Brenda memerhatikan wajahnya di cermin oval berbingkai kayu. Gadis itu terlihat cantik dengan baju yang dikenakan. Baju model jas dengan celana senada warna biru tua. Ia memiliki pendar mata yang bening dan bulu mata yang lentik. Lesung pipit di pipi kirinya juga terlihat sempurna. Tubuhnya tinggi semampai rambut hitam panjang sebahu. Bibirnya tipis dan selalu memerah. Paduan satin dengan balzer membungkus tubuhnya yang ramping. Ia terlihat modis.
Brenda tengah mengalami gejolak hidup yang tak sebanding dengan kenyataan. Kehidupan Brenda kini berbalik seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Ia bukan lagi gadis kaya bergelimangan harta. Kini Brenda menjadi gadis miskin yang harus melunasi semua hutang-hutangnya di bank. Melunasi kartu kredit yang jumlahnya cukup besar, hingga ia jumpalitan mencari uang tambahan.
“Seratus juta rupiah? Oh my God… Darimana aku mendapatkan uang itu?” Ia bergumam dalam hati ketika mengingat hutang-hutangnya di bank.
Dunia terasa sesak hingga ia harus pontang-panting bekerja keras. Semua dilakukannya, sebelum para kolektor menagih ke rumahnya dengan hujatan yang dahsyat. Seperti debt collector yang baru-baru ini memaki-makinya karena menunggak pembayaran.
‘Oh Tuhan… Bantu aku…’ bisiknya dalam doa. Brenda menghela nafas sejenak, lalu mengaminkan doa yang setiap hari dipinta dalam sujud. Berharap dewi fortuna kembali ke pangkuannya.
Brenda mengambil stiletto coklat tua dari rak sepatu. Ia mengenakan sepatu itu di kakinya yang mulus. Sepatu hak tinggi dengan bentuk yang elegan. Sepatu itu ia beli beberapa bulan lalu. Ketika ia masih memiliki tabungan. Sedikit menunduk Brenda membetulkan sepatunya. Setelah itu ia merapikan baju berlengan pendek dengan paduan warna yang senada. Ia melirik penampilannya di depan cermin. Mengatur rambut indahnya yang sebahu dan menyelipkan anak-anak rambut ke daun telinganya. Ia tak ingin terkesan awut-awutan di depan perempuan bernama Maryati. Seorang pengusaha bunga segar yang memiliki beberapa toko di kotanya. Perempuan berusia 48 tahun itu menawarkan Brenda pekerjaan. Ia memiliki seorang putra bernama Ryan.
Brenda menerima tawaran itu dengan senang hati. Ini kesempatan, batinnya. Peluang yang menentukan jalan hidupnya.
“Lancarkan perjalananku ya Allah…” pintanya pada Yang Maha Kuasa.
Brenda menjadi seorang pengajar sejak beberapa bulan lalu. Sejak usaha kuliner yang ia jalankan mengalami kebangkrutan. Sejak semua pintu tertutup untuknya dan sejak mentari pun berpaling tak menatapnya. Brenda kehilangan segala-galanya. Pegangan hidup, kepercayaan diri dan orang-orang yang dekat dengannya.
Hampir saja Brenda putus asa, ketika uangnya disikat habis oleh cowok yang memanfaatkan hartanya. Cowok yang membuat Brenda kecewa karena ulahnya. Cowok itu berpoya-poya bersama gadis lain menggunakan kartu kredit Brenda untuk berbelanja dan hura-hura. Kini Brenda harus membayar hutang-hutang cowok itu ke Bank. Brenda jengah bila mengingat cowok itu. Kini semuanya telah sirna. Dunianya terbalik seperti roda pedati. Brenda jatuh miskin dan ia akan memulai kembali dari nol. Ia berusaha mencari pekerjaan, namun tetap saja dengan nada yang sama. Belum ada lowongan.
Ternyata penampilan cantik saja tidak cukup untuk menunjang sebuah lamaran kerja. Buktinya Brenda ditolak hampir sepuluh perusahaan. Brenda juga hampir putus asa ketika jalan hidupnya hampir tertutup. Ela menyarankan Brenda untuk memberikan ilmunya kepada anak-anak yang membutuhkan.
Ela, gadis berambut pendek seusia Brenda. Ia lebih beruntung dari Brenda yang punya pekerjaan tetap dan kekasih yang sangat setia. Gadis berkulit kuning langsat itu memang gadis yang pintar. Ia telah menyelesaikan kuliahnya di Melbourne beberapa tahun lalu.
Brenda menerima usul Ela untuk mengajar anak-anak dari rumah ke rumah. Les private yang kini menjamur di kotanya. Brenda bisa membanggakan otaknya yang lumayan encer.
“Sempurna,” batinnya.
Senyum Brenda mengembang. Tak lama lagi kocek mengalir ke rekening miliknya. Sudah lama sekali ia tidak menikmati secangkir kopi hangat di Starbuck atau Coffee Box langganannya. Rekreasi ke pantai Danau Toba dan berlibur ke negeri tetangga. Atau berbelanja di butik ternama di kota Medan. Butik itu menyiapkan barang-barang dengan merek terkenal.
Brenda meraih kunci mobil di atas buffet lalu keluar kamar dengan sumringah. Suara telapak sepatunya berdentum di lantai keramik.
“Saya pergi dulu ya, Bik…” pamitnya kepada sang pembantu. “Jangan lupa mengambil pesanan saya.” Ucapnya kemudian.
“Baik, Bu…” pembantu itu menyahut lalu berlalu ke dapur.
Brenda berjalan menuju mobilnya. Sedan lama tahun rendah yang diparkir di depan rumah. Mobil itu terlihat memprihatinkan dengan bentuk yang mengenaskan. Catnya sudah mulai memudar dan terkelupas. Banyak karat di samping gerdangnya. Pintu mobilnya juga sudah reot.
Brenda membeli mobil itu beberapa bulan lalu. Seorang teman menjual padanya dengan harga murah. Mobil bekas, namun masih bisa dikendarai.
Brenda masuk ke mobil. Sejenak ia memperhatikan mobilnya yang sangat usang. Bungkus permen berserakan di bawah kursi. Oh… menjijikkan. Bauh apek menyeruak di dalam mobil. Brenda menelan air ludahnya. Ia memungut sampah dan membuangnya keluar. AC di dalam sedikit bermasalah. Ia bisa membayangkan betapa tersiksanya di dalam mobil tanpa AC.
“Ughhh…” Brenda sedikit mengeluh.
Brenda menstarter mobilnya beberapa kali. Mobil tidak mau menyala. Ia baru teringat kalau mobil itu tidak ada bensinnya.
“Oh my God... Lengkaplah sudah penderitaanku,” gumamnya kesal.
Brenda keluar dari mobilnya dan melihat motor bebek yang juga tidak bagus penampilannya. Mau tidak mau ia harus menghampiri motor itu dan mengendarainya.
Ada sedikit rasa miris di hatinya ketika harus mengendarai motor itu. Ia merasa harga dirinya sebagai gadis sukses terenggut oleh keegoisan yang selama ini diraihnya. Rasa kesal dan rasa ingin menangis acap kali hadir ketika ia harus menutup rapat-rapat dompetnya untuk membeli sesuatu. Ia juga harus membayar sang pembantu yang selalu menemaninya. Terkadang mama tidak tega jika Brenda tidak sanggup menggaji pembantunya. Mama dengan baik hati membayar gaji sang pembantu.
Setelah menyalakan starter, motor itu meluncur di jalan hitam. Menyusuri jalan Sisingamangaraja lalu belok ke kiri menuju jalan Juanda. Brenda tersenyum tipis dari balik kaca spion. Ia sudah tidak sabar ingin segera bertemu Maryati. Bayaran yang cukup memuaskan, hingga ia membatalkan semua janjinya ke Ela.
Ela memang sahabat yang baik. Ia sangat mengerti perasaan Brenda. Tidak seperti teman-teman lainnya. Saat ia jatuh dan terpuruk, Ela yang memberi semangat untuk Brenda. Meski sifat Ela terkadang menyebalkan, namun Ela tetap menjadi nomor satu sebagai sahabat sejati. Kesusahan Brenda bukanlah masalah bagi Ela.
Brenda mengenang masa-masa kejayaannya tiga tahun yang lalu saat ia kehilangan pekerjaan akibat resesi ekonomi di perusahaan konveksi tempat dia bekerja. Mentari seakan berhenti menggulirkan cahaya keemasannya. Kelam menyelimuti dunianya. Bintang-gemintang di langit sana mengaburkan diri, seolah tak mau menatap keterpurukan Brenda. Brenda merasakan kehilangan pegangan. Orang-orang di dekatnya juga mulai menjauh.
Berawal dari usul Ela yang brilian untuk membuka sebuah restoran dan bisnis kuliner cepat saji. Bisnis itu tengah marak-maraknya di kota Medan. Butuh ekstra belajar memasak profesional untuk mendapatkan masakan yang enak dan berkualitas. Ditambah harga yang terjangkau dan memenuhi selera kalangan bawah sampai atas.
Awalnya bisnis kuliner Brenda berkembang pesat. Banyak pelanggan yang merasa puas dengan pelayanan dan masakannya. Cita rasa yang berbeda dengan menu-menu yang menggiurkan. Membangkitkan selera makan yang luar biasa.
Brenda sibuk mengurusi pelanggan yang rata-rata dari luar kota, bahkan ada beberapa dari negeri tetangga, Malaysia dan Singapura. Beberapa pengusaha muda dari Thailand dan China. Sungguh luar biasa. Sehari ia bisa mendapat omset puluhan juta rupiah. Brenda bergelimang harta dan mempercayakan usahanya kepada cowok berperawakan tinggi berwajah oriental. Cowok itu bernama Franky.
Ternyata Franky menghabiskan semua modal usaha Brenda dan kabur bersama simpanannya. Ia membobol tabungan Brenda, kartu kredit dan ATM hingga ludes. Padahal Brenda sangat mencintai Franky lebih dari apapun hingga ia percaya semua akal busuk Franky. Brenda depresi ketika tahu Franky menghabiskan semua uang di tabungan dan pergi bersama perempuan lain. Ia tidak tahu harus mengadu kepada siapa. Hanya Ela, sahabat satu-satunya yang mengerti perasaan Brenda.
Brenda meminjam modal ke mama dan menjalankan kembali bisnis kulinernya dari nol. Modal masih tidak cukup. Ia meminjam dari bank dengan menggadaikan surat-surat rumah. Di tahun kedua, bisnis Brenda mengalami kemerosotan. Entah apa masalahnya hingga pelanggan mereka berpaling tanpa sebab. Brenda berusaha untuk mengembalikan mutu dan kualitas masakan, namun tetap saja pelanggan berkurang. Brenda kehabisan modal usaha dan akhirnya ia menjual tempat dan peralatan masak kepada seseorang. Brenda sangat membutuhkan uang untuk melunasi hutang-hutangnya.
Sejak mengalami krisis itu Brenda tidak ingin tergantung kepada orangtuanya. Brenda ingin mandiri. Ia mengontrak rumah sederhana di kawasan Jalan Sisingamangaraja. Brenda beralih profesi sebagai pengajar freelance di salah satu perguruan dan membuka les private bagi anak-anak rumahan. Sebenarnya Brenda merasa malu-depresi-kecewa-marah. Bagaimana dengan komentar teman-temannya, tetangga dan kerabat dekatnya? Apakah mereka akan menertawakannya? Brenda yang dulu bergelimang harta, kini menjadi gadis miskin yang serba kekurangan. Tanpa mobil mewah, baju mahal dan aksesoris dengan harga jutaan rupiah. Brenda tidak perlu malu memikirkan pendapat orang tentangnya. Dunia selalu berputar kapan saja. Jadi tak salah kalau saat ini Brenda menjadi pengajar dan hidup sederhana.
Untuk menunjang pengetahuan dan pekerjaan barunya, Brenda terpaksa mengambil kursus computer, banyak membaca buku dan membeli buku-buku tentang pendidikan. Selama ini dia hanya tahu dunia jual beli dan memasak. Dia mempelajari dunia internet. Tidak hanya sampai di situ, dia juga mengambil les bahasa asing, Inggris-Mandarin-Jepang.
Wuih, Brenda merasa stres juga, tapi demi kelangsungan hidup dan masa depannya, Brenda harus lebih berpotensi. Brenda pontang-panting mengajar dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Bukan jarak yang dekat harus ditempuh, hingga ia tiba di rumah larut malam.
Syukurlah Tuhan memberi Brenda otak yang lumayan cerdas, sehingga dia dapat mempelajari semuanya dengan cepat. Bahasa Inggris lebih mudah dikuasai daripada bahasa Jepang dan Mandarin. Sekarang sudah seperti jamur, dimana-mana banyak berdiri sekolah bahasa asing. Jika ada satu rumah saja yang berlabel sekolah bahasa asing, maka tetangga sebelahnya juga nggak mau kalah, pada ikut membuka usaha yang sama. Katanya buka sekolah lebih banyak untungnya, dan tidak sulit prosedurnya. Begitulah orang mengikuti trend.
Dalam waktu tiga bulan saja, Brenda sudah mendapat beberapa orang anak untuk menerima didikannya. Brenda bersyukur langganan pertamanya adalah seorang anak keturunan Tionghoa, minta diajarkan bahasa Inggris. Kemudian dua orang anak SMP yang ingin belajar Matematika.
Sukses pertama membawa Brenda menuju ke sukses berikutnya. Tentu saja keberhasilan transaksi pertama ini memberi penghasilan yang lumayan pada Brenda. Brenda tersenyum bahagia melihat usaha yang dirintisnya berhasil pada langkah pertama. Ini pertanda baik untuk memulai langkah kedua.
###
Motoritu meluncur di jalan hitam. Memasuki perumahan mewah Taman Setia Budi Indah. Setelah berbelok ke kanan, motoritu melaju pelan di aspal hitam. Suara mesinnya menderu pelan.Maryati sedang sibuk di kebun bunganya. Ia menyemprot bunga-bunga yang mulai mekar dan mengumpati serangga-serangga kecil yang berpesta pora diantara batang dan daun Mawar. Ia mengganti polybag yang rusak dengan yang baru. Memberi pupuk ke tanaman anggreknya yang beraneka ragam.Deru suara mesin motor mencuri perhatiannya. Motor bebek warna merah berhenti di depan toko dengan posisi sejajar dengan tulisan MARYATI FLORIST. Maryati menghentikan kegiatannya. Ia meletakkan penyemprot di atas meja dan memerhatikan seseorang turundari motor. Seorang gadis dengan setelan yang modis berjalan sambil menyandang tas bermerk Lois Vuiton. Tas peninggalan kesuksesannya dulu. Maryati melirik ja
Maryati terdiam sejenak. Ia berpikir apakah kata-katanya yang membuat Ryan menjadi seperti itu?“Yan.. mama bawa teman untukmu. Ryan mau kan?”Ryan menoleh ke mamanya, namun ekspresi wajahnya tetap sama.“Yuk... dia baik kok. Ryan pasti suka,”Ryan diam saja ketika Maryati mengamit jemari tangannya. Beberapa menit kemudian Maryati keluar bersama Ryan. Brenda sedikit terkejut melihat seorang cowok bersama Maryati dengan wajah polos. Cowok dewasa bercelana jeans dan kaos oblong yang memainkan bola kristal berulang-ulang. Brenda mengerutkan keningnya.‘Oh my God. Apakah aku harus menghadapi cowok idiot itu?’ batinnya.“Hh… Brenda… Kenalkan ini Ryan, putra saya,” ucap Maryati memperkenalkan.
Maryati terdiam sejenak. Ia berpikir apakah kata-katanya yang membuat Ryan menjadi seperti itu?“Yan.. mama bawa teman untukmu. Ryan mau kan?”Ryan menoleh ke mamanya, namun ekspresi wajahnya tetap sama.“Yuk... dia baik kok. Ryan pasti suka,”Ryan diam saja ketika Maryati mengamit jemari tangannya. Beberapa menit kemudian Maryati keluar bersama Ryan. Brenda sedikit terkejut melihat seorang cowok bersama Maryati dengan wajah polos. Cowok dewasa bercelana jeans dan kaos oblong yang memainkan bola kristal berulang-ulang. Brenda mengerutkan keningnya.‘Oh my God. Apakah aku harus menghadapi cowok idiot itu?’ batinnya.“Hh… Brenda… Kenalkan ini Ryan, putra saya,” ucap Maryati memperkenalkan.
Brenda menggigit sandwich-nya. Hmmm… enak sekali buatan Ela kali ini.“Sandwich buatanmu enak, La,” puji Brenda.“Siapa dulu?” Ela menepuk-nepuk dadanya. Dituangkannya susu cair kemasan kotakke gelasnya. Lalu dia juga mencomot sepotong sandwich di atas meja.”Kenapa kamu nggak buka warung aja?” kata Brenda memberi saran.“Enggak ah. Aku nggak ada bakat di kuliner. Aku juga nggak mau bangkrut dan mengalami depresi sepertimu. Kamu kehilangan pekerjaan dan modal yang sangat besar. Sekarang kamu harus melunasi hutang-hutangmu,”“Yah, itu sudah jalan hidupku,”“Sekarang apa rencanamu?”“Aku tetap ingin membantu Ryan. Menurutku Ryan cowok yang cakep,&rdqu
Ponsel Brenda berdering sangat keras, ketika ia menguap lebar. Pagi ini ia dikejutkan dengan deringan handpone yang menyentak-nyentak alam mimpinya. Ringtone lagu Krisdayanti yang mengalun merdu membuat ia tak ingin mengangkat nada panggilan itu hingga lagu berakhir. Semalam dia lupa memijit tombol off, sehingga ponselnya menyala terus. Dengan rasa malas diraihnya ponsel di atas meja.‘Huh… dasar pengganggu,’ omelnya dalam hati.“Ya, halo?” sapa Brenda dengan suara serak.“Nda, cepat bangun. Ini ada berita baik!” jawab si penelepon. Suaranya sember. Siapa lagi kalau bukan Ela, sahabat dekatnya.Sedetik kemudian Brenda terlompat bangun dari tempat tidurnya. Refleks. Habis kaget juga Ela meneleponnya pagi-pagi begini. Suaranya menggelegarkan gendang telinga. Sialan tuh anak!
Maryati beranjak dari duduknya. Ia berjalan di koridor menuju Taman. Brenda mengikuti langkah Maryati.“Sejak ia mengenal seorang gadis beberapa tahun lalu. Ryan selalu termenung dan cenderung pendiam. Ia kehilangan seorang sahabat yang menurutnya mampu membuat kehidupannya kembali ceria. Gadis itu meninggal dunia karena penyakit lupus menyerangnya,”“Oh… kasihan sekali,”“Sejak itu Ryan tidak lagi ceria dan tidak lagi memainkan nada-nada indah itu. Ryan selalu mengamuk karena tidak menemukan nada-nada yang pernah ia ciptakan sendiri,”Detak suara tapak sepatu terdengar beriringan. Maryati melangkahkan kakinya denganpelan, sambil bercerita tentang kehidupan Ryan dan tentang gadis itu. Betapa Ryan sangat mencintai gadis itu, hingga ia harus kehilangan dan membuat pikirannya menjadi kac
"La, temeni aku ke dokter yuk…” ajak Brenda lewat ponsel. Ela kaget di seberang sana.“Apa? Ke dokter? Kamu hamil?” Mata Ela terbelalak.“Yee… enak aja. Kamu makin ngeres aja pikirannya. Aku mau ketemu dokter Daniel. Kata temenku dia pernah menangani anak-anak autis,”“Kamu mau memeriksakan dirimu? Apakah kamu autis atau tidak?”“Elaaa…! Jangan bercanda ah. Kalau nggak mau ya sudah!” Brenda sewot.“Ok deh nona manis… Gitu aja udah kejang-kejang… Nanti cepat tua loh…”Brenda nyolot. “Biarin!”“Ya udah… tunggu aku.”Brenda membelokkan setir motornya ke kanan menuju rumah s
Brenda terbangun ketika jam weker di atas meja kerjanya berdering kuat. Sudah jam tujuh dan ini saatnya Brenda memulai aktifitasnya. Semalaman ia disibukkan dengan rutinitas kerja yang berat. Menghadapi cowok ambisius seperti Baim membuat pikirannya kacau.Brenda bangkit dari tempat tidurnya menghampiri daun jendela. Ia membuka gorden coklat muda, lalu membuka daun jendela. Udara pagi masuk mengisi ruang kamar. Kemudian Brenda berjalan menghampiri meja kecil dan menuang air putihke dalam gelas. Tenggorokannya terasa kering karena berdebat dengan Baim.Mata Brenda mengedar ke halaman depan. Ia terbayang lagi dengan wajah Ryan. Wajah itu mulai memenuhi benaknya. Ia membayangkan bagaimana kelanjutan hidup cowok itu. Bagaimana masa depannya.Ponsel Brenda berdering. Ia tersentak, lalu mengambil ponselnya. Dari Baim. ‘Ughh… mau apa lagi sih?’ d
Brenda memperhatikan bunga-bunga segar yang baru saja tiba di toko Maryati. Jenisnya bermacam-macam. Bunga-bunga import pesanan seorang pengusaha. Ini sudah hari kelima. Brenda tidak punya cara menaklukkan kepasifan Ryan. Ia belum punya jurus agar Ryan menerimanya menjadi pengajar.Di meja kerja Maryati terletak sebuah buku karya Khalil Gibran. Brenda meraih buku itu dan membukanya. Membaca bait-demi bait kata-kata di dalamnya.“Tante penggemar Khalil Gibran?” tanya Brenda disela kesibukan Maryati.Maryati menghentikan kegiatannya.“Itu milik Ryan. Dia sangat mengagumi sosok Khalil Gibran. Tante disuruh membaca,” Maryati tersenyum sipu. Brenda manggut-manggut.“Ryan suka membaca buku sastra?” berkerut dahi Brenda.“Ryan belajar membaca sejak masih kecil, Nda. Walaupun tidak begitu lancar, tapi Ryan gemar membaca buku,”Brenda manggut-manggut.“Sebentar, Nak Brenda. Say
Loby hotel terlihat ramai para undangan. Brenda mengenakan gaun coklat tua dengan aksesoris yang menawan. Kelihatan cantik dengan make up yang merata serta pemerah pipih yang lembut. Yuda terlihat di sudut ruangan bersama para tetamunya. Jamuan makan malam yang romantis.Brenda memperhatikan teman-teman Yuda yang semua berstelan tuksedo dan gaun mewah. Sebagai pengusaha muda yang memiliki perusahaan dibidang industri tekstil, Yuda patut diacungi jempol. Ia pengusaha muda yang sukses.Yuda menghampiri Brenda yang duduk sendirian. Senyumnya mengembang seraya mengangkat gelas minumannya. Brenda menatap Yuda dengan lekat. Ah… wajah itu benar-benar membuatnya mabuk kepayang.“Maaf ya, aku mengacuhkanmu…” kata Yuda merasa bersalah.“Nggak apa-apa kok, Yud… Aku maklum…”Yuda duduk di dekat Brenda. Kemudian ia bertanya dengan ragu.“Kamu bisa dansa?”“Hmmm…”
Brenda duduk di beranda sambil menikmati kicauan burung. Maryati masih di kamarnya. Diam-diam ia melirik jendela kamar Ryan di lantai dua. Ia melihat sosok bayangan di sana. Ryan mengintainya. Brenda tersenyum tipis ketika Ryan memalingkan wajahnya.“Kamu sudah datang, Nda?” tegur Maryati dari dalam rumah, lalu berlajan melewati koridor.“Selamat pagi, Tante…” sapa Brenda lembut.“Pagi, Nda… Maaf, tadi saya masih merapikan diri. Nggak enak kalau terkesan nggak rapi,” ujar Maryati.“Ah tante… biasa aja kok,”Maryati tersenyum tipis.“Apa rencanamu hari ini?”“Hmm…” Brenda berpikir sejenak.“Bagaimana kalau kita keluar?” usul Maryati.“Maksud, Tante?”“Kita jalan-jalan. Yah, sebagai relaksasi untuk Ryan. Kita bisa keliling kota Medan atau ke taman hiburan? Atau kita ke Brastagi…?&r
Brenda membuka sepatunya dan meletakkannya begitu saja. Reuni yang sangat membosankan. Terlebih saat Ela membohonginya dengan berpura-pura hadir ke acara itu. Nyatanya mereka senang-senang sendiri.“Huh, dasar Ela! Aku akan balas kelakuanmu...” Brenda mengumpat kesal.Ia membaringkan tubuhnya. Mengingat wajah Yuda yang bermain-main sekejab saja. Kenapa Yuda belum punya pasangan? Padahal dia cowok tampan dan dulu dikejar-kejar banyak cewek di sekolahnya.Brenda bangkit dari rebahannya. Mengambil ponsel di atas meja.“Kamu dimana, La?” tanyanya ke Ela.“Aku lagi di Solaria ma Renold. Biasalah, kencan with love,”“Huh, Ela. Kamu membohongiku. Kamu bilang di rumah sakit?”“Iya… tadi dari rumah sakit langsung ke Solaria,”“Kamu bilang mama Renold di ruang ICU? Kok kalian seneng-seneng makan di Solaria?”“Itu taktik aja, Nda. Udah ah&
Minggu pagi yang tak menyenangkan. Brenda duduk di teras depan sambil membaca beberapa surat kabar. Di meja kecil tersedia susu hangat buatan pembantunya dan sedikit cemilan. Beberapa menit yang lalu seorang debt collector menelponnya. Tagihan bulan ini sudah melewati batas pembayaran. Brenda pusing. Sementara ia harus menutupi hutang bank lainnya.Handphonenya berdering tak karuan. Suaranya memadati ruang tamu.“Bik… ambilkan hape saya,” Brenda menyuruh pembantunya. Malas juga ia bergerak kalau sudah PeWe. Posisi Wenak.“Ini, Bu…” sang pembantu memberikan hp ke Brenda. Ia memperhatikan layar di ponselnya. Harap-harap cemas. Kostumer atau dari pihak bank?“Ya halo…” sapanya lembut.“Selamat pagi, Bu. Dengan bu Brenda?”Deg… Jantung Brenda berdebug kencang. Ini pasti dari Bank.“Ya, saya sendiri,” sahutnya.“Kami dari bank X, Bu. Tagiha
Pusat perbelanjaan itu dipadati pengunjung. Brenda dan Ela berjalan lenggak-lenggok seperti selebritis yang dikerubuti para fans. Sesekali mata Ela melirik ke etalase. Gaun yang dipajang membuat mata Ela mendelik. Tas sandang yang bentuknya elegan dan Highthills keluaran terbaru. Ia terhenti. Tangannya menarik lengan Brenda.“Apaan sih?” Brenda melenguh sambil terhenti.“Tuh…” bibir Ela dimonyongin. Mata Brenda mengikuti bibir Ela yang seperti bibir kuda. Sepatu hak tinggi bermerk.“Bagus ya, Nda...” puji Ela. Mata Brenda beralih ke bandrol yang melekat di sol. Tiga juta rupiah? Behh..“Gila...! Nggak ah…” ujarnya. “Aku lagi kere,”“Duitkan nggak bisa ngomong, Nda...”“A
Brenda terbangun ketika jam weker di atas meja kerjanya berdering kuat. Sudah jam tujuh dan ini saatnya Brenda memulai aktifitasnya. Semalaman ia disibukkan dengan rutinitas kerja yang berat. Menghadapi cowok ambisius seperti Baim membuat pikirannya kacau.Brenda bangkit dari tempat tidurnya menghampiri daun jendela. Ia membuka gorden coklat muda, lalu membuka daun jendela. Udara pagi masuk mengisi ruang kamar. Kemudian Brenda berjalan menghampiri meja kecil dan menuang air putihke dalam gelas. Tenggorokannya terasa kering karena berdebat dengan Baim.Mata Brenda mengedar ke halaman depan. Ia terbayang lagi dengan wajah Ryan. Wajah itu mulai memenuhi benaknya. Ia membayangkan bagaimana kelanjutan hidup cowok itu. Bagaimana masa depannya.Ponsel Brenda berdering. Ia tersentak, lalu mengambil ponselnya. Dari Baim. ‘Ughh… mau apa lagi sih?’ d
"La, temeni aku ke dokter yuk…” ajak Brenda lewat ponsel. Ela kaget di seberang sana.“Apa? Ke dokter? Kamu hamil?” Mata Ela terbelalak.“Yee… enak aja. Kamu makin ngeres aja pikirannya. Aku mau ketemu dokter Daniel. Kata temenku dia pernah menangani anak-anak autis,”“Kamu mau memeriksakan dirimu? Apakah kamu autis atau tidak?”“Elaaa…! Jangan bercanda ah. Kalau nggak mau ya sudah!” Brenda sewot.“Ok deh nona manis… Gitu aja udah kejang-kejang… Nanti cepat tua loh…”Brenda nyolot. “Biarin!”“Ya udah… tunggu aku.”Brenda membelokkan setir motornya ke kanan menuju rumah s
Maryati beranjak dari duduknya. Ia berjalan di koridor menuju Taman. Brenda mengikuti langkah Maryati.“Sejak ia mengenal seorang gadis beberapa tahun lalu. Ryan selalu termenung dan cenderung pendiam. Ia kehilangan seorang sahabat yang menurutnya mampu membuat kehidupannya kembali ceria. Gadis itu meninggal dunia karena penyakit lupus menyerangnya,”“Oh… kasihan sekali,”“Sejak itu Ryan tidak lagi ceria dan tidak lagi memainkan nada-nada indah itu. Ryan selalu mengamuk karena tidak menemukan nada-nada yang pernah ia ciptakan sendiri,”Detak suara tapak sepatu terdengar beriringan. Maryati melangkahkan kakinya denganpelan, sambil bercerita tentang kehidupan Ryan dan tentang gadis itu. Betapa Ryan sangat mencintai gadis itu, hingga ia harus kehilangan dan membuat pikirannya menjadi kac