Brenda menggigit sandwich-nya. Hmmm… enak sekali buatan Ela kali ini.
“Sandwich buatanmu enak, La,” puji Brenda.
“Siapa dulu?” Ela menepuk-nepuk dadanya. Dituangkannya susu cair kemasan kotak ke gelasnya. Lalu dia juga mencomot sepotong sandwich di atas meja.
”Kenapa kamu nggak buka warung aja?” kata Brenda memberi saran.
“Enggak ah. Aku nggak ada bakat di kuliner. Aku juga nggak mau bangkrut dan mengalami depresi sepertimu. Kamu kehilangan pekerjaan dan modal yang sangat besar. Sekarang kamu harus melunasi hutang-hutangmu,”
“Yah, itu sudah jalan hidupku,”
“Sekarang apa rencanamu?”
“Aku tetap ingin membantu Ryan. Menurutku Ryan cowok yang cakep,”
“Kau sudah gila? Apa kamu sadar atas ucapanmu?” alis Ela naik beberapa mili.
“Apa aku terlihat tidak sadarkan diri? Aku sudah bertemu dengannya. Ryan nggak sepenuhnya autis. Dia hanya kurang interaksi, tidak mau berkomunikasi dengan orang lain,”
“Sama saja, Brenda… Ryan tetap saja cowok autis. Atau… kamu mengaguminya?”
“Husst… sembarangan! Aku nggak mungkin jatuh cinta dengan Ryan.”
“Lantas kenapa kamu menolak dokter Deddy?”
“Itu nggak ada sangkut pautnya, La. Aku masih belum menerima keputusan dr. Deddy aja. Lagi pula aku nggak tahu asal-usul dr. Deddy. Aku masih trauma,”
“Apalagi yang kamu tunggu? Jodoh sudah ada di depanmu. Apa kamu nggak ingin menikah?”
Brenda meletakkan piring kecil bekas sandwich di atas meja, lalu menghapus bibirnya dengan tisu.
“Aku masih belum mau menikah muda,”
“Kau akan menikah setelah rambutmu putih semua?”
“Ela… Itu nggak akan terjadi,”
“Lantas, apalagi yang kau pikirkan. Umurmu sudah dua puluh dua tahun, Nda,”
“Dan kamu pikir aku terlalu tua?”
“Setidaknya nggak ada kerutan di wajahmu dan kau menghabiskan waktumu di salon kecantikan,”
“Ugh… kamu membuatku patah semangat,”
“Kamu saja yang membuat dirimu cepat tua,”
“Aku pulang dulu ah. Sudah malam, besok aku harus ke rumah Ryan. Aku nggak mau terlambat sampai di rumah Maryati,” Brenda beranjak dari kursinya.
“Jangan lupa kamu cari jodoh. Kalau boleh jangan seperti Ryan… Hahaha…”
“Husst… Ela! Kamu apa-apaan sih?! Nggak baik mencibir orang,” Brenda sedikit sewot.
“Aku bercanda,”
“Nggak lucu tau!”
“Iya-iya… aku minta maaf,”
“Sampai ketemu besok,” pamit Brenda. “Sampaikan salamku ke tante Salma,”
“Ok.”
Brenda keluar dan menghampiri motornya. Entah mengapa kini pikirannya dihantui bayang-bayang Ryan yang sangat memprihatinkan.
‘Kasihan Ryan. Bagaimana masa depan cowok itu?’ batinnya.
Handpone Brenda berdering. Dari Baim.
Baim adalah cowok pyskopat yang mengejar-ngejar cinta Brenda. Mereka bertemu pada sebuah pesta. Sosok cowok metro dan playboy berusia 20 tahun itu bukan tipe cowok yang diidamkan. Brenda sudah cukup trauma dengan perlakuan Franky. Brenda tidak menyukai cowok itu yang dianggap terlalu posesif dan arogan.
“Ya halo…?” sapanya.
“Brenda, aku ingin bicara denganmu,” suara Baim mengejutkan Brenda.
‘Apa sih mau cowok ini?’ bathin Brenda kesal.
“Bicara soal apa?” tanya Brenda penasaran.
“Kita harus ketemu,”
“Ketemu? Untuk apa?” tanya Brenda dengan alis yang sedikit naik.
“Aku menunggu jawabanmu, Nda. Kamu harus menerima cintaku,”
Brenda mendengus kesal.
“Kau nggak bisa memaksakan kehendakmu, Baim. Aku tidak mencintaimu dan kamu bukan laki-laki pilihanku,”
“Bukan pilihanmu? Lantas kamu memilih laki-laki seperti apa? Bintang film? Cowok kaya? Atau…?”
“Jaga bicaramu, Im. Aku nggak seperti itu,”
“Lantas kenapa kamu menolakku, Nda? Apa yang kurang pada diriku? Aku cakep, anak orangkaya, anak orang berada,”
“Dan aku bukan cewek matre yang mata duitan, Im!”
“Kalau begitu temui aku dan kita bicarakan masalah ini,”
“Masalah apalagi? Sudah malam, aku capek,”
“Masalah hubungan kita, Nda. Aku sangat mencintaimu,”
Brenda menghela nafas berat.
“Hubungan kita? Sejak kapan kita menjalin hubungan. Kita sama sekali tidak punya komitmen,”
“Aku nggak peduli. Temui aku atau aku akan bilang sama orang-orang kalau kamu perempuan penipu,”
Brenda menaikan alisnya. Geram juga melihat tingkah Baim.
“Ok, dimana?” tanya Brenda kemudian.
“Di café biasa. Aku tunggu setengah jam lagi,”
“Baik dan setelah itu jangan pernah mengusik kehidupanku,”
“Ok,”
Brenda menyalakan starter motornya, kemudian melaju di jalan hitam. Dalam perjalanan pikirannya terus berkecambuk tak menentu.
###
Di sebuah cafe tempat mereka dulu pernah bertemu, Baim duduk sambil menatap wajah Brenda. Brenda mengalihkan pandang dari tatapan Baim yang dianggap berlebihan.
“Sekarang apa yang kamu inginkan, Im?” tanya Brenda mencairkan suasana.
“Cintamu, Nda,”
“Lupakan rasamu itu padaku,”
“Enggak akan. Aku nggak akan melupakanmu begitu saja,”
“Kamu terlalu memaksa,”
“Ya. Itulah aku,”
Brenda memalingkan wajah ketika Baim menatapnya dengan tajam. Ia merasa bosan dengan cowok yang maunya menang sendiri. Memaksakan kehendak dan terlalu overacting.
“Baiklah, kalau begitu aku permisih,” Brenda bangkit dari kursinya. Tangan Baim dengan cepat meraih lengan Brenda.
“Nda… please. Setidaknya kamu mau menemaniku disini,”
“Aku nggak mau kamu semakin gila, Im,”
“Aku memang tergila-gila padamu, Nda,”
“Sudahlah… jangan mulai lagi. Atau aku benar-benar pulang dan meninggalkanmu disini,”
“Ok…”
Brenda kembali ke tempat duduk. Mata mereka saling pandang, namun tidak ramah. Ada sedikit kebencian di hati Brenda. Ia pernah melihat Baim bersama seorang cewek, anak sekolahan. Dia juga pernah memergoki Baim bermesraan dengan gadis lain.
Setelah beberapa lama mereka hening dan saling pandang, akhirnya Brenda memutuskan untuk pulang. Besok dia harus kembali ke rumah Maryati. Tidak ada keputusan apa-apa dari Brenda.
“Kalau nggak ada yang dibicarakan lagi sebaiknya aku pulang. Masih banyak yang harus aku kerjakan di rumah,”
“Tenang, Nda. Aku akan mengantarmu pulang,”
“Nggak perlu. Aku bawa motor,”
“Motor..? Hahahaha...” Baim tertawa lebar seolah mencibir Brenda.
“Aku bukan cewek matre seperti pacar-pacarmu yang lain.”
Baim terdiam.
“Okey… Maafkan aku, Nda. Aku nggak bermaksud mengejekmu.”
“Permisih.”
Brenda beranjak dari kursi dan berlalu dari sosok Baim yang menyebalkan. Baim hanya mengangkat bahunya merasa kesal dan kecewa. Sepanjang perjalanan dia hanya mengumpat keputusan Baim yang sepihak. Entah apa maunya cowok itu.
###
Ponsel Brenda berdering sangat keras, ketika ia menguap lebar. Pagi ini ia dikejutkan dengan deringan handpone yang menyentak-nyentak alam mimpinya. Ringtone lagu Krisdayanti yang mengalun merdu membuat ia tak ingin mengangkat nada panggilan itu hingga lagu berakhir. Semalam dia lupa memijit tombol off, sehingga ponselnya menyala terus. Dengan rasa malas diraihnya ponsel di atas meja.‘Huh… dasar pengganggu,’ omelnya dalam hati.“Ya, halo?” sapa Brenda dengan suara serak.“Nda, cepat bangun. Ini ada berita baik!” jawab si penelepon. Suaranya sember. Siapa lagi kalau bukan Ela, sahabat dekatnya.Sedetik kemudian Brenda terlompat bangun dari tempat tidurnya. Refleks. Habis kaget juga Ela meneleponnya pagi-pagi begini. Suaranya menggelegarkan gendang telinga. Sialan tuh anak!
Maryati beranjak dari duduknya. Ia berjalan di koridor menuju Taman. Brenda mengikuti langkah Maryati.“Sejak ia mengenal seorang gadis beberapa tahun lalu. Ryan selalu termenung dan cenderung pendiam. Ia kehilangan seorang sahabat yang menurutnya mampu membuat kehidupannya kembali ceria. Gadis itu meninggal dunia karena penyakit lupus menyerangnya,”“Oh… kasihan sekali,”“Sejak itu Ryan tidak lagi ceria dan tidak lagi memainkan nada-nada indah itu. Ryan selalu mengamuk karena tidak menemukan nada-nada yang pernah ia ciptakan sendiri,”Detak suara tapak sepatu terdengar beriringan. Maryati melangkahkan kakinya denganpelan, sambil bercerita tentang kehidupan Ryan dan tentang gadis itu. Betapa Ryan sangat mencintai gadis itu, hingga ia harus kehilangan dan membuat pikirannya menjadi kac
"La, temeni aku ke dokter yuk…” ajak Brenda lewat ponsel. Ela kaget di seberang sana.“Apa? Ke dokter? Kamu hamil?” Mata Ela terbelalak.“Yee… enak aja. Kamu makin ngeres aja pikirannya. Aku mau ketemu dokter Daniel. Kata temenku dia pernah menangani anak-anak autis,”“Kamu mau memeriksakan dirimu? Apakah kamu autis atau tidak?”“Elaaa…! Jangan bercanda ah. Kalau nggak mau ya sudah!” Brenda sewot.“Ok deh nona manis… Gitu aja udah kejang-kejang… Nanti cepat tua loh…”Brenda nyolot. “Biarin!”“Ya udah… tunggu aku.”Brenda membelokkan setir motornya ke kanan menuju rumah s
Brenda terbangun ketika jam weker di atas meja kerjanya berdering kuat. Sudah jam tujuh dan ini saatnya Brenda memulai aktifitasnya. Semalaman ia disibukkan dengan rutinitas kerja yang berat. Menghadapi cowok ambisius seperti Baim membuat pikirannya kacau.Brenda bangkit dari tempat tidurnya menghampiri daun jendela. Ia membuka gorden coklat muda, lalu membuka daun jendela. Udara pagi masuk mengisi ruang kamar. Kemudian Brenda berjalan menghampiri meja kecil dan menuang air putihke dalam gelas. Tenggorokannya terasa kering karena berdebat dengan Baim.Mata Brenda mengedar ke halaman depan. Ia terbayang lagi dengan wajah Ryan. Wajah itu mulai memenuhi benaknya. Ia membayangkan bagaimana kelanjutan hidup cowok itu. Bagaimana masa depannya.Ponsel Brenda berdering. Ia tersentak, lalu mengambil ponselnya. Dari Baim. ‘Ughh… mau apa lagi sih?’ d
Pusat perbelanjaan itu dipadati pengunjung. Brenda dan Ela berjalan lenggak-lenggok seperti selebritis yang dikerubuti para fans. Sesekali mata Ela melirik ke etalase. Gaun yang dipajang membuat mata Ela mendelik. Tas sandang yang bentuknya elegan dan Highthills keluaran terbaru. Ia terhenti. Tangannya menarik lengan Brenda.“Apaan sih?” Brenda melenguh sambil terhenti.“Tuh…” bibir Ela dimonyongin. Mata Brenda mengikuti bibir Ela yang seperti bibir kuda. Sepatu hak tinggi bermerk.“Bagus ya, Nda...” puji Ela. Mata Brenda beralih ke bandrol yang melekat di sol. Tiga juta rupiah? Behh..“Gila...! Nggak ah…” ujarnya. “Aku lagi kere,”“Duitkan nggak bisa ngomong, Nda...”“A
Minggu pagi yang tak menyenangkan. Brenda duduk di teras depan sambil membaca beberapa surat kabar. Di meja kecil tersedia susu hangat buatan pembantunya dan sedikit cemilan. Beberapa menit yang lalu seorang debt collector menelponnya. Tagihan bulan ini sudah melewati batas pembayaran. Brenda pusing. Sementara ia harus menutupi hutang bank lainnya.Handphonenya berdering tak karuan. Suaranya memadati ruang tamu.“Bik… ambilkan hape saya,” Brenda menyuruh pembantunya. Malas juga ia bergerak kalau sudah PeWe. Posisi Wenak.“Ini, Bu…” sang pembantu memberikan hp ke Brenda. Ia memperhatikan layar di ponselnya. Harap-harap cemas. Kostumer atau dari pihak bank?“Ya halo…” sapanya lembut.“Selamat pagi, Bu. Dengan bu Brenda?”Deg… Jantung Brenda berdebug kencang. Ini pasti dari Bank.“Ya, saya sendiri,” sahutnya.“Kami dari bank X, Bu. Tagiha
Brenda membuka sepatunya dan meletakkannya begitu saja. Reuni yang sangat membosankan. Terlebih saat Ela membohonginya dengan berpura-pura hadir ke acara itu. Nyatanya mereka senang-senang sendiri.“Huh, dasar Ela! Aku akan balas kelakuanmu...” Brenda mengumpat kesal.Ia membaringkan tubuhnya. Mengingat wajah Yuda yang bermain-main sekejab saja. Kenapa Yuda belum punya pasangan? Padahal dia cowok tampan dan dulu dikejar-kejar banyak cewek di sekolahnya.Brenda bangkit dari rebahannya. Mengambil ponsel di atas meja.“Kamu dimana, La?” tanyanya ke Ela.“Aku lagi di Solaria ma Renold. Biasalah, kencan with love,”“Huh, Ela. Kamu membohongiku. Kamu bilang di rumah sakit?”“Iya… tadi dari rumah sakit langsung ke Solaria,”“Kamu bilang mama Renold di ruang ICU? Kok kalian seneng-seneng makan di Solaria?”“Itu taktik aja, Nda. Udah ah&
Brenda duduk di beranda sambil menikmati kicauan burung. Maryati masih di kamarnya. Diam-diam ia melirik jendela kamar Ryan di lantai dua. Ia melihat sosok bayangan di sana. Ryan mengintainya. Brenda tersenyum tipis ketika Ryan memalingkan wajahnya.“Kamu sudah datang, Nda?” tegur Maryati dari dalam rumah, lalu berlajan melewati koridor.“Selamat pagi, Tante…” sapa Brenda lembut.“Pagi, Nda… Maaf, tadi saya masih merapikan diri. Nggak enak kalau terkesan nggak rapi,” ujar Maryati.“Ah tante… biasa aja kok,”Maryati tersenyum tipis.“Apa rencanamu hari ini?”“Hmm…” Brenda berpikir sejenak.“Bagaimana kalau kita keluar?” usul Maryati.“Maksud, Tante?”“Kita jalan-jalan. Yah, sebagai relaksasi untuk Ryan. Kita bisa keliling kota Medan atau ke taman hiburan? Atau kita ke Brastagi…?&r