Arga mendusin dari kasur, mengambil beberapa pakaian untuk diganti. Alinta yang di kasur, kini masih tidak sadarkan diri dan tidak mampu memberi reaksi terhadap suatu rangsangan dan terbaring di rumah sakit. Saat Arga mau membuat jasmani kembali segar, terdengar sebuah ketukan pintu dari apartemen.Arga melangkahkan kaki, sehingga terdengar suara sandal di apartemen. Dia menuju pintu yang terdapat gantungan kunci. Waktu di buka, dia melihat seorang wanita yang Arga kenal dan disayangi di depan pintu.“Tante, aku menghubungi setiap detik tetapi tidak ada jawaban. Sampai aku terpaksa pulang, karena melihat Alinta yang masih belum bangun.”“Arga, maaf karena ibadah sangat lama. Tante harus mematikan ponsel, ini tante bawakan oleh-oleh untuk kamu. Mungkin dengan memakan kurma yang masih hijau, kamu akan tenang. Bisa juga sebagai herbal untuk Alinta.”Kultur di Kota Jepang membuat Alinta tersenyum, saat pertama kali datang ke Jepang di Bandara udara di Ota. Dia sangat memperhatikan dengan
Di apartemen, Arga sedang menyuapi Alinta bubur. Bubur itu dimasukkan ke slang yang terpasang dari trakea, karena tidak bisa menggerakkan bibir dan mulut akibat saraf yang sudah rusak. Wanita yang sedang duduk di kursi roda, perlahan-lahan menggerakkan tangan. Dia seperti ingin bergerak, namun raganya seperti terkunci karena penyakit saraf di otak yang membuat dia lumpuh.“Arga, tante sudah mendapat kabar. Yang mencelakai Alinta, seorang wanita yang muda.” Wanita muda yang memegang telepon genggam, berusaha mengepalkan tangan untuk mengendalikan amarah. Dia tidak bisa menunjukkan sifat brutal pada keponakan laki-laki, Auranti memang tidak bisa mengendalikan emosi tetapi dia berusaha membuat Arga dan Alinta menikmati ketenangan di apartemen. Empat hari, Alinta di rumah sakit. Saat Arga dan Auranti ke rumah sakit.“Alinta, kepokanakan tante. Kamu harus bisa mengedipkan mata, jangan mau kalah dengan penyakit.” Arga baru menyadari, bahwa wanita yang merawat Alinta di apartemen begitu k
"Mas, aku sudah kerja capek. Tetapi mas tidak mau meminjam uang untuk aku berobat. Aku malah diperhatikan dengan CEO di kantorku, dibanding mas sendiri mabuk dan berjudi. Mau mas sendiri apa? Sakit tahu, aku menderita tumor di perut. Orang mengira kita hamil kembar, tetapi aku tidak mau berpikiran bahwa orang sok tahu." Wanita itu marah-marah di kursi roda karena suami mengambil uang. Alinta yang masih di kursi roda dan memakai tabung oksigen dengan selang infus tidak bisa berpikir dan melawan karena masih lemah akibat penyakit yang sering kambuh. Usia Alinta masih muda, wanita yang duduk di kursi roda ini hanya bisa pasrah dan menunggu perceraian setelah surat cerai datang. Saat ini, Alinta melamun membayangkan pertengkaran dengan mantan suami. Tidak tahu apa yang dipikirkan oleh wanita itu. Alinta yang mengingat bagaimana mantan suaminya membuang uang demi berjudi saat sedang menipis perekonomian Alinta karena selama sebulan uangnya diminta suami yang berjudi. Sang supir yang melih
"Alinta bertahanlah, aku akan memanggil ambulans," ucap Arga. Arga mengeluarkan sebuah ponsel dari saku, Alinta masih terbujur kaku dan kejang, air liurnya keluar dari mulut karena ayan. Ayan atau Epilepsi yang Alinta alami belum berhenti, sehingga Alinta harus dipasang oksigen sambil menunggu ambulans. "Del, kamu sudah dapat nomor telepon keluarganya Alinta?" tanya Pak Arga. Delia tersenyum, dia menjawab dengan sopan pertanyaan dari bosnya. "Pak, saya teman baik mbak Alinta saja. Sampai detik ini tidak diberitahu bahwa mbak Alinta punya nomor ponsel keluarganya. Hanya bercerita kakak kandungnya memiliki penyakit ayan dan dia cerai sama suaminya." "Alin, kamu bertahan. ambulans sebentar lagi sampai." Arga memakaikan oksigen dengan perlahan, dia mengelap liur di mulut Alinta yang keluar. Arga rasanya ingin menikah dengan Alinta, dia memilih calon yang tepat. Dilihat dari cara kerja Alinta, pegawai perempuan Arga yang sakit ini jarang mengeluh ketika sakit. "Pak Arga, saya tidak apa
Arga masih di ruang ICU, ia masih belum bergerak sedikit bahkan makan makanan ringan untuk makan siang pun tidak diperdulikan.Arga merasa bersalah dengan Alinta karena dirinya menyetujui pernikahan dengan wanita yang ia cintai, namun belum tercatat oleh negara. Arga kebingungan waktu di hotel dekat Ancol karena saat itu mereka berdua sedang kerja. Kejadian Alinta meminta kawin lari karena tidak ingin membuat kakak kandungnya sedih memikirkan nasip Alinta yang menyusahkan Arga. "Pak Arga, karyawan bapak yang di kamar 213 kejang-kejang." Salah seorang staf memberi tahu lelaki yang sedang duduk di kursi dengan memegang kepala, memikirkan untuk mendapat restu dari Kakak kandung Alinta supaya menyetujui perceraiannya. Lelaki itu juga tidak bisa melacak nama kakak Alinta, wanita yang dia cintai dan sudah dianggap kekasih meskipun pernikahan belum berjalan.Arga langsung berlari saat pembersih hotel memberi tahu dirinya yang sedang makan di restoran. Jarak antara restoran dan ruang kamar sa
Dua hari sebelum Alinta pulang ke rumah, saat Ia siuman."Mas, terima kasih sudah menjaga dan sekarang mas Arga menjadi suami setia untuk aku." Wanita itu tengah terbaring dan lemas, karena penyakit Epilepsi atau Ayan yang diderita sejak lahir. Terpaksa, Alinta harus kerja dengan kondisi yang tidak normal dan berbeda dari orang-orang yang sehat. Hari ini, wanita itu tengah tidur di rumah sakit dan disampingnya bersama sang suami baru yang memberi kehangatan. Seharusnya wanita yang tengah baring mendapat kehangatan kusus. Arga berpikir, kenapa harus Alinta yang bekerja keras dan bukan mantan suaminya? Kenapa mesti cinta dalam dusta ini terus berlanjur? Apakah tidak bisa seorang lelaki bersikap baik kepada wanita? Apakah dulu dia pernah membuat ibu kandungnya marah? Namun, pikiran dan pertanyaan itu dihilangkan oleh lelaki setia yang bersama wanita yang berambut lurus dan mata yang indah. "Aku akan merawat kamu. Dan menjaga kamu." Arga mencium kening Alinta. Di rumah sakit Alinta sedan
Tadi malam, Alinta sehabis minum obat. Tepat jam 7 malam, kesehatannya memburuk. Arga melihat Alinta sedang menggosok-gosok tangan. "Alinta, kamu tidur ya. Aku ambilkan obat." Arga yang melihat sang istri yang sering kambuh bergegas untuk membawa obat supaya Alinta tidak kejang-kejang. "Arga, Alinta mengapa lagi?"tanya tante. Auranti cemas saat melihat Alinta kambuh. "Arga, kamu ambilkan obat epilepsi." Arga mengambil obat ayan atau epilepsi di laci. Dia mengeluarkan obat dan menaruh di meja. Auranti kemudian mengeluarkan kapsul ayan, dia memasukkan ke mulut Alinta. "Sayang, kamu harus kuat. Kamu tidak boleh kalah dari penyakitmu,"ucap Auranti.Malam itu telah berlalu, kini Arga melihat Alinta dan tante sedang masak kesukaan Arga. Tante kandung Arga yang mencuci piring, dia menghentikan untuk membersihkan piring. "Ada apa tante?" tanya Arga. Lelaki itu kewalahan karena masih banyak dokumen kantor, tetapi wanita yang dicintainya dan sudah menjadi istri sekaligus akunting buat Arga,
"Sayang, aku dapat telepon dari Luar Negeri. Kalau proyek kita diterima."Arga sedang memijat kaki Alinta, istrinya yang duduk di kursi roda meneteskan air mata karena bahagia. Arga selama ini berjuang keras demi kesembuhan Alinta, ia sampai mencari ide-ide untuk perusahaan supaya investor dari negara lain mau menerima. Sebagai seorang CEO, Arga juga tidak mau perusahaan gulung tikar karena ide-idenya kurang memuaskan. Nafsu untuk bersama Alinta datang.Saat Alinta dan Arga datang, suara bel pintu di rumah berbunyi."Pa, buka pintu. Siapa tahu tetangga mau minta buatkan desain."Arga menuju ke ruang tamu, saat ia membuka pintu ada seorang wanita paruh baya yang tersenyum kepadanya."Anda siapa? Mohon maaf, di sini tidak menerima tamu yang pindahan."Wajar Arga tidak mengenali nenek angkat Alinta. Nenek angkat Alinta berpakaian seperti orang kaya dan membawa koper. Alinta yang melihat suaminya belum ke ruang makan segera menggerakkan kursi roda. Dengan