mereka gak langsung nolak pas denger nama aku kan? Kalau kamu belum kasih tahu nama aku, gimana kalau samarin aja nama aku!" Dirinya benar-benar takut jika kejadian saat ia ditolak kembali terulang. Lily menggelengkan kepalanya, ia sedikit tertawa ketika Zavira begitu takut sampai-sampai ingin menyamarkan namanya. "Tenang aja, aku udah kasih tahu nama lengkap kamu, dia gak nolak atau apapun, malah langsung pengen ketemu malam ini, temen editor aku yang minta malah." Zavira baru bisa bernapas lega, ia harap jika nanti bertemu dengan calon editornya, dia tidak ditolak. Malam hari tiba, Zavira serta Lily telah bersiap mengenakan pakaian formal untuk pergi ke sebuah restoran mewah yang telah dipesan. "Editor macam apa ini, dia kaya? Kok bisa reservasi restoran ini?" tanya Zavira ketika mereka telah memarkirkan mobil di depan restoran. Lily mengangkat kedua bahunya, "selama empat bulan ini ya setahu aku dia royal si, lumayan lah gaji aku yang awalnya 500rb perbulan jadi tiga juta, lumayan kan?" Zavira mengangguk, tapi ia menggelengkan kepalanya selanjutnya. "Ah aku gak begitu tahu tapi tiga juta besar banget si." Lily lalu menarik tangannya masuk ke dalam dan disambut oleh pelayan, ketika ia menyebut nama editornya, pelayan itu segera mengantarkan keduanya menuju lantai dua. Sesampainya di sana, Zavira terdiam di tempat, pasalnya hanya ada dua pria yang duduk di meja membelakangi keduanya. Hal yang paling membuat Zavira terkejut adalah punggung pria itu sangat mirip dengan pria yang pernah melakukan malam panas dengannya. "Vir, kamu kenapa? Kayak lihat setan aja," ucap Lily dengan nada bercanda, pelayan tadi yang mengantar mereka telah kembali pada tempatnya. "I-itu, pria yang deket jendela, dia mirip kayak pria yang lakuin itu sama aku," bisik Zavira dengan gugup serta jantung berdetak kencang. "Ih anjir serius?" tanya Lily panik sembari menggigit bibir bawahnya. "Tadi kamu bilang temen editornya pengen ketemu aku? Jangan bilang dia tahu aku?" Zavira menjadi takut hingga membuatnya berharap bisa kabur saat ini juga. Lily membulatkan kedua matanya, ia menatap Zavira dengan panik. "Ya te-terus gimana? Mau pulang??" Zavira menghela napas, "nggak usah, nanti aku pura-pura gak tahu aja, ya tapi emang gak tahu si mukanya gimana, aku lupa sama muka dia," jawabnya membuat Lily menghela napas. "Lily!" panggilan dari editor Lily membuat kedunya membeku di tempat. Zavira yang berada di samping tak berani menatap kedua pria itu."I-iya halo, saya Zavira Anantha, umur saya 30 tahun," ucapnya menjabat tangan editor Lily bernama Abima. Ia benar-benar tidak menatap sama sekali pada pria di samping Abima. "Nah kalau ini teman saya Nathaniel Hawthorne, dia agak pendiem jadi tolong maklum," kata Abima dengan ramah, meski begitu Zavira tidak melirik sedikit pun pada Nathaniel. Ia tahu yang ia lakukan salah dan semakin ketahuan bahwa dirinya wanita waktu itu. Akan tetapi, Zavira tidak berani untuk menatap pria itu sehingga memilih membuang muka. "Pesen aja makanannya, biar saya yang bayar," suruh Abima diangguki Lily, tanpa menolak wanita itu memesan steak untuk dirinya serta Zavira. Peka akan situasi sahabatnya, Lily sesekali menjawab dan memberitahu informasi tentang Zavira pada Abima. Nathaniel yang sedari tadi diam, ia terus menatap menusuk pada wanita yang duduk di depannya, Zavira. Zavira begitu tertekan, ia bisa merasakan tatapan menusuk dari Nathaniel, dirinya hanya bisa menunduk serta sesekali menatap Lil
Fabian Reith, pria yang sudah lama tidak ia lihat sejak 5 tahun lalu karena pria itu berkuliah di luar negeri. Anak sulung Irna yang selama ini menjadi teman masa kecil Zavira.Fabian menatap Zavira yang menyembunyikan wajahnya seperti anak kecil dipelukan ibunya. Hal ini membuat ia teringat hal lalu saat keduanya masih remaja."Ka-kalau gitu Tante, aku mau ke rumah dulu," ucap Zavira gugup dan terburu-buru, ia menyembunyikan wajahnya agar tidak melihat Fabian yang terus menatapnya.Irna terkekeh melihat tingkah Zavira, ia meminta Fabian untuk menemani Zavira sembari memberikan beberapa makanan agar suasana hatinya membaik."Tapi Bian malu Ma," ujar Fabian, ia belum siap jika mengobrol berduaan dengan Zavira. Dulu ia sempat menyukai temannya itu. Hingga sampai saat ini, Fabian masih menyukainya."Kamu tuh udah 30 tahun umurnya, masak gitu aja malu sih? Cepet ambil kue di kulkas terus kasih ke Vira, jangan malu-malu, kasihan dia selama ini gak ada temennya," omel Irna membuat Fabian ma
"Apa?!" Zavira menyentakkan nadanya ketika mendengar bahwa Nathaniel sudah berada di depan pintu rumahnya. Begitu terburu-buru ia turun dari kasur serta berlari untuk membuka pintu. Nampak Nathaniel dengan kaos putih serta celana panjang biru tua, pria itu menatap dingin pada Zavira. "Jam segini kamu baru bangun?" tanya Nathaniel sembari mematikan sambungan telepon. Zavira menatap jam pada ponselnya, jam menunjukkan pukul 8 lewat 30 menit. "Masuk dulu," ucapnya diangguki Nathaniel yang segera duduk ketika sampai di sofa ruang tamu. "Mau m--" "Nggak, langsung aja buka laptopnya, saya gak mau buang waktu," potongnya membuat Zavira cemberut kesal. Tanpa mengomel ia segera mengambil laptop yang ada di kamarnya lalu kembali ke ruang tamu, ia memilih duduk di lantai beralas karpet bulu. Laptopnya ia taruh di meja serta Nathaniel duduk di sofa sebelah kanannya. "Jadi … Aku harus apa?" tanya Zavira dengan kepala melihat ke arah belakang. Nathaniel yang sedari tadi menatap Zavira, ia te
"Aku malu!" Zavira menutup wajahnya yang memerah. Sementara Lily duduk di depannya, ia telah mendengar ocehan dari Zavira yang mengatakan bahwa dirinya ketahuan oleh Nathaniel akan novelnya. Lily penasaran, jika dia ganti ide, akan menceritakan tentang apa? Ia pun bertanya, "Jadi mau nulis cerita baru apa nih?" Zavira menggelengkan kepalanya, "gak tahu, aku nulis apa dong?" ia malah bertanya balik dengan bibir di kerucutkan. Lily menghela napas, "udah novel awal aja, daripada pusing cari ide baru," saran Lily membuat Zavira menggelengkan kepala cepat. "Gak bisa, gak bisaaaa, ahk aku malu banget bayangin nulis adegan ini itu di depan dia, apalagi dia selalu pengen lihat aku nulis cerita secara langsung," ocehnya dengan kesal. Nathaniel terlalu semena-mena, suatu saat nanti ia akan merobohkan es batu itu! Lihat saja! "Emang ada ide kalo buat cerita baru? Padahal udah seru lho cerita itu, sayang banget diganti," ujarnya dengan tak rela. Menurutnya ide cerita tersebut cukup seru mesk
Suara nada dering begitu nyaring terdengar, Zavira melihat nomor tak dikenal menelponnya. Hal ini membuat Zavira segera mendorong tubuh Fabian, "bentar, aku angkat telpon dulu," ujarnya seraya berjalan menjauh. Fabian mengangguk, ia memilih menunggu dan berjalan mendekati air sehingga kakinya basah. Sementara Zavira nampak tidak berbicara apapun ketika sedang menerima panggilan telepon. "Kamu gila ya?" tanya Zavira akhirnya buka suara dengan kesal, ternyata yang menelpon dirinya adalah sang mantan, ia berkata akan bunuh diri jika Zavira tidak ingin balikan dengannya. "Sana bunuh diri aja, aku gak peduli!" Dengan kesal Zavira menutup telepon itu, lalu ia blokir serta mematikan ponselnya. Zavira melirik ke belakang, Fabian tengah berjalan ke arahnya dengan senyuman manis. "Tadi siapa yang nelpon?" tanyanya penasaran. "Mantan pacar aku, udah yuk pulang aja," ajaknya yang begitu jelas tidak ingin membahas lanjut tentang mantan pacarnya. Fabian memilih diam tidak bertanya, dan mengiy
Keduanya memilih bicara diluar, atau teras dengan pintu rumah sengaja Zavira tutup tetapi tidak rapat. Fabian berdiri di depannya dengan wajah murung. "Waktu mabuk itu, aku udah inget apa yang aku bilang ke kamu," ujarnya kini memegang jari jemari Zavira. Zavira melepaskan pegangan itu, ia bertanya dengan nada ketus. "Terus? Kamu mau apa lagi?" "Aku mau tanggung--" ucapan Fabian segera Zavira potong dengan kesal. "Nggak." Ia berkata begitu tegas dengan sorot mata tajam. "Bayi kamu gimana kalo gak punya peran ayah?" tanya Fabian dengan raut wajah khawatir. "Aku bilang nggak ya nggak, lagian gada tanda-tanda aku hamil kok," jawabnya penuh ketus. "Zavira, kalo nantinya hamil gimana? Biar aku tanggung jawab ..." Ia bersikeras dengan di akhir kalimat terdiam sejenak, melihat Zavira yang menatapnya tajam, sungguh rasanya sakit ditatap seperti itu. Zavira menggelengkan ke
"Aahk coba ngebut dong," pinta Zavira pada Nathaniel yang mengangguk paham. Pasalnya sekarang jam sudah menunjukkan pukul 4 sore lewat 40 menit. Sesampai di perpustakaan, Zavira melihat perpustakaan sudah sepi, tidak ada kendaraan terparkir membuat Zavira berjongkok sedih. "Huwaaa, aku kelamaan belanjanya." Nathaniel segera menarik Zavira, "masih bisa, ayo masuk." Zavira membiarkan Nathaniel menarik masuk ke dalam perpustakaan. Benar saja ternyata ia masih bisa masuk padahal jam sudah menunjukkan pukul 5 lewat 15 menit. "Ah aku ingin baca buku yang lagi virall, kamu mau apa?" tanya Zavira pada Nathaniel yang memilih duduk, ia tidak minat membaca novel karena cukup muak beberapa hari lalu membaca naskah para penulisnya. Berjalan sendiri menyusuri setiap rak besar, Zavira bergumam membaca judul di pinggir buku. "Ish, perasaan di daerah rak ini deh," dumelnya dengan bibir di kerucutkan. Ketika tangannya tak sengaja memegang tangan seseorang, Zavira membeku takut, "ha-hantu?"
Zavira baru sadar akan suatu hal, karena kesibukan dengan dunia barunya, ia melupakan untuk membakar barang pemberian mantannya. Hanya satu barang yang tidak ia bakar yaitu boneka besar yang sempat ia taruh di gudang."Haa sial, boneka pan-- Sabar Vira, jangan kasar, sabar hufhtt." Zavira menghela napas panjang, ia sudah merapikan barang ke dalam kotak besar dan akan ia bakar tempat pembakar sampah.Segera setelah keluar, ia bertemu Nathaniel yang dengan wajah seriusnya mendekati Zavira. "Ada apa?" Ia bertanya sembari berjalan menuju tempat membakar sampah. Pagi-pagi seperti ini pria itu begitu rajin merecoki harinya pikir Zavira."Aku bantu." Nathaniel segera mengambil kotak dari tangan Zavira yang mau tak mau tidak menolak."Ngapain ke sini?" Zavira bertanya lagi. "Bukannya draft novel aku ada banyak, mau apa?"Nathaniel melirik Zavira sekilas lalu menatap fokus ke depan. "Entahlah, kamu sengaja buat draft banyak supaya gak ketemu aku."Zavira tertegun, Nathaniel akhirnya berbicara
Selama dua minggu ini, Aksara sangat sibuk karena mempersiapkan pernikahannya dengan Zavira. Ia begitu tidak sabar untuk mengikat hubungannya dengan Zavira lebih dalam.Zavira yang tidak begitu banyak membantu merasa tidak enak. Ia melihat Aksara baru saja pulang padahal hari ini hari minggu, tetapi pria itu tidak beristirahat."Kenapa kamu gak minta bantuan aku?" Zavira mengusap kepala Aksara dengan lembut, menatapnya penuh kekhawatiran."Aku tak ingin istriku lelah." Ia menyembunyikan wajahnya pada perut Zavira. Mendengar itu, ia terkekeh dan mencubit gemas pipi pria itu. "Terima kasih sudah bekerja keras hari ini."Aksara mengangguk dan menarik selimut menutupi sebagian tubuh keduanya. Zaviea mematikan lampu dan menyalakan lampu tidur, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Angin malam berhembus kencang dari arah balkon. "Aku mau nutup pintu balkon," ucap Zavira mendapati penolakan dari pria itu."Biar aku saja."Zavira menahan tubuh Aksara. "Nggak boleh, kamu capek, istir
"Kamu?" Aksara memincingkan matanya. "Dipecat, tidak alasan lagi, jangan pernah merendahkan calon istriku, ini peringatan untuk kalian semua yang mendengarkan." Aksara menatap pada karyawan lainnya lalu masuk kembali ke dalam lift.Saat pintu tertutup, Zavira menghela napas berat. Ia tida memprotes, sejujurnya ia merasa sakit hati dikatakan demikian. "Ah, harusnya aku berhenti kerja aja ya secepatnya," ucap Zavira dengan perasaan berkecamuk.Aksara menatap dengan khawatir. "Sayang, aku gak mau kamu keluar kerja karena orang lain, tapi kalau kamu gak nyaman, aku bakal ikutin kemauan kamu." Aksara memegang kedua pipi Zavira, menatap lebih sendu pada Zavira yang lebih rendah darinya.Zavira terdiam sejenak lalu berujar, "ah maaf, aku plin plan banget."Aksara menggelengkan kepalanya, "nggak, jangan pikirkan itu, ikuti saja kata hatimu sayang.""Makasih banyak." Ia tersenyum lega, mencoba menghilangkan pikiran negatif dan fokus pada pekerjaannya.Beberapa saat kemudian, Zavira kini keluar
"Maaf, sejujurnya aku takut untuk hamil lagi, meskipun aku bener-bener pengen hamil dan ngandung anak aku," ucap Zavira memegang kedua pipi Aksara agar pria itu tidak mengalihkan pandangannya.Aksara terdiam sementara. "Sayang …, apa kamu pikir pernikahan selalu mengarah tentang hamil?""Menurutku begitu, aku pikir semua cowok gak akan mau sama cewek yang nunda punya anak, mungkin mereka ngerasa lebay kalau lihat istrinya trauma sama hamil." Penjelasan itu membuat Aksara mendengarnya sedih."Sayang, gak semua begitu.""Aku tahu." Kini ia melepaskan genggaman pada pipi Aksara.Aksara lalu berdiri, mengangkat tubuh Zavira dan ia bawa agar wanitanya duduk di atas paha ia. Duduk di pinggir kasur dengan Zavira di atas pahanya, Aksara memulai percakapan dengan cukup dalam."Aku akan selalu berusaha menghargai pendapatmu. Aku menikahimu karena ingin hidup selamanya denganmu. Jika kamu ingin nunda punya anak atau kehamilan, aku tak apa, kita bisa menunggu sampai kamu siap." Aksara tersenyum,
Zavira baru saja pulang dari kantor pada pukul sepuluh malam. Ia sengaja lembur karena sempat libur dua minggu saat kejadian kemarin.Pekerjaan yang menumpuk mengharuskannya menyelesaikan lebih cepat. Dan sesekali ia kelimpungan disebabkan Aksara yang rewel menyuruh Zavira pulang.Kini di parkiran sudah ada mobil Aksara dengan pria itu menyetir di dalamnya. "Lama." Satu kata lolos ketika Zavira baru saja masuk ke dalam."Berapa puluh kali kamu ngomong lama," omel Zavira, ia menarik sabuk pengaman dan menyimpan tas di tempat duduk belakang."Hmm." Aksara berdeham, ia sedikit takut jika ia mengeluh lagi pada Zavira karena keterlambatan pulangnya.Kepala Zavira di sandarkan pada kaca yang setengah terbuka, ia memejamkan mata ketika mobil di jalankan, menikmati hembusan angin malam masuk ke dalam."Mau apa?" tanya Zavira dengan mata masih tertutup.Tangan kiri Aksara yang baru saja ingin memegang rambut si empu terhenti. "Aku …, mau megang rambut kamu." Dengan nada memohon ia menjawab.Za
Masih berada di ruang tamu, Zavira telah selesai mengobati luka pada tangan Aksara. Kini ia masih duduk di atas paha kekasihnya dengan tangan pria itu merengkuh erat pinggangnya.Melirik ke arah telinga Aksara yang memerah, Zavira lalu memegang telinga kekasihnya yang sensitif. "Ah." si empu menahan tangan Zavira agar tidak mengusap sensual telinganya."Kenapa?" Ia memiringkan kepala, menatap Aksara yang menatapnya dengan tatapan aneh."Sensitif," jawab Aksara singkat, ia menarik tangan Zavira agar memegang pipinya saja."Ah aku paham." Zavira mengangguk mengerti, yang ia tahu jakun Aksara lah yang sensitif, ternyata telinga juga sama halnya.Kepala Aksara di sandarkan pada bahu Zavira, kini kedua tangannya memeluk erat pinggang ramping kekasih. "Sayang.""Hmm?" Zavira membalas dengan dehaman, mengusap belakang kepala Aksara dengan ibu jari yang mengelus pinggir matanya."Tidur di kamar bersamaku lagi, ya?" pinta Aksara, ia menatapnya dengan mata berbinar-binar."Iyaa." Zavira mengang
Malam-malam sekali, ketika melihat bulan bersinar indah. Zavira yang ingin melihatnya dari taman, hal itu membuatnya segera keluar kamar dan menuruni anak tangga.Ketika melihat Aksara sedang duduk di sofa sembari bersandar, Zavira seperti biasa akan selalu mengabaikannya. Akan tetapi, kali ini berbeda, Zavira melihat tangan Aksara yang berdarah sedang memegang bunga mawar.Secara perlahan ia mendekati pria itu yang sedang memejamkan matanya, menutup dengan pergelangan tangan kiri sementara telapak tangan telah berdarah serta tangkai mawar yang dicengkram erat.Apa ini perumpamaan? Batin Zavira bertanya. Jika di umpakan, dirinya adalah mawar, lalu duri itu adalah konfliknya.Apa kini Aksara sedang berusaha terus mendapatkan Zavira meski harus melewati konflik hingga mempertaruhkan nyawanya? Entah mengapa Zavira merasa konyol akan perumpamaannya.Ketika ia ingin pergi berlalu, Aksara yang memang tidak tidur sejak awal segera menarik Zavira membuat kekasihnya itu duduk di atasnya.Belum
Pagi-pagi sekali, Zavira keluar dari kamarnya, ia ingin menghirup udara segera setelah kemarin merasa sumpek diam di kamar serta kamar rumah sakit beberapa hari lalu.Ketika ia sedang menuruni anak tangga, Zavira melihat Aksara tanpa mengenakan pakaian hanya dengan celana tidurnya sedang menyeduh teh hangat.Memilih mengabaikan kehadiran pria itu, Zavira terus melanjutkan jalannya menuju pintu. Panggilan dari Aksara yang menyadari kehadirannya tidak membuat langkah Zavira berhenti.Terdengar suara langkah kaki cepat lalu menahan langkahnya. Aksara memeluknya dari belakang dengan wajah murung. "Kamu ingin pergi?"Zavira menggelengkan kepalanya, mendorong tubuh Aksara yang begitu mudah pelukannya terlepas. Biasanya Aksara akan memeluknya dengan erat, tetapi kini pria itu suka rela di dorong.Aksara hanya takut Zavira semakin membencinya, mengingat perkataan kemarin yang ia ketahui bahwa Zavira menyesal menolongnya.Padahal ucapan yang selanjutnya Zavira katakan, ia menyesal mengatakan i
Selama 3 hari di rumah sakit dalam masa pemulihan, Zavira akhirnya di perbolehkan pulang, selama itu pula Zavira masih marah dengan Aksara. Pintu kamar terbuka, Aksara dengan kemeja putih yang nampak berantakan. Ia mencoba membantu Zavira turun dari kasur. Namun, di tepis oleh si empu. "Aku bisa sendiri," ucapnya dengan nada dingin, berjalan mendahului Aksara yang menatap punggung Zavira dengan perasaan sedih. Sungguh ia masih merasa bingung mengapa perkataannya salah. Selama ini ia tak pernah di ajarkan untuk memahami penderitaan yang orang lain rasakan. Orang tuanya hanya melakukan kekerasan padanya. Dari belakang, Aksara membawa tas berisi barang perlengkapan Zavira, sementara kekasihnya itu masih terus berjalan ke depan tanpa melirik ke belakang. Langkah Zavira terhenti ketika di pertengahan lorong, ia meminta tas pada Aksara. "Biar aku yang bawa," ujarnya tanpa mau menatap wajah Aksara sedikit pun. Aksara mengernyitkan keningnya, ia lalu menggelengkan kepala seraya berkata
Terbangun dari pingsannya, Zavira melihat dokter serta suster yang sedang melakukan pengecekkan padanya. "Dokter?" Zavira bertanya lemas, menggerakkan kepalanya, menatap ke segala arah."Ah iya, apakah ada yang sakit?"Zavira menggelengkan kepala pelan, lalu terdiam, "bagian sini, terasa aneh," gumamnya memegang perut.Dokter itu menunjukkan ekspresi sedih, "apa Anda ingin mendengar kabar ini sekarang juga? Jika tidak, saya akan memberitahu saat kondisi Anda benar-benar pulih."Zavira menggelengkan kepalanya, "aku mau denger sekarang juga," pintanya dengan tangan memegang lemas tangan dokter tersebut.Dokter tersebut menghela napas pelan, lalu ia berkata, "Kami telah melakukan pemeriksaan dan menemukan bahwa janin Anda tidak dapat dipertahankan."Zavira terdiam, ia lalu memegang perutnya dengan wajah murungnya. Tunggu, mengapa dirinya tidak sadar bahwa telah hamil?"Sayangnya, kami telah menemukan bahwa janin Anda telah mengalami keguguran karena cedera yang Anda alami," lanjut dokte