~Sepandai-pandainya tupai melompat, ia pasti terjatuh juga. Serapi-rapinya suatu kejahatan ditutupi, suatu saat akan terbongkar juga.~
Terdengar suara orang berlari menuju kamarku. Aku dan Bik Asih menatap ke arah pintu.
"Ali …."
Wulan muncul di pintu. Napasnya terengah-engah ia sepertinya berlari dari kamar Bik Asih untuk segera sampai ke kamarku.
"Ada apa, Wulan?"
"Ini." Wulan mengangkat selembar kertas.
"Apa itu?"
Wajah Bik Asih terlihat memucat, "Ampun Den, ampun."
"Ali ….""Hemm ….""Lepasin!"Wulan merenggangkan pelukanku. Matanya membulat, alisnya berkerut menatapku. Hey, apa hanya aku yang terhanyut dalam scene ini?Apa dia tak menyukai kedekatan kami?Kenapa wanita suka memanipulasi perasaan lelaki?Wulan menarik satu sudut bibirnya, "Kalau suka halalin, bukan baperin," cibir Wulan."Apa kamu sudah siap untuk itu?""Jika aku tidak siap untuk itu kenapa aku masih di sini sampai sekarang
***Happy Reading*** Rolls Royce Phantom berhenti di antara deretan kendaraan lain. Mengenakan kemeja putih dan setelan celana kain berwarna hitam. Mengamati sekitar sambil menaikkan lengan baju hingga siku. Menengok ke kursi penumpang, "Kalian sudah siap, Wulan? Bik Asih?" Keduanya mengangguk dengan yakin. Kami turun dari mobil. Aku membuka kacamata hitam, membenarkan posisinya. Membaca tulisan di atas pintu utama. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kami berjalan dengan cepat menuju ruang pengadilan. Hari ini adalah hari istimewa. Hari terakhir aku melihat Jhonny di depan mataku. Akan kupastikan dia akan lama mendekam di balik jeruji penjara.
Berhenti di depan pintu ruang persidangan. Sengaja menatap Jhonny di dalam sana yang tak dapat berkutik lagi. Paula Stephanie hanya menunduk dengan lemas. Wajah mereka sama pucatnya. Sengaja memelankan langkah, menikmati pemandangan di dalam ruang sidang sana. Sekaligus menjaga keseimbangan. Kakiku semakin sakit, tak dapat melangkah lagi. Wulan berada di belakangku sekitar tiga meter. Lama sekali dia berjalan. Melirik pada Wulan, "Cepatlah Wulan!" "Sebentar! Ada apa, Ali?" "Berjalanlah di sampingku," bisikku. Wulan menurut, ia berjalan tepat di sampingku. Segera kurangkul pundaknya.
***Happy Reading***Pesan Wulan terlanjur terkirim. Lagi-lagi aku harus merepotkan David. Malu rasanya, seorang teman bukan orang yang harus selalu ada saat kita kesulitan. Lain kali akan ku traktir David, sudah terlalu sering menyusahkannya."Ali? Kok diem aja, sih?""Kakiku berdenyut nyeri, Wulan. Saat menginjak tanah serasa ada ribuan jarum yang menancap," sahutku.Mataku juga mulai terasa berat dan mengantuk. Efek obat yang diberikan Wulan tadi, kurasa mulai bekerja. Perlahan rasa sakit di kaki tak begitu kurasa.Setidaknya hari ini, aku telah melakukan sesuatu yang takkan kusesali seumur hidup. Datang dan memberikan semua bukti kejaha
Kedua security di pos mengikuti mobil David masuk ke garasi. Keduanya membantu menurunkanku dari mobil David. Wulan memegangi kursi roda, "Pelan-pelan, Pak!" perintah Wulan.Selepas memaksa berjalan kini kakiku tak bisa digerakkan sama sekali.David menatap jam digital di layar ponsel, "Gue harus cepet ke kantor nih, izin satu jam doang tadi.""Thanks, Bro.""Your wellcome, lain kali kita ngobrol lebih lama. Ada banyak hal yang ingin kudiskusikan sama loe, Lex. Cepat sembuh.""Pasti. Kapan pun loe butuh gue, telepon aja."Kami bersalaman. David memelukku sebentar sebelum akhirnya
***Happy Reading***Ketakutan dan keraguanku pada Wulan tak terbukti. Hanya lima menit mengutak atik kruk di kakiku ia bisa melepasnya. Menaruh besi hitam sepanjang tungkai kaki di atas sofa.Setelah menaruh alat bantu jalanku ia kembali, "Sebagai dokter fisioterapy pribadimu, saya tidak menyarankan kamu banyak berjalan." Wulan melipat tangan di atas dadanya. Berlagak menjadi seorang dokter."Dengarkan itu, Alex!" Mama ikut memarahi.Papa tertawa, "Hahaha."Dari jauh Bik Asih datang dengan membawa nampan, "Silakan Tuan, Nyonya, Den Alex, Non Wulan, ini minumannya." Bik Asih menurunkan minuman dari nampan.
"Hey, apa yang kalian lakukan di sana? Wulan, kenapa belum mengantarkan Alex ke kemarnya?"Segera kutekan tombol pada papan kursi roda. Membalikkan alat bantu jalanku. Di ujung koridor lain ada Papa yang membelalakkan matanya menatap kami berdua.Langkah kaki terdengar pelan, Mama menyusul di belakang Papa. Ikut memperhatikan aku dan Wulan."Alex, Wulan sepertinya kita perlu berbicara serius."Papa masuk ke ruang kerjanya. Aku terpaksa menyentuh tombol dan menggerakkan kursi roda."Ini semua akibat ulahmu, Wulan." Aku memicingkan mata ketika melewati gadis cempreng itu. Tingkahnya sungguh konyol dan kekanakan kali ini.
***Happy Reading*** ~Setinggi apapun standar kamu tentang pasangan. Akan kalah saat kamu jatuh cinta mendadak~ "Wulan, Alex … jangan pergi." Mama berteriak dari atas tangga kami sudah berada di lantai dasar. Wulan menghentikan laju kursi roda, "Sebentar, Ali." Mama menuruni anak tangga dengan cepat, "Jangan pergi, kalian tak boleh pergi dari rumah ini." "Papa, gak setuju dengan hubungan Alex dan Wulan, Ma." "Tetapi, Mama setuju." Mama menganggukkan kepala. Ia tersenyum sembari mengambil pergelangan tangan Wulan yang mendorong kursi roda.