Malamnya, di kota yang indah Arga memijat kaki Alinta. Di tempat tidur Alinta hanya ada oksigen, infus, dan di meja terdapat obat tumor dan penyakit ayan. Hanya itu yang bisa membuat Alinta tetap normal, belum ada informasi mengenai donor darah untuk mengoperasi tumor. Arga tidak bisa melihat Alinta yang muram, karena tidak bisa memberikan kepuasan ke pada Arga. Nenek angkat Alinta, pergi meninggalkan rumah karena Arga marah melihat sang istri yang dijadikan sebagai pemuat uang. Nafsu dunia yang membuat nenek angkat Alinta tergila-gila dengan warisan yang ditinggalkan oleh orang tua Alinta.
Untunglah, Arga sekarang bisa bernapas dengan tenang. Karena masalah yang satu sudah pergi, namun kondisi Alinta belum membaik.
"Alinta, kamu harus sembuh ya. Nenek angkatmu sudah tidak ada."Arga mencium kening Alinta."Arga, tante pulang. Gimana kondisi Alinta?"Tante kandung Arga datang, ia kemudian melepas sepatu dan berkemas-kemas. Auranti saat ini yang merawat AliAlinta sedang tidur di kamar, saat Auranti sedang berada di dapur terdengar suara bel yang mengetuk. Alinta yang mendengar suara bel, langsung bangun perlahan-lahan. Alinta meraba-raba tembok yang sudah dipasang pegangan buat difable. Alinta kemudian berjalan sambil menyeret kakinya yang masih gemetar karena penyakit ayannya. Sesampai di dekat kursi roda elektrik, Alinta duduk perlahan-lahan. Alinta yang berjalan sambil membawa tumor rahim yang mirip orang hamil kesusahan bernapas, ia mengambil oksigen di kursi roda. "Siapa yang datang pagi sekali?"tanya Alinta pada dirinya. Ia kemudian memasang tabung oksigen dan menggerakkan kursi roda. Sementara itu, Arga di luar negeri sedang menunggu penerbangan untuk ke tempat kerja. Dia memakai baju kantor dan membawa koper, Arga mengenakan baju kemeja dengan sangat gagah dan duduk di tempat penunggu keberangkatan. Sambil melihat jam, ia mengeluarkan ponsel kemudian Arga menekan nomer tante. Di rumah, Alinta sedang menuju ke ruang tamu menggu
Saat Alinta memakai selang oksigen, nenek angkat berpura-pura memijit tangan Alinta. Alinta yang melihat wajah nenek angkat menahan tangan dan kaki yang gemetar karena cemas. Alinta suka kambuh ayan, bila cemas namun sekarang ia tidak bisa meminta bantuan atau membuat sopir taksi yang dari tadi melihat kaca spion penumpang."Pak sopir, saya tidak apa-apa kok,"lirih Alinta. "Nek, bisa ambilkan obat tumor, ayan, dan sakit jantung!" Alinta menyuruh sang nenek."Oh, iya sayang. Sebentar nenek ambilkan." Nenek angkat Alinta mengambil obat di kursi roda.Dasar, cucu angkat tidak tahu diri. Memangnya aku ini pembantumu, seenak saja minta bantuan. Lihat saja saat di Toko atau Mal aku akan buat kamu kesakitan dan aku buat kakak kandungmu tidak sembuh, batin nenek angkat Alinta. Ia mengambil ponsel dan dengan hati-hati ia mengeluarkannya. Kemudian ia menekan nomer dan mengirim pesan. Untuk Suster SiskaSuster, kamu saya tugaskan suntikan obat yang buat kejang-kejang. Kamu
"Terima kasih, bu. Saya buat ibu repot," ucap Alinta. Ia berkata dengan nada sesenggukkan. Wanita itu melihat Alinta yang menangis. Ia bertanya, kenapa ada seorang yang tega membuang keluarga nya meskipun keluar ga nya berkebutuhan fisik? Lalu wanita itu mendekat."Kenapa kamu menangis?" tanya wanita yang membantu Alinta. Wanita itu lalu lalang dari kemarin, namun hari ini baru bertemu dengan wanita muda yang cantik dan dalam wajah pucar."Nenek saya orangnya jahat, saya hanya bisa minta tolong sama ibu."Bagi Alinta, ia bisa terbebas dari sang nenek. Tetapi, Alinta sekarang tidak bisa bebas, nyawa kakaknya dalam genggaman sang nenek yang terus-menerus membuat Alinta tertekan.Sementara itu, Auranti masih di taksi. Ia kepikiran kakak kandung Alinta dan Alinta yang bersama nenek angkat. Auranti kemudian mengambil ponsel, jari-jarinya menekan nomer Arga. Arga cepat dibuka dan angkat, tante butuh bantuan kamu. Auranti semakin gelisah. "Halo tante, ada apa ya menelepon?" tanya Arga yang
Di wc umum yang terdapat di mal, Alinta sedang ditolong oleh beberapa wanita yang sedang memberikan pertolongan. Salah satu wanita itu masih menunggu jawaban dari tante Auranti. Sementara itu, tante Auranti sedang membayar taksi online."Terima kasih pak. Terima kasih banyak," ucap Auranti. Supir taksi itu mengangguk dan kemudian meninggalkan Auranti setelah menerima uang pembayaran tunai.Suasana kembali tenang di mal, saat Alinta sadar. Beberapa orang yang menolong kemudian membantu Alinta untuk menuju ke kursi roda Alinta berjalan perlahan-lahan di kursi roda."Saya merasa sangat bersyukur. Saya bersyukur sudah ditolong," ucap Alinta dengan wajah memerah. Ia merasa malu karena penyakitnya kambuh dan merasa bahagia karena banyak orang menolong."Mba Alinta ya. Saya baca di KTP nama mbak. Tadi saya juga menelepon tante anda, tetapi belum ada panggilan," ucap wanita yang memegang ponsel Alinta. Wajahnya kusut dan cemas."Oh, tante Auranti. Dia si
Petugas medis sedang membawa Alinta, mereka di dalam lift menunggu tiba di atas mal. Karena helikopter medis parkir di atas gedung mal. Alinta sudah disuntik obat masih belum bangun dari tidur karena tumor yang sudah parah. Saat sudah sampai di atap bangunan mal, petugas medis sedang membawa Alinta dengan hati-hati. Saat Alinta dimasukkan ke helikopter, ia masih terbaring dan belum sadarkan diri. Dosis obat sudah dimasukkan dengan jumlah besar. Namun tidak ada perubahan sama sekali, Alinta juga tidak membuka mata. Ia hanya bisa mendengar. Ya, Alinta mengalami koma dan tidur yang sangat lama. Di kamar hotel, Arga sedang melihat pemandangan. Ia kemudian melihat jam tangan, ternyata sudah jam untuk istirahat. Kemudian Arga mengambil ponsel di saku, lalu ia membuka ponsel. Di ponsel, terdapat pesan yang belum terbaca atas nama Auranti. Dari tante Auranti Maaf baru bales, anakku. Tante sedang menangani kakak kandung Alinta yang sakit. Kakak memeriksa, kesehatan mental dan fisiknya menur
Paginya, Auranti sedang berkemas-kemas untuk mempersiapkan Alinta pulang. Alinta kini sudah sehat. Dan dia duduk di kursi roda.“Tante, apakah mas Arga sudah datang?” tanya Alinta. Penyakitnya masih membuat sulit bergerak. Tumor yang membuat perut keliatan besar, harus membuat Alinta semangat. “Alinta, Arga besok akan pulang. Tante akan mengawasi nenek angkatmu. Kamu tenang.”“Tan, jangan buat kerusuhan. Aku ingin tante dan suamiku tenang.”“Memangnya kenapa?”“Mantan suamiku pasti yang menyuruh nenek angkat,” ucap Alinta.“Ya sudah, semua pakaian sudah siap. Sekarang sudah jam tujuh. Kamu kemarin terbaring selama dua hari. Ini sudah tiga hari, dan dokter izinkan kamu pulang,” ucap Auranti. Auranti yang memakai pakaian kaos dan celana jeans panjang, mata berwarna biru dan rambut pirang ini sangat peduli pada Alinta.“Tante, jika aku punya anak. Tolong jaga anakku dan suamiku,” ucap Alinta. Seketika itu Tante Auranti meneteskan air mata, ia tidak ingin berlarut dalam kesedihan. “Ayo k
“Mas, pokoknya apa yang terjadi denganku mas tidak boleh ikut campur,” ucap Alinta. Air mata membasahi mata dan wajah Alinta, ia tidak tahu lagi apa yang akan dilakukan oleh nenek angkatnya. “Kamu kenapa menangis, sayang?” tanya Arga. Arga sedang duduk di kasur hotel, ia juga ikut menangis. “Apakah kita tidak bisa menjalani rumah tangga yang damai. Aku sudah sakit disiksa dengan nenek angkat dan mantan suamiku. Aku tidak tahu lagi harus apa.” Di depan rumah, nenek angkat Alinta menunggu bu Jiah yang sudah datang dan di depan komplek perumahan elite. Saat itu muncul wanita yang dipanggil untuk mengurut Alinta. “Bu Jiah, saya di rumah sini. Maaf ya saya memanggil bu dan suruh datang ke alamat yang lumayan jauh.” “Tidak apa-apa, saya malah senang pelanggan utama saya datang.” “Sebentar, ya. Saya panggilkan Alinta.” Nenek angkat Alinta datang dan masuk ke rumah. Ia kemudian manggil Alinta. “Hei, anak tidak berguna di mana kamu? Tukang urut sudah datang itu.”Alinta di kamar, tangan
Saat Alinta sudah berhasil menahan sakit karena habis diurut, ia menghirup napas dengan sekuat tenaga meskipun masih memakai tabung oksigen.“Bu, saya mohon. Ibu jangan terlibat masalah saya dengan nenek angkat saya,” ucap Alinta. Matanya berlinang air mata, tubuhnya yang lemas Alinta paksa untuk tetap sehat.“Baik, non. Saya pergi, maafkan saya yang membuat nona kesakitan.”“Saya sudah maafkan, ibu pergi dan kalau nenek angkat saya bertanya. Jawab saja, saya sudah sekarat.”Alinta berjalan perlahan-lahan dengan perut yang besar akibat tumor. Ia kemudian mengambil tas.Maha memberi kesehatan, hamba minta kuatkan hamba. Hamba ingin berbicara dengan tante.Di ruang tamu, nenek angkat Alinta sedang membaca ponsel. Bu Jiah lewat, “Permisi bu, saya pamit dulu.”“Apakah, anak itu sudah kesakitan?” tanya nenek angkat.“Sudah, bu. Kalau begitu saya pergi.”Setelah bu Jiah per