"Hey, apa yang kalian lakukan di sana? Wulan, kenapa belum mengantarkan Alex ke kemarnya?"
Segera kutekan tombol pada papan kursi roda. Membalikkan alat bantu jalanku. Di ujung koridor lain ada Papa yang membelalakkan matanya menatap kami berdua.
Langkah kaki terdengar pelan, Mama menyusul di belakang Papa. Ikut memperhatikan aku dan Wulan.
"Alex, Wulan sepertinya kita perlu berbicara serius."
Papa masuk ke ruang kerjanya. Aku terpaksa menyentuh tombol dan menggerakkan kursi roda.
"Ini semua akibat ulahmu, Wulan." Aku memicingkan mata ketika melewati gadis cempreng itu. Tingkahnya sungguh konyol dan kekanakan kali ini.
***Happy Reading*** ~Setinggi apapun standar kamu tentang pasangan. Akan kalah saat kamu jatuh cinta mendadak~ "Wulan, Alex … jangan pergi." Mama berteriak dari atas tangga kami sudah berada di lantai dasar. Wulan menghentikan laju kursi roda, "Sebentar, Ali." Mama menuruni anak tangga dengan cepat, "Jangan pergi, kalian tak boleh pergi dari rumah ini." "Papa, gak setuju dengan hubungan Alex dan Wulan, Ma." "Tetapi, Mama setuju." Mama menganggukkan kepala. Ia tersenyum sembari mengambil pergelangan tangan Wulan yang mendorong kursi roda.
Hening. Mama tak lagi dapat berkata. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Kecewa, kaget, sedih terlihat di wajah Mama. Ia sudah mati-matian membelaku sejauh ini. "Maafkan Wulan, Om. Ini bukan salah Ali," ucapnya dengan menunduk. Anak Abah Dadang ini bicara apa? Dia mengambil tanggung jawabku, Wulan mengaku bersalah untuk menyelamatkanku. "Wulan, jangan meminta maaf. Kita tidak punya salah apapun. Cinta kita benar, hanya mereka yang salah menerimanya." Papa merunduk, memeluk tubuhku di atas kursi roda, "Maafkan, Papa. Kalian benar, Papa tak seharusnya keras kepala dan memaksakan kehendak." Apa?
***Happy Reading*** "Lilis kenapa, Bik?" Wulan ikut panik melihat ekspresi wajah Bik Asih. "Lilis Suryani kritis. Baru saja Bibik, dapat telepon dari pihak rumah sakitnya." Secara biologis Lilis Suryani bukan anak dari Bik Asih, tetapi rasa sayang dan kekhawatirannya benar-benar terlihat tulus. "Bagaimana kalau kita menjenguk Lilis sekarang, Pa, Ma?" "Usul yang bagus Alex, sekalian ada yang ingin Papa ketahui." "Bik Asih, setelah menyiapkan makanan, kamu segera bersiap dan ikut kami ke rumah sakit tempat Lilis Suryani dirawat."
***Happy Reading*** Dari luar pintu aku menyaksikkan sebuah pertunjukkan. Kasih sayang tulus, tidak selalu harus berhubungan darah. Darah memang selalu lebih kental dari air, tetapi tanpa air dalam kandungan darah apa jadinya? Darah tanpa air akan menggumpal. Jika sudah menggumpal pasti mengganggu jalannya peredaran darah, bisa menyebabkan kematian. Sejatinya darah dan air selalu menyatu. Lihatlah dua orang perempuan berbeda generasi di sana. Yang satu terlihat menatap penuh harap di atas ranjang dengan mata sayu dan penuh penderitaan. Sementara wanita paruh baya satunya tak henti menangis. Sesekali cobalah melihat bukan dengan mata, gunakan hati agar semua emosi juga terasa.
"Tolong tunggu di luar dulu." Pintu ruang rawat Lilis ditutup rapat. Kini, kami hanya bisa menunggu dengan cemas di luar ruangan, duduk pada kursi kayu memanjang yang disediakan. Dokter menyuruh kami semua keluar. Mereka sedang berupaya menyelamatkan Lilis di dalam sana. Bik Asih menyandar dengan lemas pada dinding. Wulan terlalu panik, sebentar ia duduk kemudian berdiri. Berjalan hilir mudik dari kursi tunggu ke pintu beberapa kali. "Wulan, duduklah. Kamu membuat semua orang semakin panik." "Aku benci harus menunggu tanpa bisa melakukan apapun untuk membantu," jawab Wulan. "Benar yang dikatakan Alex. Wulan, duduklah dan tenangka
***Happy Reading*** "Arrrggghh … dasar ba*ingan, lelaki jahat." Bik Asih memukuli Agustian Waluyo dengan kesetanan. Ia tetap menjambak rambutnya walaupun kedua polisi berbadan kekar memisahkan mereka. "Dasar bia*ab, kubunuh kamu!" "Berhenti, Buk. Harap tenang!" Salah seorang polisi memperingatkan. "Jangan halangi saya, Pak." Bik Asih menangis, ia meraung dan terus berusaha memukul Agustian Waluyo. "Heh, Babu! Hentikan!" Agustian Waluyo memaki Bik Asih. Ideku mengundang Agustian Waluyo dan Paula Stephan
Bunyi melengking panjang terdengar seiring layar monitor yang tak lagi membentuk grafik naik turun. Hanya sebuah garis mendatar terlihat di sana."Lilis …." Bik Asih menjerit. Ia mengelus pipi tirusnya lalu mengguncangkan tubuh Lilis Septiani."Lilis!" Wulan menutup mulutnya tak percaya pada apa yang terjadi.Ruang rawat Lilis Septiani hening."Kami sudah berusaha sebaik mungkin, mohon maaf." Lelaki berjas putih itu menelangkupkan tangan di dada. Meminta maaf, sebuah tindakan terbaik untuk menunjukkan rasa empati pada keluarga pasien. Dokter itu lalu berlalu pergi dari ruangan.Bik memeluk sosok terbujur kaku di balik kain put
***Happy Reading***"Kamu tak akan pernah bisa pergi dariku." Agustian Waluyo langsung membalas dengan cepat, "Karenamu aku rela melakukan banyak hal. Setelah kamu mendapatkan semua yang kamu inginkan, bagaimana bisa kamu ingin membuangku, hah?""Kalian berdua, sama jahatnya. Demi ambisi dan kekayaan kalian rela melakukan semua hal jahat. Kalian yang membuatku hadir di dunia ini, tetapi kenapa kalian menelantarkan aku?""Lilis tak minta lahir dari rahim Mama, jika boleh memilih lebih baik Lilis tidak dilahirkan di dunia ini. Daripada dilahirkan tapi tak dianggap."Air mata Lilis luruh berjatuhan. Mata gadis berumur tujuh belas tahun itu sangat merah. Kontras dengan kulit wajah yang putih kepucatan.