Maryati terdiam sejenak. Ia berpikir apakah kata-katanya yang membuat Ryan menjadi seperti itu?
“Yan.. mama bawa teman untukmu. Ryan mau kan?”
Ryan menoleh ke mamanya, namun ekspresi wajahnya tetap sama.
“Yuk... dia baik kok. Ryan pasti suka,”
Ryan diam saja ketika Maryati mengamit jemari tangannya. Beberapa menit kemudian Maryati keluar bersama Ryan. Brenda sedikit terkejut melihat seorang cowok bersama Maryati dengan wajah polos. Cowok dewasa bercelana jeans dan kaos oblong yang memainkan bola kristal berulang-ulang. Brenda mengerutkan keningnya.
‘Oh my God. Apakah aku harus menghadapi cowok idiot itu?’ batinnya.
“Hh… Brenda… Kenalkan ini Ryan, putra saya,” ucap Maryati memperkenalkan.
Brenda berusaha tersenyum dan menyambut kehadiran Ryan. Wajah Ryan tetap sama, datar dan tidak memberikan kesan manis. Brenda mengulurkan tangannya, namun Ryan enggan menyambut tangan Brenda. Ryan sedikit menolak ketika Brenda memaksa mengulurkan tangan kembali. Matanya menatap Brenda dengan tajam, lalu menunduk ketika Brenda tersenyum. Tingkahnya yang seperti anak-anak itu membuat Brenda mengerutkan kening. Buru-buru Ryan beranjak meninggalkan Brenda dan Maryati, lalu masuk ke kamar dan membanting pintu dengan keras.
JEDAAAR...
Maryati tercengang melihat kelakuan Ryan. Ia berusaha tersenyum ke Brenda.
“Hh… maafkan putra saya, Nak Brenda. Kelakuannya memang begitu. Lama-lama juga dia bisa akrab kok,” ucap Maryati merasa nggak enak ke Brenda.
“Nggak apa-apa, Tante. Saya mengerti keadaan Ryan,”
Maryati duduk di kursi. Diikuti Brenda yang duduk di depannya sambil mendengarkan cerita Maryati tentang putranya. Maryati menghela nafas, lalu menceritakan semua kekurangan Ryan. Masa kecil Ryan dan masa lalunya yang sangat suram.
“Ketika Ryan berumur dua tahun, ia mengalami demam tinggi. Saya panik melihat Ryan kejang-kejang di tempat tidur. Saya membawa Ryan ke dokter anak. Syukurlah Ryan tidak apa-apa. Demamnya berangsur turun, namun beberapa bulan kemudian Ryan mengalami kelainan. Dia lebih banyak diam hampir tidak berinteraksi dengan saya. Saya seperti kehilangan pegangan hidup dan kehilangan putra saya satu-satunya. Dokter memvonis Ryan mengalami ganguan interaksi,”
“Maksud, Tante?”
“Ryan autis…” Maryati tertunduk. Matanya merebak dan ia berusaha menahan tetes airmata yang menggenang. Maryati berusaha tersenyum dan menghapus matanya.
“Tapi Ryan sudah banyak berubah,” ucapnya sendu. “Karena saya selalu membawa Ryan ke dokter. Melakukan terapi dari bangun hingga tidur kembali. Konsultasi psikolog dan memberi pendidikan khusus untuk Ryan. Menyekolahkan di salah satu sekolah anak-anak autis. Alhamdullilah Ryan mengalami perubahan. Walau tidak begitu sempurna,”
Brenda manggut-manggut. “Kenapa Ryan tidak masuk sekolah khusus aja, Tante…?”
“Itulah masalahnya, Nak Brenda. Ryan selalu menolak dan sering mengamuk sambil membenturkan kepalanya kalau saya suruh sekolah. Saya takut dan khawatir Ryan melakukan hal-hal yang tidak saya inginkan. Itu sebabnya saya mencari alternatif lain. Mungkin dengan belajar di rumah Ryan bisa lebih rileks dan memahami,”
Brenda menghela nafas sejenak, lalu bertanya lagi.
“Apa penyebab Ryan menjadi autis, Tante?”
Maryati menoleh menatap wajah Brenda dengan lekat. Pendar mata perempuan itu terlihat berkaca-kaca namun tertahan oleh gejolak batin yang terus berkecamuk.
“Saya tidak tahu. Dokter juga tidak dapat memberi alasan yang tepat. Kata mereka belum diketahui penyebabnya. Apakah faktor genetika atau faktor lain. Semua mengatakan begitu, tapi yang jelas ada faktor makanan yang terkontaminasi dengan zat-zat beracun. Itu yang menyebabkan perkembangan otak anak terganggu.”
Brenda manggut-manggut lagi. Ia merasa iba dengan keadaan Ryan. Cowok itu harus menanggung derita bertahun-tahun sampai dewasa. Brenda terenyuh mendengar cerita Maryati. Baru kali ini ia melihat anak autis sampai dewasa. Ia ingin mengembalikan semangat Ryan sebagai seorang cowok yang mandiri, gagah dan tidak mudah terpengaruh. Brenda tidak ingin Ryan terus bermain-main dengan dunianya sendiri, tanpa memperdulikan ada komunitas lain di sekitarnya.
“Apakah autis itu bisa disembuhkan?”
Maryati menggeleng pelan dengan mata menerawang.
“Secara medis autis memang tidak bisa disembuhkan dengan sempurna. Namun ada perubahan bagi autis yang menjalani pengobatan rutin. Terapi otak misalnya, terapi musik, beradaptasi dengan lingkungan serta perhatian orangtua. Itu juga tergantung tingkatan penyakitnya. Untuk sembuh seratus persen itu mustahil, Nda,”
“Oh… Maafkan saya, Tante,”
“Tidak apa-apa, Nda. Itu kenyataan yang harus saya hadapi,”
“Hhmm… Jadi kapan saya mulai mengajar Ryan?” tanya Brenda bersemangat.
“Kalau kamu tidak keberatan, saya minta secepatnya. Saya harap besok kamu sudah mengajar putra saya. Saya tidak mau putra saya semakin terpojok, Nak Brenda,”
“Saya mengerti, Tante. Kalau begitu saya permisi dulu. Masih ada yang harus saya kerjakan,” pamit Brenda seraya beranjak dari kursinya.
“Terima kasih, Nak Brenda,” ucap Maryati ikut beranjak. Ia mengantarkan Brenda sampai ke pintu depan.
“Saya harap kamu tidak bosan memberi pelajaran untuk Ryan,”
“Pastinya, Tante,”
Brenda berjalan meninggalkan gazebo menuju motornya yang diparkir di depan. Dari dalam kamar, Ryan mengintai Brenda lewat celah jendela. Ia memperhatikan gadis itu dengan lekat lalu mengambil bola kristal di atas meja dan memainkannya berulang-ulang. Brenda mestarter motornya lalu melirik sekilas ke jendela kamar Ryan. Ryan buru-buru menutup gorden jendela.
Maryati melambaikan tangan saat motor Brenda meninggalkan toko bunganya dengan serpihan asap knalpot. Besar harapan Maryati agar Brenda mau membantu Ryan menemukan jati dirinya. Ia tersenyum dan kembali ke ruang kerjanya. Sedikit merapikan meja dan menata ulang rangkaian bunganya.
###
Di teras belakang, Ryan duduk terpaku. Entah apa yang dipikirkan cowok itu. Maryati memperhatikan Ryan dari balik kaca toko. Ada sedikit rasa cemas di hatinya. Tidak seperti biasanya Ryan murung seperti itu.
Maryati meletakkan gunting bunga di atas meja. Menyuruh karyawannya menyelesaikan pekerjaan dan memotong tangkai-tangkai bunga yang sudah layu. Maryati menghampiri Ryan dengan perasaan tidak menentu.
“Yan…” sapanya ragu-ragu. Ryan menoleh pelan, namun tidak menggubris sapaan Maryati. “Kamu kenapa, Sayang? Apa yang kamu pikirkan?” Maryati duduk di sebelah Ryan.
Ryan melirik Maryati. “Ryan tidak mau belajar, Ma,” ujarnya sedikit menekan intonasi suara.
Maryati menghela berat. “Yaann… belajar itu penting. Mama tidak mau ada orang mengucilkanmu, mengolok-olok kamu bahkan mencibirmu,”
“Maa…”
“Ini demi masa depan Ryan…” Maryati memastikan.
“Ryan tidak mau, Ma,”
“Jangan bilang kalau kamu tidak setujuh, Yan… Ryan mau lihat mama sedih? Ini semua mama lakukan untuk Ryan, demi masa depan Ryan. Jadi terima usul mama,”
“Ryan tidak mau. Dia ejek Ryan, Ma…”
“Brenda tidak seperti itu. Dia gadis baik,”
“Ryan tidak mau,” Ryan memalingkan wajah dari tatapan Maryati. Tangan Maryati memalingkan wajah Ryan menghadapnya.
“Sampai kapan Ryan begini? Sembunyi dari dunia luar? Ryan tidak mendapat apa-apa. Kalau terus mendekam di kamar. Berdiam diri,”
Ryan menatap Maryati dengan tajam, lalu menunduk pelan. “Ryan suka sendiri…” ujarnya dengan suara berat.
Maryati menghela, seperti helaan seekor binatang buas yang kehilangan mangsanya. “Jangan bikin kecewa mama, Yan…” ujarnya.
“Ma…”
“Sudah. Besok Brenda datang. Brenda mau ajar Ryan. Mama ke toko dulu. Masih banyak yang ingin mama kerjakan,”
Ryan tertunduk. Dia tetap tidak menerima keputusan Maryati yang sepihak tanpa memikirkan perasaannya. Ryan tidak mau orang-orang menyebutnya idiot, bodoh atau semacamnya.
Ryan beranjak. Ia mengambil biola yang terletak apik di lemari khusus miliknya. Ryan mencoba beberapa senar dan memainkan nada-nada sumbang, seperti lengkingan seekor kucing. Bekali-kali dicobanya namun tetap saja suara-suara yang keluar seperti gesekan-gesekan mendecit. Ryan emosi dan tidak sabar, hingga ia menghempaskan biolanya di sudut tempat tidur.
Ryan menarik-narik rambutnya berulang-ulang. Pikirannya kacau dan penyakitnya kambuh lagi. Ryan memang selalu begitu saat suasana hatinya terganggu. Ia sering memukul tembok bahkan menghentakkan kepalanya berkali-kali ke dinding kamar. Hal itu membuat Maryati khawatir kalau Ryan bertindak konyol hingga menyakiti tubuhnya sendiri.
Brenda menggigit sandwich-nya. Hmmm… enak sekali buatan Ela kali ini.“Sandwich buatanmu enak, La,” puji Brenda.“Siapa dulu?” Ela menepuk-nepuk dadanya. Dituangkannya susu cair kemasan kotakke gelasnya. Lalu dia juga mencomot sepotong sandwich di atas meja.”Kenapa kamu nggak buka warung aja?” kata Brenda memberi saran.“Enggak ah. Aku nggak ada bakat di kuliner. Aku juga nggak mau bangkrut dan mengalami depresi sepertimu. Kamu kehilangan pekerjaan dan modal yang sangat besar. Sekarang kamu harus melunasi hutang-hutangmu,”“Yah, itu sudah jalan hidupku,”“Sekarang apa rencanamu?”“Aku tetap ingin membantu Ryan. Menurutku Ryan cowok yang cakep,&rdqu
Ponsel Brenda berdering sangat keras, ketika ia menguap lebar. Pagi ini ia dikejutkan dengan deringan handpone yang menyentak-nyentak alam mimpinya. Ringtone lagu Krisdayanti yang mengalun merdu membuat ia tak ingin mengangkat nada panggilan itu hingga lagu berakhir. Semalam dia lupa memijit tombol off, sehingga ponselnya menyala terus. Dengan rasa malas diraihnya ponsel di atas meja.‘Huh… dasar pengganggu,’ omelnya dalam hati.“Ya, halo?” sapa Brenda dengan suara serak.“Nda, cepat bangun. Ini ada berita baik!” jawab si penelepon. Suaranya sember. Siapa lagi kalau bukan Ela, sahabat dekatnya.Sedetik kemudian Brenda terlompat bangun dari tempat tidurnya. Refleks. Habis kaget juga Ela meneleponnya pagi-pagi begini. Suaranya menggelegarkan gendang telinga. Sialan tuh anak!
Maryati beranjak dari duduknya. Ia berjalan di koridor menuju Taman. Brenda mengikuti langkah Maryati.“Sejak ia mengenal seorang gadis beberapa tahun lalu. Ryan selalu termenung dan cenderung pendiam. Ia kehilangan seorang sahabat yang menurutnya mampu membuat kehidupannya kembali ceria. Gadis itu meninggal dunia karena penyakit lupus menyerangnya,”“Oh… kasihan sekali,”“Sejak itu Ryan tidak lagi ceria dan tidak lagi memainkan nada-nada indah itu. Ryan selalu mengamuk karena tidak menemukan nada-nada yang pernah ia ciptakan sendiri,”Detak suara tapak sepatu terdengar beriringan. Maryati melangkahkan kakinya denganpelan, sambil bercerita tentang kehidupan Ryan dan tentang gadis itu. Betapa Ryan sangat mencintai gadis itu, hingga ia harus kehilangan dan membuat pikirannya menjadi kac
"La, temeni aku ke dokter yuk…” ajak Brenda lewat ponsel. Ela kaget di seberang sana.“Apa? Ke dokter? Kamu hamil?” Mata Ela terbelalak.“Yee… enak aja. Kamu makin ngeres aja pikirannya. Aku mau ketemu dokter Daniel. Kata temenku dia pernah menangani anak-anak autis,”“Kamu mau memeriksakan dirimu? Apakah kamu autis atau tidak?”“Elaaa…! Jangan bercanda ah. Kalau nggak mau ya sudah!” Brenda sewot.“Ok deh nona manis… Gitu aja udah kejang-kejang… Nanti cepat tua loh…”Brenda nyolot. “Biarin!”“Ya udah… tunggu aku.”Brenda membelokkan setir motornya ke kanan menuju rumah s
Brenda terbangun ketika jam weker di atas meja kerjanya berdering kuat. Sudah jam tujuh dan ini saatnya Brenda memulai aktifitasnya. Semalaman ia disibukkan dengan rutinitas kerja yang berat. Menghadapi cowok ambisius seperti Baim membuat pikirannya kacau.Brenda bangkit dari tempat tidurnya menghampiri daun jendela. Ia membuka gorden coklat muda, lalu membuka daun jendela. Udara pagi masuk mengisi ruang kamar. Kemudian Brenda berjalan menghampiri meja kecil dan menuang air putihke dalam gelas. Tenggorokannya terasa kering karena berdebat dengan Baim.Mata Brenda mengedar ke halaman depan. Ia terbayang lagi dengan wajah Ryan. Wajah itu mulai memenuhi benaknya. Ia membayangkan bagaimana kelanjutan hidup cowok itu. Bagaimana masa depannya.Ponsel Brenda berdering. Ia tersentak, lalu mengambil ponselnya. Dari Baim. ‘Ughh… mau apa lagi sih?’ d
Pusat perbelanjaan itu dipadati pengunjung. Brenda dan Ela berjalan lenggak-lenggok seperti selebritis yang dikerubuti para fans. Sesekali mata Ela melirik ke etalase. Gaun yang dipajang membuat mata Ela mendelik. Tas sandang yang bentuknya elegan dan Highthills keluaran terbaru. Ia terhenti. Tangannya menarik lengan Brenda.“Apaan sih?” Brenda melenguh sambil terhenti.“Tuh…” bibir Ela dimonyongin. Mata Brenda mengikuti bibir Ela yang seperti bibir kuda. Sepatu hak tinggi bermerk.“Bagus ya, Nda...” puji Ela. Mata Brenda beralih ke bandrol yang melekat di sol. Tiga juta rupiah? Behh..“Gila...! Nggak ah…” ujarnya. “Aku lagi kere,”“Duitkan nggak bisa ngomong, Nda...”“A
Minggu pagi yang tak menyenangkan. Brenda duduk di teras depan sambil membaca beberapa surat kabar. Di meja kecil tersedia susu hangat buatan pembantunya dan sedikit cemilan. Beberapa menit yang lalu seorang debt collector menelponnya. Tagihan bulan ini sudah melewati batas pembayaran. Brenda pusing. Sementara ia harus menutupi hutang bank lainnya.Handphonenya berdering tak karuan. Suaranya memadati ruang tamu.“Bik… ambilkan hape saya,” Brenda menyuruh pembantunya. Malas juga ia bergerak kalau sudah PeWe. Posisi Wenak.“Ini, Bu…” sang pembantu memberikan hp ke Brenda. Ia memperhatikan layar di ponselnya. Harap-harap cemas. Kostumer atau dari pihak bank?“Ya halo…” sapanya lembut.“Selamat pagi, Bu. Dengan bu Brenda?”Deg… Jantung Brenda berdebug kencang. Ini pasti dari Bank.“Ya, saya sendiri,” sahutnya.“Kami dari bank X, Bu. Tagiha
Brenda membuka sepatunya dan meletakkannya begitu saja. Reuni yang sangat membosankan. Terlebih saat Ela membohonginya dengan berpura-pura hadir ke acara itu. Nyatanya mereka senang-senang sendiri.“Huh, dasar Ela! Aku akan balas kelakuanmu...” Brenda mengumpat kesal.Ia membaringkan tubuhnya. Mengingat wajah Yuda yang bermain-main sekejab saja. Kenapa Yuda belum punya pasangan? Padahal dia cowok tampan dan dulu dikejar-kejar banyak cewek di sekolahnya.Brenda bangkit dari rebahannya. Mengambil ponsel di atas meja.“Kamu dimana, La?” tanyanya ke Ela.“Aku lagi di Solaria ma Renold. Biasalah, kencan with love,”“Huh, Ela. Kamu membohongiku. Kamu bilang di rumah sakit?”“Iya… tadi dari rumah sakit langsung ke Solaria,”“Kamu bilang mama Renold di ruang ICU? Kok kalian seneng-seneng makan di Solaria?”“Itu taktik aja, Nda. Udah ah&