***Happy Reading***
~Saat ada godaan datang, kembalilah pada wanitamu. Cari seribu alasan yang mengharuskanmu untuk bertahan~
***
Menatap ke luar kaca jendela. Area perumahan tempat keluarga Ibrahim berada sudah lama berganti dengan pertokoan. Universitas Avicenna berada di lingkungan universitas lain.
Banyak Mahasiswa dan Mahasiswi berjalan di atas trotoar. Mereka memakai jas almamater yang berbeda-beda.
Aku mengamati beberapa mahasiswi perempuan berambut panjang. Adakah Wulanku di antara mereka?
Sebuah gedung megah bertingkat terlihat. Itu gedung yang aku tuju. Mob
"Jemput aku?" tanya Wulan lagi. Sudut matanya memicing menatapku. Ia sedang memastikan kata-kataku."Heemm …."Pak Malik membuka pintu. Wulan membantuku berdiri dan menaiki mobil. Supir kami memasukkan kursi roda ke bagasi mobil."Kita langsung pulang, Tuan?""Iya, Pak."Pintu mobil ditutup. Pak Malik kembali menuju kursi di belakang kemudi. Suara mesin mulai terdengar halus.Saat akan keluar dari tempat parkir mobil kami bersisipan dengan sebuah kendaraan berwarna hitam. Kaca jendela bagian kemudi terbuka. Tangan putih dan mulus seorang wanita cantik bermata sipit lu
***Happy Reading***Niat hati ingin membuat Wulan terkesan dan senang. Apa mau dikata, kartu debitku ternyata tak bisa digunakan. Alhasil, malah Wulan yang membayar semua tagihan makanan di restoran tadi. Sepanjang perjalanan menuju rumah gadis cempreng itu hanya cemberut dan diam.Teori dan ekspetasi terkadang berbanding terbalik. Bahkan kenyataannya sangat jauh dari bayangan. Aku terkekeh geli mengingat kekonyolan di restoran tadi.Seroyal apa pun wanita, ia tetap makhluk yang perhitungan. Jadi usahakan membayar impas semua pengeluarannya. Catat itu."Maaf, Wulan.""Hemm." Wajah Wulan terlihat lebih jutek dan dingin dari sebelumnya. 
Wulan mengerjap, bulu mata panjang dan lentiknya ikut bergetar. Cantik."Kamu bagaimana? Nyuruh aku naik, istirahat di kamar. Nah, Ali, sendiri pakai kursi roda gimana naiknya kalo kutinggal. Yakin?"Aku tersenyum simpul. Semarahnya seorang wanita ia akan tetap peduli dan khawatir pada kita. Itu jika kita benar-benar di hatinya."Ya, kamu bantuin aku naik dululah!"Wulan memanyunkan bibirnya, "Sudah kuduga."Wulan mendorong kursi roda menuju tangga. Ia mendongak, menatap ke lantai dua, "Wulan papah Ali, ke atas, ya? Naik pelan-pelan?"Aku mengangguk menerima sarannya.
Keesokan malamnya.Sebuah musik pop mengalun di atas stage. Penyanyi muda dengan suara yang khas. Wajahnya tampan dengan rambut gondrong sebahu. Cengkok melayu dipadukan dengan musik pop.Aku melirik jam Rolex emas di tangan. Pukul delapan kurang lima menit. Belum waktunya Shanum datang. Semua ini ulah mama, sejak pukul tujuh ia sudah datang ke kamar. Bahkan pakaianku ini dipilihkannya."Assalamualaikum …."Suara halus menyapa tepat di sampingku, "Oh, hai, wa'alaikumussalam."Seorang wanita dengan gamis berwarna merah muda dan jilbab maroon berdiri di samping meja. Ia tersenyum dengan ramah menatapku.
"Sebenarnya aku …."Aku menatap gadis di depanku dengan tajam. Mulai mencurigai kehadirannya sebagai sesuatu yang memang direncanakan sejak awal.Wajah Shanum tetap tenang. Ia balik menatapku, seakan-akan mencoba mengerti isi dalam otak."Cepat katakan.""Oke, aku ngaku. Tante dan mama menjodohkan kita. Ini murni keputusan sepihak para orang tua, bukan aku yang meminta. Sebenarnya aku juga terpaksa. Ada seorang lelaki soleh di sana yang menjauh karena perjodohan ini.""Maksud kamu?""Kedatanganku kemari untuk bertemu denganmu Alex, atas perintah kedua orang tuaku. Aku pun terpaks
"Sebentar lagi sudah sampai, Tuan."Suara bariton Pak Malik lagi-lagi membuatku terkesiap. Entah sudah berapa lama perjalanan dari restoran ke rumah kediaman Ibrahim. Mungkin malam mulai larut dan gerimis yang membuat jalanan lebih lengang. Kami tiba lebih cepat dari waktu awal berangkat tadi."Oh, Iya.""Den Alex, mau mampir ke tempat lain?""Tidak, Pak."Mobil berhenti di depan gerbang. Tak berapa lama besi putih itu mulai bergeser pelan."Malam Tuan Alex," sapa salah seorang security.Aku mengangguk membalas sapa
Keesokan paginya ….Aku tak dapat tidur barang sedetik. Otak berpikir dengan keras hingga kantuk sirna, terjaga hingga pagi."Da*n. Aku tak bisa menunggu lagi."Aku segera menyibakkan selimut. Mengambil tongkat penyangga di samping ranjang. Berjalan menuju pintu. Matahari belum nampak, di luar masih gelap.Kamar Wulan. Tujuanku adalah kamar gadis cempreng itu. Berharap dia sudah kembali di kamarnya.Mengangkat telapak kaki kanan lebih tinggi agar tak membentur lantai. Mencengkeram dengan erat pegangan besi penyangga.Ceklek.
BERISIK!Semua orang terlalu berisik. Apa mereka tak tahu Wulanku hilang?Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya?"Alex, berhenti atau jangan pernah kembali ke rumah ini lagi." Suara bariton Papa mengiringi langkah kakiku yang sedikit bergetar."Kakak, hati-hati. Nanti, jatuh."Sial!Detik berikutnya aku terguling di anak tangga. Tak kuasa menghentikan tubuh yang terus meluncur turun. Kaki bodoh, kenapa harus terpeleset!"Alex …."Apakah