Ponsel Brenda berdering sangat keras, ketika ia menguap lebar. Pagi ini ia dikejutkan dengan deringan handpone yang menyentak-nyentak alam mimpinya. Ringtone lagu Krisdayanti yang mengalun merdu membuat ia tak ingin mengangkat nada panggilan itu hingga lagu berakhir. Semalam dia lupa memijit tombol off, sehingga ponselnya menyala terus. Dengan rasa malas diraihnya ponsel di atas meja.
‘Huh… dasar pengganggu,’ omelnya dalam hati.
“Ya, halo?” sapa Brenda dengan suara serak.
“Nda, cepat bangun. Ini ada berita baik!” jawab si penelepon. Suaranya sember. Siapa lagi kalau bukan Ela, sahabat dekatnya.
Sedetik kemudian Brenda terlompat bangun dari tempat tidurnya. Refleks. Habis kaget juga Ela meneleponnya pagi-pagi begini. Suaranya menggelegarkan gendang telinga. Sialan tuh anak!
“Sabar, Non. Ada apa?” balas Brenda dengan posisi tegak di sisi tempat tidur.
“Aku sudah dapat murid-murid buatmu. Nah, kamu mesti berterima kasih padaku. Hehehe…” Ela tertawa cekikikan dari seberang.
“Jangan kuatirlah. Kan kamu dapat komisi juga. Beres. Ada berapa?” Semangat Brenda langsung membuncah. Melebihi kecepatan cahaya. Bullshit!
“Sepuluh,” jawab Ela ringan. Tanpa beban. Sebentar lagi bakalan koceknya penuh dengan rupiah. Lumayanlah buat biaya traveling ke Singapore yang sudah diidam-idamkannya.
“Hah??? Gila banget kamu. Segitu banyak? Kok bisa?” kaget juga Brenda mendengar berita Ela. Tumben anak itu dapat menjaring sebanyak sepuluh murid.
“Lha, kan mesti banyak-banyak. Biar pendapatanmu juga memuaskan, Nda. Lagipula aku kasihan ngelihat kamu. Pokoknya, kamu akan jadi guru private yang dipuja-puja, kalau semua anak-anak mereka berhasil di sekolah,”
“Semoga saja, La!” Brenda mengamini kata-kata Ela. Bakal panen besar mereka!
“Ntar setengah jam lagi kamu mesti siap-siap. Aku antar mereka ke tempatmu, oke?” nada suara Ela terdengar enggak sabaran.
“Sekarang? Tapi aku harus ke rumah Ryan, La…”
“Kamu tunda dulu waktumu. Ini demi kemajuan biro jasamu,”
“Ok. Aku akan memakai waktuku sedikit untuk murid-murid itu besok. Thanks, La,”
Ela memutuskan pembicaraan.
Brenda dengan semangat empat lima terlonjak dari tempat tidurnya. Mengayunkan langkah ke kamar mandi. Mengguyur basah tubuhnya dengan air segar. Melumuri tubuhnya dengan sabun favoritnya. Byurrr…byurr…byurr… rasa kantuknya hilang seketika.
###
Ting Tong! Ting Tong! Ting Tong!
Brenda buru-buru memakai baju dan bleser. Rok pendek senada dan make up yang lembut. Dia benar-benar cantik.
‘Wah, tuh anak kecepatan sih!’ omelnya dalam hati. Bel berbunyi beberapa kali lagi. Brenda mengayunkan langkah lebar-lebar ke bingkai pintu dan tangannya menggerakkan handle pintu dengan cepat. Sebentuk raut wajah yang sudah amat dihafalnya melabuhkan sebuah senyum patennya. Untung dia bukan cowok, kalau tidak…
“Wuihh…, lama banget. Aku hampir kesemutan,” Ela memberengut kesal.
“Sory, La. Habis kamu sih mengganggu acara tidurku tadi,”
“Aku nggak dipersilakan masuk?” alis Ela terangkat sedikit.
“Silakan masuk, Tuan Putri!” Brenda membungkuk seraya memberi hormat, melebarkan tangan kanannya. Ela masuk diikuti oleh sepuluh ibu-ibu dengan anaknya. Sejenak Brenda ternganga.
“Wah, dari mana kamu dapat anak-anak ini? Gila kamu, La,” Brenda berbisik pelan di telinga Ela. Ela hanya senyam-senyum. Mengangkat bahunya dengan ringan. Brenda juga mempersilakan sepuluh ibu dan anaknya masuk ke ruang tamu.
“Silakan duduk, Bu. Mau minum apa?” sapa Brenda ramah.
“Nggak usah repot-repot. Cukup air putih saja, Mbak,” kata salah satu dari mereka dengan nada sopan. Yang lainnya mengangguk, menyetujui ucapan sang ibu berstelan rapi.
“La, tolong ambilkan minumnya!” pesan Brenda.
“Beres!” Ela segera berlalu ke dapur. Tak lama kemudian muncul lagi dengan sepuluh gelas air minum.
“Begini, Nak Brenda. Anak saya tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah. Dia selalu tertinggal dari teman-temannya. Saya ingin nak Brenda mengajari anak saya semua mata pelajaran,”
Brenda manggut-manggut sambil memperhatikan seorang anak di samping ibunya. Semua dengan alasan hampir sama. Ada juga yang tidak sempat memberi pelajaran di rumah untuk anaknya. Brenda menerima tawaran itu dengan senang hati.
“Terima kasih atas kepercayaan yang sudah diberikan, Ibu-ibu. Saya akan berusaha memberikan yang terbaik dan saya akan memberikan pelajaran-pelajaran yang mudah dicerna,” kata Brenda bijak. Setelah semua data disimpan, Brenda siap-siap ke rumah Ryan. Sepuluh murid yang dibawa ibu-ibu tadi diberi jadwal sore hari.
###
Ryan duduk terpaku di balkon kamarnya. Matanya sendu memandang alun-alun kota Medan. Tangannya terus memainkan bola kristal berulang-ulang. Entah apa yang ada dalam benaknya. Pandangannya kosong seperti kemarin-kemarin.
“Ryan mau cinta...” gumamnya terbata.
Ia yakin suatu saat akan menemukan cinta itu di hatinya.
Ryan beranjak ke galerinya. Ia mengambil saksofon dari atas lemari pakaian. Masih apik dengan peti kecil berwarna hitam. Ryan memperhatikan benda itu dengan lekat, lalu mengelusnya lembut. Menikmati sentuhan halus setiap bentuknya. Ia mengangkat benda itu dengan hati-hati lalu meniupnya dengan penuh penghayatan. Nada-nada yang indah keluar begitu merdunya. Sungguh luar biasa. Maryati sampai terpaku mendengarnya. Matanya sampai berkaca-kaca memperhatikan Ryan yang begitu menghayati memainkan saksofon. Maryati tiba-tiba saja menghentikan kegiatannya dan duduk manis di beranda samping.
Brenda baru tiba ketika Maryati asyik mendengarkan putranya bermain saksofon. Ia memberi isyarat agar Brenda tidak membuat suara sekecil apapun dan ikut mendengarkan nada-nada yang pernah diciptakan Ryan.
“Menakjubkan!” bisiknya.
Maryati hanya tersenyum haru. Sungguh ini di luar dugaannya. Ia sangat berterima kasih pada Yang Maha Kuasa, karena memberi kelebihan lain pada anaknya. Maryati merapatkan tangannya sambil tersenyum. Matanya terus berbinar. Nada-nada itu terus mengalum lembut hingga melambungkan angan dan kenangan Maryati.
Pelan Brenda duduk di sebelah Maryati. Ia juga terenyuh melihat Ryan memainkan saksofon begitu sempurna hingga tidak ada nada-nada sumbang yang keluar. Pagi itu serasa mereka berada pada sebuah konser tunggal yang tiada duanya.
Ryan mengakhiri permainannya dengan nada penutup yang lembut. Hal itu membuat Maryati membuka matanya. Pertunjukan sudah selesai dan ia tersenyum. Maryati tertunduk lalu mendongak menatap Brenda.
“Baru kali ini saya mendengarkan nada-nada indah itu, Nda…” gumamnya pelan.
“Saya juga, Tante. Selama ini saya tidak tahu kalau Ryan mempunyai bakat di bidang seni dan memainkan saksofon dengan begitu bagusnya,”
Maryati beranjak dari duduknya. Ia berjalan di koridor menuju Taman. Brenda mengikuti langkah Maryati.“Sejak ia mengenal seorang gadis beberapa tahun lalu. Ryan selalu termenung dan cenderung pendiam. Ia kehilangan seorang sahabat yang menurutnya mampu membuat kehidupannya kembali ceria. Gadis itu meninggal dunia karena penyakit lupus menyerangnya,”“Oh… kasihan sekali,”“Sejak itu Ryan tidak lagi ceria dan tidak lagi memainkan nada-nada indah itu. Ryan selalu mengamuk karena tidak menemukan nada-nada yang pernah ia ciptakan sendiri,”Detak suara tapak sepatu terdengar beriringan. Maryati melangkahkan kakinya denganpelan, sambil bercerita tentang kehidupan Ryan dan tentang gadis itu. Betapa Ryan sangat mencintai gadis itu, hingga ia harus kehilangan dan membuat pikirannya menjadi kac
"La, temeni aku ke dokter yuk…” ajak Brenda lewat ponsel. Ela kaget di seberang sana.“Apa? Ke dokter? Kamu hamil?” Mata Ela terbelalak.“Yee… enak aja. Kamu makin ngeres aja pikirannya. Aku mau ketemu dokter Daniel. Kata temenku dia pernah menangani anak-anak autis,”“Kamu mau memeriksakan dirimu? Apakah kamu autis atau tidak?”“Elaaa…! Jangan bercanda ah. Kalau nggak mau ya sudah!” Brenda sewot.“Ok deh nona manis… Gitu aja udah kejang-kejang… Nanti cepat tua loh…”Brenda nyolot. “Biarin!”“Ya udah… tunggu aku.”Brenda membelokkan setir motornya ke kanan menuju rumah s
Brenda terbangun ketika jam weker di atas meja kerjanya berdering kuat. Sudah jam tujuh dan ini saatnya Brenda memulai aktifitasnya. Semalaman ia disibukkan dengan rutinitas kerja yang berat. Menghadapi cowok ambisius seperti Baim membuat pikirannya kacau.Brenda bangkit dari tempat tidurnya menghampiri daun jendela. Ia membuka gorden coklat muda, lalu membuka daun jendela. Udara pagi masuk mengisi ruang kamar. Kemudian Brenda berjalan menghampiri meja kecil dan menuang air putihke dalam gelas. Tenggorokannya terasa kering karena berdebat dengan Baim.Mata Brenda mengedar ke halaman depan. Ia terbayang lagi dengan wajah Ryan. Wajah itu mulai memenuhi benaknya. Ia membayangkan bagaimana kelanjutan hidup cowok itu. Bagaimana masa depannya.Ponsel Brenda berdering. Ia tersentak, lalu mengambil ponselnya. Dari Baim. ‘Ughh… mau apa lagi sih?’ d
Pusat perbelanjaan itu dipadati pengunjung. Brenda dan Ela berjalan lenggak-lenggok seperti selebritis yang dikerubuti para fans. Sesekali mata Ela melirik ke etalase. Gaun yang dipajang membuat mata Ela mendelik. Tas sandang yang bentuknya elegan dan Highthills keluaran terbaru. Ia terhenti. Tangannya menarik lengan Brenda.“Apaan sih?” Brenda melenguh sambil terhenti.“Tuh…” bibir Ela dimonyongin. Mata Brenda mengikuti bibir Ela yang seperti bibir kuda. Sepatu hak tinggi bermerk.“Bagus ya, Nda...” puji Ela. Mata Brenda beralih ke bandrol yang melekat di sol. Tiga juta rupiah? Behh..“Gila...! Nggak ah…” ujarnya. “Aku lagi kere,”“Duitkan nggak bisa ngomong, Nda...”“A
Minggu pagi yang tak menyenangkan. Brenda duduk di teras depan sambil membaca beberapa surat kabar. Di meja kecil tersedia susu hangat buatan pembantunya dan sedikit cemilan. Beberapa menit yang lalu seorang debt collector menelponnya. Tagihan bulan ini sudah melewati batas pembayaran. Brenda pusing. Sementara ia harus menutupi hutang bank lainnya.Handphonenya berdering tak karuan. Suaranya memadati ruang tamu.“Bik… ambilkan hape saya,” Brenda menyuruh pembantunya. Malas juga ia bergerak kalau sudah PeWe. Posisi Wenak.“Ini, Bu…” sang pembantu memberikan hp ke Brenda. Ia memperhatikan layar di ponselnya. Harap-harap cemas. Kostumer atau dari pihak bank?“Ya halo…” sapanya lembut.“Selamat pagi, Bu. Dengan bu Brenda?”Deg… Jantung Brenda berdebug kencang. Ini pasti dari Bank.“Ya, saya sendiri,” sahutnya.“Kami dari bank X, Bu. Tagiha
Brenda membuka sepatunya dan meletakkannya begitu saja. Reuni yang sangat membosankan. Terlebih saat Ela membohonginya dengan berpura-pura hadir ke acara itu. Nyatanya mereka senang-senang sendiri.“Huh, dasar Ela! Aku akan balas kelakuanmu...” Brenda mengumpat kesal.Ia membaringkan tubuhnya. Mengingat wajah Yuda yang bermain-main sekejab saja. Kenapa Yuda belum punya pasangan? Padahal dia cowok tampan dan dulu dikejar-kejar banyak cewek di sekolahnya.Brenda bangkit dari rebahannya. Mengambil ponsel di atas meja.“Kamu dimana, La?” tanyanya ke Ela.“Aku lagi di Solaria ma Renold. Biasalah, kencan with love,”“Huh, Ela. Kamu membohongiku. Kamu bilang di rumah sakit?”“Iya… tadi dari rumah sakit langsung ke Solaria,”“Kamu bilang mama Renold di ruang ICU? Kok kalian seneng-seneng makan di Solaria?”“Itu taktik aja, Nda. Udah ah&
Brenda duduk di beranda sambil menikmati kicauan burung. Maryati masih di kamarnya. Diam-diam ia melirik jendela kamar Ryan di lantai dua. Ia melihat sosok bayangan di sana. Ryan mengintainya. Brenda tersenyum tipis ketika Ryan memalingkan wajahnya.“Kamu sudah datang, Nda?” tegur Maryati dari dalam rumah, lalu berlajan melewati koridor.“Selamat pagi, Tante…” sapa Brenda lembut.“Pagi, Nda… Maaf, tadi saya masih merapikan diri. Nggak enak kalau terkesan nggak rapi,” ujar Maryati.“Ah tante… biasa aja kok,”Maryati tersenyum tipis.“Apa rencanamu hari ini?”“Hmm…” Brenda berpikir sejenak.“Bagaimana kalau kita keluar?” usul Maryati.“Maksud, Tante?”“Kita jalan-jalan. Yah, sebagai relaksasi untuk Ryan. Kita bisa keliling kota Medan atau ke taman hiburan? Atau kita ke Brastagi…?&r
Loby hotel terlihat ramai para undangan. Brenda mengenakan gaun coklat tua dengan aksesoris yang menawan. Kelihatan cantik dengan make up yang merata serta pemerah pipih yang lembut. Yuda terlihat di sudut ruangan bersama para tetamunya. Jamuan makan malam yang romantis.Brenda memperhatikan teman-teman Yuda yang semua berstelan tuksedo dan gaun mewah. Sebagai pengusaha muda yang memiliki perusahaan dibidang industri tekstil, Yuda patut diacungi jempol. Ia pengusaha muda yang sukses.Yuda menghampiri Brenda yang duduk sendirian. Senyumnya mengembang seraya mengangkat gelas minumannya. Brenda menatap Yuda dengan lekat. Ah… wajah itu benar-benar membuatnya mabuk kepayang.“Maaf ya, aku mengacuhkanmu…” kata Yuda merasa bersalah.“Nggak apa-apa kok, Yud… Aku maklum…”Yuda duduk di dekat Brenda. Kemudian ia bertanya dengan ragu.“Kamu bisa dansa?”“Hmmm…”