Tiba-tiba Mira menghilang dari tempat dia berdiri dan dalam waktu yang singkat, dia muncul dengan Clark dan Anisa di kedua tangannya. Mereka berdua meronta-ronta. Entah kekuatan apa yang dimiliki Mira sehingga dengan enteng dia mengangkat Clark dan Anisa begitu saja seperti angkat barang belanjaan. Tidak terlihat dari wajahnya kalau Clark dan Anisa berat.
Momo hanya melihat dengan miris. Dia sangat sedih. Momo tahu penyebab Clark dan Anisa bisa tertangkap. Itu karena pertengkaran Kerry dan Agna. Untuk menghentikan mereka, terpaksa Harry dan Clark mengeluarkan kekuatan mereka.
Karena mengeluarkan tenaga itulah, lokasi mereka ketahuan. Sebenarnya Harry mempunyai kesempatan untuk menyelamatkan mereka semua, tetapi entah apa yang merasuk pikiran Kerry, sehingga dia mau memukul Agna. Anisa yang melihat tindakan Kerry, langsung mendorong Agna dan pukulan Kerry mengenai mulutnya. Cairan merah langsung mengucur dari sudut bibirnya Anisa.
Clark yang mendengar percakapan
Aditya tersentak dan membalikkan badannya kembali. Dia menatap Momo yang sedang memegang Anisa yang masih menangis.“Apa maksudmu?” tanya Aditya. Walau dia mengerti maksud Momo, tetapi dia tidak bisa memperlihatkan dirinya yang sebenarnya.“Apa maksudmu, Mo? Kenapa dia harus berada di pihak kita? Dia anak buahnya musuh kita,” isak Anisa sambil mengusap air matanya.“Kamu mengerti maksudku, Cucu Kakek Aditya Chandranegara,” kata Momo ambigu tanpa memedulikan pertanyaan Anisa. Dia yakin Aditya mengerti maksudnya. Apalagi dia melihat Aditya tersentak kaget.“Saya tidak tahu anda tahu dari mana nama lengkap saya. Tetapi sekarang saya bekerja pada Pak Toni dan Ibu Mira, otomatis tidak mungkin saya membantu anda,” jawab Aditya. Dia berharap Momo mengerti maksudnya. Sekarang tidak, pasti di masa depan.Momo mengerti, karena dia juga bertanya dengan kalimat ‘suatu hari’, bukan ‘sekarang&rsqu
Momo dan Anisa tiba di rumah sakit dan bertemu dengan Ardy di lobi rumah sakit.“Bu, saya baru saja mau menghubungi Ibu. Kemarilah dan ikut saya,” kata Ardy setelah menyerahkan pekerjaannya pada dokter lain.Momo dan Anisa mengikuti Ardy ke ruang prakteknya yang sepi. Dia mempersilakan Anisa dan Momo untuk duduk. Tanpa mengucapkan sepatah kata, dia duduk di depan komputer dan mengetik sesuatu.“Bu, ada yang ingin saya tanyakan. Agak pribadi, tetapi saya harus menanyakan ini,” kata Ardy.“Silakan, Dok. Saya berterima kasih, Dokter telah memperhatikan anak saya,” sahut Anisa dengan sopan.“Jangan begitu, Bu. Ken sudah seperti anak saya. Begitu pun Ibu sudah seperti mama saya. Karena itu saya memberanikan untuk bertanya soal ini,” kata Ardy.“Silakan, Dok. Ada apa? Apakah sangat serius?”“Benar, Bu, sangat serius. Tadi Ibu meminta saya memindahkan Ken ke kamar lain. Tanpa
“Kak Kerry, aku berharap Kakak sudah bisa memahami Kak Agna. Tolonglah,” bujuk Harry.“Iya, Kerry. Lebih gampang unta melewati lubang jarum, daripada terus terang di depan semua orang tentang masa lalu dan hal-hal yang memalukan. Demi kamu, Agna bersedia menceritakan semuanya. Kali ini percayalah istrimu,” bujuk Hariyanto juga.“Kakak pikir-pikir saja dulu. Sekarang kita ke apartemen saja. Kemungkinan rumah belum aman,” ajak Harry.“Aku tidak ingin ke apartemen,” sahut Kerry sambil duduk di lantai dengan wajah marah.“Baiklah. Kita istirahat saja dulu di sini. Tenangkan pikiran,” kata Harry yang disetujui semua orang.Harry tafakur sehingga dia tidak memperhatikan sekelilingnya. Semua ingin tidur tetapi tidak bisa tertidur. Tiba-tiba perasaan Harry merasa ada keanehan di tempat itu. Dia langsung melihat sekelilingnya, tetapi tidak menemukan keanehan.“Pa, Kak Kerry, Kak Agna,
Harry tersentak. Dari mana Gina mengetahuinya? Tidak ada yang tahu, penyebab dia merasa jijik pada wanita. Bahkan dia juga baru tahu belakangan ini setelah ingatan masa lalunya kembali“Kenapa bisa kamu mengatakan hal itu?! Dari mana kamu mendengarnya?!”Gina tertawa. Dia senang melihat ekspresi Harry yang kebingungan.“Tentu saja dari mamamu sendiri.”“Dari mama? Apa maksudmu dari mamaku kamu mendapatkan informasi ini, Gina?!” tanya Harry marah. “Mamaku tidak pernah melakukan hal yang salah, sehingga membuatku membenci wanita!”“Bukan Mama Anisa, tetapi Mama Mira, hehehe.” Gina menyebut nama ‘Mama Mira’ dengan suara mendesah dan tertawa senang. Masalah trauma Harry ini, dia sudah tahu sejak lama. Karena itu, dia melamar menjadi sekretaris Harry.“Maksudmu apa? Mama Mira? Mamaku hanya satu, yaitu Mama Anisa. Kenapa kamu mengatakan seolah-olah aku anaknya Mira. Mira
“Tidak. Sarah tidak lihat. Saat itu setelah menggambar, Sarah mau lihat lagi, rumah itu sudah menghilang. Kapan muncul juga, Sarah tidak tahu,” sahut Sarah dengan gembira. Dia tidak pernah diajak berbicara normal dan dipercaya seperti ini. Sehingga saat Harry bertanya seperti orang normal berbicara dengan sesamanya, dia sangat bahagia.“Jadi apa rencanamu, Nak? Jika kamu mau, kamu bisa menunggu di rumah saya sampai rumah itu muncul lagi,” tawar bapak itu.Bapak itu berencana jika Harry tinggal di rumahnya, dia bisa memberi bukti hidup, kalau selama ini anaknya tidak gila sama sekali. Jadi mereka bisa terlepas dari ulah tetangganya yang terus merisak, terutama pada Sarah.“Terima kasih, Pak. Saya ingin, tetapi masih banyak pekerjaan yang harus saya urus, jadi bisakah saya minta nomor ponsel Bapak atau mungkin Sarah untuk sekali-sekali bertanya apakah rumah itu sudah muncul atau tidak?” tanya Harry.“Sarah yan
Harry dan Momo masih menunggu beberapa saat, sehingga semua pengunjung pergi. Begitu pun orang yang mencurigakan tersebut. Setelah itu mereka keluar. Dengan bergegas, mereka membuka pintu rumah cermin dan siap pergi dari sana.“Kalian diam di tempat, kalau tidak ingin benda ini menembus jantung kalian!” bentak seseorang dari belakang Harry dan Momo dengan mengarahkan sesuatu pada punggung mereka berdua. “Jauhkan kedua tangan kalian dari badan kalian! Jangan membuat gerakan mencurigakan!”“Siapa kamu? Apa maumu? Uang? Kami tidak punya uang banyak!” kata Harry sambil berusaha melirik penodongnya.“Jangan membalikkan badan!! Aku tidak memerlukan uang kalian!! Katakan saja, kalian dari mana?! Bagaimana caranya kalian muncul?! Aku sangat yakin, sudah tidak ada orang di dalam, sebelum aku keluar sebagai orang yang terakhir! Dan aku juga yakin sesudah aku keluar, tidak ada lagi orang yang masuk!! Jadi katakan, bagaimana kalian
Harry dan Momo hanya bisa melongo mendengar perkataan Sina. Belum habis kekagetan mereka yang hampir menabrak Sina, sudah ditambah dengan teguran yang menohok.“Maaf, Dok. Boleh tanya …?”“Dok, maafkan sikapku. Akan saya perbaiki,” kata Harry memotong kalimat Momo. Dia mengenal Sina, tetapi Momo tidak mengenalinya. “Tetapi kita harus menggunakan kendaraan apa yang bisa membuat kita tiba dengan cepat?”“Bagus. Itu yang ingin kudengar dari calon penguasa baru. Aku yakin, menjadi seorang pemimpin, bukanlah hal baru bagimu. Aku tahu kamu seorang CEO yang memimpin banyak orang,” sahut Sina sambil tersenyum kembali. “Sekarang ikutlah denganku. Kita akan segera menuju ke tempat itu.”Tanpa menunggu balasan dari Harry atau Momo, Sina kembali melangkah menuju ke belakang rumah sakit. Harry dan Momo mengira mereka akan menuju ke tempat parkir yang terletak di belakang rumah sakit, tetapi setelah kel
Sina tahu Sani bukanlah seorang pembunuh. Dia pasti menyembunyikan dan menidurkan badan orang yang dia pakai.“Cih!”Dengan kesal, Sani meninggalkan Sina dan yang lainnya. Dia menuju ke kamarnya. Tidak lama kemudian, dia keluar, sambil memanggul sesuatu di bahunya dan wajahnya sudah kembali menjadi seseorang yang mirip dengan Sina. Namun begitu, bisa terlihat perbedaan mereka berdua.Dengan perlahan, dia menurunkan panggulannya dengan perlahan di atas sofa. Agna dan Hariyanto yang melihat Kerry dibaringkan di sofa, segera menghampirinya.“Kerry!!” teriak Agna.“Kerry!! Ayo, bangun, Nak!” teriak Hariyanto sambil menepuk pipi Kerry.“Ugkh!” keluh Kerry sambil menggerakkan badannya. Pelahan matanya terbuka. Wajah Agna yang ada di depannya. “Agna … Agna … ugkh … kepalaku.”Kerry berusaha untuk bangun. Agna segera membantunya dengan lembut hingga Kerry duduk d