***CEO Yang Hilang Ingatan***
Aku sedang duduk di depan meja kerja. Menatap layar komputer dengan sangat puas. Di sampingku ada secangkir cofelatte yang masih mengepulkan asap. Aroma arabika bercampur dengan krim serta susu menggelitik indera.
Seorang lelaki kutugaskan untuk hadir di ruang persidangan. Ia harus meliput jalannya persidangan. Tak ada bagian yang tertinggal atau dipotong.
Seorang wanita yang berada di ujung meja panjang bertutup kain hijau mulai berbicara, dia mendekat ke mikrofon yang ada di hadapannya, "Pembacaan keputusan sidang pidana antara pihak keluarga Ibrahim sebagai penuntut dan saudara Jhonny Prince Abraham, Paula Stephanie dan Agustian Waluyo sebagai tersangka pada tanggal dua puluh delapan November 2021 akan segera dilaksanakan. Kepada
Aku memelotot penuh amarah, "Cerewet!" "E-eh, apa? Ali, bilang apa tadi?" Wulan mengernyit, kedua alis tebalnya hampir bertaut. "Kamu cantik, Wulan." Wulan tak lagi mendebat kata-kataku. Pipinya merona merah. Mata bulat Wulan mengerjap beberapa kali. Pandai bersilat lidah adalah satu kemampuan yang harus dimiliki para lelaki. Jika berbicara jujur situasi akan semakin runyam, maka jalan satu-satunya kita harus pandai merangkai kata. Gadis bermata bulat itu memasukkan kedua tongkat besi penyangga ke bawah lengan ketiak, "Coba pusatkan berat badanmu bertumpu pada kedua tongkat penyangga, Ali."
"Loe ngerjain, gue?" Refleks kata loe-gue keluar dari mulutku. Padahal aku sudah berjanji menyebut panggilan antara kami aku dan kamu. "Hahahhaha …." Wulan masih tertawa terbahak-bahak. Ia kini memunggungiku, menyembunyikan tawa. "Wulan?" "Ampun, lucu. Sakit perut Wulan, aduh!" Wulan kembali menghadap ke arahku. Kini wajahnya rata berwarna merah, menahan tawa. Kedua tangannya meremas perut. Suasana romantis yang baru saja terjadi antara kami menguap, hilang tak tersisa. Seperti setetes air hujan yang tersisa di pucuk daun lalu terbakar sinar mentari. "Bisa salah
Papa, Mama sudah meninggalkan kamarku. Kedatangan mereka tadi hanya untuk memberikan kabar bahagia. Keluarga kriminal itu telah dijatuhi hukuman dua puluh tahun penjara. Hukuman yang kurang untukku, tetapi cukup untuk menikmati hidup tanpa gangguan mereka.Aku menatap dua besi penyangga yang disandarkan pada nakas. Tersenyum sendiri mengingat kejadian tadi. Ada untungnya juga aku patah kaki. Wulan jadi lebih sering berada di dekatku."Sial! Aku lupa mematikan layar monitor komputer." Menatap ke arah meja kerja yang masih bersuara.Tanganku mencoba meraih tongkat besi penyangga tubuh. Tak jauh, hanya sekitar satu meter dariku. Satu sudut bibirku terangkat naik.Aku mencoba berdiri tanpa tongkat. Lam
~Tentang Cinta, aku buta. Yang kutahu di mana pun aku melihat hanya dia. Dalam pikiran hanya tentangnya.~ Tangan kanan meraih ponsel di sela bantal. Aku memotret foto itu, mengirimkannya ke nomor wha**aap Wulan. [Kamu meninggalkannya ->] Aku menyelipkan foto itu. Lengkap dengan emoticon menggaruk kepala. Ingin tahu apa tujuan Wulan. Apa ia sengaja meninggalkan fotoku? [Itu teh, buat kamu. Simpen buat kenang-kenangan.] Tak berapa lama sebuah notifikasi masuk. Wulan sengaja menaruh fotoku tadi. [ILY] Iseng aku mengirimkan tiga huruf itu. Wulan tak akan mengerti apa artinya.
***Happy Reading***"Rahasia Ma, kalau Alex bilang sekarang gak special dong."Mama mengembuskan napas perlahan dan sangat berat, seakan-akan ada beban di pundaknya, "Alex, selama ini Mama diam dan mendukung semua keputusanmu semata-mata demi kebahagiaan kamu. Tak ada seorang ibu yang ingin anaknya menderita ….""Maksud, Mama?" Aku memutus perkataan mama. Terlalu berbelit-belit dan melebar. Bingung apa yang sebenarnya ingin disampaikannya."Mama punya seorang calon perempuan yang lebih pantas dibandingkan, Wulan."Oh, jadi ini adalah inti dari semua perkataan Mama. Dibalik kediaman ibu kandungku ini ternyata ia menyimpan isi hatinya. Dengan dal
Alex?""Ah, i-ya, ada apa, Ma?" kataku terbata. Segera berkedip dan menatap ke arah lain."Mama bilang, jangan lupa berkedip." Mama mengulangi kata-katanya.Shanum tersenyum mendengar perkataan mama. Ia menutupi bibirnya saat tersenyum. Terlalu sopan atau memang dia pemalu?"Bagaimana kabar mama dan keluargamu di Bandung? Sehat?""Alhamdulilah sehat, Tante."Kedua perempuan itu terus berbicara, terlihat akrab satu sama lain. Setiap lelaki pasti tahu mana perempuan baik-baik dan mana yang tak baik. Urusan memilih pendamping hidup lelaki harus mencari dengan tepat karena seorang per
***Happy Reading*** ~Saat ada godaan datang, kembalilah pada wanitamu. Cari seribu alasan yang mengharuskanmu untuk bertahan~ *** Menatap ke luar kaca jendela. Area perumahan tempat keluarga Ibrahim berada sudah lama berganti dengan pertokoan. Universitas Avicenna berada di lingkungan universitas lain. Banyak Mahasiswa dan Mahasiswi berjalan di atas trotoar. Mereka memakai jas almamater yang berbeda-beda. Aku mengamati beberapa mahasiswi perempuan berambut panjang. Adakah Wulanku di antara mereka? Sebuah gedung megah bertingkat terlihat. Itu gedung yang aku tuju. Mob
"Jemput aku?" tanya Wulan lagi. Sudut matanya memicing menatapku. Ia sedang memastikan kata-kataku."Heemm …."Pak Malik membuka pintu. Wulan membantuku berdiri dan menaiki mobil. Supir kami memasukkan kursi roda ke bagasi mobil."Kita langsung pulang, Tuan?""Iya, Pak."Pintu mobil ditutup. Pak Malik kembali menuju kursi di belakang kemudi. Suara mesin mulai terdengar halus.Saat akan keluar dari tempat parkir mobil kami bersisipan dengan sebuah kendaraan berwarna hitam. Kaca jendela bagian kemudi terbuka. Tangan putih dan mulus seorang wanita cantik bermata sipit lu