"Tolong tunggu di luar dulu."
Pintu ruang rawat Lilis ditutup rapat. Kini, kami hanya bisa menunggu dengan cemas di luar ruangan, duduk pada kursi kayu memanjang yang disediakan. Dokter menyuruh kami semua keluar. Mereka sedang berupaya menyelamatkan Lilis di dalam sana.
Bik Asih menyandar dengan lemas pada dinding. Wulan terlalu panik, sebentar ia duduk kemudian berdiri. Berjalan hilir mudik dari kursi tunggu ke pintu beberapa kali.
"Wulan, duduklah. Kamu membuat semua orang semakin panik."
"Aku benci harus menunggu tanpa bisa melakukan apapun untuk membantu," jawab Wulan.
"Benar yang dikatakan Alex. Wulan, duduklah dan tenangka
***Happy Reading*** "Arrrggghh … dasar ba*ingan, lelaki jahat." Bik Asih memukuli Agustian Waluyo dengan kesetanan. Ia tetap menjambak rambutnya walaupun kedua polisi berbadan kekar memisahkan mereka. "Dasar bia*ab, kubunuh kamu!" "Berhenti, Buk. Harap tenang!" Salah seorang polisi memperingatkan. "Jangan halangi saya, Pak." Bik Asih menangis, ia meraung dan terus berusaha memukul Agustian Waluyo. "Heh, Babu! Hentikan!" Agustian Waluyo memaki Bik Asih. Ideku mengundang Agustian Waluyo dan Paula Stephan
Bunyi melengking panjang terdengar seiring layar monitor yang tak lagi membentuk grafik naik turun. Hanya sebuah garis mendatar terlihat di sana."Lilis …." Bik Asih menjerit. Ia mengelus pipi tirusnya lalu mengguncangkan tubuh Lilis Septiani."Lilis!" Wulan menutup mulutnya tak percaya pada apa yang terjadi.Ruang rawat Lilis Septiani hening."Kami sudah berusaha sebaik mungkin, mohon maaf." Lelaki berjas putih itu menelangkupkan tangan di dada. Meminta maaf, sebuah tindakan terbaik untuk menunjukkan rasa empati pada keluarga pasien. Dokter itu lalu berlalu pergi dari ruangan.Bik memeluk sosok terbujur kaku di balik kain put
***Happy Reading***"Kamu tak akan pernah bisa pergi dariku." Agustian Waluyo langsung membalas dengan cepat, "Karenamu aku rela melakukan banyak hal. Setelah kamu mendapatkan semua yang kamu inginkan, bagaimana bisa kamu ingin membuangku, hah?""Kalian berdua, sama jahatnya. Demi ambisi dan kekayaan kalian rela melakukan semua hal jahat. Kalian yang membuatku hadir di dunia ini, tetapi kenapa kalian menelantarkan aku?""Lilis tak minta lahir dari rahim Mama, jika boleh memilih lebih baik Lilis tidak dilahirkan di dunia ini. Daripada dilahirkan tapi tak dianggap."Air mata Lilis luruh berjatuhan. Mata gadis berumur tujuh belas tahun itu sangat merah. Kontras dengan kulit wajah yang putih kepucatan.
Selesai berpamitan pada Bik Asih dan Lilis kami segera menuju mobil. Pak Malik sudah menunggu di lobby rumah sakit. Kami harus segera kembali ke Jakarta.Matahari sudah menghilang dari angkasa. Lampu-lampu penerangan di sepanjang jalan sudah dinyalakan."Jam berapa kira-kira kita akan sampai rumah?""Sekitar pukul sepuluh malam, Tuan." Papa kembali menatap ke arah depan setelah mendengar jawaban supir pribadi kami.Membuka dua kancing paling atas dari kemeja putih yang kukenakan. Sudut mata memicing pada Wulan yang juga melirikku. Tatapan mata kami tak sengaja bertemu.Wulan mengerjapkan mata, bulu mata lentiknya ikut bergetar. Ia me
***CEO Yang Hilang Ingatan***Aku sedang duduk di depan meja kerja. Menatap layar komputer dengan sangat puas. Di sampingku ada secangkir cofelatte yang masih mengepulkan asap. Aroma arabika bercampur dengan krim serta susu menggelitik indera.Seorang lelaki kutugaskan untuk hadir di ruang persidangan. Ia harus meliput jalannya persidangan. Tak ada bagian yang tertinggal atau dipotong.Seorang wanita yang berada di ujung meja panjang bertutup kain hijau mulai berbicara, dia mendekat ke mikrofon yang ada di hadapannya, "Pembacaan keputusan sidang pidana antara pihak keluarga Ibrahim sebagai penuntut dan saudara Jhonny Prince Abraham, Paula Stephanie dan Agustian Waluyo sebagai tersangka pada tanggal dua puluh delapan November 2021 akan segera dilaksanakan. Kepada
Aku memelotot penuh amarah, "Cerewet!" "E-eh, apa? Ali, bilang apa tadi?" Wulan mengernyit, kedua alis tebalnya hampir bertaut. "Kamu cantik, Wulan." Wulan tak lagi mendebat kata-kataku. Pipinya merona merah. Mata bulat Wulan mengerjap beberapa kali. Pandai bersilat lidah adalah satu kemampuan yang harus dimiliki para lelaki. Jika berbicara jujur situasi akan semakin runyam, maka jalan satu-satunya kita harus pandai merangkai kata. Gadis bermata bulat itu memasukkan kedua tongkat besi penyangga ke bawah lengan ketiak, "Coba pusatkan berat badanmu bertumpu pada kedua tongkat penyangga, Ali."
"Loe ngerjain, gue?" Refleks kata loe-gue keluar dari mulutku. Padahal aku sudah berjanji menyebut panggilan antara kami aku dan kamu. "Hahahhaha …." Wulan masih tertawa terbahak-bahak. Ia kini memunggungiku, menyembunyikan tawa. "Wulan?" "Ampun, lucu. Sakit perut Wulan, aduh!" Wulan kembali menghadap ke arahku. Kini wajahnya rata berwarna merah, menahan tawa. Kedua tangannya meremas perut. Suasana romantis yang baru saja terjadi antara kami menguap, hilang tak tersisa. Seperti setetes air hujan yang tersisa di pucuk daun lalu terbakar sinar mentari. "Bisa salah
Papa, Mama sudah meninggalkan kamarku. Kedatangan mereka tadi hanya untuk memberikan kabar bahagia. Keluarga kriminal itu telah dijatuhi hukuman dua puluh tahun penjara. Hukuman yang kurang untukku, tetapi cukup untuk menikmati hidup tanpa gangguan mereka.Aku menatap dua besi penyangga yang disandarkan pada nakas. Tersenyum sendiri mengingat kejadian tadi. Ada untungnya juga aku patah kaki. Wulan jadi lebih sering berada di dekatku."Sial! Aku lupa mematikan layar monitor komputer." Menatap ke arah meja kerja yang masih bersuara.Tanganku mencoba meraih tongkat besi penyangga tubuh. Tak jauh, hanya sekitar satu meter dariku. Satu sudut bibirku terangkat naik.Aku mencoba berdiri tanpa tongkat. Lam
~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
"Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.
"Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu
~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.
KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.
Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  
~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.
Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.
Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad