"Kamu dipecat!" ucap Presdir perusahaan pada sekretaris di depannya. Dia melempar surat pemecatan pada Zavira yang kini berdiri di depan meja kantornya.
"Ta-tapi Pak, kenapa?" tanya Zavira dengan panik, tangannya gemetar ketika memegang surat pemecatannya dengan mata memanas. "Akhir-akhir ini kerjamu kurang optimal, tidak ada alasan lagi,” ungkapnya, tatapan pria berumur 45 tahun itu begitu menusuk, ia menatap Zavira yang kini menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Pergi dari sini! Dan bereskan barang-barangmu!" lanjutnya dengan nada penuh penekanan. Begitu jelas ia melihat tubuh mungil wanita itu gemetar. Zavira mengangguk, tenggorokannya perih, ia pamit dangan suara kecil yang begitu jelas menahan isak tangisnya. "Sa-saya permisi, terima kasih banyak untuk semua kebaikan Anda." Pria bernama Andra yang merupakan Presdir perusahaannya memejamkan mata sejenak lalu membuang muka. Ia menghela napas berat ketika mendengar suara Zavira yang pamit serta berterima kasih lalu mentup pintu pelan. "Karena dendammu, saya merelakan wanita berprestasi itu pergi, sisanya saya serahkan padamu," ucap Andra pada seseorang dari seberang telepon. Terdengar tawa puas dari pria berumur 44 tahun, hal itu membuat Andra menghela napas berat. Ketika ia berjalan keluar dan turun menggunakan lift, Zavira menangis tanpa bersuara membuat air matanya mengalir deras. Keluar dari lift dan menuju ruang kerjanya, Zavira memasukkan barang-barangnya ke dalam kotak yang berada di bawah meja tadi ia temukan. Air matanya berjatuhan ketika ia memasukkan barang-barang itu ke dalam kotak seperti kardus. Ketika dirasa cukup, baru saja ia keluar dari ruang kerjanya, di seberang, ia menemukan wanita yang merupakan rekan kantornya sedang mendesah tertahan dengan pria yang sangat ia kenal berjongkok di bawah wanita itu sedang duduk di atas meja kerja. "Alex ... Nita." Zavira berdiam diri di depan pintu ruangan kantor yang terbuka. Tangannya mengepal gemetar, bahunya berguncang menahan emosi yang tak terbendung. Di dalam ruangan itu, Alex juga termenung tak menyangka, melihat pacarnya menangkap basah dirinya sedang bercumbu dengan wanita lain. Jantung Zavira terasa sakit, seakan ribuan panah telah menusuk. Matanya memanas hingga tak lama kemudian ia meneteskan air mata begitu banyak. Zavira segera berlari pergi sembari membawa kotak berisi barang-barangnya, dengan derai air mata tak ia tahan, meluap begitu saja ia menangis. Suara tangisnya menggema di setiap lorong yang ia lewati. Malam ini, para rekannya telah pulang sehingga tidak ada siapapun yang membuat dirinya menjadi pusat perhatian. Tangisnya tersendat-sendat ketika ia ingin memencet tombol lift. Hatinya terasa sakit karena pengkhianatan dari kekasihnya. "Vira!" panggilan dengan nada kencang serta suara langkah kaki begitu cepat mengejar Zavira. Alex berbelok ke arah kiri, ia melihat pintu lift akan tertutup. "Tunggu!" Zavira mengabaikan teriakan tersebut, dirinya memilih pintu lift yang dibiarkan tertutup. Di dalam, ia terduduk lemas, tangisnya begitu kencang memenuhi ruang kecil ini. Setahun sudah hubungan yang mereka jalanin kandas. Padahal selama ini Zavira bersusah payah agar hubungannya utuh, ia selalu menyempatkan agar menghabiskan waktu dengan kekasihnya. Menatap wallpaper ponsel foto ia dengan pacarnya. Zavira belum mengganti selain memeluk erat ponselnya. "Kenapa? Kenapa harus selingkuh sama rekan kantor aku," ucapnya bergetar, air matanya kembali menetes begitu banyak. Menatap foto wallpaper di mana ia tersenyum ceria dengan sang pacar mencium pipinya. Saat-saat hari itu hubungan keduanya sangat manis, saling melempar canda tawa, serta pelukan hangat. Tubuhnya terasa lemas, Zavira lalu menyimpan ponselnya di saku. Keluar dari lift, ia kembali berlari menuju parkiran, ia menatap sebuah kotak yang tadi ia bawa berisi barang-barang miliknya. Tangisnya mereda ketika Zavira sampai di depan mobil. Menyimpan kotak tersebut di kursi belakang, mobil ia jalankan tanpa menunggu waktu lagi. Menatap lelah pada jalanan, Zavira menggigit bibirnya yang semakin memerah. Tangan kirinya tak henti mengetuk handbrake mobil. Sekitar matanya merah, ketika ia ingin meraih ponsel itu, dirinya kembali menangis. Air matanya mengalir lebih banyak dari sebelumnya. Dada terasa sesak membuat Zavira kesulitan bernapas. Meski air matanya mengalir deras, tapi kini suara tangisnya mengecil. "Ma, Pa, aku gak baik-baik aja," ujarnya dengan nada gemetar. Tidak ada yang bisa ia jadikan sandaran, kedua orang tuanya meninggal dunia 12 tahun lalu. Pacar satu-satunya yang ia miliki kini mengkhianatinya. Selain itu, hanya sahabatnya Lily yang sebelumnya ia abaikan karena Zavira terlalu sibuk dengan Alex serta pekerjaan. Ketika tangisnya berhenti, Zavira memarkirkan mobil di halaman depan rumah. Langkahnya lunglai ketika turun dari mobil, ia berjalan masuk ke dalam rumah, menatap ruang tamu yang gelap serta di samping kiri terdapat kamar telah kosong selama 12 tahun ini. Kamar milik Ayah dan Ibunya. "Zavira kangen kalian,," gumam Zavira kembali menangis membuatnya berjongkok di depan kamar orang tuanya. Memojok di depan pintu yang tertutup, Zavira menangis dalam keadaan rumah gelap, hanya ada cahaya rembulan yang memasuki di setiap celah tirai jendela. *** Pagi hari tiba, Zavira terbangun masih berada di depan pintu kamar orang tuanya, yang jelas semalaman ia tertidur di ruang tamu. Seluruh badannya begitu pegal dan sakit, matanya terasa suntuk. Zavira begitu lemas ketika berdiri menuju dapur, mengambil mie cup yang akan ia buat. Terlalu malas untuk memasak membuat Zavira memilih mie cup dengan persediaan begitu banyak. Sembari menunggu air dingin itu menjadi panas, Zavira menyalakan ponsel. Tampak puluhan telepon serta chat masuk, semua itu dari pacarnya, Alex. Zavira segera mematikan ponselnya, tidak ada lagi kesempatan yang akan ia beri. Kehadiran Alex dihidupnya menjadi obat dan racun sekaligus. Zavira akan mencari cara untuk move on dari pria itu secepatnya. "Rasanya air mata aku habis," gumam Zavira lalu mencuci muka di keran wastafel dapur. Setelahnya ia mematikan kompor dan menuangkan air itu pada cup yang telah ia buka. Wangi harum dari mie cup membuat perutnya meraung-raung. Sembari menunggu mie itu matang, Zavira membuat teh hangat. Ketika teh itu telah siap, ia mengecek mie cup miliknya sudah matang merata. Dalam keadaan panas, sesekali Zavira meniup mie itu agar dingin lalu ia makan dengan lahap. Di tengah-tengah menikmati makanannya, Lily memberi pesan pada Zavira. Gadis itu mengirim foto bukti bahwa Alex yang sedang merangkul wanita sedang chek-in hotel. Kepala Zavira berdenyut, air matanya benar-benar tidak lagi mengurai, ia bahkan menatap kosong pada foto itu. "Haaa sial." Ia meremat rambutnya agar rasa sakit pada kepala sirna, meski tampak tak ampuh, setidaknya ia cukup puas. Sungguh Zavira begitu marah, tapi energinya tidak ada membuatnya hanya terdiam dengan tatapan kosong. Bahkan mie yang masih banyak dibiarkan begitu saja. Zavira menyalahkan dirinya, tidak seharusnya ia memiliki hubungan dengan pria yang lebih muda. Alex, umurnya baru menginjak 25 tahun, sedangkan dirinya 30 tahun, wanita yang karirnya baru saja hancur dan semakin hancur ketika hubungannya kandas. Zavira berjalan menuju kamar, melihat boneka kelinci pemberian Alex, ia tersenyum lalu mengambil boneka tersebut. "Dasar cowok brengsek! Kamu bajingan anj," ucapnya dengan kesal membanting boneka itu serta ia injak berkali-kali. Cukup lama ia menyiksa boneka tersebut hingga merasa puas napasnya tersengal-sengal. "Haaa, haaa." Zavira memberikan jari tengah pada boneka kelinci yang kini berada di lantai. "Aku bakar kamu nanti! Awas aja!" Suara telepon dari ponselnya membuat Zavira segera kembali ke dapur tanpa sekat. Ia mengangkat telepon dari Lily. "Halo, ada apa Li?"tanya Zavira membuat Lily merasa janggal. "Kamu gak nangis? Kamu gak kenapa-kenapa?" Zavira menggelengkan kepalanya seraya berujar, "nggak, malem udah nangis banyak, oh ya, btw udah dari kemarin aku mergokin dia di kantor, eh bajingan itu malah lanjut part 2," umpatnya dengan emosi kini menggebu-gebu. Lily menghela napas panjang, ia benar-benar tak habis pikir karena pria itu ternyata malah melanjutkan aksinya. "Terus kamu gimana? Udah mutusin dia?"Pinntu rumah terbuka ketika sebelumnya terdengar suara motor diparkiran, Zavira berlari ke arah sahabatnya dengan dramatis ia berteriak, "HUWAAA LILY." Lily menghela napas, melepaskan pelukan Zavira yang menyesakkan, ia membawa kantung plastik putih berisi martabak keju kesukaan sahabatnya ini. "Sorry ya, aku baru datang sekarang." Zavira memanyunkan bibirnya lalu menggelengkan kepala, "gak apa-apa." Ia lalu mengambil satu potong martabak, begitu lahap ia makan dalam dua gigitan. Lily tersenyum tipis, ia menatap sekitar rumah Zavira yang nampak bersih daripada sebelumnya. "Rapi amat rumah kamu, tumben." "Aku dipecat, terus yang kamu tahu, aku putus, jadi yaa gini, gak ada kerjaan." Zavira mengangkat kedua bahunya. Meski rumah yang Lily lihat rapi, tampak jelas raut wajah si pemilik begitu kusut. "Terus gimana? Katanya kamu kirim CV ke beberapa website perusahaan." Lily kini mengambil potongan martabak untuknya, menyandarkan kepala pada sofa. Zavira menghela napas berat. "Ga
"Aah Vira, Lily, kalian ke mana aja?" tanya bartender yang sudah lama bekerja di bar ini. Dulu dia begitu akrab dengan keduanya yang selalu mampir. Keduanya melambaikan tangan dengan senyuman ceria. "Biasa gue sibuk kerja Ren," jawab Lily yang menyebut akrab nama bartender itu. Reno lalu menatap wajah Zavira yang begitu kusut meski ditutupi senyuman manisnya. "Nah, kayaknya ke sini ada masalah, boleh dong manis cerita," ujar Reno sembari mengelap gelas yang akan ia sediakan untuk kedua temannya. Zavira lalu duduk di kursi tinggi, terdapat meja bar di depannya serta buku berisi banyak menu minuman ber-alkohol. "Haaah … Aku baru putus sama pacar, aku juga dipecat dari kerjaan," jelas Zavira tanpa merasa malu, ia lalu mengambil gelas kecil berisi air putih yang Reno siapkan. Reno menatap prihatin, "mau kerja di sini gak? Tenang aja, aku kenal deket sama managernya, gak perlu hal ribet langsung kerja besok boleh," ucapnya begitu manis membuat Zavira berbinar-binar, ia lalu menatap
Pada akhir pekan, Zavira serta Lily berada di bar. Zavira yang beberapa hari kemarin ingin melamar kerja di bar ini pun ditolak, meski begitu ia memilih tidak bertanya karena terlalu muak. Tidak benci, Zavira merasa malas untuk menanggapi hal ini. Selagi dirinya memiliki uang cukup banyak, ia tidak akan mengemis pekerjaan dan tidak akan bertanya apa alasannya. Awalnya begitu, hingga ketika ia berbincang dengan Lily, pikirannya berubah. "Btw, kamu gak nanya kenapa kamu ditolak kerja di sini juga?" tanya Lily seraya memainkan cangkir kecil berisi alkohol yang terisi setengahnya. "Nggak, kalo emang aku lagi boke bener-bener butuh kerjaan, nanti aku tanya kenapa aku ditolak mulu," jawab Zavira membuat Lily heran. "Lah aneh, kenapa gak sekarang coba?" Lily menangkup dagunya dengan telapak tangan kanan. "Tanya gitu ya?" kini Zavira menimbang saran dari Lily, ia lalu melihat Reno dan beralih menatap Lily seakan meminta jawaban. Lily melihat itu mengangguk serta berkata, "tanya aja, dari
"I-iya halo, saya Zavira Anantha, umur saya 30 tahun," ucapnya menjabat tangan editor Lily bernama Abima. Ia benar-benar tidak menatap sama sekali pada pria di samping Abima. "Nah kalau ini teman saya Nathaniel Hawthorne, dia agak pendiem jadi tolong maklum," kata Abima dengan ramah, meski begitu Zavira tidak melirik sedikit pun pada Nathaniel. Ia tahu yang ia lakukan salah dan semakin ketahuan bahwa dirinya wanita waktu itu. Akan tetapi, Zavira tidak berani untuk menatap pria itu sehingga memilih membuang muka. "Pesen aja makanannya, biar saya yang bayar," suruh Abima diangguki Lily, tanpa menolak wanita itu memesan steak untuk dirinya serta Zavira. Peka akan situasi sahabatnya, Lily sesekali menjawab dan memberitahu informasi tentang Zavira pada Abima. Nathaniel yang sedari tadi diam, ia terus menatap menusuk pada wanita yang duduk di depannya, Zavira. Zavira begitu tertekan, ia bisa merasakan tatapan menusuk dari Nathaniel, dirinya hanya bisa menunduk serta sesekali menatap Lil
Fabian Reith, pria yang sudah lama tidak ia lihat sejak 5 tahun lalu karena pria itu berkuliah di luar negeri. Anak sulung Irna yang selama ini menjadi teman masa kecil Zavira.Fabian menatap Zavira yang menyembunyikan wajahnya seperti anak kecil dipelukan ibunya. Hal ini membuat ia teringat hal lalu saat keduanya masih remaja."Ka-kalau gitu Tante, aku mau ke rumah dulu," ucap Zavira gugup dan terburu-buru, ia menyembunyikan wajahnya agar tidak melihat Fabian yang terus menatapnya.Irna terkekeh melihat tingkah Zavira, ia meminta Fabian untuk menemani Zavira sembari memberikan beberapa makanan agar suasana hatinya membaik."Tapi Bian malu Ma," ujar Fabian, ia belum siap jika mengobrol berduaan dengan Zavira. Dulu ia sempat menyukai temannya itu. Hingga sampai saat ini, Fabian masih menyukainya."Kamu tuh udah 30 tahun umurnya, masak gitu aja malu sih? Cepet ambil kue di kulkas terus kasih ke Vira, jangan malu-malu, kasihan dia selama ini gak ada temennya," omel Irna membuat Fabian ma
"Apa?!" Zavira menyentakkan nadanya ketika mendengar bahwa Nathaniel sudah berada di depan pintu rumahnya. Begitu terburu-buru ia turun dari kasur serta berlari untuk membuka pintu. Nampak Nathaniel dengan kaos putih serta celana panjang biru tua, pria itu menatap dingin pada Zavira. "Jam segini kamu baru bangun?" tanya Nathaniel sembari mematikan sambungan telepon. Zavira menatap jam pada ponselnya, jam menunjukkan pukul 8 lewat 30 menit. "Masuk dulu," ucapnya diangguki Nathaniel yang segera duduk ketika sampai di sofa ruang tamu. "Mau m--" "Nggak, langsung aja buka laptopnya, saya gak mau buang waktu," potongnya membuat Zavira cemberut kesal. Tanpa mengomel ia segera mengambil laptop yang ada di kamarnya lalu kembali ke ruang tamu, ia memilih duduk di lantai beralas karpet bulu. Laptopnya ia taruh di meja serta Nathaniel duduk di sofa sebelah kanannya. "Jadi … Aku harus apa?" tanya Zavira dengan kepala melihat ke arah belakang. Nathaniel yang sedari tadi menatap Zavira, ia te
"Aku malu!" Zavira menutup wajahnya yang memerah. Sementara Lily duduk di depannya, ia telah mendengar ocehan dari Zavira yang mengatakan bahwa dirinya ketahuan oleh Nathaniel akan novelnya. Lily penasaran, jika dia ganti ide, akan menceritakan tentang apa? Ia pun bertanya, "Jadi mau nulis cerita baru apa nih?" Zavira menggelengkan kepalanya, "gak tahu, aku nulis apa dong?" ia malah bertanya balik dengan bibir di kerucutkan. Lily menghela napas, "udah novel awal aja, daripada pusing cari ide baru," saran Lily membuat Zavira menggelengkan kepala cepat. "Gak bisa, gak bisaaaa, ahk aku malu banget bayangin nulis adegan ini itu di depan dia, apalagi dia selalu pengen lihat aku nulis cerita secara langsung," ocehnya dengan kesal. Nathaniel terlalu semena-mena, suatu saat nanti ia akan merobohkan es batu itu! Lihat saja! "Emang ada ide kalo buat cerita baru? Padahal udah seru lho cerita itu, sayang banget diganti," ujarnya dengan tak rela. Menurutnya ide cerita tersebut cukup seru mesk
Suara nada dering begitu nyaring terdengar, Zavira melihat nomor tak dikenal menelponnya. Hal ini membuat Zavira segera mendorong tubuh Fabian, "bentar, aku angkat telpon dulu," ujarnya seraya berjalan menjauh. Fabian mengangguk, ia memilih menunggu dan berjalan mendekati air sehingga kakinya basah. Sementara Zavira nampak tidak berbicara apapun ketika sedang menerima panggilan telepon. "Kamu gila ya?" tanya Zavira akhirnya buka suara dengan kesal, ternyata yang menelpon dirinya adalah sang mantan, ia berkata akan bunuh diri jika Zavira tidak ingin balikan dengannya. "Sana bunuh diri aja, aku gak peduli!" Dengan kesal Zavira menutup telepon itu, lalu ia blokir serta mematikan ponselnya. Zavira melirik ke belakang, Fabian tengah berjalan ke arahnya dengan senyuman manis. "Tadi siapa yang nelpon?" tanyanya penasaran. "Mantan pacar aku, udah yuk pulang aja," ajaknya yang begitu jelas tidak ingin membahas lanjut tentang mantan pacarnya. Fabian memilih diam tidak bertanya, dan mengiy
Baru saja masuk ke dalam ruangan, ia merasa hawa di dalam begitu menyeramkan. Zavira lalu melirik pada Aksara yang terdiam menatap fokus pada layar monitor.Padahal biasanya Aksara akan menatapnya saat ia masuk, tetapi pria itu malah mengabaikannya. "Pak Aksara, ini dokumennya, tadi sekretaris baru rekan kita yang nganter, aku udah sewa gedung untuk rayain hari ulang tahun perusahaan kita."Aksara mengangguk dan menerima dokumennya. "Kenapa manggil pakai Pak?" Ia menarik pinggang Zavira sementara dokumen itu ia taruh di atas meja."Ah …." Zavira menatap ke arah lain dengan gugup. "Kamu kayak marah, apa aku ada salah?" Zavira lalu menatap kembali Aksara.Pria itu segera memijat keningnya, "maaf, nggak ada, aku cuman bersikap berlebihan saja." Ia lalu melepaskan tangannya pada pinggang ZaviraZavira memilih diam, ia ingin tahu apa yang Aksara lakukan selanjutnya. Hingga beberapa jam berlalu, meski Aksara terlihat kembali normal, ia merasa ada jarak diantara keduanya."Aksara …." Zavira
Zavira terbangun dari tidurnya karena merasakan sesuatu berat meliliti tubuhnya. Ketika ia membuka mata, ia melihat Aksara berada di atasnya memeluk dengan kepala berada di dadanya."Aksara, minggir." Ia mencoba mendorong kekasihnya yang tidak terbangun. Ia tahu Aksara saat ini berpura-pura sedang tertidur. Pelukan semakin erat itu yang membuat Zavira menebak demikian."… Aksara." Ia mencubit pelan pipi Aksara, tetapi itu tidak membuat Aksara bangun. "Sayang, minggir yaa," ucapnya dengan lembut.Aksara lalu membuka mata, menatap Zavira dengan berbinar-binar, "panggil lagi."Zavira mengedipkan mata berkali-kali lalu tersenyum, "Aksara," panggilnya dengan sengaja membuat Aksara kembali membaringkan kepalanya lalu menutup mata."Bercanda sayang, badan kamu berat. Biar aku tidur di atas kamu aja."Gerakan cepat dari Aksara yang semula berbaring di atasnya kini mengangkat tubuh Zavira yang tidak mengenakkan pakaian terbaring di atasnya.Aksara kembali memejamkan mata, "aku ingin pelukan le
Nathaniel tersenyum tipis, "aku kira kamu tidak memikirkan perasaanku. Tapi, terima kasih."Zavira mengangguk, "maaf kalau lancang, aku harap kedepannya kita bisa berteman biasa atau sekedar rekan bisnis."Nathaniel mengangguk mengerti, ia tidak memiliki obsesi sebegitunya seperti Aksara dan ayahnya Theo. "Mohon untuk kerjasamanya di masa yang akan datang." Ia mengulurkan tangannya.Zavira lalu menjabat tangan tersebut, "iya, mohon kerjasamanya.""Apa yang kalian lakukan?" Aksara yang sudah setengah basah menghampiri mereka begitu terburu-buru saat melihat dari kejauhan Nathaniel mengulurkan tangan.Zavira segera melepaskan genggaman dan menatap khawatir pada Aksara yang basah kuyup bagian atasnya. “Kenapa malah hujan-hujanan?"Aksara menatap cemburu, ia lalu berujar, "jawab dulu pertanyaanku tadi, sayang." Ia sengaja menegaskan panggilan sayang di akhir.Zavira mendengar itu terkejut, "jabat tangan biasa, dulu kan Nathan pernah jadi editor aku," jelas Zavira sembari tersenyum.Aksara
Waktu itu. "Aku titipkan dia padamu," ucap Theo dengan wajah kusutnya, terdapat mata panda begitu lekat. Theo benar-benar kacau semenjak kehilangan Renjana, mantan kekasihnya. Aksara yang kala itu berumur 12 tahun menggaruk tengkuknya dengan canggung menggendong keponakannya yang baru berumur beberapa bulan. Semenjak putus secara sepihak oleh mantan kekasihnya, Theo dijodohkan oleh sang ayah demi kepentingan bisnis. Saat itu Theo berumur 22 tahun dan setelah 1 tahun menikah, ia baru melakukan hubungan badan dengan istrinya. Ia telah memiliki anak setelah berhubungan badan dengan istrinya satu kali. Setelahnya ia tidak pernah menyentuh istrinya sedikit pun. Perasaannya penuh dengan jijik pada dirinya sendiri karena harus melakukan hal tersebut dengan wanita yang tidak ia sukai. Theo berencana bercerai karena anaknya telah lahir, untungnya sang ayah tidak menolak dan mengiyakan permintaan Theo. "Kak, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?" tanya Aksara, wajahnya memiliki sedikit
Jam menunjukkan pukul 4 pagi, Zavira segera keluar kamar dan melihat Aksara tertidur di sofa ruang tamu. "Kenapa malah nggak ke rumah utama sih," gumamnya protes."Zavira?" Aksara terbangun kita mendengar suara dentingan gelas dan air mengalir. Zavira melirik ke belakang, lalu kembali menatap ke depan, dapur tanpa sekat sehingga ruang tamu terlihat jelas. "Ngapain?" Aksara berjalan mendekat dan akan memeluk Zavira. "Stop!" Zavira memundurkan langkahnya, sehingga pelukan itu tidak jadi. "Aku cuman mau minum."Aksara menatapnya dengan murung, Zavira masih menolak bersentuhan dengannya. "Kumohon, aku ingin memelukmu."Zavira menggelengkan kepalanya, ia masih belum puas karena perlakuan Aksara. Setidaknya ia ingin pria itu tidak mengulangi perbuatannya meski sudah berjanji."Ma-mau ke mana?" Aksara bertanya dengan nada takut saat Zavira berjalan menuju pintu keluar dengan membawa kunci rumah."Aku udah kasih pilihan sama kamu, tapi kamu malah tidur di sini," jelasnya dan baru saja mera
"Zavira, lebih baik pukul aku daripada mendiamkan aku," ucap Aksara menarik tangan Zavira dan ia tempelkan pada pipinya."Gak, aku mau sendiri itu lebih baik!" Zavira ingin melepaskan tangannya begitu kesulitan, pergelangan tangannya terasa sakit karena gesekan besi itu."Lepas! Sakit tahu!" Zavira menatap tajam pada Aksara, tak sedikitpun ada kelembutan pada tatapannya.Aksara menyesali perbuatannya, tak seharusnya ia mengurung Zavira dan menyerahkan pada para pembantu itu. "Maaf, aku bersalah …, Zavira, tolong maafkan aku." "Lepasin tangan aku, dan jangan temuin aku selama 3 hari kalau ingin aku maafin," ucap Zavira dengan serius membuat Aksara terkejut."T-tidak, ku mohon jangan suruh aku melakukan itu, aku tak sanggup," ungkapnya dengan nada penuh ketakutan, ia bahkan tak melepaskan genggaman tangan Zavira sedikit pun."Kalau kamu gini terus aku makin males maafinnya!" Tatapan Zavira yang menusuk itu membuat Aksara benar-benar ingin menangis. "Kumohon, aku janji gak akan menguru
Aksara menarik cepat tubuh Zavira sehingga Zavira meringis kesakitan pada pergelangan kaki serta lututnya. "Aduh pe-pelan pelan, kaki aku sakit," ringis Zavira membuat Fabian menatap kesal pada Aksara."Zavira," panggil Fabian menatap lembut pada wanita itu yang kini Aksara dekap.Zavira menggelengkan kepalanya, "gak apa-apa," ujarnya lalu Aksara mengangkat tubuhnya.Tanpa banyak bicara, Aksara membawa Zavira masuk ke dalam mobil, rahangnya nampak dikeraskan dengan urat leher nampak. Alis tebalnya menekuk ke bawah tanpa adanya senyuman.Dalam mobil dengan duduk di kursi belakang berada di atas pangkuan Aksara, Zavira merasa canggung, Aksara tak melirik sedikitpun padanya.Zavira paham pria itu cemburu, tetapi ia terjatuh hingga berada di atas Fabian tanpa sengaja. Ah sungguh, mengapa ia teledor sekali! Zavira lebih memilih diam hingga sampai di dalam rumah besar bak mansion itu, Aksara membawanya menuju kamar yang berbeda, bahkan lebih tepatnya ia di bawa menuju rumah kedua yang namp
Tanpa pikir panjang, Zavira segera berlari pergi saat menerima pesan dari Fabian, sesaat sebelumnya ia berganti pakaian terlebih dahulu.Ia segera mengambil kunci motor dan pergi menuju gerbang di mana satpam sedang berjaga."Pak tolong buka gerbangnya, nanti kalau ada yang nyariin aku, bilang aja ke rumah temen gitu," ucap Zavira terburu-buru membuat Satpam itu segera membuka gerbangnya.Mengendarai motor seorang diri pada jam 1 malam, Zavira hanya merasakan takut jikalau nanti ada begal. Namun, untungnya ia bisa sampai rumah Fabian dengan selamat.Kondisi rumah pria itu sangat kacau dengan lampu yang tidak menyala satu pun, bahkan ketika ia membuka pintu, barang-barang berserakan, seperti seseorang baru saja bertengkar hebat.Zavira melihat Fabian seorang diri memojok di kamar pribadinya dengan ponsel masih menyala menunjukkan roomchat Zavira."Fabian," panggilnya dengan nada rendah, berjalan menghampiri Fabian dengan wajah baru saja menangis.Sebelumnya, Zavira mendapat pesan bahwa
Zavira menatap ke arah Aksara yang baru saja pulang, jam menunjukkan pukul 12 kurang 30 menit. Dengan khawatir, ia menghampiri pria itu yang nampak setengah mabuk."Zavira?" Aksara memastikan yang memegang tangannya adalah Zavira. Matanya semula terpejam kini terbuka perlahan, menatap ke bawah di mana Zavira berdiri."Minum berapa botol tadi?" tanyanya menuntun Aksara menuju lantai atas. Semenjak mereka berpacaran, keduanya kini sekamar."Ehm lima, pak tua itu terus menyodori gelas saat membicarakanmu, aku tidak fokus dan tanpa sadar menerima gelasnya," jelas Aksara dengan wajah memerah, ia menatap penuh cinta pada Zavira."Kamu gak bener-bener mabuk kan? Masih sadar?" Zavira bertanya memastikan, ia lalu membuka pintu kamar.Aksara mengangguk, "hanya kepala ku pusing dan terasa berat, badan juga terasa panas." Ia memeluk erat tubuh Zavira yang dingin membuat tubuhnya sejuk."Mau mandi? Aku siapin air anget atau gak usah?" Zavira mendongak, sedikit merasa sesak karena pelukan Aksara.A