Keesokan paginya ….
Aku tak dapat tidur barang sedetik. Otak berpikir dengan keras hingga kantuk sirna, terjaga hingga pagi.
"Da*n. Aku tak bisa menunggu lagi."
Aku segera menyibakkan selimut. Mengambil tongkat penyangga di samping ranjang. Berjalan menuju pintu. Matahari belum nampak, di luar masih gelap.
Kamar Wulan. Tujuanku adalah kamar gadis cempreng itu. Berharap dia sudah kembali di kamarnya.
Mengangkat telapak kaki kanan lebih tinggi agar tak membentur lantai. Mencengkeram dengan erat pegangan besi penyangga.
Ceklek.
BERISIK!Semua orang terlalu berisik. Apa mereka tak tahu Wulanku hilang?Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya?"Alex, berhenti atau jangan pernah kembali ke rumah ini lagi." Suara bariton Papa mengiringi langkah kakiku yang sedikit bergetar."Kakak, hati-hati. Nanti, jatuh."Sial!Detik berikutnya aku terguling di anak tangga. Tak kuasa menghentikan tubuh yang terus meluncur turun. Kaki bodoh, kenapa harus terpeleset!"Alex …."Apakah
~Lebih baik aku melalui hari dengan beribu rintangan dan masalah asal bersama orang yang kucintai. Daripada hidup tenang, tetapi dalam kesepian dan kesendirian~"Arrrghhh … pergi dari kamarku!"Aku menghempaskan gelas dan piring dalam nampan asisten rumah tangga kami. Peralatan makan di atas nampan itu jatuh berserakan dan pecah. Nasi dan lauknya berhamburan di lantai.Perempuan berumur sekitar awal tiga puluhan itu langsung berjongkok memunguti pecahan dan isi piring yang berserakan. Wajahnya ketakutan, "Maaf Den," katanya."Sudah kubilang, saya gak mau makan.""Te-tetapi, ini perintah Tuan dan Nyonya besar, Den."&nb
Sekitar satu jam mengendarai Pa*ero hitam tujuanku mulai terlihat di depan mata. Kuinjak pedal gas, mobil berhenti bergerak perlahan. Memutar kunci mobil 180 derajat ke kiri lalu mencabutnya. Sejenak memandang ke sekeliling. Mengenakan kacamata hitam di wajah, bersiap untuk turun.Tak lupa segera mengeluarkan ponsel dalam saku. Mencari sebuah nomor, mendekatkan ponsel ke telinga, "Tolong mulai acaranya sekarang!"Kumasukkan kembali benda pipih berwarna hitam ke dalam saku celana. Segera melangkah turun dengan membusungkan dada. Memakai kemeja putih lengan panjang dengan celana kain hitam dari satu merk brand pakaian mahal yang berpusat di kota Paris.Beberapa mahasiswi yang berpapasan menatapku tanpa berkedip.
"Ini micnya!" Seorang mahasiswa dengan ransel di punggungnya memberikan microphone padaku.Aku memegang mic di tangan bersiap melanjutkan kata-kata dekan di depan, "Kamu telah pergi dari hidupku. Berpura-pura menghilang agar aku menemukanmu!"Seisi ruang aula pertemuan bergemuruh. Tepuk tangan serta sorak sorai para mahasiswa bersahutan.Kini, perhatian dan seluruh penonton di aula menyorotku."Lihat itu, itu Alexander Ibrahim penyumbang dana terbesar di Universitas Avicenna," teriak seorang Mahasiswa lelaki dari arah kanan aula.Wulan membalikkan badan. Matanya berbinar lebar menatap kedatanganku di belakangnya, "Ali?"
"Aku tak bisa, Ali." Wulan menggelengkan kepalanya."Kenapa?""Aku telah berjanji, akan menjadi seorang wanita yang pantas saat bersanding denganmu. Mamamu bukan tak merestui kita, tetapi aku sadar diri … aku belum pantas.""Dengar, aku tak memintamu menjadi sempurna saat bersanding denganku. Aku ingin kita bersama melewati semuanya, saling melengkapi dan menerima kekurangan masing-masing."Wulan tak berkata apapun lagi. Ia mendekapku, membenamkan wajah dalam pelukan, "Wulan, kangen …."Masih dapat kudengar gumaman Wulan di antara isak tangis itu. Aku mengelus pelan rambut hitamnya.
Secepat apa aku berusaha berjalan. Kakiku kalah langkah dari Wulan. Saat aku sampai di depan lobby universitas dia sudah tak terlihat lagi."Kemana aku harus mencarimu lagi, Wulan?"Aku menoleh ke kiri dan kanan. Tiap mahasiswi yang lewat kuperhatikan dengan seksama. Namun, itu bukan Wulan."Cepat sekali larinya," gumamku.Ada rasa ngilu mulai menjalar di kaki. Aku segera mencari tempat duduk, beristirahat. Bukankah kata dokter banyak berjalan melancarkan peredaran darah juga baik melatih otot-otot tulang. Apa aku terlalu lelah?Merogoh ponsel, mencoba menghubungi nomor Wulan. 'Nomor yang anda tuju di luar jangkauan.' Sial!
"Wulan, semua ini tidak seperti yang kamu pikirkan."Gadis bercardigan itu mendekati Wulan. Berusaha menjelaskan bahwa apa yang kami dengar. Memangnya kami tak bisa mengerti apa yang terjadi?"Sekar, jadi kamu mengenal Wildan? Jadi semua ini rencana kalian?""Sudahlah Wulan, tak ada gunanya berbicara dengan mereka."Aku menarik Wulan terus berjalan keluar, sebelum Wildan atau Sekar mencekokinya dengan teori dan fakta yang tak bermutu.Keduanya hanya terdiam menyaksikkanku dan Wulan menjauh."Jadi selama ini kamu tidur di asrama?"
~Ada satu nama yang diam-diam selalu menyebutmu dalam doanya, meminta Tuhan menjodohkan kalian. Ada hati lain yang diam-diam berusaha dengan keras agar kalian dapat bersama.~***Menurunkan kaca hitam mobil, menatap ke luar jendela dengan malas. Dari banyak tempat kenapa Wulan memilih tempat ini?"Ali, ayo keluar?"Wulan sudah turun terlebih dulu. Langkahnya cepat dan ringan. Sekejap saja ia sudah berada di teras rumahnya."Abaaah …." Suara cemprengnya terdengar sampai ke dalam mobil. Padahal jarak antara rumah di depan dan tempat mobil parkir sekitar lima meter."Ali, lama pisan! Cepetan turun," teriak Wu