Paginya, Auranti sedang berkemas-kemas untuk mempersiapkan Alinta pulang. Alinta kini sudah sehat. Dan dia duduk di kursi roda.“Tante, apakah mas Arga sudah datang?” tanya Alinta. Penyakitnya masih membuat sulit bergerak. Tumor yang membuat perut keliatan besar, harus membuat Alinta semangat. “Alinta, Arga besok akan pulang. Tante akan mengawasi nenek angkatmu. Kamu tenang.”“Tan, jangan buat kerusuhan. Aku ingin tante dan suamiku tenang.”“Memangnya kenapa?”“Mantan suamiku pasti yang menyuruh nenek angkat,” ucap Alinta.“Ya sudah, semua pakaian sudah siap. Sekarang sudah jam tujuh. Kamu kemarin terbaring selama dua hari. Ini sudah tiga hari, dan dokter izinkan kamu pulang,” ucap Auranti. Auranti yang memakai pakaian kaos dan celana jeans panjang, mata berwarna biru dan rambut pirang ini sangat peduli pada Alinta.“Tante, jika aku punya anak. Tolong jaga anakku dan suamiku,” ucap Alinta. Seketika itu Tante Auranti meneteskan air mata, ia tidak ingin berlarut dalam kesedihan. “Ayo k
“Mas, pokoknya apa yang terjadi denganku mas tidak boleh ikut campur,” ucap Alinta. Air mata membasahi mata dan wajah Alinta, ia tidak tahu lagi apa yang akan dilakukan oleh nenek angkatnya. “Kamu kenapa menangis, sayang?” tanya Arga. Arga sedang duduk di kasur hotel, ia juga ikut menangis. “Apakah kita tidak bisa menjalani rumah tangga yang damai. Aku sudah sakit disiksa dengan nenek angkat dan mantan suamiku. Aku tidak tahu lagi harus apa.” Di depan rumah, nenek angkat Alinta menunggu bu Jiah yang sudah datang dan di depan komplek perumahan elite. Saat itu muncul wanita yang dipanggil untuk mengurut Alinta. “Bu Jiah, saya di rumah sini. Maaf ya saya memanggil bu dan suruh datang ke alamat yang lumayan jauh.” “Tidak apa-apa, saya malah senang pelanggan utama saya datang.” “Sebentar, ya. Saya panggilkan Alinta.” Nenek angkat Alinta datang dan masuk ke rumah. Ia kemudian manggil Alinta. “Hei, anak tidak berguna di mana kamu? Tukang urut sudah datang itu.”Alinta di kamar, tangan
Saat Alinta sudah berhasil menahan sakit karena habis diurut, ia menghirup napas dengan sekuat tenaga meskipun masih memakai tabung oksigen.“Bu, saya mohon. Ibu jangan terlibat masalah saya dengan nenek angkat saya,” ucap Alinta. Matanya berlinang air mata, tubuhnya yang lemas Alinta paksa untuk tetap sehat.“Baik, non. Saya pergi, maafkan saya yang membuat nona kesakitan.”“Saya sudah maafkan, ibu pergi dan kalau nenek angkat saya bertanya. Jawab saja, saya sudah sekarat.”Alinta berjalan perlahan-lahan dengan perut yang besar akibat tumor. Ia kemudian mengambil tas.Maha memberi kesehatan, hamba minta kuatkan hamba. Hamba ingin berbicara dengan tante.Di ruang tamu, nenek angkat Alinta sedang membaca ponsel. Bu Jiah lewat, “Permisi bu, saya pamit dulu.”“Apakah, anak itu sudah kesakitan?” tanya nenek angkat.“Sudah, bu. Kalau begitu saya pergi.”Setelah bu Jiah per
Auranti berlari menuju kamar yang di depan. dia memakai pakaian biasa karena habis masak, saat dia sudah menuju ke kamar keponakannya. Auranti melihat wanita yang sudah dianggapnya sedang tergeletak di lantai dan di sekitarnya ada pecahan gelas. “Alinta, kamu tidak apa-apa? mengapa kamu bisa seperti ini?” tanya Auranti yang memakai pakaian bisa. Dia secepatnya menuju ke Alinta yang terbaring. Saat itu juga ada ponsel yang berdering di saku celana Auranti. Wanita yang tengah memangku Alinta kemudian mengambil ponsel. “Halo, ini siapa ya?” tanya Auranti. dia tengah mengecek suhu badan Alinta sambil menerima sebuah panggilan di ponsel. “Tante, ini Arga. Apakah Alinta baik-baik saja?” tanya Arga yang sedang di hotel. Arga di hotel sedang mengecek jadwal. dia makanya menelepon tante Auranti yang ada di rumah. “Arga ... Alinta ... tidak bangun. Alinta demam, dia pucat sekali. Ini semua karena tante telat.”Auranti sedih, butir air matanya menetes deras dan membasahi pipinya. Meskipun Ali
Alinta yang masih dipasang alat medis dan tidur di mobil ambulance hanya bisa menatap wajah wanita yang menyayanginya. Wanita yang menolongnya sungguh baik. Alinta ingin sendiri saat itu. Namun, Alinta tidak bisa membiarkan nenek angkat membawa tukang pijat untuk dijadikan kambing hitam.“Tante, aku sangat berterima kasih. Alinta berharap tante dan Arga tidak terperangkap oleh permainan nenek angkat,” ucap Alinta dengan nada terbata-bata. Auranti tersenyum untuk membuat Alinta tidak cemas. Karena Auranti sudah menjadi ibu pengganti bagi Alinta. Semenjak orang tua Alinta meninggal, Auranti mengurus Alinta dan kakak kandung Alinta dengan bekerja keras.“Alinta, tante sudah menganggap kamu keponakan tante. Kamu istirahat ya. Kita sebentar lagi sampai di rumah sakit,” ucap Auranti. Wanita yang tengah terbaring lemah ini mengerti dan sudah tahu. Pasti ada cara untuk membuat hati nenek angkat yang kejam. Sekejam-kejamnya nenek angkat pasti dia juga mempun
“Tante, kita ke dalam ruangan. Mungkin dia bisa mendengar kita.”Auranti dan Delia masuk, kemudian mereka berdua memakai alat pelindung diri ke ruang ICU. Saat di ruang ICU, Delia yang berwajah cantik itu meneteskan air mata karena melihat sahabatnya terbaring lemah.“Alinta, aku menginginkan kamu hidup bahagia. Kenapa kamu bisa seperti ini,” ucap Delia. Delia lah yang telah menjodohkan Arga dan Alinta. Dia tidak ingin Alinta kesepian dan melihat Alinta yang menyiksa diri dengan kerja keras tanpa istirahat dan mementingkan uang saja.Delia teringat ucapan Alinta saat di kantor. Saat itu Alinta sedang makan dan dia tidak habis.“Al, kamu tidak makan sampai habis?” tanya Delia. Alinta hanya tersenyum ke Delia dan berkata dengan sopan.“Del, aku tidak ingin menikah. Aku hanya ingin fokus menjadi wanita karir yang bisa membuat kakak kandung bahagia dan sehat,” ucap Alinta. Saat ini, Delia sedang menangis di dekat sahabatnya yang terbaring. Alinta yang koma bisa mendengar suara orang namu
Malam ini, Wanita yang tengah menggenggam tangan seorang wanita muda yang terbaring lemah dengan alat medis dan masih belum bisa diajak bicara mau pun diajak menggerakkan tangan masih menunggu jawaban dari dokter dan sekaligus temannya. “Alinta, tante dapat kabar kalau Arga akan ke sini segera mungkin. Kamu harus kuat menahan sakit jangan seperti tadi siang.”Auranti yang memegang tangan Alinta dan masih mengenakan pakaian alat medis untuk melindungi diri dari bakteri masih menjaga keponakannya. Sore itu, setelah Alinta kejang-kejang karena kritis dan menahan sakit. Namun, saat Alinta kejang-kejang Auranti mendapatkan kabar gembira untuk keponakan yang masih terbaring lemah. “Halo, ini Arga tante. Sudah di Singapore mau ke Jakarta. Secepatnya akan ke rumah sakit jika tidak ada halangan.” Alinta yang kejang-kejang itu ditangani dengan suster. Tumor yang membuat perutnya bengkak akibat tumor rahim yang sangat besar membuat kesulitan bernapas. Bahkan, Alinta saat ini pupil matanya masi
“Tante tinggal dulu ya, mau ke ruang kerja.”Auranti meninggalkan Alinta sendirian, saat di kamar ruangannya tidak terlalu sejuk karena Air Conditioner sudah diatur suhu kelembapannya. Jadi, Alinta tidak merasa dingin dan menggigil. Alinta kemudian mengambil ponsel, ia kemudian membuka. Namun, Arga datang tepat pada waktunya dan berhasil mencegah Alinta untuk berkativitas.“Kamu tidur saja, Alinta. Aku tidak mau membuat kamu sakit lagi. Aku hanya ingin kamu memperhatikan kesehatanmu,” ucap Arga. Arga di ruang ICU sedang membawa baskom yang berisi air yang tidak terlalu panas. Kemudian, Arga menaruh baskom.“Mas, lebih baik kita cerai. Karena aku tidak mau kamu dan tante jadi ikut dalam masalah ku dan mantan suamiku.” Alinta yang masih memakai tabung oksigen dan memejamkan matanya karena sakit tiba-tiba meneteskan air mata. Saat ini, Arga sedang menuju ke Alinta dan menenangkan istrinya yang menangis. Arga yang merasa tertekan karena setiap kali dia tidak bisa menemani sang isrti, nen