Maryati beranjak dari duduknya. Ia berjalan di koridor menuju Taman. Brenda mengikuti langkah Maryati.
“Sejak ia mengenal seorang gadis beberapa tahun lalu. Ryan selalu termenung dan cenderung pendiam. Ia kehilangan seorang sahabat yang menurutnya mampu membuat kehidupannya kembali ceria. Gadis itu meninggal dunia karena penyakit lupus menyerangnya,”
“Oh… kasihan sekali,”
“Sejak itu Ryan tidak lagi ceria dan tidak lagi memainkan nada-nada indah itu. Ryan selalu mengamuk karena tidak menemukan nada-nada yang pernah ia ciptakan sendiri,”
Detak suara tapak sepatu terdengar beriringan. Maryati melangkahkan kakinya dengan pelan, sambil bercerita tentang kehidupan Ryan dan tentang gadis itu. Betapa Ryan sangat mencintai gadis itu, hingga ia harus kehilangan dan membuat pikirannya menjadi kacau. Gadis itu segala-galanya bagi Ryan. Gadis sederhana yang memiliki hati sederhana. Gadis itu bisu, namun mempu memahami kata hati Ryan. Itu yang membuat Ryan berat melepaskan kepergiannya. Gadis itu mencintai Ryan apa adanya, namun takdir memisahkan mereka.
Maryati dan Brenda duduk di kursi taman yang begitu asri. Ditumbuhi bunga-bunga Krokot, Mawar dan Aglonema. Brenda meletakkan tasnya di atas meja. Ia memperhatikan Maryati yang masih terkagum-kagum dengan putranya. Itu sesuatu yang sangat luar biasa baginya.
“Saya tidak tahu kalau Ryan sedang jatuh cinta, Nda…”
“Jatuh cinta? Dengan siapa?” tanya Brenda penasaran.
Maryati menggeleng pelan.
“Entahlah… saya tidak tahu siapa yang Ryan cintai. Naif rasanya kalau menyebut anak sendiri gila. Ryan mencintai gadis dalam lukisannya. Yah mungkin saja itu gadis masa lalunya.”
Brenda terpaku dengan alis berkerut. Aneh memang. Tapi apakah Ryan akan bertemu dengan gadis khayalannya? Kehidupan Ryan memang sebuah teka-teki yang tidak dapat dipahami. Dimana orang lain sibuk dengan kehidupan yang penuh sandiwara, justru Ryan hidup dengan perannya sendiri.
Ryan keluar dari kamarnya sambil memainkan bola kristal. Ia berjalan di koridor samping yang menghubungkan taman bunga mereka. Sambil berjalan, ia menatap Brenda dengan lekat, lalu tertunduk. Brenda memperhatikannya dengan seulas senyum. Hari ini Ryan kelihatan tampan. Tidak terlihat kalau dia cowok autis.
“Hai… apa kabar, Yan…” sapa Brenda lembut.
Ryan tidak menyahut. Dia diam saja seperti biasanya dan berlalu ke gajebo. Brenda mengerutkan keningnya.
“Ryan selalu begitu, Nda... Mungkin ini sebentuk perkenalan kalian,”
Brenda kembali tersenyum.
“Saya akan segera memahami karakter Ryan, Tante. Butuh kesabaran untuk meluluhan hatinya,”
“Yah, bahkan saya sendiri tidak tahu apa keinginan Ryan. Oh, ya, saya hampir lupa, Nda. Saya buatkan minuman ya, teh atau kopi?”
“Teh aja, Tante...”
Maryati berlalu masuk ke dalam membuatkan minuman. Ia tidak mau mengganggu perkenalan Ryan dan Brenda.
Brenda mendekati Ryan di gajebo. Ryan masih asyik dengan bola kristal di tangannya.
“Yan... boleh aku duduk?” sapa Brenda.
Ryan menundukkan kepalanya dengan ekspresi datar. Brenda duduk walau tidak dipersilakan.
“Kamu siapa?” tanya Ryan datar.
“Aku Brenda… Aku ingin menjadi teman kamu, Yan. Kamu jangan takut ya…”
Ryan terdiam sambil terus memainkan bola kristalnya.
“Ee..e… tidak… kamu pergi… kamu pergi… Ryan tidak mau…”
“Yan… aku akan menjadi sahabatmu…”
Ryan tidak menyahut. Ia seperti orang kebingungan, ketakutan melihat orang lain. Ryan kembali ke kamarnya dengan tergesa-gesa. Brenda terlihat bingung melihat tingkah Ryan yang dianggap aneh.
Maryati keluar dari dalam rumahnya sambil membawa tempayan. Teko kecil berisi air teh dengan kepulan asap terlihat nikmat. Ia sempat melihat Ryan yang menaiki anak tangga. Ia berusaha tersenyum di depan Brenda.
“Maaf ya, Nda…. Ryan memang begitu…”
Maryati meletakkan minuman hangat di atas meja.
“Nggak apa-apa, Tante… Mungkin ini awal dari perkenalan kami,”
Maryati duduk di sebelah Brenda. Ia menghela nafas sejenak.
“Begitulah kehidupan Ryan setiap hari, Nda. Ryan selalu bermain-main sendiri. Dia nggak mau ketemu dengan orang lain. Apalagi orang yang nggak dikenalnya,”
“Mungkin Ryan butuh relaksasi, Tante. Atau ia butuh seseorang yang mampu mengendalikan emosinya,”
“Ya… saya belum menemukan orang itu, Nda. Saya tidak tahu harus mencari kemana agar bisa mengarahkan Ryan,”
“Saya akan membantu semampu saya, Tante…”
Maryati tersenyum tipis.
“Terima kasih ya, Nda…”
Brenda kembali membuat senyuman manisnya.
“Kita ngeteh dulu yuk... Saya sudah buatkan kamu teh Upet,”
“Teh upet?”
“Iya, temen saya yang mengirim teh itu. Nikmat loh, Nda...”
Brenda duduk dan Maryati menuangkan air teh ke mug Brenda. Aromanya bikin selera. Paduan melati dan daun teh.
“Hmm... nikmat sekali, Tante... Benar-benar segar...”
Maryati tersenyum tipis.
“Saya selalu menikmati teh ini ketika hati saya sedang galau. Aromanya mampu membuat saya rileks, Nda...”
Brenda meneguk kembali minumannya. Kemudian mereka ngobrol lagi seputar pekerjaan Brenda dan masalah Ryan. Tak terasa hari sudah menjelang sore ketika semua pembicaraan tidak menemukan ujungnya. Brenda melirik arloji di pergelangan tangannya.
“Kalau begitu saya permisi dulu, Tante. Besok saya akan berusaha lagi mendekati Ryan,”
Maryati mengangguk sambil tersenyum. Brenda beranjak dari tempat duduknya dan pamit ke Maryati. Sungguh pekerjaan yang sulit. Ia harus berpikir keras bagaimana cara mendekati anak autis seperti Ryan.
Brenda menuju mobilnya.
“Puiihh...” Brenda menghela berat di atas motornya. Pikirannya selalu tertuju pada Ryan. Ini benar-benar sebuah cobaan berat baginya. Kalau dia tidak mampu mengendalikan Ryan, maka tawaran Maryati yang jumlahnya begitu banyak tidak akan ia miliki.
###
"La, temeni aku ke dokter yuk…” ajak Brenda lewat ponsel. Ela kaget di seberang sana.“Apa? Ke dokter? Kamu hamil?” Mata Ela terbelalak.“Yee… enak aja. Kamu makin ngeres aja pikirannya. Aku mau ketemu dokter Daniel. Kata temenku dia pernah menangani anak-anak autis,”“Kamu mau memeriksakan dirimu? Apakah kamu autis atau tidak?”“Elaaa…! Jangan bercanda ah. Kalau nggak mau ya sudah!” Brenda sewot.“Ok deh nona manis… Gitu aja udah kejang-kejang… Nanti cepat tua loh…”Brenda nyolot. “Biarin!”“Ya udah… tunggu aku.”Brenda membelokkan setir motornya ke kanan menuju rumah s
Brenda terbangun ketika jam weker di atas meja kerjanya berdering kuat. Sudah jam tujuh dan ini saatnya Brenda memulai aktifitasnya. Semalaman ia disibukkan dengan rutinitas kerja yang berat. Menghadapi cowok ambisius seperti Baim membuat pikirannya kacau.Brenda bangkit dari tempat tidurnya menghampiri daun jendela. Ia membuka gorden coklat muda, lalu membuka daun jendela. Udara pagi masuk mengisi ruang kamar. Kemudian Brenda berjalan menghampiri meja kecil dan menuang air putihke dalam gelas. Tenggorokannya terasa kering karena berdebat dengan Baim.Mata Brenda mengedar ke halaman depan. Ia terbayang lagi dengan wajah Ryan. Wajah itu mulai memenuhi benaknya. Ia membayangkan bagaimana kelanjutan hidup cowok itu. Bagaimana masa depannya.Ponsel Brenda berdering. Ia tersentak, lalu mengambil ponselnya. Dari Baim. ‘Ughh… mau apa lagi sih?’ d
Pusat perbelanjaan itu dipadati pengunjung. Brenda dan Ela berjalan lenggak-lenggok seperti selebritis yang dikerubuti para fans. Sesekali mata Ela melirik ke etalase. Gaun yang dipajang membuat mata Ela mendelik. Tas sandang yang bentuknya elegan dan Highthills keluaran terbaru. Ia terhenti. Tangannya menarik lengan Brenda.“Apaan sih?” Brenda melenguh sambil terhenti.“Tuh…” bibir Ela dimonyongin. Mata Brenda mengikuti bibir Ela yang seperti bibir kuda. Sepatu hak tinggi bermerk.“Bagus ya, Nda...” puji Ela. Mata Brenda beralih ke bandrol yang melekat di sol. Tiga juta rupiah? Behh..“Gila...! Nggak ah…” ujarnya. “Aku lagi kere,”“Duitkan nggak bisa ngomong, Nda...”“A
Minggu pagi yang tak menyenangkan. Brenda duduk di teras depan sambil membaca beberapa surat kabar. Di meja kecil tersedia susu hangat buatan pembantunya dan sedikit cemilan. Beberapa menit yang lalu seorang debt collector menelponnya. Tagihan bulan ini sudah melewati batas pembayaran. Brenda pusing. Sementara ia harus menutupi hutang bank lainnya.Handphonenya berdering tak karuan. Suaranya memadati ruang tamu.“Bik… ambilkan hape saya,” Brenda menyuruh pembantunya. Malas juga ia bergerak kalau sudah PeWe. Posisi Wenak.“Ini, Bu…” sang pembantu memberikan hp ke Brenda. Ia memperhatikan layar di ponselnya. Harap-harap cemas. Kostumer atau dari pihak bank?“Ya halo…” sapanya lembut.“Selamat pagi, Bu. Dengan bu Brenda?”Deg… Jantung Brenda berdebug kencang. Ini pasti dari Bank.“Ya, saya sendiri,” sahutnya.“Kami dari bank X, Bu. Tagiha
Brenda membuka sepatunya dan meletakkannya begitu saja. Reuni yang sangat membosankan. Terlebih saat Ela membohonginya dengan berpura-pura hadir ke acara itu. Nyatanya mereka senang-senang sendiri.“Huh, dasar Ela! Aku akan balas kelakuanmu...” Brenda mengumpat kesal.Ia membaringkan tubuhnya. Mengingat wajah Yuda yang bermain-main sekejab saja. Kenapa Yuda belum punya pasangan? Padahal dia cowok tampan dan dulu dikejar-kejar banyak cewek di sekolahnya.Brenda bangkit dari rebahannya. Mengambil ponsel di atas meja.“Kamu dimana, La?” tanyanya ke Ela.“Aku lagi di Solaria ma Renold. Biasalah, kencan with love,”“Huh, Ela. Kamu membohongiku. Kamu bilang di rumah sakit?”“Iya… tadi dari rumah sakit langsung ke Solaria,”“Kamu bilang mama Renold di ruang ICU? Kok kalian seneng-seneng makan di Solaria?”“Itu taktik aja, Nda. Udah ah&
Brenda duduk di beranda sambil menikmati kicauan burung. Maryati masih di kamarnya. Diam-diam ia melirik jendela kamar Ryan di lantai dua. Ia melihat sosok bayangan di sana. Ryan mengintainya. Brenda tersenyum tipis ketika Ryan memalingkan wajahnya.“Kamu sudah datang, Nda?” tegur Maryati dari dalam rumah, lalu berlajan melewati koridor.“Selamat pagi, Tante…” sapa Brenda lembut.“Pagi, Nda… Maaf, tadi saya masih merapikan diri. Nggak enak kalau terkesan nggak rapi,” ujar Maryati.“Ah tante… biasa aja kok,”Maryati tersenyum tipis.“Apa rencanamu hari ini?”“Hmm…” Brenda berpikir sejenak.“Bagaimana kalau kita keluar?” usul Maryati.“Maksud, Tante?”“Kita jalan-jalan. Yah, sebagai relaksasi untuk Ryan. Kita bisa keliling kota Medan atau ke taman hiburan? Atau kita ke Brastagi…?&r
Loby hotel terlihat ramai para undangan. Brenda mengenakan gaun coklat tua dengan aksesoris yang menawan. Kelihatan cantik dengan make up yang merata serta pemerah pipih yang lembut. Yuda terlihat di sudut ruangan bersama para tetamunya. Jamuan makan malam yang romantis.Brenda memperhatikan teman-teman Yuda yang semua berstelan tuksedo dan gaun mewah. Sebagai pengusaha muda yang memiliki perusahaan dibidang industri tekstil, Yuda patut diacungi jempol. Ia pengusaha muda yang sukses.Yuda menghampiri Brenda yang duduk sendirian. Senyumnya mengembang seraya mengangkat gelas minumannya. Brenda menatap Yuda dengan lekat. Ah… wajah itu benar-benar membuatnya mabuk kepayang.“Maaf ya, aku mengacuhkanmu…” kata Yuda merasa bersalah.“Nggak apa-apa kok, Yud… Aku maklum…”Yuda duduk di dekat Brenda. Kemudian ia bertanya dengan ragu.“Kamu bisa dansa?”“Hmmm…”
Brenda memperhatikan bunga-bunga segar yang baru saja tiba di toko Maryati. Jenisnya bermacam-macam. Bunga-bunga import pesanan seorang pengusaha. Ini sudah hari kelima. Brenda tidak punya cara menaklukkan kepasifan Ryan. Ia belum punya jurus agar Ryan menerimanya menjadi pengajar.Di meja kerja Maryati terletak sebuah buku karya Khalil Gibran. Brenda meraih buku itu dan membukanya. Membaca bait-demi bait kata-kata di dalamnya.“Tante penggemar Khalil Gibran?” tanya Brenda disela kesibukan Maryati.Maryati menghentikan kegiatannya.“Itu milik Ryan. Dia sangat mengagumi sosok Khalil Gibran. Tante disuruh membaca,” Maryati tersenyum sipu. Brenda manggut-manggut.“Ryan suka membaca buku sastra?” berkerut dahi Brenda.“Ryan belajar membaca sejak masih kecil, Nda. Walaupun tidak begitu lancar, tapi Ryan gemar membaca buku,”Brenda manggut-manggut.“Sebentar, Nak Brenda. Say
Brenda memperhatikan bunga-bunga segar yang baru saja tiba di toko Maryati. Jenisnya bermacam-macam. Bunga-bunga import pesanan seorang pengusaha. Ini sudah hari kelima. Brenda tidak punya cara menaklukkan kepasifan Ryan. Ia belum punya jurus agar Ryan menerimanya menjadi pengajar.Di meja kerja Maryati terletak sebuah buku karya Khalil Gibran. Brenda meraih buku itu dan membukanya. Membaca bait-demi bait kata-kata di dalamnya.“Tante penggemar Khalil Gibran?” tanya Brenda disela kesibukan Maryati.Maryati menghentikan kegiatannya.“Itu milik Ryan. Dia sangat mengagumi sosok Khalil Gibran. Tante disuruh membaca,” Maryati tersenyum sipu. Brenda manggut-manggut.“Ryan suka membaca buku sastra?” berkerut dahi Brenda.“Ryan belajar membaca sejak masih kecil, Nda. Walaupun tidak begitu lancar, tapi Ryan gemar membaca buku,”Brenda manggut-manggut.“Sebentar, Nak Brenda. Say
Loby hotel terlihat ramai para undangan. Brenda mengenakan gaun coklat tua dengan aksesoris yang menawan. Kelihatan cantik dengan make up yang merata serta pemerah pipih yang lembut. Yuda terlihat di sudut ruangan bersama para tetamunya. Jamuan makan malam yang romantis.Brenda memperhatikan teman-teman Yuda yang semua berstelan tuksedo dan gaun mewah. Sebagai pengusaha muda yang memiliki perusahaan dibidang industri tekstil, Yuda patut diacungi jempol. Ia pengusaha muda yang sukses.Yuda menghampiri Brenda yang duduk sendirian. Senyumnya mengembang seraya mengangkat gelas minumannya. Brenda menatap Yuda dengan lekat. Ah… wajah itu benar-benar membuatnya mabuk kepayang.“Maaf ya, aku mengacuhkanmu…” kata Yuda merasa bersalah.“Nggak apa-apa kok, Yud… Aku maklum…”Yuda duduk di dekat Brenda. Kemudian ia bertanya dengan ragu.“Kamu bisa dansa?”“Hmmm…”
Brenda duduk di beranda sambil menikmati kicauan burung. Maryati masih di kamarnya. Diam-diam ia melirik jendela kamar Ryan di lantai dua. Ia melihat sosok bayangan di sana. Ryan mengintainya. Brenda tersenyum tipis ketika Ryan memalingkan wajahnya.“Kamu sudah datang, Nda?” tegur Maryati dari dalam rumah, lalu berlajan melewati koridor.“Selamat pagi, Tante…” sapa Brenda lembut.“Pagi, Nda… Maaf, tadi saya masih merapikan diri. Nggak enak kalau terkesan nggak rapi,” ujar Maryati.“Ah tante… biasa aja kok,”Maryati tersenyum tipis.“Apa rencanamu hari ini?”“Hmm…” Brenda berpikir sejenak.“Bagaimana kalau kita keluar?” usul Maryati.“Maksud, Tante?”“Kita jalan-jalan. Yah, sebagai relaksasi untuk Ryan. Kita bisa keliling kota Medan atau ke taman hiburan? Atau kita ke Brastagi…?&r
Brenda membuka sepatunya dan meletakkannya begitu saja. Reuni yang sangat membosankan. Terlebih saat Ela membohonginya dengan berpura-pura hadir ke acara itu. Nyatanya mereka senang-senang sendiri.“Huh, dasar Ela! Aku akan balas kelakuanmu...” Brenda mengumpat kesal.Ia membaringkan tubuhnya. Mengingat wajah Yuda yang bermain-main sekejab saja. Kenapa Yuda belum punya pasangan? Padahal dia cowok tampan dan dulu dikejar-kejar banyak cewek di sekolahnya.Brenda bangkit dari rebahannya. Mengambil ponsel di atas meja.“Kamu dimana, La?” tanyanya ke Ela.“Aku lagi di Solaria ma Renold. Biasalah, kencan with love,”“Huh, Ela. Kamu membohongiku. Kamu bilang di rumah sakit?”“Iya… tadi dari rumah sakit langsung ke Solaria,”“Kamu bilang mama Renold di ruang ICU? Kok kalian seneng-seneng makan di Solaria?”“Itu taktik aja, Nda. Udah ah&
Minggu pagi yang tak menyenangkan. Brenda duduk di teras depan sambil membaca beberapa surat kabar. Di meja kecil tersedia susu hangat buatan pembantunya dan sedikit cemilan. Beberapa menit yang lalu seorang debt collector menelponnya. Tagihan bulan ini sudah melewati batas pembayaran. Brenda pusing. Sementara ia harus menutupi hutang bank lainnya.Handphonenya berdering tak karuan. Suaranya memadati ruang tamu.“Bik… ambilkan hape saya,” Brenda menyuruh pembantunya. Malas juga ia bergerak kalau sudah PeWe. Posisi Wenak.“Ini, Bu…” sang pembantu memberikan hp ke Brenda. Ia memperhatikan layar di ponselnya. Harap-harap cemas. Kostumer atau dari pihak bank?“Ya halo…” sapanya lembut.“Selamat pagi, Bu. Dengan bu Brenda?”Deg… Jantung Brenda berdebug kencang. Ini pasti dari Bank.“Ya, saya sendiri,” sahutnya.“Kami dari bank X, Bu. Tagiha
Pusat perbelanjaan itu dipadati pengunjung. Brenda dan Ela berjalan lenggak-lenggok seperti selebritis yang dikerubuti para fans. Sesekali mata Ela melirik ke etalase. Gaun yang dipajang membuat mata Ela mendelik. Tas sandang yang bentuknya elegan dan Highthills keluaran terbaru. Ia terhenti. Tangannya menarik lengan Brenda.“Apaan sih?” Brenda melenguh sambil terhenti.“Tuh…” bibir Ela dimonyongin. Mata Brenda mengikuti bibir Ela yang seperti bibir kuda. Sepatu hak tinggi bermerk.“Bagus ya, Nda...” puji Ela. Mata Brenda beralih ke bandrol yang melekat di sol. Tiga juta rupiah? Behh..“Gila...! Nggak ah…” ujarnya. “Aku lagi kere,”“Duitkan nggak bisa ngomong, Nda...”“A
Brenda terbangun ketika jam weker di atas meja kerjanya berdering kuat. Sudah jam tujuh dan ini saatnya Brenda memulai aktifitasnya. Semalaman ia disibukkan dengan rutinitas kerja yang berat. Menghadapi cowok ambisius seperti Baim membuat pikirannya kacau.Brenda bangkit dari tempat tidurnya menghampiri daun jendela. Ia membuka gorden coklat muda, lalu membuka daun jendela. Udara pagi masuk mengisi ruang kamar. Kemudian Brenda berjalan menghampiri meja kecil dan menuang air putihke dalam gelas. Tenggorokannya terasa kering karena berdebat dengan Baim.Mata Brenda mengedar ke halaman depan. Ia terbayang lagi dengan wajah Ryan. Wajah itu mulai memenuhi benaknya. Ia membayangkan bagaimana kelanjutan hidup cowok itu. Bagaimana masa depannya.Ponsel Brenda berdering. Ia tersentak, lalu mengambil ponselnya. Dari Baim. ‘Ughh… mau apa lagi sih?’ d
"La, temeni aku ke dokter yuk…” ajak Brenda lewat ponsel. Ela kaget di seberang sana.“Apa? Ke dokter? Kamu hamil?” Mata Ela terbelalak.“Yee… enak aja. Kamu makin ngeres aja pikirannya. Aku mau ketemu dokter Daniel. Kata temenku dia pernah menangani anak-anak autis,”“Kamu mau memeriksakan dirimu? Apakah kamu autis atau tidak?”“Elaaa…! Jangan bercanda ah. Kalau nggak mau ya sudah!” Brenda sewot.“Ok deh nona manis… Gitu aja udah kejang-kejang… Nanti cepat tua loh…”Brenda nyolot. “Biarin!”“Ya udah… tunggu aku.”Brenda membelokkan setir motornya ke kanan menuju rumah s
Maryati beranjak dari duduknya. Ia berjalan di koridor menuju Taman. Brenda mengikuti langkah Maryati.“Sejak ia mengenal seorang gadis beberapa tahun lalu. Ryan selalu termenung dan cenderung pendiam. Ia kehilangan seorang sahabat yang menurutnya mampu membuat kehidupannya kembali ceria. Gadis itu meninggal dunia karena penyakit lupus menyerangnya,”“Oh… kasihan sekali,”“Sejak itu Ryan tidak lagi ceria dan tidak lagi memainkan nada-nada indah itu. Ryan selalu mengamuk karena tidak menemukan nada-nada yang pernah ia ciptakan sendiri,”Detak suara tapak sepatu terdengar beriringan. Maryati melangkahkan kakinya denganpelan, sambil bercerita tentang kehidupan Ryan dan tentang gadis itu. Betapa Ryan sangat mencintai gadis itu, hingga ia harus kehilangan dan membuat pikirannya menjadi kac